Sejarah
International Criminal Court
Sejarah pembentukan International Criminal Court (ICC)
atau Mahkamah Pidana Internasional telah melalui perjalanan yang panjang. Dirintis sejak tahun 1950
oleh Komisi Hukum Internasional PBB. Ide tentang Mahkamah Pidana Internasional ini mendapat perhatian
serius setelah perang dunia II, dimana tatanan masyarakat dunia ketika itu
mengalami kehancuran yang sangat dahsyat. Terlebih dengan adanya dua pengadilan
internasional yang mengadili para penjahat perang setelah perang dunia II
(walaupun yang diadili hanya pejabat dari negara yang kalah perang).
Pengadilan yang pertama kali berhasil menyeret dan menjatuhkan hukuman bagi
para pelaku kejahatan HAM pasca perang dunia
II adalah Nuremberg Trial
(1945) dan Tokyo Trial (1946).
(1945) dan Tokyo Trial (1946).
Pengadilan Nuremberg ini berawal dari
London Charter (1945). London Charter inilah yang menjadi statuta bagi
Nuremberg Trial sehingga istilah London Charter sering juga
disebut Nuremberg Charter. Mengapa
charter ini dianggap penting dalam hukum pidana internasional ? karena pasal 6
charter ini menegaskan bahwa ada tiga jenis kejahatan internasional yang dapat
diadili oleh Pengadilan
Nuremberg dengan konsep pertanggungjawaban individu, yaitu: kejahatan perdamaian, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan Perang. Charter itu juga
mulai mengadopsi prinsip pertanggungjawaban
individu dihadapan pengadilan internasional.
Istilah
pertanggungjawaban individu yang digagas oleh kedua charter
itu kemudian menjadi sumber hukum internasional. Hal
ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis
Umum PBB No. 95 Tahun 1946 yang meresepsi (menerima) pasal 6 Nuremberg Charter.
Sejak saat itulah individu sebagai pihak dalam pengadilan
internasional/tersangka kejahatan internasional, diakui sebagai subjek hukum
internasional. Artinya, ia mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum
internasional terkait kasus yang menimpanya. Dalam resolusi itu juga ditegaskan
bahwa tidak ada lagi hak imunitas kepala negara atau diplomat dihadapan Pengadilan Pidana Internasional.
Sejarah dan perkembangan awal dari prinsip individual
responsibility dihadapan pengadilan internasional itulah yang
mengilhami sejumlah konvensi-konvensi internasional untuk mengadopsi sistem
pertanggungjawaban individu dalam hal terjadi kejahatan internasional. Misalnya
Konvensi Genosida 1948, Konvensi Jenewa 1949 (hukum
humaniter), Statuta ICTY, dan Statuta ICTR.
Kendatipun telah diadakan beberapa konvensi internasional tentang jaminan
HAM pasca perang dunia ke 2, baik yang melahirkan deklarasi internasional (seperti Universal
Declaration of Human Right 1948), Charter, Statuta, Code, dan masih banyak bentuk
lainnya, namun ternyata di era 90-an, dunia
dihentakan dengan berita kejahatan kemanusiaan yang begitu mengkhawatirkan,
seperti genosida terhadap etnik bangsa atau keagamaan, kejahatan perang dan
lain-lain. Sepertinya konvensi-konvensi internasional itu belum cukup berarti bagi jaminan dan
perlindungan HAM.
Isu
pelanggaran HAM yang menghentakan masyarakat
internasional di era 90-an diantaraya adalah
pelanggaran HAM di Yugoslavia dan Rwanda.
Untuk segera
mengakhiri kejahatan yang terjadi di bekas negara Yugoslavia (ed: Bosnia
Herzegovina dan Serbia) itu kemudian Dewan Keamanan
PBB mengeluarkan Resolusi No. 827 Tahun 1993
yang berisi perintah untuk membentuk sebuah Tribunal
ad hoc di bekas Negara Yugoslavia. Maka melalui resolusi DK PBB yang
mengacu pada bab VII Piagam PBB tersebut, dimana DK PBB
dapat menetapkan keadaan yang mengancan perdamaian dan keamanan dunia, DK
membentuk sebuah International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY). International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia ini kemudian berhasil menyeret mantan Presiden Yugoslavia
Slobodan Milosevic, dan menjatuhkan hukuman terhadapnya.
Begitupun
yang terjadi di Rwanda, DK PBB mengeluarkan Resolusi No. 995 disusul dengan Resolusi No. 997 Tahun 1995 untuk membentuk International Criminal Tribunal for Former
Rwanda. Resolusi itu mengacu pada bab VII piagam PBB yang memberikan
kewenangan kepada DK PBB untuk menentukan keadaan yang mengancam perdamaian dan
keamanan dunia serta mengambil
tindakan untuk itu.
Kedua
Tribunal ad hoc (pengadilan khusus)
itu ternyata semakin membuka mata masyarakat internasional
tentang perlunya suatu mahkamah pidana internasional
yang permanen dan independen untuk mengadili
pelaku kejahatan internasional. Pembentukan pengadilan secara ad hoc seperti ICTY
dan ICTR itu ternyata menghabiskan
energi dan waktu sehingga kurang efektif dalam menghadapi kasus-kasus yang akan
muncul dikemudian hari. Pembentukan pengadilan ad hoc yang berulang-ulang dan insidental, kurang efektif dalam mewujudkan
perlindungan HAM secara universal.
Melalui
serangkaian pembicaraan panjang ditingkat internasional, statuta tentang Internasional Criminal Court ini akhirnya
berhasil disahkan di Roma, Italia, setalah
diadakan konferensi selama 5 minggu oleh delegasi negara-negara yang
mengahadirinya (termasuk Indonesia).
Satuta Roma ini disahkan pada tanggal
17 Juli 1998. Sebanyak 120 negara menandatanginya (termasuk Indonesia), 7 menolak (Amerika Serikat, China, Irak, Israel,
Yaman, Qatar, Libya), dan 21 negara lainnya abstain.
Untuk
berlakunya statuta ini dibutuhkan 60 ratifikasi
dari negara peserta. Syarat tersebut
terpenuhi pada tanggal 11 April 2002 karena pada tanggal tersebut sebanyak 66
negara telah meratifikasi statuta tersebut. Oleh
karenanya ICC mulai bekerja sejak 11 Juli 2002. Maka sejak saat itulah ICC resmi berdiri dan hadir
melengkapi sistem hukum internasional.
Sejak
Maret 2008, tercatat 106 negara telah meratifikasi statuta ICC ini. Sedangkan
Indonesia, sampai saat tulisan ini dibuat, belum juga meratifikasi statuta ICC.
Indonesia tertinggal oleh Kamboja dan Timor Leste dalam meratifikasi statuta
ini. Malah di Timur Tengah, belum ada satu
negara pun yang meratifikasi statuta ICC ini.
Selayang
Pandang tentang International Criminal Court
Statuta ICC
yang berisi 128 Pasal ini menjadi sangat populer dikalangan civitas justicia,
khususnya bidang Hukum Internasional, karena pengaruhnya yang sangat besar, baik ditingkat internasional maupun
ditingkat nasional.
International Criminal Court adalah Mahkamah Pidana
Internasional yang permanen dan independen, yang bekerja menurut asas remedi
domestic, artinya pengadilan ini akan tetap memberikan hak pertama bagi
pengadilan nasional untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan
internasional. Apabila pengadilan nasional tersebut tidak mau atau tidak mampu
melaksanakannya maka barulah mahkamah ini akan bekerja.
Mengenai yurisdiksi materiil dari
mahkamah ini diatur dalam pasal 5 Statuta ICC.
Pasal ini menyebut bahwa Yurisdiksi mahkamah harus
terbatas pada kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional secara keseluruhan. Yang meliputi:
a. Kejahatan kemanusiaan
b. Kejahatan perang
c. Genosida
d. kejahatan agresi
Penerapan dari pengertian
masing-masing jenis kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi mahkamah harus
diterapkan secara ketat dan tidak boleh menggunakan analogi yang menyebabkan
dihukumnya si terdakwa. Hal ini penting agar mahkamah tidak sewenang-wenang dalam
menjalankan yurisdiksinya.
Bagian akhir dari preambule Statuta ICC menegaskan bahwa ICC bersifat komplementer terhadap
pengadilan nasional, artinya melengkapi pengadilan nasional dan akan tetap
menghormati proses hukum di negara yang
bersangkutan. Bukan bersifat substitutif, seperti yang terjadi
pada ICTY dan ICTR, dimana kedua pengadilan itu
mengambil alih wewenang pengadilan nasional untuk mengadili pelaku kejahatan
internasional
Penegasan cara kerja pengadilan yang
bersifat komplementer ini ditegaskan dalam pasal 17 ayat (1) huruf a dan b.
Pasal 17 ini menegaskan non-kompetensi
Mahkamah Pidana Internasional berikut dengan pengecualiannya, yang mana yurisdiksi
Mahkmah akan berlaku melalui ketentuan pengecualian itu.
Berikut kutipan pasal 17 ayat (1)
“Dengan
memperhatikan paragraf 10 Pembukaan dan pasal 1, Mahkamah harus menentukan
bahwa suatu kasus tidak dapat diterima apabila:
(A) kasus ini sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas hal itu, kecuali jika Negara tidak mau atau tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;
(A) kasus ini sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas hal itu, kecuali jika Negara tidak mau atau tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;
(B) kasus tersebut telah diselidiki oleh suatu Negara yang
memiliki yurisdiksi atas dan Negara telah memutuskan untuk tidak menuntut orang
yang bersangkutan, kecuali keputusan yang dihasilkan dari ketidakmauan atau
ketidakmampuan Negara untuk menuntut;
Jelaslah bahwa kedudukan Mahkamah
adalah sebagai last of the last resort
bukan sebagai the first resort.
Mahkamah hanya akan bertindak jika
pengadilan nasional dimana kejahatan terjadi atau pelaku adalah warganegaranya tidak mau atau tidak mampu melakukan penuntutan terhadapnya. Dalam konteks ini
mahkamah tidak mengganggu gugat kedaulatan negara untuk
mengadili pelaku kejahatan internasional sebagaimana dimaksud diatas.
Dalam
hal yang seperti apa Mahkamah berpendapat bahwa pengadilan negara tersebut tidak mau atau
tidak mampu mengadili si pelaku ? pertanyaan ini dijawab oleh pasal 17 ayat (2)
huruf a, b, c dan ayat (3). Berikut kutipan pasal 17:
Ayat (2) "Untuk menentukan
ketidaksediaan dalam kasus tertentu, Mahkamah akan mempertimbangkan, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip yang diakui oleh hukum internasional yang
berlaku, yaitu apabila terdapat satu atau lebih dari hal berikut:
- Proses tersebut sedang dilakukan atau keputusan nasional dibuat untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan di dalam yurisdiksi Pengadilan yang dimaksud dalam pasal 5;
- Terjadi keterlambatan dalam proses yang dalam keadaan tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke pengadilan;
- Proses tidak dilakukan secara independen atau tidak memihak, dan dilakukan dengan cara yang, dalam situasi, tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke pengadilan."
Ayat (3)
"Untuk menentukan ketidakmampuan dalam kasus
tertentu, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah, karena kehancuran total atau
substansial atau tidak tersedianya sistem hukum nasional, Negara tidak mampu
untuk mendapatkan terdakwa atau bukti yang diperlukan dan kesaksian atau tidak
dapat melaksanakan proses."
Jadi dalam hal apa mahakamah
dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili, statuta ini juga memberikan
limitasi, yaitu seperti yang tertuang dalam pasal 17 ayat (2) dan (3)
diatas. Tujuannya jelas, agar tidak terjadi dualisme yurisdiksi pengadilan
terhadap satu kasus.
Yurisdiksi Ratione Temporis (waktu) dari mahkamah ini terbatas pada kajahatan-kejahatan
sebagaimana dimaksud pasal 5 statuta ini yang terjadinya setelah tanggal berlakunya statuta ini yaitu 11 Juli
2002. Hal ini diatur dalam pasal 11. Yurisdiksi mengenai waktu terjadinya
kejahatan ini menegaskan pula asas non retro aktif yang dianut oleh mahkamah,
artinya kejahatan yang dilakukan sebelum tanggal 11 Juli 2002 bukan menjadi
wewenang mahkamah. Jika dikaitkan dengan
bunyi pasal 28 I UUD 1945 yang berbunyi “ Hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut,” maka terdapat kesesuaian antara Statuta ICC dengan UUD 1945 .
Dalam pasal 12 dan 13 Statuta
ICC dijelaskan mengenai Yurisdiksi
Locus (tempat) dari mahkamah. Mahkamah dapat mengadili suatu kasus ketika:
- Kejahatan dilakukan di wilayah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma;
- Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang negaranya telah meratifikasi Statuta Roma;
- Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi mahkamah atas kejahatan tersebu; dan
- Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
Dalam poin 1 sampai
3 terlihat bahwa negara tersebut harus mengakui dan menerima yurisdiksi
mahkamah. Sedangkan pada poin 4, mahakamah dalam melaksanakan yurisdiksinya
tidak perlu mempertimbangkan apakah negara itu mengakui dan telah meratifikasi
Statuta ICC, melainkan mahkamah mempunyai wewenang untuk mengadili kasus yang
terjadi di negara itu atau mengadili warganegaranya, tidak peduli negara itu
negara peratifikasi statuta atau bukan, asalkan usul penuntutan itu berasal
dari resolusi DK PBB.
Berdasarkan
ketentuan diatas, sebenarnya yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berlaku
untuk semua wilayah teritorial negara dan berlaku juga untuk semua warganegara
dari negara manapun. Tetapi memang yang belakangan ini harus melalui usul
investigasi/penyelidikan/penuntutan dari DK PBB. Hal ini menarik untuk disimak,
mengingat disatu sisi mahkamah mempunyai yurisdiksi relatif (hanya kepada
negara peratifikasi atau penerima Statuta ICC) namun disisi lain mahkamah
memliki yurisdiksi absolut (ketika DK PBB mengusulkan suatu kasus untuk ditangani
mahkamah, maka tidak peduli negara apa dan warganegara dari negara mana,
mahkamah berhak mengadili si tertuduh).
Ketentuan menganai
kewenangan mengadili dari mahkamah ini tentu tetap mengacu pada pasal 17
Statuta ini. Ketentuan mana menegaskan bahwa mahkamah hanya dapat bertindak
setelah pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu untuk mengadili. Secara in concreto, jika terjadi suatu
kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi mahkamah, maka kejahatan tersebut akan
dianalisis apakah terjadi di negara peratifikasi ? dan jika terjadi di negara
yang tidak meratifikasi, apakah kejahatan itu
telah diusulkan oleh DK PBB kepada mahkamah untuk diadili ? setelah semua
analisis telah dilakukan dan hasilnya menunjukan bahwa kejahatan itu
masuk dalam yurisdiksi mahkamah, mahkamah
tidak dapat secara langsung melakukan proses hukum terhadap tertuduh, melainkan
harus mengkoordinasikan dengan negara yang bersangkutan untuk melakukan
penuntutan. Setelah hal itu disampaikan kepada negara yang bersangkutan dan
negara tersebut ternyata tidak mau atau tidak mampu melaksanakan pengadilan
terhadap pelaku kejahatan, barulah Mahkamah Pidana Internasional yang akan
mengadilinya.
Inilah yang dinamakan fungsi komplementer dari Mahkamah Pidana Internasional, melengkapi pengadilan nasional. Hak pertama untuk melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap kejahatan tetap dimiliki negara yang bersangkutan. Namun apabila ditemukan unsur Unwiling dan Inability untuk melaksanakan penuntutan terhadap pelaku kejahatan, barulah Mahkamah Pidana Internasional yang akan mengadili. Hal ini membuktikan bahwa Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan sebagai the last of the last resort, bukan the first resort. Sistem yang saling melengkapi dan saling menyokong inilah yang diharapkan akan menghentikan praktek impunitas (lepas/bebas dari hukuman) yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan internasional.
Inilah yang dinamakan fungsi komplementer dari Mahkamah Pidana Internasional, melengkapi pengadilan nasional. Hak pertama untuk melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap kejahatan tetap dimiliki negara yang bersangkutan. Namun apabila ditemukan unsur Unwiling dan Inability untuk melaksanakan penuntutan terhadap pelaku kejahatan, barulah Mahkamah Pidana Internasional yang akan mengadili. Hal ini membuktikan bahwa Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan sebagai the last of the last resort, bukan the first resort. Sistem yang saling melengkapi dan saling menyokong inilah yang diharapkan akan menghentikan praktek impunitas (lepas/bebas dari hukuman) yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan internasional.
Dengan demikian,
upaya investigasi atas kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Mahkmah Pidana
Internasional dapat dilakukan
melalui beberapa cara, yaitu:
- Laporan dari negara dimana kejahatan terjadi/laporan dari korban sendiri
- Diketahui sendiri oleh Jaksa bahwa telah terjadi kejahatan
- Permintaan/usul dari DK PBB
Hukum acara yang
diterapkan dalam rangkaian proses persidangan di Mahkamah Pidana Internasional terlihat
sangat ketat dan beberapa bagian dari hukum acara itu tidak dimiliki oleh hukum
acara pidana Indonesia. Seperti yang terdapat dalam pasal 15 dan 18. Didalam
kedua pasal itu diuraikan bahwa sebelum suatu kasus masuk dalam proses
persidangan di Mahkamah Pidana Internasional, kasus tersebut harus dieksaminasi
oleh majelis Pra Peradilan guna menentukan apakah ada dasar yang memadai untuk dilakukan
penyelidikan oleh Jaksa dan apakah kasus
itu masuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jika Majelis Pra
Peradilan menerima kasus itu maka Jaksa diberi otoritas untuk dapat bertindak
namun jika majelis Pra Peradilan menolak maka sudah barang tentu Jaksa tidak
boleh melakukan penyelidikan.
Jika majelis Pra Peradilan
menerima suatu kasus dan kemudian memberikan otiritas kepada Jaksa untuk
bertindak, kasus itu pun tidak dapat langsung disidangkan di Mahkamah Pidana
Internasional, melainkan Jaksa harus memberitahu negara yang bersangkutan untuk
melakukan investigasi terhadap tertuduh. Dalam waktu satu bulan setelah
pemberitahuan diterima, negara yang bersangkutan memberitahu mahkamah bahwa
investigasi/penyelidikan telah dimulai. Dan untuk itu negara dapat meminta
Jaksa untuk menunda penyelidikan dan mendahulukan yurisdiksi pengadilan nasional
untuk megadili si pelaku kejahatan.
Penangguhan penyelidikan
Jaksa dapat ditinjau kembali setelah 6 bulan dari tanggal penangguhan atau
setiap saat jika ada perubahan yang signifikan yang menunjukan bahwa negara
tersebut tidak mampu atau tidak mau mengadili si pelaku. Ketika penangguhan
berlangsung, negara yang bersangkutan secara berkala menginformasikan kepada
jaksa
ICC mengenai kemajuan
penyidikan atau penuntutan atau proses apapun selanjutnya. Jaksa dapat meminta
informasi itu dan negara wajib menanggapi permintaan itu.
Dalam proses seperti yang diuraikan diatas muncul
kesan bahwa mulai terjadi dualisme proses hukum terhadap kejahatan tersebut.
Disatu sisi negara selalu mempunyai hak pertama dan terdepan untuk melakukan
penuntutan terhadap kejahatan tetapi disisi lain ada hal-hal dimana negara
diharuskan memberikan ruang kepada
pihak asing untuk turut serta dalam penegakan hukum terhadap kasus yang dimaksud. Mungkin inilah
salah satu elemen yang menimbulkan konteroversi keberadaan Mahkamah Pidana
Internasional, yaitu asumsi yang berpendepat bahwa Mahkamah Pidana
Internasional melanggar kedaulatan negara.
Satu hal yang penting yang
tidak boleh luput dari kajian mengenai
Pengadilan Pidana Internasional adalah Individual
Responsibility (pertanggungjawaban individu). Sebagaimana ditegaskan
melalui pasal 25 Statuta ICC:
- Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas orang pribadi sesuai dengan Statuta ini.
- Seseorang yang melakukan kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah harus bertanggung jawab secara individu dan dikenakan hukuman sesuai dengan Statuta ini.
Pertanggungjawaban individu
ini menjadi penting karena inilah salah satu perbedaan yang paling asasi antara
Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pembedaan antara dua pengadilan
ini penting untuk dipahami karena memang wilayah yurisdiksi masing-masing
pengadilan ini berbeda. Jika pihak dalam Mahkamah Pidana Internasional adalah individu
(person entity) yang mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara individual, maka pihak pada Mahakamah
Internasional adalah entitas negara (state
entity).
Praktek impunitas yang selama
ini berlangsung dan dinikmati para pelaku kejahatan HAM akan sirna dihadapan
Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah ini,
berdasarkan pasal 27 Statuta ICC,
menganut asas equality before the law dan
asas Irelevance Official Capacity.
Artinya setiap orang diperlakukan sama dihadapan hukum dan tidak mengenal
kapasitas (jabatan) resmi
seseorang.
Jika
diamati, memang banyak kejahatan/pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kekuasaan di negaranya masing-masing dan mereka
tak terjamah oleh hukum serta menikmati
impunitas atas kejahatan yang mereka lakukan karena mereka mempunyai imunitas
atau kekebalan terhadap hukum. Dapat dibayangkan betapa eratnya korelasi antara
imunitas dengan impunitas ini, seseorang dengan kekuasaan politik akan
mendapatkan hak imunitas dan oleh karenanya
kejahatan yang mereka lakukan selama ini sulit untuk diadili.
Namun
kita perlu bersyukur karena saat ini hukum internasional telah mengalami perkembangan yang progresif, sehingga dengan berlakunya
pertanggungjawaban individu dan mentahnya hak imunitas dihadapan Mahkamah
Pidana Internasional, diharapkan penegakan HAM akan menjadi efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar