Pengaturan dasar tentang Pemilu
diatur dalam pasal 22 E UUD 1945. Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyebutkan
bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”
Untuk melaksanakan lebih lanjut
ketentuan undang-undang dasar diatas dibentuklah UU No.22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Menurut undang-undang tersebut, sifat mandiri menegaskan
KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan umum bebas dari pengaruh
pihak mana pun.
Jadi makna dan maksud dari kata-kata
“mandiri” berarti KPU harus bersifat bebas (independen) dari pengaruh dan
intervensi pihak mana pun. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemilu
dapat berjalan secara jujur dan adil tanpa ada intervensi kekuasaan mana pun,
sehingga diharapkan pemilu tersebut menghasilkan satu rezim kepemimpinan bangsa
yang legal dan legitimate. Legal karena dihasilkan melalui pemilu yang jujur dan
adil serta konstitusional. Legitimate
(dipercaya) karena merupakan hasil pilihan rakyat yang disalurkan melalui
penyelenggaraan pemilihan umum yang baik dan akuntabel.
Mengenai penyelenggaraan pemilu yang
harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain, Prof. Jimly Asshidiqqie berpendapat
bahwa penyelenggara Pemilu harus bersifat netral dan tidak boleh memihak. KPU
tidak boleh dikendalikan oleh Parpol ataupun oleh pejabat negara yang
mencerminkan kepentingan Parpol atau peserta atau calon peserta Pemilu. Parpol
mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan keputusan-keputusan
yang akan diambil oleh KPU. Oleh karenanya KPU harus terbebas dari kemungkinan
pengaruh mereka itu. (Asshidiqqie, 2009:427).
Namun demikian, uraian tentang kemandirian
dan netralitas yang seharusnya dimiliki oleh KPU seperti yang dipaparkan
diatas, kini dihadapkan pada sebuah tantangan dan pertanyaan besar “Qou Vadis
Sistem Penyelenggaraan Pemilu” atau hendak dibawa kemana sistem penyelenggaraan
pemilu ? karena berdasarkan RUU Penyelenggara Pemilu (yang akan mengganti UU
No.22 tahun 2007) yang baru saja disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah
(Selasa 20 September 2011), anggota Parpol diperbolehkan mendaftarkan diri
menjadi calon anggota KPU dengan syarat harus mengundurkan diri dari Parpolnya.
Ketentuan
dalam RUU itu kontradiktif dan dapat dikatakan sebagai kemunduran dari ketentuan
dalam dalam Pasal 11 huruf i UU No.22 Tahun 2007 yang justru mencerminkan semangat
independesni dan netralitas KPU. Menurut UU No.22 Tahun 2007, syarat untuk
dapat mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU ialah tidak pernah menjadi
anggota Parpol atau tidak lagi menjadi anggota Parpol dalam lima tahun
terakhir. Hal yang sangat berbeda dengan RUU yang akan segera disahkan menjadi
undang-undang seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tidak hanya diperbolehkan menjadi
anggota KPU, anggota Parpol pun dapat mendaftarkan diri menjadi calon anggota
Bawaslu dengan syarat mengundurkan diri dari parpolnya sejak saat ia
mendaftarkan diri menjadi calon anggota Bawaslu. Padahal dalam pasal 86 huruf i
UU No.22 Tahun 2007, syarat untuk dapat
mendaftarkan diri menjadi calon anggota Bawaslu ialah tidak pernah menjadi
anggota Parpol atau tidak lagi menjadi anggota Parpol dalam lima tahun
terakhir.
Disamping
diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota KPU atau Bawaslu, berdasarkan RUU
yang akan menggantikan UU No.22 Tahun 2007 tersebut, komposisi Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga berisi wakil Parpol yang mendapat kursi di
senayan (DPR). Masing-masing Parpol akan mendudukan satu orang perwakilannya di
DKPP. Padahal dalam UU No.22 Tahun 2007, baik Badan Kehormatan KPU maupun Badan
Kehormatan Bawaslu, keduanya bebas dari unsur Parpol.
Merujuk pada ketentuan RUU
Penyelenggara Pemilu yang akan segera disahkan dan diundangkan menjadi
undang-undang tersebut, maka kedepan, yakni pada Pemilu 2014, lembaga penyelenggara
Pemilu dihadapkan pada tantangan dan pertanyaan akan independensi, integritas,
dan kemandiriannya.
Disatu
sisi lembaga penyelenggara Pemilu diharuskan untuk bersikap mandiri
(independen) dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun disisi lain, lembaga penyelenggara
Pemilu tersebut justru dapat diisi/berisikan orang-orang Parpol. Kendati pun anggota
Parpol tidak secara mutatis mutandis (otomatis) dapat menjadi anggota KPU dan
Bawaslu karena harus melalui proses seleksi dan fit and proper test serta harus
mengundurkan diri dari Parpolnya sejak saat ia mendaftarkan diri menjadi calon
anggota KPU atau Bawaslu. Namun pertanyaannya apakah syarat pengunduran diri
dari Parpol sesaat sebelum ia mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU atau
Bawaslu adalah syarat yang mampu menjamin independensi dan ketidakberpihakan
seorang eks anggota Parpol apabila ia terpilih menjadi komisioner KPU atau
Bawaslu nantinya, sedangkan bekas Parpolnya dapat saja menjadi pihak/peserta
dalam Pemilu yang ia selenggarakan ?
Lembaga
penyelenggara Pemilu sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 haruslah mandiri dan
bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Lembaga tersebut harus terjaga dan
dijaga independensinya. Lembaga penyelenggara Pemilu ibarat rahim dimana dari
rahim itulah akan lahir pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat nantinya. Untuk
menghasilkan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang baik maka proses
penyelenggaraan Pemilu-nya pun harus baik. Untuk menghasilkan Pemilu yang baik,
tidak bisa tidak, lembaga yang menyelenggaakannya pun harus baik pula. Salah
satu prasyarat kelembagaan penyelenggara Pemilu yang baik adalah lembaga
penyelenggara Pemilu yang mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara
independen, bebas kepentingan, imparsial, dan adil.
Bagaimana
mungkin lembaga penyelenggara Pemilu dapat mandiri dan imparsial sebagaimana
yang diamanatkan UUD 1945 sedang di dalamnya sendiri berisi unsur Parpol.
Partai Politik itu sudah tentu mempunyai kepentingan terhadap hasil Pemilu yang
akan diputuskan oleh KPU. Lalu bagaimana jika KPU itu sendiri diisi oleh “eks
Parpol” yang baru saja melepaskan ikatan kepartaiannya, dengan tidak menutup
kemungkinan pengunduran dirinya dari parpol tersebut hanya sebatas formalitas
untuk memenuhi syarat pendaftaran calon anggota KPU saja, sedangkan perasaan
memiliki, tendensi, dan semangat pengabdian kepada partainya masih melekat,
siapa yang tahu ? jika demikian adanya dimana independensi dan imparsialitas
KPU ketika KPU diisi unsur Parpol ? hal yang semacam itu tentu akan mengganggu
prinsip kerja KPU yang mengharuskan KPU berkerja secara independen, imparsial,
dan adil. Seharusnya legislatif memperhatikan dan mewaspadai hal-hal yang
semacam itu.
Sulit
dicerna oleh logika bahwa dalam suatu Pemilu, Parpol bertindak dalam tiga
dimensi sekaligus; peserta Pemilu (Parpol peserta Pemilu), penyelenggara pemilu
(KPU dan Bawaslu), dan pengadil terhadap pelanggaran kode etik Pemilu yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Penyelenggara dan pengadil kode etik Pemilu seharusnya bebas nilai dan bebas
kepentingan Parpol karena Parpol itu sendiri adalah subjek dalam Pemilu. Setiap
Parpol tentu menginginkan raihan suara yang sebanyak-banyaknya, oleh karenanya
kepentingan dan ambisi yang semacam itulah yang seharusnya disingkirkan dari
kelembagaan penyelenggara Pemilu agar penyelenggara Pemilu dapat menyelenggarakan
Pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel.
Sangat
beralasan jika banyak pihak yang meragukan indepensi dan integritas
penyelenggara Pemilu yang akan lahir berdasarkan RUU Penyelenggara Pemilu ini,
karena KPU, Bawaslu, berikut juga DKPP-nya,
akan diisi oleh unsur Parpol. Sedangkan Parpol sendiri adalah pihak yang
berkepentingan terhadap keputusan lembaga penyelenggara Pemilu tersebut.
Lembaga penyelenggara Pemilu kedepan dapat saja menjadi kendaraan dari
kepentingan terselubung Parpol untuk meraih kepentingan politik pragmatisnya.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu yang akan datang
akan rentan sekali terhadap upaya-upaya penyalahgunaan wewenang (abius of power) untuk
kepentingan-kepentingan politik tertentu karena lembaga penyelenggara Pemilu
itu sendiri berada dalam kungkungan partai politik. Dengan demikian kontrol
sosial terhadap penyelenggara Pemilu menjadi suatu keharusan guna mencegah
implikasi negatif (buruk) atas masuknya unsur Parpol dalam kelembagaan
penyelenggara Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar