Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 03 Desember 2012

Implikasi Masuknya Unsur Parpol dalam Kelembagaan Penyelenggara Pemilu



        Pengaturan dasar tentang Pemilu diatur dalam pasal 22 E UUD 1945. Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” 

          Untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar diatas dibentuklah UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Menurut undang-undang tersebut, sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilihan umum bebas dari pengaruh pihak mana pun. 

Jadi makna dan maksud dari kata-kata “mandiri” berarti KPU harus bersifat bebas (independen) dari pengaruh dan intervensi pihak mana pun. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pemilu dapat berjalan secara jujur dan adil tanpa ada intervensi kekuasaan mana pun, sehingga diharapkan pemilu tersebut menghasilkan satu rezim kepemimpinan bangsa yang legal dan legitimate. Legal karena dihasilkan melalui pemilu yang jujur dan adil serta konstitusional. Legitimate (dipercaya) karena merupakan hasil pilihan rakyat yang disalurkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum yang baik dan akuntabel.

Mengenai penyelenggaraan pemilu yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain, Prof. Jimly Asshidiqqie berpendapat bahwa penyelenggara Pemilu harus bersifat netral dan tidak boleh memihak. KPU tidak boleh dikendalikan oleh Parpol ataupun oleh pejabat negara yang mencerminkan kepentingan Parpol atau peserta atau calon peserta Pemilu. Parpol mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan keputusan-keputusan yang akan diambil oleh KPU. Oleh karenanya KPU harus terbebas dari kemungkinan pengaruh mereka itu. (Asshidiqqie, 2009:427).

Namun demikian, uraian tentang kemandirian dan netralitas yang seharusnya dimiliki oleh KPU seperti yang dipaparkan diatas, kini dihadapkan pada sebuah tantangan dan pertanyaan besar “Qou Vadis Sistem Penyelenggaraan Pemilu” atau hendak dibawa kemana sistem penyelenggaraan pemilu ? karena berdasarkan RUU Penyelenggara Pemilu (yang akan mengganti UU No.22 tahun 2007) yang baru saja disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah (Selasa 20 September 2011), anggota Parpol diperbolehkan mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU dengan syarat harus mengundurkan diri dari Parpolnya.

Ketentuan dalam RUU itu kontradiktif dan dapat dikatakan sebagai kemunduran dari ketentuan dalam dalam Pasal 11 huruf i UU No.22 Tahun  2007 yang justru mencerminkan semangat independesni dan netralitas KPU. Menurut UU No.22 Tahun 2007, syarat untuk dapat mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU ialah tidak pernah menjadi anggota Parpol atau tidak lagi menjadi anggota Parpol dalam lima tahun terakhir. Hal yang sangat berbeda dengan RUU yang akan segera disahkan menjadi undang-undang seperti yang dijelaskan sebelumnya.

          Tidak hanya diperbolehkan menjadi anggota KPU, anggota Parpol pun dapat mendaftarkan diri menjadi calon anggota Bawaslu dengan syarat mengundurkan diri dari parpolnya sejak saat ia mendaftarkan diri menjadi calon anggota Bawaslu. Padahal dalam pasal 86 huruf i UU No.22 Tahun 2007,  syarat untuk dapat mendaftarkan diri menjadi calon anggota Bawaslu ialah tidak pernah menjadi anggota Parpol atau tidak lagi menjadi anggota Parpol dalam lima tahun terakhir. 

Disamping diperbolehkan mendaftar sebagai calon anggota KPU atau Bawaslu, berdasarkan RUU yang akan menggantikan UU No.22 Tahun 2007 tersebut, komposisi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga berisi wakil Parpol yang mendapat kursi di senayan (DPR). Masing-masing Parpol akan mendudukan satu orang perwakilannya di DKPP. Padahal dalam UU No.22 Tahun 2007, baik Badan Kehormatan KPU maupun Badan Kehormatan Bawaslu, keduanya bebas dari unsur Parpol. 

      Merujuk pada ketentuan RUU Penyelenggara Pemilu yang akan segera disahkan dan diundangkan menjadi undang-undang tersebut, maka kedepan, yakni pada Pemilu 2014, lembaga penyelenggara Pemilu dihadapkan pada tantangan dan pertanyaan akan independensi, integritas, dan kemandiriannya.

Disatu sisi lembaga penyelenggara Pemilu diharuskan untuk bersikap mandiri (independen) dari pengaruh kekuasaan mana pun. Namun disisi lain, lembaga penyelenggara Pemilu tersebut justru dapat diisi/berisikan orang-orang Parpol. Kendati pun anggota Parpol tidak secara mutatis mutandis (otomatis) dapat menjadi anggota KPU dan Bawaslu karena harus melalui proses seleksi dan fit and proper test serta harus mengundurkan diri dari Parpolnya sejak saat ia mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU atau Bawaslu. Namun pertanyaannya apakah syarat pengunduran diri dari Parpol sesaat sebelum ia mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU atau Bawaslu adalah syarat yang mampu menjamin independensi dan ketidakberpihakan seorang eks anggota Parpol apabila ia terpilih menjadi komisioner KPU atau Bawaslu nantinya, sedangkan bekas Parpolnya dapat saja menjadi pihak/peserta dalam Pemilu yang ia selenggarakan ? 

Lembaga penyelenggara Pemilu sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 haruslah mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Lembaga tersebut harus terjaga dan dijaga independensinya. Lembaga penyelenggara Pemilu ibarat rahim dimana dari rahim itulah akan lahir pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat nantinya. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang baik maka proses penyelenggaraan Pemilu-nya pun harus baik. Untuk menghasilkan Pemilu yang baik, tidak bisa tidak, lembaga yang menyelenggaakannya pun harus baik pula. Salah satu prasyarat kelembagaan penyelenggara Pemilu yang baik adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya secara independen, bebas kepentingan, imparsial, dan adil. 

Bagaimana mungkin lembaga penyelenggara Pemilu dapat mandiri dan imparsial sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 sedang di dalamnya sendiri berisi unsur Parpol. Partai Politik itu sudah tentu mempunyai kepentingan terhadap hasil Pemilu yang akan diputuskan oleh KPU. Lalu bagaimana jika KPU itu sendiri diisi oleh “eks Parpol” yang baru saja melepaskan ikatan kepartaiannya, dengan tidak menutup kemungkinan pengunduran dirinya dari parpol tersebut hanya sebatas formalitas untuk memenuhi syarat pendaftaran calon anggota KPU saja, sedangkan perasaan memiliki, tendensi, dan semangat pengabdian kepada partainya masih melekat, siapa yang tahu ? jika demikian adanya dimana independensi dan imparsialitas KPU ketika KPU diisi unsur Parpol ? hal yang semacam itu tentu akan mengganggu prinsip kerja KPU yang mengharuskan KPU berkerja secara independen, imparsial, dan adil. Seharusnya legislatif memperhatikan dan mewaspadai hal-hal yang semacam itu.

Sulit dicerna oleh logika bahwa dalam suatu Pemilu, Parpol bertindak dalam tiga dimensi sekaligus; peserta Pemilu (Parpol peserta Pemilu), penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), dan pengadil terhadap pelanggaran kode etik Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Penyelenggara dan pengadil kode etik Pemilu seharusnya bebas nilai dan bebas kepentingan Parpol karena Parpol itu sendiri adalah subjek dalam Pemilu. Setiap Parpol tentu menginginkan raihan suara yang sebanyak-banyaknya, oleh karenanya kepentingan dan ambisi yang semacam itulah yang seharusnya disingkirkan dari kelembagaan penyelenggara Pemilu agar penyelenggara Pemilu dapat menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel. 

Sangat beralasan jika banyak pihak yang meragukan indepensi dan integritas penyelenggara Pemilu yang akan lahir berdasarkan RUU Penyelenggara Pemilu ini, karena  KPU, Bawaslu, berikut juga DKPP-nya, akan diisi oleh unsur Parpol. Sedangkan Parpol sendiri adalah pihak yang berkepentingan terhadap keputusan lembaga penyelenggara Pemilu tersebut. Lembaga penyelenggara Pemilu kedepan dapat saja menjadi kendaraan dari kepentingan terselubung Parpol untuk meraih kepentingan politik pragmatisnya. 

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu yang akan datang akan rentan sekali terhadap upaya-upaya penyalahgunaan wewenang (abius of power) untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu karena lembaga penyelenggara Pemilu itu sendiri berada dalam kungkungan partai politik. Dengan demikian kontrol sosial terhadap penyelenggara Pemilu menjadi suatu keharusan guna mencegah implikasi negatif (buruk) atas masuknya unsur Parpol dalam kelembagaan penyelenggara Pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar