Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 03 Desember 2012

Perselisihan Hasil Pilkada; Antara Hak Konstitusional Dan Birahi Kekuasaan

       Memutus Perselisihan hasil Pemilu adalah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

       Dalam Pasal 1 UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

        Wewenang MK pada awalnya hanya sebatas memutus sengketa hasil Pemilu, bukan Pemilukada. Pemilukada berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sengketa/perselisihan hasilnya diputus oleh MA.

        Namun pada tahun 2007 dengan terbitnya UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilukada dimasukan dalam rezim Pemilu. Dengan demikian Pemilukada adalah bagian dari Pemilu dan diselenggarakan oleh suatu lembaga penyelenggara Pemilu ditingkat daerah yaitu KPUD Provinsi dan/atau KPUD Kabupaten/Kota. Dengan begitu, maka secara mutatis mutandis Pemilukada termasuk dalam pengertian Pemilu yang disebut dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 (berarti perselisihan hasil Pemilukada menjadi wewenang MK). Untuk kepastian Hukum, melalui pasal 236 C UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, wewenang memutus Perselisihan Hasil Pemilukada beralih dari MA ke MK.

       Perselisihan Hasil Pemilukada (PHPU-D) adalah perselisihan atau sengketa mengenai hasil Pemilukada yang ditetapkan oleh KPUD. Pihak yang dapat menjadi pemohon dalam PHPU-D di MK adalah para pasangan calon peserta Pemilukada yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat penghitungan suara/penetapan pasangan calon terpilih oleh KPUD. Jadi legal standing-nya, pasangan calon yang mempersengketakan hasil Pemilukada ke MK berkedudukan sebagai pemohon dan KPUD sebagai termohon, serta dalam praktek, ada pula pihak yang berkedudukan sebagai turut termohon, yaitu pasangan calon terpilih yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang Pemilukada.

       Dari uraian diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa memperselisihkan atau mempersengketakan hasil Pemilukada di Mahkamah Konstitusi adalah hak konstitusional bagi para pasangan calon peserta Pemilukada. Disebut hak konstitusional karena hak ini dijamin oleh UUD 1945, yaitu pasal 24 C ayat (1). Sebagaimana dapat dipahami dari pemikiran Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983:64-67) bahwa hak konstitusional adalah hak yang diberikan/diatur dalam UUD 1945.

       Namun bagaimana hak konstitusional ini dalam prakteknya dilapangan ? jawabannya sederhana, seperti istilah Jerman yang sangat terkenal “Dass Sollen Das Sein”.  Artinya antara teori dan kenyataan itu kadang berlainan.
Secara teoritis atau normatif, PHPU-D di MK adalah hak konstitusional yang diberikan kepada pasangan calon peserta Pemilukada untuk mencari keadilan karena merasa hak konstitusionalnya untuk terpilih menjadi Kepala Daerah dilanggar oleh KPUD. Namun secara empiris, seringkali hak konstitusional ini hanya dijadikan alibi untuk menyalurkan birahsi kekuasaan yang menggebu-gebu karena tidak terpilih dalam Pemilukada.

       Permasalahan inilah yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam dinamika demokrasi di Indonesia. Hak yang diberikan oleh hukum untuk mencari keadilan dalam PHPU-D, seringkali digunakan sebagai alternatif untuk menjegal pasangan calon yang terpilih. Sekaligus sebagai upaya coba-coba untuk menyalurkan hasrat pemohon yang telah kalah dalam Pemilukada supaya mempunyai kesempatan lagi untuk dapat memenangkan Pemilukada. Oleh karena itu permasalahan ini patutlah disebut sebagai upaya penyaluran birahi kekuasaan secara legal. Legal memang ! Tapi apakah hanya legalitas yang dicari dalam membangun negeri ini ? tentu tidak ! ada aspek-aspek lain yang harus diperhatikan atau bahkan diutamakan daripada aspek legalitas/kepastian hukum, Seperti aspek keadilan, aspek kemanfaatan (yang memberi manfaat/faedah bagi masyarakat), dan aspek ketertiban (yang dapat menciptakan keteraturan dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat).

       Fungsi awal dan mulia hak memperselisihkan hasil Pemilukada yang diamanatkan undang-undang mulai mengalami pergeseran kearah skeptisme, atau dalam bahasa yang lebih lugas “coba-coba”. Coba-coba dengan harapan barangkali Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan permohonannya atau dengan kata lain “dimenangkan”, atau paling tidak, dilakukan Pemungutan Suara Ulang. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam berbagai sosialisasi dan publikasinya gencar mengkampanyekan bahwa MK tidak bisa memenangkan pihak yang seharusnya kalah dan mengalahkan pihak yang seharusnya menang. Namun apa daya, birahi kekuasaan terlanjur mendominasi rasionalitas dan realitas. Segala upaya dilakukan, salah satu tren paling populer adalah dengan bersengketa di MK.

       Keadaan yang demikian dapat dilihat dari data rekapitulasi perkara PHPU-D  di Kepaniteraan MK. Tahun 2010 yang merupakan tahun tersibuk untuk menyelenggarakan Pemilukada, terdapat 244 Pemillukada (baik Pemilihan Gubernur maupun pemilihan Bupati/Walikota) yang diselenggarakan di seluruh Indonesia, 230 diantaranya disengketakan di MK. Bayangkan! berarti hanya ada 14 daerah yang tidak mengalami perselisihan hasil di MK.

        Ironisnya, indikasi bahwa sengketa hasil Pemilukada ini “ di ada-adakan/dipaksakan” sangat terlihat betul didalam proses persidangan. Banyak pasangaan calon peserta Pemilukada selaku pemohon tidak dapat menghadirkan alat bukti yang cukup guna mendukung permohonannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud M.D sebagai ketua MK, bahwa kebanyakan pemohon dalam persidangan PHPU-D tidak dapat membuktikan apa yang ia dalilkan (nihil proba). Mahfud M.D pun menyatakan bahwa sangat kentara sekali adanya indikasi bahwa para pemohon dalam mengajukan permohonan PHPU-D hanya mengedepankan hasrat politik semata, tanpa didukung bukti-bukti yang cukup. Hal ini dapat dilihat dan dicermati dari 230 permohonan PHPU-D di tahun 2010, hanya ada 26 permohonan yang dikabulkan. Artinya hanya ada 1% lebih permohonan saja yang dikabulkan karena alasan-alasan serta buktinya meyakinkan dan diterima oleh MK.

       Paradigma yang demikian sudah sebaiknya ditinggalkan karena akan merugikan dan menambah beban biaya pihak-pihak yang bersangkutan. Seperti biaya untuk membayar jasa kuasa hukum, menghadirkan saksi dari daerah, saksi ahli, akomodasi, dan lain-lain. Sebaliknya, kedewasaan berdemokrasi dan sikap jiwa besar harus ditumbuhkembangkan. Para pasangan calon sedari awal harus menyadari konsekuensi dari pencalonannya, yaitu; kalah atau menang.

       Akan lebih arif rasanya bila pihak yang kalah dan tidak mempunyai cukup bukti untuk bersengketa di MK bersedia mengakui kekalahannya dan segera mengintegrasikan diri untuk ikut serta membangun daerah pasca Pemilukada. Bukan memaksakan kehendak, menuruti birahi kekuasaan untuk menjadi Kepala Daerah dengan bersengketa di MK tanpa didukung bukti yang cukup dan lain-lain persyaratan yang harus dipenuhi dalam suatu permohonan PHPU-D. Sikap yang demikian hanya akan menimbulkan kerugian yang berlipat dan mengesampingkan kepentingan bersama masyarakat daerah.

        Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa perselisihan hasil Pemilukada yang selama ini muncul, kebanyakan hanya dilatarbelakangi oleh birahi kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar