Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 13 Desember 2012

Tokyo Trial (Proses Pengadilan Tokyo)



Pembentukan International Military Tribunal for the Far East (Pengadilan Tokyo)

Gagasan pembentukan pengadilan internasional untuk penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II muncul dari negara-negara sekutu. Pada bulan Desember 1945, empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca Perang Dunia II mengadakan pertemuan di Moskow (Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan China). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Jepang selama perang berlangsung.

Berbeda dengan Pengadilan Nuremberg yang dibentuk melalui London Charter yang ditandatangani 8 Agustus 1945, Pengadilan Tokyo justru dibentuk melalui proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Dalam Pasal 1 proklamasi itu, Jendral Douglas Mac Arthur menyatakan “There shall be established an International Military Tribunal for the Far East for the trial of those person charged individually, or as members of organization, or in the both capacities, with offences which includes crimes against peace.”[1] Artinya: "Harus dibentuk suatu Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh guna mengadili orang yang dituduh secara individual, atau sebagai anggota organisasi, atau dalam kapasitas keduanya, atas pelanggaran yang menyangkut kejahatan terhadap perdamaian."

Jadi dasar pembentukan Pengadilan Tokyo adalah proklamasi Komandan Tertinggi Sekutu di Timur Jauh pada tanggal 19 Januari 1946. Adapun Charter of the International Military Tribunal for the far East yang merupakan piagam berisi aturan hukum yang berlaku dalam Pengadilan Tokyo baru dikeluarkan pada 26 April 1946. Disinilah letak perbedaan antara Pengadilan Nuremberg dengan Pengadilan Tokyo dari segi pembentukannya. 

Tokyo Trial (Proses Persidangan Pengadilan Tokyo) berlangsung sejak 3 Mei 1946 sampai dengan 12 November 1948. Selama persidangan berlangsung, lebih dari 5700 terdakwa, diadili oleh Pengadilan Tokyo. Namun yang paling penting diantara proses tersebut ialah persidangan tahap pertama yang mengadili 28 tokoh utama terdakwa kejahatan perang Jepang.

Para Terdakwa dan Proses Persidangan

       Dua puluh delapan terdakwa Pengadilan Tokyo tahap pertama itu ialah:


1.    Jenderal Doihara Kenji (Kepala Staf AU)
2.    Baron Hirota Koki (Menlu)
3.    Itagaki Seishiro (Menteri Perang)
4.    Jenderal Keimura Heitaro (Komandan Militer Jepang di Birma)
5.    Jenderal Matsui Iwane (Komandan Militer Jepang di China)
6.    Jenderal Muto Akira (Komandan Militer Jepang di Philipina
7.    Jenderal Tojo Hideki (Komandan Militer Jepang di Kwantung)
8.    Menteri Araki Sadao (Menteri Angkatan Perang)
9.    Kolonel Hashimoto Kingoro (Penghasut perang)
10.    Hatta Shunroku (Menteri Perang)
11.    Baron Hinamura Kiichiro (Perdana Menteri)
12.    Hoshino Naoki (Kepala Sekretaris Kabinet Jepang)
13.    Marquis Kido Koichi (Penjaga Surat-Surat Rahasia Kekaisaran)
14.    Jenderal Koiso Kuniaki (Gubernur Korea)
15.    Jenderal Minami Jiro (Komandan Pasukan Kwantung)
16.    Laksamana Oka Takasumi (Menteri AL)
17.    Jenderal Oshima Hiroshi (Dubes Jepang untuk Jerman)
18.    Jenderal Sato Kenyro (Kepala Biro Umum Kemiliteran Jepang)
19.    Laksamana Shimada Shigetaro (Menteri AL)
20.    Shiratoti Toshio (Dubes Jepang untuk Italia)
21.    Jenderal Suzuki Teiichi (Menteri Perencanaan Kabinet Jepang)
22.    Kaya Okinori (Penyalur Opium ke China)
23.    Jenderal Umezu Yoshijiro (Menteri Perang)
24.    Togo Shigenori (Menlu)
25.    Shigemitsu Mamoru (Menlu)
26.    Matsuoka Yosuke
27.    Nagano Osami
28.    Okawa Shumei



Ke 28 terdakwa diatas didakwa melakukan tiga jenis kejahatan menurut pasal 5 Charter of the International Military Tribunal for the Far East (Piagam Pengadilan Tokyo). Tiga jenis kejahatan tersebut yakni:

1.    Kejahatan kelas A: adalah kejahatan terhadap perdamaian (pasal 5 a)
2.    Kejahatan kelas B: adalah kejahatan perang (pasal 5 b)
3.    Kejahatan kelas C: adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 5 c)

Rumusan/pengertian dari tiga jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Tokyo tersebut mengadopsi rumusan tiga jenis kejahatan sebagaimana tercantum dalam Piagam London (London Charter). Yang berbeda adalah rumusan pengertian kejahatan perang, Piagam Pengadilan Tokyo merumuskannya secara singkat yaitu sebagai pelanggaran terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang.

Perlu diingat bahwa dalam Tokyo Trial ada 11 hakim dan juga 11 Jaksa Penuntut Umum yang kesemuanya ditunjuk oleh Jenderal Doglas Mac Arthur yang mewakili 11 negara, khususnya negara-negara utama sekutu dan negara satelit sekutu di kawasan Asia Pasifik yang mengalami langsung agresi dan kejahatan perang Jepang. Kesebelas hakim tersebut ialah:


1.    Sir William Webb (Australia)
2.    Edward Stuart McDougal (Kanada)
3.    Mei Ju Ao (China)
4.    Hanri Bernard (Perancis)
5.    Rahabinod Pal (India)
6.    Bert Roling (Belanda)
7.    Harvey Norhchroft (Selandia Baru)
8.    Delfin Jaranila (Philipina)
9.    Hon Lord Patrick (Inggris)
10.    John P. Higgins (Amerika)
11.    Zarayanov (Uni Soviet)


Sedang 11 Jaksa Penuntut Umum yang menuntut ke 28 “pesakitan” Jepang itu ialah:


1.    Joseph Keenan (Amerika)
2.    Henry Nolan (Kanda)
3.    Xiang Zhejun (China)
4.    Robert L. Oneto (Perancis)
5.    P. Govinda Menon (India)
6.    Frederick Borgerhoff (Belanda)
7.    Ronald Quilliam (Selandia Baru)
8.    Pedro Lopez (Philipina)
9.    Arthur Comyns (Inggris)
10.    Alan Mansfield (Australia)
11.    Golunsky (Uni     Soviet)


Sebagai Presiden Pengadilan Tokyo dipilih Sir William Webb dari Australia. Sedang ketua Jaksa Penuntut Umum adalah Joseph Keenan dari Amerika.

Pada pokoknya Tokyo Trial tahap pertama mendakwa 28 petinggi Jepang oleh 11 JPU dengan dakwaan;

  1. Telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian berupa perencanaan, permufakatan, dan menjalankan perang agresi terhadap negara-negara sekutu. 
  2. Telah melakukan kejahatan perang yakni mengobarkan perang dunia ke 2 dengan melanggar hukum dan kebiasaan perang. 
  3. Telah melakukan kejahatan kemanusiaan selama perang berlangsung di wilayah-wilayah yang diduduki/dikuasai Jepang, seperti pembantaian, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan perbudakan.

Selain itu JPU juga mengungkapkan bahwa Jepang telah melakukan pembantaian yang begitu keji dan kejam terhadap penduduk Nanking (Ibu Kota China ketika itu) selama 6-8 minggu pendudukan Jepang di Kota tersebut. Lebih dari 350 ribu penduduk Nanking dibantai, disiksa, dan diperkosa oleh tentara Jepang dalam waktu yang tidak begitu lama itu (Desember 1937-Januari 1938). Peristiwa pembantaian Nanking merupakan salah satu tragedi paling berdarah dari perang dunia II di daratan Asia antara Jepang dan China. Secara keseluruhan dilaporkan bahwa jumlah korban tewas penduduk China selama 8 tahun perang (1937-1945)  mencapai 19 juta jiwa.

Selain di China, Jepang juga melakukan sejumlah kejahatan-kejahatan serius lainnya selama Perang Dunia II di negara-negara asia pasifik seperti di Philipina, Malaya, Indonesia, Australia, Birma, dsb. Termasuk juga penyerangan secara mendadak terhadap pengkalan AL Amerika di Pearl Harbour Hawai yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan armada AL AS pada 7 Desember 1941.

Dakwaan yang didakwakan kepada 28 petinggi militer dan pemerintahan Jepang tersebut meliputi 55 tuduhan yang terdiri dari 36 tuduhan kejahatan terhadap perdamaian, 16 tuduhan terkait pembunuhan, dan 3 tuduhan menyangkut kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[2]

Dalam persidangan tahap pertama ini para terdakwa mengajukan sanggahan/eksepsi yang secara garis besarnya adalah:
a.  Tokyo Trial melanggar asas legalitas dengan memberlakukan surut hukum pidana dalam persidangannya. Padahal asas legalitas dan asas tidak berlaku surutnya hukum pidana merupakan asas yang fundamental dari hukum pidana itu sendiri. Dimana kejahatan yang didakwakan kepada para terdakwa adalah kejahatan yang dilakukan sebelum Piagam Pengadilan Tokyo itu dibuat.
b.    Apa yang dilakukan oleh para terdakwa merupakan perintah negara dan oleh karenanya adalah tanggung jawab negara. Bukan tanggung jawab individu.
c.     Pasal 5 Charter of the International Military Tribunal for the far East yang berisi yurisdiksi materiel (kompetensi pengadilan) tidak mencantumkan sanksi pidana sehingga tidak ada alasan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
d.    Para terdakwa menolak semua dakwaan dengan dalih bahwa Jepang bukanlah State Party (negara peserta) Konvensi Den Haag 1907 yang menghasilkan hukum perang mengenai alat dan cara berperang (means and method of war).
Jika dicermati, pada prinsipnya dakwaan JPU maupun sanggahan para terdakwa dalam Tokyo Trial hampir sama dengan dakwaan dan sanggahan pada Nuremberg Trial yang lebih dulu diselenggarakan untuk mengadili penjahat perang Nazi Jerman. Hal ini dapat dimengerti karena pada dasarnya kedua pengadilan ini memiliki karakteristik yang serupa sebagai pengadilan yang dibentuk oleh negara pemenang perang (sekutu) untuk mengadili lawannya yang kalah. Selain itu Nuremberg Trial memberikan landasan sekaligus preseden yang kuat bagi pembentukan dan berlangsungnya Tokyo Trial sehingga wajar saja kalau Tokyo Trial begitu mirip dengan Numemberg Trial. Perbedaan yang paling asasi mungkin hanya terletak pada terdakwanya saja, Nuremberg Trial mengadili penjahat perang Nazi Jerman, sedang Tokyo Trial mengadili pejahat perang Jepang.
Setelah mendengarkan dakwaan JPU, mendengarkan keterangan saksi, dan sanggahan para terdakwa, akhirnya majelis hakim Pengadilan Tokyo memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum (legal opinion) yang secara garis besarnya ialah sebagai berikut:
  1. Pengadilan menilai bahwa prinsip nullum crimen sine lege (asas legalitas) bukanlah suatu prinsip keadilaan melainkan sebuah kebijakan negara untuk melindungi warga negaranya dari kesewenang-wenangan pengadilan. Kebijakan pelarangan terhadap ex post facto law (hukum berlaku surut) tidak terlalu digunakan dalam hubungan internasional.[3]
  2. Jika hukum positif (undang-undang) inkonsistensi dengan keadilan maka keadilanlah yang harus didahulukan;
  3. Kendati pun perbuatan terdakwa adalah legal namun perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan penghukuman perbuatan tersebut. Retroaktif dibenarkan karena prinsip-prinsip keadilan lebih tinggi derajatnya mengalahkan prinsip non retroaktif.
  4. Knowledge of guilt and/or knowledge that action could be subject to later punishment. Artinya bahwa meskipun perbuatan itu legal pada waktu dilakukan, si pelaku sesungguhnya mengetahui bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu salah dan/atau perbuatan itu dapat dijatuhi hukumuan dikemudian hari. 
  5. General principles of justice override existing domestic law. Prinsip ini menyatakan “bahkan jikalau perbuatan itu secara formal dianggap sah menurut rezim hukum sebelumnya, namun perbuatan itu sedemikian tercelanya sehingga sebetulnya menurut rezim hukum sebelumnya itu pun perbuatan itu tidak benar-benar legal karena telah melanggar prinsip-prinsip keadilan. 
  6. Non-retroactivity through re-interpretation of the prior law. Artinya, perbuatan tersebut seharusnya menurut hukum yang berlaku saat itu pun seharusnya telah dihukum karena sedemikian tercelanya. Namun hukum tersebut telah diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut dibiarkan/tidak dihukum.[4]
Yang menarik dari Tokyo Trial ini ialah adanya dissenting opinion dari salah satu hakim, yaitu Hakim Rahabinod Pal dari India. Pal berpendirian bahwa ia menolak pemberlakuan surut hukum pidana dalam Tokyo Trial dan tanggung jawab individu terhadap tindakan negara. Selain itu Pal juga mengkritik tindakan Amerika yang membombardir Jepang, termasuk pengeboman Kota Hirosima dan Nagasaki dengan bom atom yang menewaksan ratusan ribu penduduk sipil pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Setelah mengemukakan pertimbangan hukumnya dengan dissenting opinion dari salah satu hakim anggota, Pengadilan kemudian membacakan putusannya sebagai berikut:
A.      Pidana mati dengan cara digantung terhadap;
1.    Jenderal Doihara Kenji (Kepala Staf AU)
2.    Baron Hirota Koki (Menlu)
3.    Itagaki Seishiro (Menteri Perang)
4.    Jenderal Keimura Heitaro (Komandan Militer Jepang di Birma)
5.    Jenderal Matsui Iwane (Komandan Militer Jepang di China)
6.    Jenderal Muto Akira (Komandan Militer Jepang di Philipina)
7.    Jenderal Tojo Hideki (Komandan Militer Jepang di Kwantung)
B.      Pidana Penjara Seumur Hidup terhadap;
1.      Menteri Araki Sadao (Menteri Angkatan Perang)
2.      Kolonel Hashimoto Kingoro (Penghasut perang)
3.      Hatta Shunroku (Menteri Perang)
4.      Baron Hinamura Kiichiro (Perdana Menteri)
5.      Hoshino Naoki (Kepala Sekretaris Kabinet Jepang)
6.      Marquis Kido Koichi (Penjaga Surat-Surat Rahasia Kekaisaran)
7.      Jenderal Koiso Kuniaki (Gubernur Korea)
8.      Jenderal Minami Jiro (Komandan Pasukan Kwantung)
9.      Laksamana Oka Takasumi (Menteri AL)
10.  Jenderal Oshima Hiroshi (Dubes Jepang untuk Jerman)
11.  Jenderal Sato Kenyro (Kepala Biro Umum Kemiliteran Jepang)
12.  Laksamana Shimada Shigetaro (Menteri AL)
13.  Shiratoti Toshio (Dubes Jepang untuk Italia)
14.  Jenderal Suzuki Teiichi (Menteri Perencanaan Kabinet Jepang)
15.  Kaya Okinori (Penyalur Opium ke China
16.  Jenderal Umezu Yoshijiro (Menteri Perang)

C.      Pidana Penjara 20 Tahun terhadap Togo Shigenori dan Shigemitsu Mamoru.

Sedangkan Matsuoka Yosuke dan Nagano Osami meninggal dunia pada saat pengadilan masih berlangsung. Sementara Okawa Shumei menderita  stroke ketika pengadilan masih berlangsung sehingga ketiganya tidak sempat dijatuhi hukuman oleh Pengadilan.

       Sepintas Tanggapan atas Tokyo Trial

       Dapat dikatakan bahwa Tokyo Trial tidak mendapat dukungan yang antusias dari masyarakat internasional sebagaimana yang terjadi pada Nuremberg Trial. Hal itu sekurang-kurangnya disebabkan karena masyarakat dunia sudah mulai menyadari bahwa Tokyo Trial tidak lebih dari sekedar pengadilan politik bentukan negara pemenang perang terhadap negara yang kalah. 

       Kesadaran ini muncul karena masyarakat internasional mulai membuka mata bahwa sebenarnya kejahatan perang tidak hanya dilakukan oleh Jepang, melainkan dilakukan juga negara-negara sekutu. Bahkan jika kejahatan perang diukur dari banyaknya penduduk sipil yang menjadi korban, pengeboman Kota Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) oleh Amerika yang menewaskan ratusan ribu warga sipil, harusnya dianggap juga sebagai kejahatan perang. Namun kenyataannya hanya petinggi militer dan pemerintahan Jepang sajalah yang diadili.

       Peristiwa pengeboman terdahsyat sepanjang sejarah umat manusia yang dilakukan oleh Amerika itulah yang menjadi sebab kurangnya dukungan masyarakat inernasional terhadap Tokyo Trial.

       Sama seperti Nuremberg Trial, Tokyo Trial pun tidak lain adalah pengadilan politik dimana kepentingan dan ambisi negara pemenanglah yang meretas jalan dibentuknya dua pengadilan internasional itu. Demikian juga dengan tujuannya, dendam politik (political revenge) berupa hasrat untuk mengadili penjahat perang Jepang telah menjadi motif dibalik pembentukan Tokyo Trial. 

       Kendatipun pengadilan ini sarat dengan kepentingan politik negara-negara sekutu. Akan tetapi ada juga baiknya; setidaknya kepentingan dan ambisi negara-negara sekutu untuk memintai pertanggungjawaban petinggi Jepang disalurkan melalui cara dan lembaga yang beradab, yaitu dengan membentuk sebuah pengadilan militer internasional, bukan dengan eine rechting (main hakim sendiri).
      


[1] Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Yogyakarta, 2010, hlm. 71.
[2] Ibid. hlm. 74
[3] Machted Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crimes against Humanity, War Crimes, Intersentia-Oxford, New York, 2001, hlm. 198.
[4] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 78-79.