Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 05 Desember 2012

Menggagas Sistem Pemilihan Gubernur yang Efektif



  Selayang Pandang 
Salah satu perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan kita adalah dilakukannya perubahan atau amndemen terhadap UUD 1945. Amandemen dilakukan sebanyak empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen UUD 1945 terealisasikan setelah orde baru tumbang oleh gerakan reformasi pada 21 Mei 1998. Sebelumnya, kebijakan-kebijkan dan politik hukum orde baru cenderung menskralkan UUD 1945 sehingga hampir mustahil untuk melakukan perubahan terhadapnya, sekalipun banyak ketentuan dalam UUD 1945 yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada amandemen kedua, Bab VI Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengalami perubahan. Sebelumnya bunyi pasal 18 sangat singkat dan tidak terdiri dari ayat-ayat. Namun setelah amandemen kedua, bunyi pasal 18 berubah, secara substansial isinya lebih banyak dibanding sebelum amandemen.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen kemudian mengubah sistem pemilihan kepala daerah yang semula dipilih oleh Presiden menjadi dipilih oleh DPRD (1999-2005) dan saat ini dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Bunyi pasal 18 ayat (4) sangat memungkinkan timbulnya multi tafsir. Berikut bunyinya “Gubernur, bupati, dan walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Kata-kata “dipilih secara demokratis diatas sengaja dicetak dengan huruf besar dan diberi garis bawah karena frasa inilah yang menimbulkan polemik atau kontroversi mengenai cara pemilihan kepala daerah, apakah dipilih oleh DPRD atau oleh Presiden, atau oleh rakyat secara langsung. Pemilihan kepala daerah, baik oleh DPRD, Presiden, atau oleh rakyat kesemuanya demokratis. Demokrasi tidak harus dilaksanakan melalui Pilkada yang langsung, pemilihan melalui DPRD dan Presiden pun tetap demokratis karena inti dari demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini senada dengan pernyataan Moh. Mahfud M.D dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah No.72-73 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa baik pemilukada langsung maupun tidak langsung, keduanya adalah demokratis karena Pilkada yang saat ini berlangsung, yaitu Pemilukada langsung hanyalah penafsiran pembuat undang-undang (DPR bersama Presiden) terhadap pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Jadi kesimpulannya, sistem Pemilukada yang saat ini berlaku, yaitu Pemilukada langsung, masih mungkin untuk dirubah menjadi Pemilukada tidak langsung. Dasar hukumnya jelas pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tidak limitatif dan kaku dalam menentukan sistem Pemilukada. Hal ini bisa dipahami sebagai bentuk kelelauasaan yang diberikan oleh UUD 1945 bagi pembuat undang-undang untuk memilih sendiri sistem Pemilukada yang akan diterapkan, tentunya dengan segala pertimbangan tentang sistem Pemilukada yang mana yang lebih baik bagi Indonesia, apakah sistem Pemiluakada langsung atau tidak langsung (perwakilan).

·         Fakta Kekinian tentang Pemilihan Kepala Daerah
Dasar hukum sistem Pemilukada yang saat ini dilakukan secara langsung adalah pasal 24 ayat (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”
Sudah tidak dapat dibantah lagi bahwa sistem pemilukada yang saat ini berlaku banyak menimbulkan ekses buruk. Seperti merebaknya politik uang (money politic), penghamburan anggaran negara/daerah yang tidak seimbang dengan kinerja para kepala daerah, terjadinya konflik horozontal antar pendukung para pasangan calon, menjamurnya korupsi dan ekses-ekses lainnya.
Masalah anggaran untuk pemilihan kepala daerah juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Indonesia Corrpution Watch menyatakan bahwa selama tahun 2010, anggaran yang digunakan untuk Pemilukada adalah sebesar 3,5 Triliun. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang menelan anggaran daerah sebesar 600 Miliar. Jumlah itu adalah setara dengan 20% PAD Provinsi Jawa Timur. Bayangkan, 20% pendapatan asli daerah provinsi Jawa Timur dihabiskan hanya untuk pemilihan gubernur. Padahal pos-pos belanja daerah lainnya sudah terbuka dan menunggu suplai yang memadai dari APBD.
Selain permasalahan anggaran, permasalahan hukum dalam proses Pemilukada pun mewarnai hampir setiap perhelatan Pemilukada yang digelar di republik ini. Fakta yang tidak dapat dibantah adalah bahwa sebanyak 244 Pemilukada yang berlangsung selama tahun 2010 silam, 230 diantaranya bersengketa di MK, dan 23 diantaranya dikabulkan. Fakta ini mengindikasikan bahwa memang ada yang tidak beres dengan Pemilukada di republik tercinta ini. Tingginya angka sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah ini menunjukan adanya indikasi pelanggaran dalam proses penghitungan dan penentuan hasil Pemilukada atau bahkan dalam setiap tahapan Pemilukada, mulai dari pengumuman pembukaan pendaftaran bakal pasangan calon. Dan patut diduga bahwa di setiap ajang Pemilukada disemua daerah diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran dan kecurangan-kecurangan.
Hal ini dipertegas oleh Moh. Mahfud MD selaku ketua MK. Beliau menuturkan bahwa berdasarkan pengalamannya sejak menjadi Ketua MK, baik pihak penggugat (pihak pasangan calon kepala daerah) maupun pihak turut tergugat (pihak pasangan calon kepala daerah lainnya yang biasanya pemenang Pemilukada), keduanya (dalam persidangan MK) sama-sama terbukti melakukan pelanggaran atau kecurangan, seperti politik uang. Namun beliau menjelaskan, MK tidak bisa memutus untuk membatalkan hasil Pemikuada yang diputuskan oleh KPUD jika pelanggaran yang terjadi tidak dilakukan secara masif, sistematis, terencana, dan struktural.
Fakta lain yang akan semakin membuat kita miris dengan keadaan negeri ini adalah, sebanyak 156 kepala daerah hasil Pemilukada dari tahun 2005-2011, terjerat kasus korupsi. Besarnya anggaran daerah yang digunakan untuk Pemilukada langsung ternyata tidak berbanding lurus dengan kinerja para pemimpin daerah tersebut. Dari 156 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi tersebut, 40 diantaranya sudah berstatus terpidana (terbukti dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap). Dan dari 156 kepala daerah tersebut, 16 diantaranya adalah gubernur. Artinya hampir setengah dari pemimpin provinsi diseluruh Indonesia tersangkut kasus korupsi.
Menurut M. Jassin (wakil ketua KPK), Pemilukada sangat berpotensi melahirkan tindak pidana korupsi karena ada dua kepentingan yang bertemu disana. korupsi karena butuh bertemu dengan korupsi karena kepentingan politik untuk mendapatkan kursi nomor satu didaerah (Corrption by needs and corrption by political interest).
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan  Paramadina membuktikan bahwa saat ini masyarakat bukan lagi sebagai objek dari politik uang tetapi sudah menjadi subjek dari praktek terlarang itu. Artinya, masyarakat bukan lagi sebagai pihak yang pasif dan diposisikan sebagai pihak yang dikenai tindakan politik uang (diberi), tetapi sudah menjadi pihak yang aktif dalam menyuburkan praktek politik uang. Masyarakat enggan memilih kepala daerah apabila tidak diiming-imingi oleh pemberian uang. Sehingga para pasangan calon pun harus beradaptasi dengan fenomena masyarakat yang demikian, yaitu dengan memenuhi hasrat materiil masyarakat. Akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa pemerintahan yang baik (good governance) akan semakin jauh dari kenyataan dan akan menjadi utopia (hayalan) belaka.
Konflik horizontal yang mewarnai headline berbagai media masa, baik cetak maupun elektronik semakin menambah daftar hitam pelaksanaan Pemilukada langsung saat ini. Alih-alih masyarakat punya hak untuk memilih kepala daerah dan berhak mengusung salah satu pasangan calon, masyarakat kubu pendukung calon yang satu dengan yang lainnya seringkali terlibat konflik fisik. Perpecahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tidak jarang justru diciptakan dan dimobilisasi oleh pasangan calon tertentu untuk mengamankan posisinya dan merongrong posisi pasangan calon lain.
Keeadaan-keadaan yang demikian tentunya sudah diluar batas toleransi dan kelaziman dalam berdemokrasi. Factum et Objectum (fakta objektif) tersebut hendaknya mendapat perhatian untuk kemudian diambil kebijakan yang tepat dan efektif guna menemukan formulasi ketatanegaraan yang tepat dalam peyelenggaraan sistem Pemilukada. Khususnya pemilihan gubernur, pasalnya dengan pertimbangan-pertimbangan tentang efektifitas dan efesiensi penyelenggaran pemerintahan daerah di provinsi, ternyata menunjukan bahwa urgensi pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat memang perlu ditinjau ulang. Apakah sudah tepat dan efektif gubernur dipilih secara langsung ataukah perlu alternatif pemilihan gubernur dengan cara lain selain pemilihan langsung.

·         Opsi Sistem Pemilihan Gubernur

1.    Pemilihan Gubernur oleh DPRD
Opsi pemilihan gubernur oleh DPRD menjadi salah satu alternatif solusi yang banyak diperdebatkan saat ini. Perkembangan yang aktual dan faktual menunjukan bahwa saat ini Kementrian Dalam Negeri sedang giat melakukan kajian mendalam terhadap segala opsi yang mungkin akan dipilih untuk menentukan sistem Pemilukada kedepan. Singkatnya, Kemendagri sedang merancang sebuah Ius Constiuendum dibidang Pemerintahan Daerah.
Saat ini, pengaturan tentang pemerintahan daerah dimuat dalam satu undang-undang, yaitu UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005 dan yang kemudian diubah lagi dengan UU No.12 Tahun 2008.
Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, kedepan, UU tentang Pemerintahan Daerah akan dipecah menjadi 3, yaitu tentang Pemerintahan Daerah, tentang Pemilukada, dan tentang Pemerintahan Desa. Sehingga diharapkan regulasi tersebut dapat lebih efektif dan akomodtif bagi daerah-daerah. Tidak lagi bertumpuk pada satu undang-undang seperti saat ini.
Salah satu isu yang sedang dikaji secara mendalam oleh Kemendagri adalah mengenai sistem Pemilihan Gubernur oleh DPRD. Asumsi yang digunakan dalam mengusung opsi ini sangat banyak, seperti penghematan biaya dalam proses pemilihan kepala daerah, mengeleminir atau paling tidak meminimalisir konflik horizontal, mengakhiri praktek politik uang yang menjadikan masyarakat akar rumput sebagai tergetnya. Dan alasan-alasan lain yang kesemuanya merupakan respon dan evaluasi atas sistem Pemilihan gubernur secara langsung.
Pemilihan gubernur oleh DPRD bukannya tidak memiliki kelemahan dan kekuarangan. Pemilihan gubernur oleh DPRD pun tetap berpeluang untuk terjadinya praktek-praktek yang justru akan mencederai nilai-nilai demokrasi. Yang paling jelas adalah penghilangan hak masyarakat daerah untuk memilih pemimpin daerahnya masing-masing. Perlu juga diakui bahwa disamping banyaknya kelemahan dari Pemilukada langsung saat ini, masih ada juga nilai-nilai positif dari Pemilukada langsung tersebut. Seperti adanya legitimasi yang kuat dari  masyarakat lokal terhadap pemerintahan daerahnya, karena pemimpin daerah lahir dari kehendak mayoritas masyarakat daerah yang bersangkutan.
Selian itu pemilihan gubernur oleh DPRD pun tidak akan menjamin hilangnya praktek politik uang atau jual beli suara. Patut dikhawatirkan justru yang terjadi bukan penghilangan praktek politik uang tetapi hanya pergantian objeknya saja. Jika pada pemilihan gubernur secara langsung yang menjadi objek politik uang adalah masyarakat luas maka pada pemilihan gubernur oleh DPRD yang menjadi objek politik uang adalah para anggota dewan.
Selain itu banyak kalangan yang menilai pemilihan gubernur oleh DPRD tidak lain merupakan kemunduran demokrasi. Pemilihan gubernur oleh DPRD memang pernah dilakukan ketika berlakunya UU No.22 Tahun 1999. Ketika itu pemilihan gubernur pun ternyata tidak memuaskan sehingga digantilah UU No.22 Tahun 1999 dengan UU No.32 Tahun 2004 yang kemudian mengganti pula sistem Pemilukada dari Pemilukada yang dipilih oleh DPRD (perwakilan) menjadi Pemilukada yang dipilih secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan.

2.    Pemilihan Gubernur oleh Presiden
Dalam menelisik opsi pemilihan gubernur oleh Presiden, maka ada baiknya jika menggunakan pendekatan historis, yaitu dengan merujuk pada UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah. Dalam undang-undang tersebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara berjenjang, yaitu pertama dipilih dalam forum yang demokratis di DPRD oleh para anggota DPRD, setelah itu DPRD menentukan calon kepala daerah yang akan direkomendasikan kepada Presiden untuk dipilih dan diangkat sebagai kepala daerah oleh Presiden. Calon yang diajukan kepada Presiden adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak 1, 2, dan 3 atau seterusnya sesuai dengan hasil rapat/voting di DPRD, tetapi paling sedikit harus ada dua calon yang direkomendasikan kepada Presiden.
Dalam memilih calon untuk diangkat sebagai kepala daerah, Presiden tidak terikat pada persentase jumlah suara/ranking calon di DPRD. Jadi bisa saja calon yang mendapat suara terbanyak di DPRD tidak menjadi kepala daerah karena Presiden memilih calon yang lain. Singkatnya, kewenangan untuk memilih kepala daerah adalah hak prerogratif Presiden.
Jika dicermati, sistem yang seperti ini dirasa lebih dekat dengan  konsep dekonsentrasi yang memang melekat pada wilayah Provinsi. Provinsi sebagai wilayah dekonsentrasi/administratif berkedudukan sebagai penyelenggara urusan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepadanya. Kepala daerahnya, gubernur, berkedudukan sebagai wakil pemerintah pusat. Oleh karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat dan gubernur juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahannya kepada Presiden (pasal 37 ayat [1]dan ayat [2] UU No.32 Tahun 2004) maka sudah sepantasnyalah Presiden yang memilih gubernur. Dengan demikian konsep dekonsentrasi terlembagakan dengan baik.
Namun apakah pemilihan gubernur oleh Presiden ini bisa menjamin tercapainya proses demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan efektif ? tentu jawabannya sangat relatif dan dilematis. Mengapa relatif dan dilematif ? relatif karena memang teori tidak bisa memberikan jaminan terciptanya suasana yang diinginkan dalam tataran implementasinya. Namun bukan hal yang mustahil pula suasana yang diinginkan itu bisa tercapai dengan menganut suatu teori secara konsekuen dan proporsional.
Jika model pemilihan gubernur ini diakomodasi dalam undang-undang Pemilukada nanti, mungkin saja akan tercipta efektifitas dan efesiensi jika dalam implementasinya benar-benar memperhatikan dan mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan disebut dilematis karena sistem ini pernah berlaku di masa orde baru dan terbukti menciptakan sistem rantai komando yang kuat dengan corak patronase (mendahulukan ikatan-ikatan emosional/kekerabatan) dari pusat ke daerah-daerah. Apa implikasinya ? implikasinya adalah membudayanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dikalangan pemimpin.
Kewenangan Presiden untuk memilih gubernur juga dikhawatirkan akan memicu penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden (abius of power) karena begitu besarnya kewenangan Presiden dalam menentukan nasib daerah. Kekhawatiran ini bukan tidak beralasan, karena baik teori maupun prakteknya telah membuktikan bahwa kewenangan yang terlalu besar akan cenderung untuk disalahgunakan. Dalam hal ini perlu disertakan pernyataan dari Lord Acton yang sangat melegenda yaitu “Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutelly”. Artinya, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang besar cenderung menimbulkan korupsi yang lebih besar pula.

3.     " Tak Ada Gading yang Tak Retak"
Seperti istilah “tak ada gading yang tak retak” alternatif untuk menggagas sistem pemilihan gubernur yang efektif dan efisien pun memiliki plus minus. Baik, pemilihan gubernur secara langsung, oleh DPRD, atau oleh Presiden, kesemuanya berpotensi bermasalah dalam implementasinya.
Tidak ada jaminan salah satu alternatif model pemilihan gubernur diatas akan membawa Indonesia pada sistem ketatanegaraan yang mapan dan efektif. Namun juga sebaliknya, bukan hal yang mustahil jika salah satu dari opsi diatas akan membawa Indonesia pada kebaikan dan kemapanan demokrasi jika benar-benar diterapkan nanti.
Akhirnya, tulisan ini memang dimaksdukan hanya untuk menyajikan sebuah khazanah pengetahuan dan pembelajaran. Bukan untuk mendogma atau mengaksiomakan salah satu opsi sistem pemilihan gubernur. Semua penilaian, persepsi, dan pilihan tentang sistem mana yang lebih ideal bagi Indonesia, penulis kembalikan kepada pembaca dalam menilai baik buruk, plus minus, kekurangan kelebihan dari masing-masing opsi.


-          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar