Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Minggu, 09 Desember 2012

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)



Sejarah International Criminal Court
   Sejarah pembentukan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional telah melalui perjalanan yang panjang. Dirintis sejak tahun 1950 oleh Komisi Hukum Internasional PBB. Ide tentang  Mahkamah Pidana Internasional ini mendapat perhatian serius setelah perang dunia II, dimana tatanan masyarakat dunia ketika itu mengalami kehancuran yang sangat dahsyat. Terlebih dengan adanya dua pengadilan internasional yang mengadili para penjahat perang setelah perang dunia II (walaupun yang diadili hanya pejabat dari negara yang kalah perang).
    Pengadilan yang pertama kali berhasil menyeret dan menjatuhkan hukuman bagi para pelaku kejahatan HAM pasca perang dunia II adalah Nuremberg Trial
(1945) dan Tokyo Trial (1946).
    Pengadilan Nuremberg ini berawal dari London Charter (1945). London Charter inilah yang menjadi statuta bagi Nuremberg Trial sehingga istilah London Charter sering juga disebut Nuremberg Charter. Mengapa charter ini dianggap penting dalam hukum pidana internasional ? karena pasal 6 charter ini menegaskan bahwa ada tiga jenis kejahatan internasional yang dapat diadili oleh Pengadilan Nuremberg dengan konsep pertanggungjawaban individu, yaitu: kejahatan perdamaian, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan Perang. Charter itu juga mulai mengadopsi prinsip pertanggungjawaban individu dihadapan pengadilan internasional.
    Istilah pertanggungjawaban individu yang digagas oleh kedua charter itu kemudian menjadi sumber hukum internasional. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 95 Tahun 1946 yang meresepsi (menerima) pasal 6 Nuremberg Charter. Sejak saat itulah individu sebagai pihak dalam pengadilan internasional/tersangka kejahatan internasional, diakui sebagai subjek hukum internasional. Artinya, ia mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional terkait kasus yang menimpanya. Dalam resolusi itu juga ditegaskan bahwa tidak ada lagi hak imunitas kepala negara atau diplomat dihadapan Pengadilan Pidana Internasional.
    Sejarah dan perkembangan awal dari prinsip individual responsibility dihadapan pengadilan internasional itulah yang mengilhami sejumlah konvensi-konvensi internasional untuk mengadopsi sistem pertanggungjawaban individu dalam hal terjadi kejahatan internasional. Misalnya Konvensi Genosida 1948, Konvensi Jenewa 1949 (hukum humaniter), Statuta ICTY, dan Statuta ICTR.
       Kendatipun telah diadakan beberapa konvensi internasional tentang jaminan HAM pasca perang dunia ke 2, baik yang melahirkan deklarasi internasional (seperti Universal Declaration of Human Right 1948), Charter, Statuta, Code, dan masih banyak bentuk lainnya, namun ternyata di era 90-an, dunia dihentakan dengan berita kejahatan kemanusiaan yang begitu mengkhawatirkan, seperti genosida terhadap etnik bangsa atau keagamaan, kejahatan perang dan lain-lain. Sepertinya konvensi-konvensi internasional itu belum cukup berarti bagi jaminan dan perlindungan HAM.
    Isu pelanggaran HAM yang menghentakan masyarakat internasional di era 90-an diantaraya adalah pelanggaran HAM di Yugoslavia dan Rwanda.
    Untuk segera mengakhiri kejahatan yang terjadi di bekas negara Yugoslavia (ed: Bosnia Herzegovina dan Serbia) itu kemudian Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 827 Tahun 1993 yang berisi perintah untuk membentuk sebuah Tribunal ad hoc di bekas Negara Yugoslavia. Maka melalui resolusi DK PBB yang mengacu pada bab VII Piagam PBB tersebut, dimana DK PBB dapat menetapkan keadaan yang mengancan perdamaian dan keamanan dunia, DK membentuk sebuah International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY). International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ini kemudian berhasil menyeret mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, dan menjatuhkan hukuman terhadapnya.
      Begitupun yang terjadi di Rwanda, DK PBB mengeluarkan Resolusi No. 995 disusul dengan Resolusi No. 997 Tahun 1995 untuk membentuk International Criminal Tribunal for Former Rwanda. Resolusi itu mengacu pada bab VII piagam PBB yang memberikan kewenangan kepada DK PBB untuk menentukan keadaan yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia serta mengambil tindakan untuk itu.
      Kedua Tribunal ad hoc (pengadilan khusus) itu ternyata semakin membuka mata masyarakat internasional tentang perlunya suatu mahkamah pidana internasional yang permanen dan independen untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Pembentukan pengadilan secara ad hoc seperti ICTY dan ICTR itu ternyata menghabiskan energi dan waktu sehingga kurang efektif dalam menghadapi kasus-kasus yang akan muncul dikemudian hari. Pembentukan pengadilan ad hoc yang berulang-ulang dan insidental, kurang efektif dalam mewujudkan perlindungan HAM secara universal.
      Melalui serangkaian pembicaraan panjang ditingkat internasional, statuta tentang Internasional Criminal Court ini akhirnya berhasil disahkan di Roma, Italia, setalah diadakan konferensi selama 5 minggu oleh delegasi negara-negara yang mengahadirinya (termasuk Indonesia).
      Satuta Roma ini disahkan pada tanggal 17 Juli 1998. Sebanyak 120 negara menandatanginya (termasuk Indonesia), 7 menolak (Amerika Serikat, China, Irak, Israel, Yaman, Qatar, Libya), dan 21 negara lainnya abstain.
      Untuk berlakunya statuta ini dibutuhkan 60 ratifikasi dari negara peserta. Syarat tersebut terpenuhi pada tanggal 11 April 2002 karena pada tanggal tersebut sebanyak 66 negara telah meratifikasi statuta tersebut. Oleh karenanya ICC mulai bekerja sejak 11 Juli 2002. Maka sejak saat itulah ICC resmi berdiri dan hadir melengkapi sistem hukum internasional.
       Sejak Maret 2008, tercatat 106 negara telah meratifikasi statuta ICC ini. Sedangkan Indonesia, sampai saat tulisan ini dibuat, belum juga meratifikasi statuta ICC. Indonesia tertinggal oleh Kamboja dan Timor Leste dalam meratifikasi statuta ini. Malah di Timur Tengah, belum ada satu negara pun yang meratifikasi statuta ICC ini.

Selayang Pandang tentang International Criminal Court
Statuta ICC yang berisi 128 Pasal ini menjadi sangat populer dikalangan civitas justicia, khususnya bidang Hukum Internasional, karena pengaruhnya yang sangat besar, baik ditingkat internasional maupun ditingkat nasional.
 International Criminal Court adalah Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dan independen, yang bekerja menurut asas remedi domestic, artinya pengadilan ini akan tetap memberikan hak pertama bagi pengadilan nasional untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan internasional. Apabila pengadilan nasional tersebut tidak mau atau tidak mampu melaksanakannya maka barulah mahkamah ini akan bekerja.
Mengenai yurisdiksi materiil dari mahkamah ini diatur dalam pasal 5 Statuta ICC. Pasal ini menyebut bahwa Yurisdiksi mahkamah harus terbatas pada kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Yang meliputi:   
a. Kejahatan kemanusiaan
b. Kejahatan perang
c. Genosida
 d. kejahatan agresi
Penerapan dari pengertian masing-masing jenis kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi mahkamah harus diterapkan secara ketat dan tidak boleh menggunakan analogi yang menyebabkan dihukumnya si terdakwa. Hal ini penting agar mahkamah tidak sewenang-wenang dalam menjalankan yurisdiksinya.
Bagian akhir dari preambule Statuta ICC menegaskan bahwa ICC bersifat komplementer terhadap pengadilan nasional, artinya melengkapi pengadilan nasional dan akan tetap menghormati proses hukum di negara yang bersangkutan. Bukan bersifat substitutif, seperti yang terjadi pada ICTY dan ICTR, dimana kedua pengadilan itu mengambil alih wewenang pengadilan nasional untuk mengadili pelaku kejahatan internasional
Penegasan cara kerja pengadilan yang bersifat komplementer ini ditegaskan dalam pasal 17 ayat (1) huruf a dan b. Pasal 17 ini menegaskan non-kompetensi Mahkamah Pidana Internasional berikut dengan pengecualiannya, yang mana yurisdiksi Mahkmah akan berlaku melalui ketentuan pengecualian itu.
Berikut kutipan pasal 17 ayat (1)
Dengan memperhatikan paragraf 10 Pembukaan dan pasal 1, Mahkamah harus menentukan bahwa suatu kasus tidak dapat diterima apabila:
     (A) kasus ini sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas hal itu, kecuali jika Negara tidak mau atau tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;
     (B) kasus tersebut telah diselidiki oleh suatu Negara yang memiliki yurisdiksi atas dan Negara telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali keputusan yang dihasilkan dari ketidakmauan atau ketidakmampuan Negara untuk menuntut;

      Jelaslah bahwa kedudukan Mahkamah adalah sebagai last of the last resort bukan sebagai the first resort. Mahkamah hanya akan bertindak jika pengadilan nasional dimana kejahatan terjadi atau pelaku adalah warganegaranya tidak mau atau tidak mampu melakukan penuntutan terhadapnya. Dalam konteks ini mahkamah tidak mengganggu gugat kedaulatan negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional sebagaimana dimaksud diatas.
     Dalam hal yang seperti apa Mahkamah berpendapat bahwa pengadilan negara tersebut tidak mau atau tidak mampu mengadili si pelaku ? pertanyaan ini dijawab oleh pasal 17 ayat (2) huruf a, b, c dan ayat (3). Berikut kutipan pasal 17:
  Ayat (2) "Untuk menentukan ketidaksediaan dalam kasus tertentu, Mahkamah akan mempertimbangkan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang diakui oleh hukum internasional yang berlaku, yaitu apabila terdapat satu atau lebih dari hal berikut:
  1. Proses tersebut sedang dilakukan atau keputusan nasional dibuat untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan di dalam yurisdiksi Pengadilan yang dimaksud dalam pasal 5;
  2. Terjadi keterlambatan dalam proses yang dalam keadaan tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke pengadilan;
  3. Proses tidak dilakukan secara independen atau tidak memihak, dan dilakukan dengan cara yang, dalam situasi, tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke pengadilan."
 Ayat (3) "Untuk menentukan ketidakmampuan dalam kasus tertentu, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah, karena kehancuran total atau substansial atau tidak tersedianya sistem hukum nasional, Negara tidak mampu untuk mendapatkan terdakwa atau bukti yang diperlukan dan kesaksian atau tidak dapat melaksanakan proses."
Jadi dalam hal apa mahakamah dapat melaksanakan kewenangannya untuk mengadili, statuta ini juga memberikan limitasi, yaitu seperti yang tertuang dalam pasal 17 ayat (2) dan (3) diatas. Tujuannya jelas, agar tidak terjadi dualisme yurisdiksi pengadilan terhadap satu kasus.
Yurisdiksi Ratione Temporis (waktu) dari mahkamah ini terbatas pada kajahatan-kejahatan sebagaimana dimaksud pasal 5 statuta ini yang terjadinya setelah tanggal berlakunya statuta ini yaitu 11 Juli 2002. Hal ini diatur dalam pasal 11. Yurisdiksi mengenai waktu terjadinya kejahatan ini menegaskan pula asas non retro aktif yang dianut oleh mahkamah, artinya kejahatan yang dilakukan sebelum tanggal 11 Juli 2002 bukan menjadi wewenang mahkamah. Jika dikaitkan dengan bunyi pasal 28 I UUD 1945 yang berbunyi “ Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,” maka terdapat kesesuaian antara Statuta ICC dengan UUD 1945 .
Dalam pasal 12 dan 13 Statuta ICC dijelaskan mengenai Yurisdiksi Locus (tempat) dari mahkamah. Mahkamah dapat mengadili suatu kasus ketika:
  1. Kejahatan dilakukan di wilayah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma;
  2.  Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang negaranya telah meratifikasi Statuta Roma;
  3. Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi mahkamah atas kejahatan tersebu; dan
  4. Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
Dalam poin 1 sampai 3 terlihat bahwa negara tersebut harus mengakui dan menerima yurisdiksi mahkamah. Sedangkan pada poin 4, mahakamah dalam melaksanakan yurisdiksinya tidak perlu mempertimbangkan apakah negara itu mengakui dan telah meratifikasi Statuta ICC, melainkan mahkamah mempunyai wewenang untuk mengadili kasus yang terjadi di negara itu atau mengadili warganegaranya, tidak peduli negara itu negara peratifikasi statuta atau bukan, asalkan usul penuntutan itu berasal dari resolusi DK PBB.
Berdasarkan ketentuan diatas, sebenarnya yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berlaku untuk semua wilayah teritorial negara dan berlaku juga untuk semua warganegara dari negara manapun. Tetapi memang yang belakangan ini harus melalui usul investigasi/penyelidikan/penuntutan dari DK PBB. Hal ini menarik untuk disimak, mengingat disatu sisi mahkamah mempunyai yurisdiksi relatif (hanya kepada negara peratifikasi atau penerima Statuta ICC) namun disisi lain mahkamah memliki yurisdiksi absolut (ketika DK PBB mengusulkan suatu kasus untuk ditangani mahkamah, maka tidak peduli negara apa dan warganegara dari negara mana, mahkamah berhak mengadili si tertuduh).
Ketentuan menganai kewenangan mengadili dari mahkamah ini tentu tetap mengacu pada pasal 17 Statuta ini. Ketentuan mana menegaskan bahwa mahkamah hanya dapat bertindak setelah pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu untuk mengadili. Secara in concreto, jika terjadi suatu kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi mahkamah, maka kejahatan tersebut akan dianalisis apakah terjadi di negara peratifikasi ? dan jika terjadi di negara yang tidak meratifikasi, apakah kejahatan itu telah diusulkan oleh DK PBB kepada mahkamah untuk diadili ? setelah semua analisis telah dilakukan dan hasilnya menunjukan bahwa kejahatan itu masuk dalam yurisdiksi mahkamah, mahkamah tidak dapat secara langsung melakukan proses hukum terhadap tertuduh, melainkan harus mengkoordinasikan dengan negara yang bersangkutan untuk melakukan penuntutan. Setelah hal itu disampaikan kepada negara yang bersangkutan dan negara tersebut ternyata tidak mau atau tidak mampu melaksanakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan, barulah Mahkamah Pidana Internasional yang akan mengadilinya. 
Inilah yang dinamakan fungsi komplementer dari Mahkamah Pidana Internasional, melengkapi pengadilan nasional. Hak pertama untuk melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap kejahatan tetap dimiliki negara yang bersangkutan. Namun apabila ditemukan unsur Unwiling dan Inability untuk melaksanakan penuntutan terhadap pelaku kejahatan, barulah Mahkamah Pidana Internasional yang akan mengadili. Hal ini membuktikan bahwa Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan sebagai the last of the last resort, bukan the first resort. Sistem yang saling melengkapi dan saling menyokong inilah yang diharapkan akan menghentikan praktek impunitas (lepas/bebas dari hukuman) yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan internasional.
Dengan demikian, upaya investigasi atas kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Mahkmah Pidana Internasional dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
  1. Laporan dari negara dimana kejahatan terjadi/laporan dari korban sendiri
  2. Diketahui sendiri oleh Jaksa bahwa telah terjadi kejahatan
  3. Permintaan/usul dari DK PBB
Hukum acara yang diterapkan dalam rangkaian proses persidangan di Mahkamah Pidana Internasional terlihat sangat ketat dan beberapa bagian dari hukum acara itu tidak dimiliki oleh hukum acara pidana Indonesia. Seperti yang terdapat dalam pasal 15 dan 18. Didalam kedua pasal itu diuraikan bahwa sebelum suatu kasus masuk dalam proses persidangan di Mahkamah Pidana Internasional, kasus tersebut harus dieksaminasi oleh majelis Pra Peradilan guna menentukan apakah ada dasar yang memadai untuk dilakukan penyelidikan oleh Jaksa dan  apakah kasus itu masuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jika Majelis Pra Peradilan menerima kasus itu maka Jaksa diberi otoritas untuk dapat bertindak namun jika majelis Pra Peradilan menolak maka sudah barang tentu Jaksa tidak boleh melakukan penyelidikan.
Jika majelis Pra Peradilan menerima suatu kasus dan kemudian memberikan otiritas kepada Jaksa untuk bertindak, kasus itu pun tidak dapat langsung disidangkan di Mahkamah Pidana Internasional, melainkan Jaksa harus memberitahu negara yang bersangkutan untuk melakukan investigasi terhadap tertuduh. Dalam waktu satu bulan setelah pemberitahuan diterima, negara yang bersangkutan memberitahu mahkamah bahwa investigasi/penyelidikan telah dimulai. Dan untuk itu negara dapat meminta Jaksa untuk menunda penyelidikan dan mendahulukan yurisdiksi pengadilan nasional untuk megadili si pelaku kejahatan.
Penangguhan penyelidikan Jaksa dapat ditinjau kembali setelah 6 bulan dari tanggal penangguhan atau setiap saat jika ada perubahan yang signifikan yang menunjukan bahwa negara tersebut tidak mampu atau tidak mau mengadili si pelaku. Ketika penangguhan berlangsung, negara yang bersangkutan secara berkala menginformasikan kepada jaksa ICC mengenai kemajuan penyidikan atau penuntutan atau proses apapun selanjutnya. Jaksa dapat meminta informasi itu dan negara wajib menanggapi permintaan itu.
Dalam proses seperti yang diuraikan diatas muncul kesan bahwa mulai terjadi dualisme proses hukum terhadap kejahatan tersebut. Disatu sisi negara selalu mempunyai hak pertama dan terdepan untuk melakukan penuntutan terhadap kejahatan tetapi disisi lain ada hal-hal dimana negara diharuskan memberikan ruang kepada pihak asing untuk turut serta dalam penegakan hukum terhadap kasus yang dimaksud. Mungkin inilah salah satu elemen yang menimbulkan konteroversi keberadaan Mahkamah Pidana Internasional, yaitu asumsi yang berpendepat bahwa Mahkamah Pidana Internasional melanggar kedaulatan negara.
Satu hal yang penting yang tidak boleh luput dari kajian mengenai Pengadilan Pidana Internasional adalah Individual Responsibility (pertanggungjawaban individu). Sebagaimana ditegaskan melalui pasal 25 Statuta ICC:
  1. Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas orang pribadi sesuai dengan Statuta ini.
  2. Seseorang yang melakukan kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah harus bertanggung  jawab secara individu dan dikenakan hukuman sesuai dengan Statuta ini.
Pertanggungjawaban individu ini menjadi penting karena inilah salah satu perbedaan yang paling asasi antara Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pembedaan antara dua pengadilan ini penting untuk dipahami karena memang wilayah yurisdiksi masing-masing pengadilan ini berbeda. Jika pihak dalam Mahkamah Pidana Internasional adalah individu (person entity) yang mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individual,  maka pihak pada Mahakamah Internasional adalah entitas negara (state entity).
Praktek impunitas yang selama ini berlangsung dan dinikmati para pelaku kejahatan HAM akan sirna dihadapan Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah ini, berdasarkan pasal 27 Statuta ICC, menganut asas equality before the law dan asas Irelevance Official Capacity. Artinya setiap orang diperlakukan sama dihadapan hukum dan tidak mengenal kapasitas (jabatan) resmi seseorang.
Jika diamati, memang banyak kejahatan/pelanggaran berat HAM yang  dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kekuasaan di negaranya masing-masing dan mereka tak terjamah oleh hukum serta menikmati impunitas atas kejahatan yang mereka lakukan karena mereka mempunyai imunitas atau kekebalan terhadap hukum. Dapat dibayangkan betapa eratnya korelasi antara imunitas dengan impunitas ini, seseorang dengan kekuasaan politik akan mendapatkan hak imunitas dan oleh karenanya kejahatan yang mereka lakukan selama ini sulit untuk diadili.
Namun kita perlu bersyukur karena saat ini hukum internasional telah mengalami perkembangan yang progresif, sehingga dengan berlakunya pertanggungjawaban individu dan mentahnya hak imunitas dihadapan Mahkamah Pidana Internasional, diharapkan penegakan HAM akan menjadi efektif.

           


           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar