Selayang
Pandang
Salah
satu perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita adalah dilakukannya
perubahan atau amndemen terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan sebanyak empat
kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen UUD 1945 terealisasikan
setelah orde baru tumbang oleh gerakan reformasi pada 21 Mei 1998. Sebelumnya,
kebijakan-kebijkan dan politik hukum orde baru cenderung menskralkan UUD 1945
sehingga hampir mustahil untuk melakukan perubahan terhadapnya, sekalipun
banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman.
Pada
amandemen kedua, Bab VI Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemilihan Kepala Daerah
mengalami perubahan. Sebelumnya bunyi pasal 18 sangat singkat dan tidak terdiri
dari ayat-ayat. Namun setelah amandemen kedua, bunyi pasal 18 berubah, secara
substansial
isinya lebih
banyak dibanding sebelum amandemen.
Pasal
18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kemudian mengubah sistem pemilihan kepala
daerah yang semula dipilih oleh Presiden menjadi dipilih oleh DPRD (1999-2005)
dan saat ini dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Bunyi
pasal 18 ayat (4) sangat memungkinkan timbulnya multi tafsir. Berikut bunyinya
“Gubernur, bupati, dan walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis.”
Kata-kata
“dipilih secara demokratis”
diatas sengaja dicetak dengan huruf besar dan diberi garis bawah karena frasa
inilah yang menimbulkan polemik atau kontroversi mengenai cara pemilihan kepala
daerah, apakah dipilih oleh DPRD atau oleh Presiden, atau oleh rakyat secara
langsung. Pemilihan kepala daerah, baik oleh DPRD, Presiden, atau oleh rakyat
kesemuanya demokratis. Demokrasi tidak harus dilaksanakan melalui Pilkada yang
langsung, pemilihan melalui DPRD dan Presiden pun tetap demokratis karena inti dari
demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Hal ini senada dengan pernyataan Moh. Mahfud M.D dalam sidang pembacaan
putusan pengujian UU No. 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah No.72-73 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa baik pemilukada
langsung maupun tidak langsung, keduanya adalah demokratis karena Pilkada yang
saat ini berlangsung, yaitu Pemilukada langsung hanyalah
penafsiran pembuat undang-undang (DPR bersama Presiden) terhadap pasal 18 ayat
(4) UUD 1945.
Jadi
kesimpulannya, sistem Pemilukada yang saat ini
berlaku, yaitu Pemilukada langsung, masih
mungkin untuk dirubah menjadi Pemilukada tidak langsung.
Dasar hukumnya jelas pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tidak limitatif dan kaku
dalam menentukan sistem Pemilukada. Hal ini bisa
dipahami sebagai bentuk kelelauasaan yang diberikan oleh UUD 1945 bagi pembuat
undang-undang untuk memilih sendiri sistem Pemilukada yang akan
diterapkan, tentunya dengan segala pertimbangan tentang sistem Pemilukada yang mana yang
lebih baik bagi Indonesia, apakah sistem Pemiluakada langsung atau
tidak langsung (perwakilan).
·
Fakta
Kekinian tentang Pemilihan Kepala Daerah
Dasar
hukum sistem Pemilukada yang
saat ini dilakukan secara langsung adalah pasal 24 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”
Sudah
tidak dapat dibantah lagi bahwa sistem pemilukada yang saat ini berlaku banyak
menimbulkan ekses buruk. Seperti merebaknya politik uang (money politic), penghamburan anggaran negara/daerah yang tidak
seimbang dengan kinerja
para kepala daerah, terjadinya konflik horozontal antar pendukung
para pasangan calon, menjamurnya korupsi dan ekses-ekses lainnya.
Masalah
anggaran untuk pemilihan kepala daerah juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Indonesia Corrpution Watch menyatakan
bahwa selama tahun 2010, anggaran yang digunakan untuk Pemilukada adalah
sebesar 3,5 Triliun. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta pada
Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang menelan anggaran daerah sebesar 600 Miliar.
Jumlah itu adalah setara dengan 20% PAD Provinsi Jawa Timur. Bayangkan, 20%
pendapatan asli daerah provinsi Jawa Timur dihabiskan hanya untuk pemilihan
gubernur. Padahal pos-pos belanja daerah lainnya sudah terbuka dan menunggu
suplai yang memadai dari APBD.
Selain
permasalahan anggaran, permasalahan hukum dalam proses Pemilukada pun mewarnai
hampir setiap perhelatan Pemilukada yang digelar di republik ini. Fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa
sebanyak 244 Pemilukada yang berlangsung selama tahun 2010 silam, 230 diantaranya
bersengketa di MK, dan 23 diantaranya dikabulkan. Fakta ini mengindikasikan
bahwa memang ada yang tidak beres dengan Pemilukada di republik tercinta ini.
Tingginya angka sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah ini menunjukan adanya indikasi pelanggaran
dalam proses penghitungan dan penentuan hasil Pemilukada atau bahkan dalam
setiap tahapan Pemilukada,
mulai dari pengumuman pembukaan pendaftaran bakal pasangan calon. Dan patut
diduga bahwa di setiap
ajang Pemilukada disemua daerah diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran dan
kecurangan-kecurangan.
Hal
ini dipertegas oleh Moh. Mahfud MD
selaku ketua MK. Beliau menuturkan bahwa berdasarkan
pengalamannya sejak menjadi Ketua MK, baik pihak penggugat (pihak pasangan
calon kepala daerah) maupun pihak turut tergugat (pihak pasangan calon kepala
daerah lainnya yang biasanya pemenang Pemilukada), keduanya (dalam persidangan MK) sama-sama terbukti
melakukan pelanggaran atau kecurangan, seperti politik uang. Namun beliau
menjelaskan, MK tidak bisa memutus untuk membatalkan hasil Pemikuada yang
diputuskan oleh KPUD jika pelanggaran yang terjadi tidak dilakukan secara
masif, sistematis, terencana, dan struktural.
Fakta
lain yang akan semakin membuat kita miris dengan keadaan negeri ini adalah,
sebanyak 156 kepala daerah hasil Pemilukada dari tahun 2005-2011, terjerat kasus korupsi. Besarnya
anggaran daerah yang digunakan
untuk Pemilukada langsung ternyata tidak berbanding lurus dengan kinerja para
pemimpin daerah tersebut. Dari 156 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi
tersebut, 40 diantaranya sudah berstatus terpidana (terbukti dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap). Dan dari 156 kepala
daerah tersebut, 16 diantaranya adalah gubernur. Artinya hampir setengah dari
pemimpin provinsi diseluruh Indonesia tersangkut kasus korupsi.
Menurut
M. Jassin (wakil ketua KPK), Pemilukada sangat berpotensi melahirkan tindak
pidana korupsi karena ada dua kepentingan yang bertemu disana. korupsi karena
butuh bertemu dengan korupsi karena kepentingan politik untuk mendapatkan kursi
nomor satu didaerah (Corrption by needs
and corrption by political interest).
Penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Paramadina membuktikan bahwa saat ini
masyarakat bukan lagi sebagai objek dari politik uang tetapi sudah menjadi
subjek dari praktek terlarang itu. Artinya, masyarakat bukan lagi sebagai pihak
yang pasif dan diposisikan sebagai pihak yang dikenai tindakan politik uang
(diberi), tetapi sudah menjadi
pihak yang aktif dalam menyuburkan praktek politik uang. Masyarakat enggan
memilih kepala daerah apabila tidak diiming-imingi oleh pemberian uang. Sehingga para
pasangan calon pun harus beradaptasi dengan fenomena
masyarakat yang demikian, yaitu dengan memenuhi hasrat materiil masyarakat.
Akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa pemerintahan yang baik (good governance) akan semakin jauh dari
kenyataan dan akan menjadi utopia (hayalan) belaka.
Konflik
horizontal yang mewarnai headline berbagai media masa, baik cetak maupun
elektronik semakin menambah daftar hitam pelaksanaan Pemilukada langsung saat
ini. Alih-alih masyarakat punya hak untuk memilih kepala daerah dan berhak
mengusung salah satu pasangan calon, masyarakat kubu pendukung calon yang satu
dengan yang lainnya seringkali terlibat konflik fisik. Perpecahan yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat tidak jarang justru diciptakan dan dimobilisasi oleh
pasangan calon tertentu untuk mengamankan posisinya dan merongrong posisi
pasangan calon lain.
Keeadaan-keadaan
yang demikian tentunya sudah diluar batas toleransi dan kelaziman dalam
berdemokrasi. Factum et Objectum
(fakta objektif) tersebut hendaknya mendapat perhatian untuk kemudian diambil
kebijakan yang tepat dan efektif guna menemukan formulasi ketatanegaraan yang
tepat dalam peyelenggaraan sistem Pemilukada. Khususnya pemilihan gubernur,
pasalnya dengan pertimbangan-pertimbangan tentang efektifitas dan efesiensi
penyelenggaran pemerintahan daerah di provinsi, ternyata menunjukan bahwa
urgensi pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat memang perlu ditinjau
ulang. Apakah sudah tepat dan efektif gubernur dipilih secara langsung ataukah
perlu alternatif pemilihan gubernur dengan cara lain selain pemilihan langsung.
·
Opsi
Sistem Pemilihan Gubernur
1.
Pemilihan Gubernur oleh
DPRD
Opsi pemilihan gubernur oleh DPRD
menjadi salah satu alternatif solusi yang banyak diperdebatkan saat ini.
Perkembangan yang aktual dan faktual menunjukan bahwa saat ini Kementrian Dalam
Negeri sedang giat melakukan kajian mendalam terhadap segala opsi yang mungkin
akan dipilih untuk menentukan sistem Pemilukada kedepan. Singkatnya, Kemendagri
sedang merancang sebuah Ius Constiuendum
dibidang Pemerintahan Daerah.
Saat ini, pengaturan tentang pemerintahan
daerah dimuat dalam satu undang-undang, yaitu UU. No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005 dan yang kemudian diubah lagi dengan UU
No.12 Tahun 2008.
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi, kedepan,
UU tentang Pemerintahan Daerah akan dipecah menjadi 3, yaitu tentang
Pemerintahan Daerah, tentang Pemilukada, dan tentang Pemerintahan Desa.
Sehingga diharapkan regulasi tersebut dapat lebih efektif dan akomodtif bagi
daerah-daerah. Tidak lagi bertumpuk pada satu undang-undang seperti saat ini.
Salah satu isu yang sedang dikaji secara
mendalam oleh Kemendagri adalah mengenai sistem Pemilihan Gubernur oleh DPRD.
Asumsi yang digunakan dalam mengusung opsi ini sangat banyak, seperti
penghematan biaya dalam proses pemilihan kepala daerah, mengeleminir atau
paling tidak meminimalisir konflik horizontal, mengakhiri praktek politik uang
yang menjadikan masyarakat akar rumput sebagai tergetnya. Dan alasan-alasan
lain yang kesemuanya merupakan respon
dan evaluasi atas
sistem Pemilihan gubernur secara langsung.
Pemilihan gubernur oleh DPRD bukannya
tidak memiliki kelemahan dan kekuarangan. Pemilihan gubernur oleh DPRD pun
tetap berpeluang untuk terjadinya praktek-praktek yang justru akan mencederai
nilai-nilai demokrasi. Yang paling jelas adalah penghilangan hak masyarakat
daerah untuk memilih pemimpin daerahnya masing-masing. Perlu juga diakui bahwa
disamping banyaknya kelemahan dari Pemilukada langsung saat ini,
masih ada juga nilai-nilai positif dari Pemilukada langsung tersebut.
Seperti adanya legitimasi yang kuat dari
masyarakat lokal terhadap pemerintahan daerahnya, karena pemimpin daerah
lahir dari kehendak mayoritas masyarakat daerah yang bersangkutan.
Selian itu pemilihan gubernur oleh DPRD
pun tidak akan menjamin hilangnya praktek politik uang atau jual beli suara.
Patut dikhawatirkan justru yang terjadi bukan penghilangan praktek politik uang
tetapi hanya pergantian objeknya saja. Jika pada pemilihan gubernur secara
langsung yang menjadi objek politik uang adalah masyarakat luas maka pada
pemilihan gubernur oleh DPRD yang menjadi objek politik uang adalah para
anggota dewan.
Selain itu banyak kalangan yang menilai
pemilihan gubernur oleh DPRD tidak lain merupakan
kemunduran demokrasi. Pemilihan gubernur oleh DPRD memang pernah dilakukan
ketika berlakunya UU No.22 Tahun 1999. Ketika itu pemilihan gubernur pun
ternyata tidak memuaskan sehingga digantilah UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32
Tahun 2004 yang kemudian mengganti pula sistem Pemilukada dari Pemilukada yang
dipilih oleh DPRD (perwakilan) menjadi Pemilukada yang dipilih secara langsung
oleh rakyat didaerah yang bersangkutan.
2.
Pemilihan Gubernur oleh
Presiden
Dalam menelisik opsi pemilihan gubernur
oleh Presiden, maka ada baiknya jika menggunakan pendekatan historis, yaitu
dengan merujuk pada UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di
Daerah. Dalam undang-undang tersebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara
berjenjang, yaitu pertama dipilih dalam forum yang demokratis di DPRD oleh para
anggota DPRD, setelah itu DPRD menentukan calon kepala daerah yang akan
direkomendasikan kepada Presiden untuk dipilih dan diangkat sebagai kepala
daerah oleh Presiden. Calon yang diajukan kepada Presiden adalah calon yang
mendapatkan suara terbanyak 1, 2, dan 3 atau seterusnya sesuai dengan hasil
rapat/voting di DPRD, tetapi paling sedikit harus ada dua calon yang
direkomendasikan kepada Presiden.
Dalam
memilih calon untuk diangkat sebagai kepala daerah, Presiden tidak terikat pada
persentase jumlah suara/ranking calon di DPRD. Jadi bisa saja calon yang
mendapat suara terbanyak di DPRD tidak menjadi kepala daerah karena Presiden
memilih calon yang lain. Singkatnya, kewenangan untuk memilih kepala daerah
adalah hak prerogratif Presiden.
Jika dicermati, sistem yang seperti ini
dirasa lebih dekat dengan konsep
dekonsentrasi yang memang melekat pada wilayah Provinsi. Provinsi sebagai
wilayah dekonsentrasi/administratif berkedudukan sebagai penyelenggara urusan
pemerintah pusat
yang dilimpahkan kepadanya. Kepala daerahnya, gubernur, berkedudukan sebagai
wakil pemerintah pusat. Oleh karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat
dan gubernur juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahannya kepada
Presiden (pasal 37 ayat [1]dan ayat [2] UU No.32 Tahun 2004) maka sudah
sepantasnyalah Presiden yang memilih gubernur. Dengan demikian konsep
dekonsentrasi terlembagakan dengan baik.
Namun apakah pemilihan gubernur oleh
Presiden ini bisa menjamin tercapainya proses demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang baik dan efektif ? tentu jawabannya sangat relatif dan dilematis. Mengapa
relatif dan dilematif ? relatif karena memang teori tidak bisa memberikan
jaminan terciptanya suasana yang diinginkan dalam tataran implementasinya. Namun
bukan hal yang mustahil pula suasana yang diinginkan itu bisa tercapai dengan
menganut suatu teori secara konsekuen dan proporsional.
Jika model
pemilihan
gubernur ini diakomodasi dalam undang-undang Pemilukada nanti, mungkin saja
akan tercipta efektifitas dan efesiensi jika dalam implementasinya benar-benar
memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan disebut dilematis
karena sistem ini pernah berlaku di masa orde baru dan terbukti menciptakan
sistem rantai komando yang kuat dengan corak patronase (mendahulukan ikatan-ikatan
emosional/kekerabatan) dari pusat ke daerah-daerah. Apa implikasinya ?
implikasinya adalah membudayanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dikalangan
pemimpin.
Kewenangan Presiden untuk memilih gubernur juga
dikhawatirkan akan memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden (abius of power) karena begitu besarnya
kewenangan Presiden dalam menentukan nasib daerah. Kekhawatiran ini bukan tidak
beralasan,
karena baik teori maupun prakteknya telah membuktikan bahwa kewenangan yang
terlalu besar akan cenderung untuk disalahgunakan. Dalam hal ini perlu
disertakan pernyataan dari Lord Acton yang sangat melegenda yaitu “Power tends to corrupt and absolute power
tends to corrupt absolutelly”. Artinya, kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan yang besar cenderung menimbulkan korupsi yang lebih besar pula.
3. " Tak Ada Gading yang Tak
Retak"
Seperti istilah “tak ada gading yang tak
retak” alternatif untuk menggagas sistem pemilihan gubernur yang efektif dan
efisien pun memiliki plus minus. Baik, pemilihan gubernur secara langsung, oleh
DPRD, atau oleh Presiden, kesemuanya berpotensi bermasalah dalam
implementasinya.
Tidak ada jaminan salah satu alternatif model pemilihan gubernur
diatas akan membawa Indonesia pada sistem ketatanegaraan yang mapan dan
efektif. Namun juga sebaliknya,
bukan hal yang mustahil jika salah satu dari opsi diatas akan membawa Indonesia
pada kebaikan dan kemapanan demokrasi jika
benar-benar diterapkan nanti.
Akhirnya, tulisan ini memang dimaksdukan
hanya untuk menyajikan sebuah khazanah pengetahuan dan pembelajaran. Bukan untuk
mendogma atau mengaksiomakan salah satu opsi sistem pemilihan gubernur. Semua
penilaian, persepsi, dan pilihan
tentang sistem mana yang lebih ideal bagi Indonesia, penulis kembalikan
kepada pembaca dalam menilai baik buruk, plus minus, kekurangan kelebihan dari
masing-masing opsi.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar