Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 03 Desember 2012

Nuremberg Trial (Pengadilan Militer Internasional untuk Penjahat Perang Nazi Jerman pada Perang Dunia II)



  Sejarah Pembentukan Nuremberg Trial dan Klausul Penting dalam London Charter
Nuremberg Trial atau disebut juga proses Pengadilan Nuremberg merupakan sebuah pengadilan militer internasional yang dibentuk oleh empat kekuatan besar sekutu, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Perancis.
Nuremberg Trial sendiri adalah hasil dari gagasan pemimpin negara-negara sekutu untuk “menyeret” petinggi Nazi Jerman ke hadapan pengadilan militer internasional. Gagasan dan proses pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika perang masih berkecamuk. Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai berbalik, dimana Jerman mengalami kekalahan di banyak front pertempuran, pada saat itu juga pemimpin negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu mekanisme hukum untuk menuntut dan mengadili para penjahat perang.
 Jika merujuk pada proses pembentukannya, Pengadilan Nuremberg sebetulnya sudah digagas sejak Oktober 1943, dimana ketika itu Majelis Internasional London berhasil menyusun draf konvensi untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi di dalam yurisdiksinya berdasarkan hukum positif Inggris.[1]
Selanjutnya dalam Deklarasi Moskow November 1943, sekutu menyepakati bahwa kejahatan perang yang berskala kecil akan diadili di negara-negara dimana kejahatan itu terjadi, sedangkan untuk kejahatan perang yang berskala besar akan diadili oleh suatu keputusan bersama pemerintah sekutu.[2]
Perkembangan yang terpenting dalam proses pembentukan Pengadilan Nuremberg, terjadi pada bulan Juni 1945. Pada saat itu pemerintah negara AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet bersepakat untuk mengadakan konferensi di London guna membahas dan membentuk pengadilan militer internasional yang akan mengadili penjahat perang dari pihak Jerman. Puncaknya, yaitu pada tanggal 8 Agustus 1945, keempat negara sekutu tersebut menandatangani London Charter of the International Military Tribunal, atau yang lebih dikenal dengan sebutan London Charter.[3] Charter/piagam tersebut merupakan dasar bagai lahirnya Pengadilan Nuremberg.
London Charter yang merupakan akta kelahiran bagi Pengadilan Nuremberg terdiri dari 30 pasal yang pada intinya berisi tentang dasar hukum berdirinya Nuremberg Trial dan hukum-hukum yang berlaku dalam mahkamah tersebut.
Diantara yang terpenting dari pasal-pasal London Charter adalah pasal 6. Pasal 6 berisi 3 jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi (kompetensi absolut) mahkamah, yaitu:
a.       Kejahatan Perdamaian; kejahatan terhadap perdamaian adalah perencanaan, persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau peperangan yang melanggar perjanjian internasional, atau ikut serta dalam suatu konspirasi untuk melakukannya;
b.      Kejahatan Perang; pelanggaran terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang.ͨ : pembunuhan, perlakuan buruk, deportasi, perbudakan, perampasan, dan penghancuran;
c.       Kejahatan Kemanusiaan; adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang berlangsung, atau penganiayaan atas dasar politik, rasial atau keagamaan dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan apapun dalam yurisdiksi Mahkamah, baik yang dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum domestik di negara tempat kejahatan itu dilakukan.
Selain yuridiksi mahkamah yang diatur dalam pasal 6, ada juga prinsip dasar lainnya dalam Piagam London, yaitu sebagaimana tercantum dalam pasal 7 dan pasal 8.
Pasal 7 pada intinya menegaskan bahwa official position (kedudukan resmi/jabatan) tidak dapat menghapuskan tanggung jawab individual atas kejahatan yang ia lakukan. Sedangkan pasal 8 menegaskan bahwa seorang terdakwa tidak dapat berdalih bahwa kejahatan yang ia lakukan adalah atas dasar perintah atasan/negara. Jadi tegasnya pasal 7 dan pasal 8 berisikan prisnip pertanggungjawban individu (individual responsibility) atas kejahatan yang telah diperbuatnya.
Selain itu, hukum yang tertuang dalam London Charter berlaku surut (retroaktif). Artinya kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelum London Charter disahkan pun (selama kejahatan itu masuk dalam yurisdiksi mahkamah menurut pasal 6), maka kejahatan tersebut dapat diadili oleh mahkamah. Asas non-retroaktif ini penting diterapkan dalam Nuremberg Trial mengingat London Charter sendiri baru disahkan pada 8 Agustus 1945, sementara kejahatan perang yang dilakukan oleh Jerman yang hendak diadili oleh mahkamah telah dilakukan sebelum tanggal  8 Agustus 1945. Jika tidak menerapkan asas non-retroaktif maka sia-sialah Nuremberg Trial dibentuk karena para terdakwa kejahatan perang pastilah akan berlindung dibawah asas non-retroaktif.
Para Terdakwa Kejahatan Perang dan Persidangan Nuremberg
Sebetulnya terdapat empat tahapan Nuremberg Trial dengan jumlah total terdakwa sebanyak 99 orang. Namun yang akan dibahas disini hanyalah pengadilan tahap pertama yang mengadili 22 terdakwa yang merupakan petinggi Nazi Jerman yang terdiri dari pejabat militer, pemerintahan-politik, dan ekonomi.
Dari ke 22 nama terdakwa tersebut, nama-nama tokoh paling utama dalam organisasi Nazi Jerman justru tidak ada, yaitu Adolf Hitler (fueher), Heinrich Himmler (kepala SS; pasukan khusus Nazi Jerman), dan Joseph Goebbels (Menteri Propaganda Jerman; petinggi partai Nazi). Ketiga nama tersebut tidak diadili dihadapan mahkamah karena ketiganya bunuh diri di hari-hari terakhir perang sebelum Jerman Menyerah pada sekutu bulan Mei 1945.
22 “pesakitan” yang diadili oleh mahkamah ialah:
  • Pejabat Militer:
1.    Jendral Wilhelm Kietel (Kepala Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Jerman; Wehrmacht)
2.    Jendral Alfred Jodl (Kepala Staf Operasional Wehrmacht)
3.    Erich Reader (Kepala Staf AL Jerman; Kriegsmarine)
4.    Karl Doenitz (Kepala Staf Kriegsmarine; pengganti Erich Reader)
5.    Hermann Goerings (Kepala Staf AU Jerman; Luftwaffe)
  • Pejabat Pemerintahan-Partai Nazi:
6.    Martin Bormann (Sekretaris Nazi dan ajudan Adolf Hitler)
7.    Wilhelm Frick (Mendagri Jerman)
8.    Hans Frank (Gubernur wilayah pendudukan Polandia)
9.    Joachim von Ribbentrop (Menlu dan Dubes Jerman untuk Inggris)
10.    Alfred Rosenberg (Kepala wilayah teritorial di daerah pendudukan)
11.    Arthur Seyss Inquart (Menkam dan Gubernur wilayah pendudukan Belanda)
12.    Konstantin von Neurath (Menlu Jerman; pengganti Ribbentrop)
13.    Franz von Papen (Wakil Konsuler Nazi Jerman)
14.    Rudolf Hess (Deputi Ketua Partai Nazi)
15.    Baldur von Schirach (Ketua Pemuda Partai Nazi)
16.    Hans Fritshze (Menteri Propaganda Jerman)
17.    Ernst Kalenbrunner (Kepala Kantor Pusat Keamanan Jerman)
  • Pejabat Bidang Ekonomi:
18.    Julius Streicher (Direktur Percetakan Der Sturmer)
19.    Walther Funk (Presiden Bank Jerman)
20.    Albert Speer (Menteri Produksi Alat-Alat Perang Jerman)
21.    Fritz Sauckel (Kepala Mobilisasi Buruh)
22.    Hjalmar Schacht (Menteri Ekonomi Jerman)


Pada awalnya pemerintah sekutu yang terdiri dari 4 negara penyusun dan penandatangan London Charter, memilih kota Berlin sebagai tempat dilaksanakannya Pengadilan Militer Internasional. Namun karena beberapa pertimbangan akhirnya Kota Nuremberg-lah yang dijadikan sebagai tempat pengadilan bagi para penjahat perang Nazi Jerman, tepatnya di gedung Pengadilan Nuremberg (Nuremberg Palace of Justice). Pertimbangan tersebut antara lain karena Pengadilan Nuremberg memiliki ruangan persidangan yang luas dan masih utuh, memiliki ruangan penjara di dalam komplek pengadilan, dan Nuremberg sendiri sering dijadikan kota tempat berlangsungnya rapat umum partai Nazi, sehingga dengan diadilinya petinggi-petinggi Nazi ditempat itu akan memberi kesan tersendiri bahwa ditempat itu lah partai Nazi menemui kematiannya.
Oleh karena Pengadilan Nuremberg dibentuk melalui London Charter dan London Charter itu sendiri dibuat oleh 4 negara sekutu, maka komposisi dalam mahkamah itu pun tidak terlepas dari unsur 4 negara tersebut. Hal itu terlihat dari komposisi hakim dan jaksa penuntut umum pada Nuremberg Trial yang berasal dari 4 negara tersebut, yaitu AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet.
Hakim pada Nuremberg Trial terdiri dari 4 orang hakim dan 4 orang hakim pengganti (cadangan), yaitu Francis Biddle dari AS dengan John Parker sebagai penggantinya, Lord Justice Geoffrey Lawrence dari Inggris dengan Justice Norman Birkit sebagai penggantinya, Prof. Donnediu de Vabres dari Perancis dengan R. Falco sebagai penggantinya, dan Niktchenko dari Uni Soviet dengan A.F. Volchkof sebagai penggantinya. Dari keempat hakim itu Lord Justice Geoffrey Lawrence terpilih sebagai ketua mahkamah. Sedangkan jaksa juga terdiri dari 4 orang, yaitu Robert H. Jackson mewakili AS, David Maxwell mewakili Inggris, Francois de Menthon mewakili Perancis, dan Roman Rudenko mewakili Uni Soviet.
Persidangan Nuremberg dibuka untuk pertama kali pada tanggal 20 November 1945 dan berakhir dengan penjatuhan vonis kepada 22 terdakwa pada tanggal 1 Oktober 1946. Dalam kurang lebih 1 tahun masa persidangan itu, telah digelar sebanyak 216 kali persidangan.
Berdasarkan dakwaan yang didakwakan oleh jaksa kepada para terdakwa, secara garis besar kasus posisi dari ke 22 terdakwa tersebut ialah telah melakukan tiga jenis kejahatan sebagaimana disebut oleh pasal 6 London Charter, yakni melakukan kejahatan  perdamaian dengan melakukan perencanaan dan mengobarkan perang agresi, kejahatan perang karena melanggar hukum dan kebiasaan perang, dan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan aksi-aksi yang tidak manusiawi sebelum dan selama perang seperti pembunuhan rakyat sipil, pembantaian dan pemusnahan kelompok-kelompok tertentu (genosida;holocaust).
Dalam persidangan, secara umum sanggahan yang dikemukakan oleh para terdakwa adalah meliputi hal-hal berikut ini:
a.       Nuremberg Trial melanggar asas legalitas dengan memberlakukan surut aturan hukum dalam London Charter. Padahal asas legalitas dan asas tidak berlaku surutnya hukum pidana merupakan asas fundamental dari hukum pidana itu sendiri. Dimana kejahatan yang didakwakan kepada para terdakwa adalah kejahatan yang dilakukan sebelum London Charter itu dibuat.
b.      Jaksa menggunakan analogi dan para terdakwa berpendapat analogi dalam hukum pidana justru akan menimbulkan perbuatan pidana baru.
c.       Apa yang dilakukan oleh para terdakwa merupakan perintah negara dan oleh karenanya adalah tanggung jawab negara. Bukan tanggung jawab individu.
d.      Nuremberg adalah pengadilan politik dan kadar politiknya justru lebih dominan daripada kadar hukumnya. Berkenaan dengan ini Hermann Goering dalam pembelaannya mengatakan dengan lantang bahwa “….. Anda mengadili kami karena anda memenangkan perang. Andaikata kami yang memenangkan perang maka andalah yang akan kami adili.”[4]
Setelah mendengarkan jalannya persidangan yang meliputi pambacaan dakwaan, pembuktian, dan pembelaan para terdakwa maka kemudian majelis hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan hukumnya (legal opinion) sebagai berikut:
a.       Prof. Henri Donnedieu de Vabres mengatakan bahwa memidana dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil namun tidak menghukum orang yang melakukan kejahatan yang sedemikian besarnya adalah jauh lebih tidak adil;[5]
b.      Jika hukum positif (undang-undang) inkonsistensi dengan keadilan maka keadilanlah yang harus di dahulukan;
c.       Kendati pun perbuatan terdakwa adalah legal namun perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan penghukuman perbuatan tersebut. Retroaktif dibenarkan karena prinsip-prinsip keadilan lebih tinggi derajatnya mengalahkan prinsip non retroaktif.
d.      Knowledge of guilt and/or knowledge that action could be subject to later punishment. Artinya bahwa meskipun perbuatan itu legal pada waktu dilakukan, si pelaku sesungguhnya megetahui bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu salah dan/atau perbuatan itu dapat dijatuhi hukumuan dikemudian hari.
e.       General principles of justice override existing domestic law. Prinsip ini menyatakan “bahkan jikalau perbuatan itu secara formal dianggap sah menurut rezim hukum sebelumnya, namun perbuatan itu sedemikian tercelanya sehingga sebetulnya menurut rezim hukum sebelumnya itu pun perbuatan itu tidak benar-benar legal karena telah melanggar prinsip-prinsip keadilan.
f.       Non-retroactivity through re-interpretation of the prior law. Artinya, perbuatan tersebut seharusnya menurut hukum yang berlaku saat itu pun seharusnya telah dihukum karena sedemikian tercelanya. Namun hukum tersebut telah diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut dibiarkan/tidak dihukum.[6]
Melalui proses persidangan yang cukup lama dengan perdebatan yang sengit dan dibawah sorotan masyarakat dunia, maka kemudian mahkamah menjatuhkan putusannya pada tanggal 1 Oktober 1946. Dalam putusannya, mahkamah menjatuhkan hukuman mati dengan cara digantung kepada 12 terdakwa, yakni Keitel, Jodl, Goering, Bormann (diadili secara in absentia), Frank, Frick, Ribbentrop, Rosenberg, Inquart, Streicher, Sauckel, dan Kaltenbrunner. Sedangkan pidana penjara seumur hidup dijatuhkan pada Reader, Hess, Neurath, Schirach, dan Funk. Pidana penjara selama waktu tertentu dijatuhkan kepada Karl Doenitz selama 10 tahun dan Speer selama 20 tahun. Sementara Papen, Fritzsche, dan Schacht di vonis bebas karena tidak terdapat cukup bukti.
Eksekusi hukuman mati dengan cara digantung dilaksanakan pada 16 Oktober 1945. Namun Hermann Goering tidak diekseskusi karena bunuh diri pada malam sebelum hari eksekusi dan Martin Bormann juga tidak dieksekusi karena belum juga ditemukan oleh sekutu.
Rupa-rupanya benar juga apa yang dikatakan Hermann Goering dalam pembelaannya bahwa “….. Anda mengadili kami karena anda memenangkan perang. Andaikata kami yang memenangkan perang maka andalah yang akan kami adili.” Dari pembahasan yang telah dikemukakan diatas nampak bahwa Nuremberg Trial adalah pengadilan sang pemenang terhadap si kalah. Oleh sebab itu tidak salah juga Prof. Satjipto Rahardjo menyebut pengadilan ini sebagai Victory Justice yang berarti pengadilan sang pemenang, dimana sekutu yang terdiri dari AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet terlihat begitu superpower dalam merumuskan London Charter dan kemudian mengawaki pengadilan tersebut dengan segenap hukum yang dikehendakinya.
Mengamati fenomena hukum internasional yang seperti ini seketika saja penulis teringat dengan peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya, dimana sang pemenang perang, dalam keadaan bagaimana pun berhak menetapkan hukum dan hukuman yang berlaku bagi si kalah. Seperti misalnya yang terjadi dalam perjanjian Versailes 1919 setelah Perang Dunia ke I. Kendati pun berupa perjanjian dan samasekali tidak berisi pembentukan pengadilan militer internasional seperti Nuremberg Trial, namun anasir anasirnya sama dengan apa yang terjadi pada “penjahat perang Jerman” yang diadili di Nuremberg Trial, dimana pihak yang menang bertindak sebagai pendikte hukum dan aturan yang harus dipatuhi oleh si kalah.
Dengan demikian menurut penulis benarlah apa yang dikatakan oleh Hermann Goering bahwa Nuremberg Trial merupakan pengadilan politik dimana nuanasa dan kehendak politik negara sekutu lebih dominan ketimbang kadar hukumnya. Harus disadari bahwa kepentingan sekutulah yang telah melahirkan London Charter yang kemudian melahirkan Nuremberg Trial, maka sudah tentu kepentingan sekutulah yang akan menjadi palu keadilan dalam Nuremberg Trial tersebut. Jika kembali ke prinsip dasar hukum yang berasaskan pada equality before the law maka sungguh petinggi-petinggi negara sekutu pun harus ikut bertanggung jawab atas kerusakan hebat yang dialami umat manusia akibat perang dunia ke II. Jika mempersoalkan masalah kejahatan perang, bukankah tidak hanya petinggi-petinggi Jerman yang melakukan kejahatan perang? bukankah petinggi petinggi negara sekutu pun melakukan hal yang sama yang tak kalah kejamnya dengan Jerman terhadap negera-negara poros (Jerman-Italia-Jepang).
Itulah kurang lebih gambaran dan bukti bahwa Nuremberg Trial, betapa pun, adalah pengadilan politik yang dilaksanakan dengan atribut hukum internasional. Namun penulis menilai cara yang demikian itu jauh lebih terhormat daripada mengeksekusi “para penjahat perang Nazi Jerman” secara suka-suka tanpa proses pengadilan.


[1] Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Yogyakarta, 2010, hlm. 48.
[2] Ibid
[3] Ian Brownlie, International Law and the Use of Force by States, Oxford University Press, New York, 1963, hlm. 162.
[4] Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 59.
[5] Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, New York,  2003 hlm.143.
[6]   Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 60-61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar