Sejarah
Pembentukan Nuremberg Trial dan Klausul Penting dalam London Charter
Nuremberg Trial atau disebut juga proses
Pengadilan Nuremberg merupakan sebuah pengadilan
militer internasional yang dibentuk oleh empat kekuatan besar sekutu, yaitu
Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Perancis.
Nuremberg
Trial sendiri adalah hasil dari gagasan pemimpin negara-negara sekutu untuk “menyeret”
petinggi Nazi Jerman ke hadapan pengadilan militer internasional. Gagasan
dan proses pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika perang masih berkecamuk.
Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai berbalik, dimana Jerman
mengalami kekalahan di banyak front pertempuran, pada saat itu juga pemimpin
negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu mekanisme hukum untuk menuntut
dan mengadili para penjahat perang.
Jika merujuk pada proses pembentukannya, Pengadilan
Nuremberg sebetulnya sudah digagas sejak Oktober 1943, dimana ketika itu
Majelis Internasional London berhasil menyusun draf konvensi untuk mengadili
kejahatan perang yang terjadi di dalam yurisdiksinya berdasarkan hukum positif
Inggris.[1]
Selanjutnya
dalam Deklarasi Moskow November 1943, sekutu menyepakati bahwa kejahatan perang
yang berskala kecil akan diadili di negara-negara dimana kejahatan itu terjadi,
sedangkan untuk kejahatan perang yang berskala besar akan diadili oleh suatu
keputusan bersama pemerintah sekutu.[2]
Perkembangan
yang terpenting dalam proses pembentukan Pengadilan Nuremberg, terjadi pada
bulan Juni 1945. Pada saat itu pemerintah negara AS, Inggris, Perancis, dan Uni
Soviet bersepakat untuk mengadakan konferensi di London guna membahas dan
membentuk pengadilan militer internasional yang akan mengadili penjahat perang dari
pihak Jerman. Puncaknya, yaitu pada tanggal 8 Agustus 1945, keempat negara
sekutu tersebut menandatangani London
Charter of the International Military Tribunal, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan London Charter.[3] Charter/piagam tersebut merupakan dasar
bagai lahirnya Pengadilan Nuremberg.
London Charter
yang merupakan akta kelahiran bagi Pengadilan Nuremberg terdiri dari 30
pasal yang pada intinya berisi tentang dasar hukum berdirinya Nuremberg Trial
dan hukum-hukum yang berlaku dalam mahkamah tersebut.
Diantara
yang terpenting dari pasal-pasal London
Charter adalah pasal 6. Pasal 6 berisi 3 jenis kejahatan yang menjadi
yurisdiksi (kompetensi absolut) mahkamah, yaitu:
a. Kejahatan
Perdamaian; kejahatan terhadap perdamaian adalah perencanaan, persiapan,
inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau peperangan yang melanggar
perjanjian internasional, atau ikut serta dalam suatu konspirasi untuk
melakukannya;
b. Kejahatan
Perang; pelanggaran terhadap hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang.ͨ :
pembunuhan, perlakuan buruk, deportasi, perbudakan, perampasan, dan
penghancuran;
c. Kejahatan
Kemanusiaan; adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan
tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi
sipil, sebelum atau selama perang berlangsung, atau penganiayaan atas dasar
politik, rasial atau keagamaan dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan
kejahatan apapun dalam yurisdiksi Mahkamah, baik yang dianggap melanggar atau
tidak melanggar hukum domestik di negara tempat kejahatan itu dilakukan.
Selain
yuridiksi mahkamah yang diatur dalam pasal 6, ada juga prinsip dasar lainnya
dalam Piagam London, yaitu sebagaimana tercantum dalam pasal 7 dan
pasal 8.
Pasal
7 pada intinya menegaskan bahwa official
position (kedudukan resmi/jabatan) tidak dapat menghapuskan tanggung jawab
individual atas kejahatan yang ia lakukan. Sedangkan pasal 8 menegaskan bahwa
seorang terdakwa tidak dapat berdalih bahwa kejahatan yang ia lakukan adalah atas
dasar perintah atasan/negara. Jadi tegasnya pasal 7 dan pasal 8 berisikan
prisnip pertanggungjawban individu (individual
responsibility) atas kejahatan
yang telah diperbuatnya.
Selain
itu, hukum yang tertuang dalam London
Charter berlaku surut (retroaktif). Artinya kejahatan-kejahatan yang
dilakukan sebelum London Charter
disahkan pun (selama kejahatan itu masuk dalam yurisdiksi mahkamah menurut pasal
6), maka kejahatan tersebut dapat diadili oleh mahkamah. Asas non-retroaktif
ini penting diterapkan dalam Nuremberg Trial mengingat London Charter sendiri baru disahkan pada 8 Agustus 1945, sementara
kejahatan perang yang dilakukan oleh Jerman yang hendak diadili oleh mahkamah telah
dilakukan sebelum tanggal 8 Agustus
1945. Jika tidak menerapkan asas non-retroaktif maka sia-sialah Nuremberg Trial
dibentuk karena para terdakwa kejahatan perang pastilah akan berlindung dibawah asas non-retroaktif.
Para Terdakwa Kejahatan Perang dan
Persidangan Nuremberg
Sebetulnya
terdapat empat tahapan Nuremberg Trial dengan jumlah total terdakwa sebanyak 99
orang. Namun yang akan dibahas disini hanyalah pengadilan tahap pertama yang
mengadili 22 terdakwa yang merupakan petinggi Nazi Jerman yang terdiri dari
pejabat militer, pemerintahan-politik, dan ekonomi.
Dari
ke 22 nama terdakwa tersebut, nama-nama tokoh paling utama dalam organisasi
Nazi Jerman justru tidak ada, yaitu Adolf Hitler (fueher), Heinrich Himmler (kepala SS; pasukan khusus Nazi Jerman),
dan Joseph Goebbels (Menteri Propaganda Jerman; petinggi partai Nazi). Ketiga nama
tersebut tidak diadili dihadapan mahkamah karena ketiganya bunuh diri di
hari-hari terakhir perang sebelum Jerman Menyerah pada sekutu bulan Mei 1945.
22
“pesakitan” yang diadili oleh mahkamah ialah:
- Pejabat Militer:
1. Jendral
Wilhelm Kietel (Kepala Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata Jerman; Wehrmacht)
2. Jendral
Alfred Jodl (Kepala Staf Operasional Wehrmacht)
3. Erich
Reader (Kepala Staf AL Jerman; Kriegsmarine)
4. Karl
Doenitz (Kepala Staf Kriegsmarine; pengganti Erich Reader)
5. Hermann
Goerings (Kepala Staf AU Jerman; Luftwaffe)
- Pejabat Pemerintahan-Partai Nazi:
6. Martin
Bormann (Sekretaris Nazi dan ajudan Adolf Hitler)
7. Wilhelm
Frick (Mendagri Jerman)
8. Hans
Frank (Gubernur wilayah pendudukan Polandia)
9. Joachim
von Ribbentrop (Menlu dan Dubes Jerman untuk Inggris)
10. Alfred Rosenberg (Kepala wilayah
teritorial di daerah pendudukan)
11. Arthur
Seyss Inquart (Menkam dan Gubernur wilayah pendudukan Belanda)
12. Konstantin
von Neurath (Menlu Jerman; pengganti Ribbentrop)
13. Franz
von Papen (Wakil Konsuler Nazi Jerman)
14. Rudolf
Hess (Deputi Ketua Partai Nazi)
15. Baldur
von Schirach (Ketua Pemuda Partai Nazi)
16. Hans
Fritshze (Menteri Propaganda Jerman)
17. Ernst
Kalenbrunner (Kepala Kantor Pusat Keamanan Jerman)
- Pejabat Bidang Ekonomi:
18. Julius
Streicher (Direktur Percetakan Der
Sturmer)
19. Walther
Funk (Presiden Bank Jerman)
20. Albert
Speer (Menteri Produksi Alat-Alat Perang Jerman)
21. Fritz
Sauckel (Kepala Mobilisasi Buruh)
22. Hjalmar
Schacht (Menteri Ekonomi Jerman)
Pada
awalnya pemerintah sekutu yang terdiri dari 4 negara penyusun dan penandatangan
London Charter, memilih kota Berlin
sebagai tempat dilaksanakannya Pengadilan Militer Internasional. Namun karena
beberapa pertimbangan akhirnya Kota Nuremberg-lah yang dijadikan sebagai tempat
pengadilan bagi para penjahat perang Nazi Jerman, tepatnya di gedung Pengadilan
Nuremberg (Nuremberg Palace of Justice).
Pertimbangan tersebut antara lain karena Pengadilan Nuremberg memiliki ruangan
persidangan yang luas dan masih utuh, memiliki ruangan penjara di dalam komplek
pengadilan, dan Nuremberg sendiri sering dijadikan kota tempat berlangsungnya
rapat umum partai Nazi, sehingga dengan diadilinya petinggi-petinggi Nazi
ditempat itu akan memberi kesan tersendiri bahwa ditempat itu lah partai Nazi
menemui kematiannya.
Oleh
karena Pengadilan Nuremberg dibentuk melalui London Charter dan London
Charter itu sendiri dibuat oleh 4 negara sekutu, maka komposisi dalam mahkamah
itu pun tidak terlepas dari unsur 4 negara tersebut. Hal itu terlihat dari
komposisi hakim dan jaksa penuntut umum pada Nuremberg Trial yang berasal dari
4 negara tersebut, yaitu AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet.
Hakim
pada Nuremberg Trial terdiri dari 4 orang hakim dan 4 orang hakim pengganti
(cadangan), yaitu Francis Biddle dari AS dengan John Parker sebagai
penggantinya, Lord Justice Geoffrey Lawrence dari Inggris dengan Justice Norman
Birkit sebagai penggantinya, Prof. Donnediu de Vabres dari Perancis dengan R.
Falco sebagai penggantinya, dan Niktchenko dari Uni Soviet dengan A.F. Volchkof
sebagai penggantinya. Dari keempat hakim itu Lord Justice Geoffrey Lawrence
terpilih sebagai ketua mahkamah. Sedangkan jaksa juga terdiri dari 4 orang,
yaitu Robert H. Jackson mewakili AS, David Maxwell mewakili Inggris, Francois
de Menthon mewakili Perancis, dan Roman Rudenko mewakili Uni Soviet.
Persidangan
Nuremberg dibuka untuk pertama kali pada tanggal 20 November
1945 dan berakhir dengan penjatuhan vonis kepada 22 terdakwa pada tanggal 1
Oktober 1946. Dalam kurang lebih 1 tahun masa persidangan itu, telah digelar
sebanyak 216 kali persidangan.
Berdasarkan
dakwaan yang didakwakan oleh jaksa kepada para terdakwa, secara garis besar
kasus posisi dari ke 22 terdakwa tersebut ialah telah melakukan tiga jenis
kejahatan sebagaimana disebut oleh pasal 6 London
Charter, yakni melakukan kejahatan
perdamaian dengan melakukan perencanaan dan mengobarkan perang agresi,
kejahatan perang karena melanggar hukum dan kebiasaan perang, dan kejahatan
kemanusiaan dengan melakukan aksi-aksi yang tidak manusiawi sebelum dan selama
perang seperti pembunuhan rakyat sipil, pembantaian dan pemusnahan kelompok-kelompok
tertentu (genosida;holocaust).
Dalam
persidangan, secara umum sanggahan yang dikemukakan oleh para terdakwa adalah
meliputi hal-hal berikut ini:
a.
Nuremberg Trial melanggar asas legalitas
dengan memberlakukan surut aturan hukum dalam London Charter. Padahal asas legalitas dan asas tidak berlaku
surutnya hukum pidana merupakan asas fundamental dari hukum pidana itu sendiri.
Dimana kejahatan yang didakwakan kepada para terdakwa adalah kejahatan yang
dilakukan sebelum London Charter itu
dibuat.
b.
Jaksa menggunakan analogi dan para
terdakwa berpendapat analogi dalam hukum pidana justru akan menimbulkan
perbuatan pidana baru.
c.
Apa yang dilakukan oleh para terdakwa
merupakan perintah negara dan oleh karenanya adalah tanggung jawab negara. Bukan
tanggung jawab individu.
d.
Nuremberg adalah pengadilan politik dan kadar politiknya justru lebih dominan daripada kadar hukumnya. Berkenaan dengan
ini Hermann Goering dalam pembelaannya mengatakan dengan lantang bahwa “….. Anda mengadili kami karena anda memenangkan
perang. Andaikata kami yang memenangkan perang maka andalah yang akan kami
adili.”[4]
Setelah mendengarkan jalannya persidangan yang
meliputi pambacaan dakwaan, pembuktian, dan pembelaan para terdakwa maka
kemudian majelis hakim memberikan pertimbangan-pertimbangan hukumnya (legal opinion) sebagai berikut:
a.
Prof. Henri Donnedieu de Vabres
mengatakan bahwa memidana dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil
namun tidak menghukum orang yang melakukan kejahatan yang sedemikian besarnya
adalah jauh lebih tidak adil;[5]
b.
Jika hukum positif (undang-undang)
inkonsistensi dengan keadilan maka keadilanlah yang harus di dahulukan;
c.
Kendati pun perbuatan terdakwa adalah
legal namun perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan membenarkan
penghukuman perbuatan tersebut. Retroaktif dibenarkan karena prinsip-prinsip
keadilan lebih tinggi derajatnya mengalahkan prinsip non retroaktif.
d.
Knowledge
of guilt and/or knowledge that action could be subject to later punishment.
Artinya bahwa meskipun perbuatan itu legal pada waktu dilakukan, si pelaku
sesungguhnya megetahui bahwa dalam beberapa pertimbangan penting perbuatan itu
salah dan/atau perbuatan itu dapat dijatuhi hukumuan dikemudian hari.
e.
General
principles of justice override existing domestic law.
Prinsip ini menyatakan “bahkan jikalau perbuatan itu secara formal dianggap sah
menurut rezim hukum sebelumnya, namun perbuatan itu sedemikian tercelanya
sehingga sebetulnya menurut rezim hukum sebelumnya itu pun perbuatan itu tidak
benar-benar legal karena telah melanggar prinsip-prinsip keadilan.
f.
Non-retroactivity
through re-interpretation of the prior law. Artinya,
perbuatan tersebut seharusnya menurut hukum yang berlaku saat itu pun
seharusnya telah dihukum karena sedemikian tercelanya. Namun hukum tersebut telah
diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut dibiarkan/tidak
dihukum.[6]
Melalui proses persidangan yang cukup lama dengan
perdebatan yang sengit dan dibawah sorotan masyarakat dunia, maka kemudian mahkamah
menjatuhkan putusannya pada tanggal 1 Oktober 1946. Dalam putusannya, mahkamah
menjatuhkan hukuman mati dengan cara digantung kepada 12 terdakwa, yakni
Keitel, Jodl, Goering, Bormann (diadili secara in absentia), Frank, Frick, Ribbentrop, Rosenberg, Inquart,
Streicher, Sauckel, dan Kaltenbrunner. Sedangkan pidana penjara seumur hidup
dijatuhkan pada Reader, Hess, Neurath, Schirach, dan Funk. Pidana penjara
selama waktu tertentu dijatuhkan kepada Karl Doenitz selama 10 tahun dan Speer
selama 20 tahun. Sementara Papen, Fritzsche, dan Schacht di vonis bebas karena
tidak terdapat cukup bukti.
Eksekusi hukuman mati dengan cara digantung
dilaksanakan pada 16 Oktober 1945. Namun Hermann Goering tidak diekseskusi
karena bunuh diri pada malam sebelum hari eksekusi dan Martin Bormann juga
tidak dieksekusi karena belum juga ditemukan oleh sekutu.
Rupa-rupanya benar juga apa yang dikatakan Hermann
Goering dalam pembelaannya bahwa “…..
Anda mengadili kami karena anda memenangkan perang. Andaikata kami yang
memenangkan perang maka andalah yang akan kami adili.” Dari pembahasan yang
telah dikemukakan diatas nampak bahwa Nuremberg Trial adalah pengadilan sang
pemenang terhadap si kalah. Oleh sebab itu tidak salah juga Prof. Satjipto
Rahardjo menyebut pengadilan ini sebagai Victory
Justice yang berarti pengadilan sang pemenang, dimana sekutu yang terdiri
dari AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet terlihat begitu superpower dalam merumuskan
London Charter dan kemudian mengawaki
pengadilan tersebut dengan segenap hukum yang dikehendakinya.
Mengamati fenomena hukum internasional yang seperti
ini seketika saja penulis teringat dengan peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi
sebelumnya, dimana sang pemenang perang, dalam keadaan bagaimana pun berhak
menetapkan hukum dan hukuman yang berlaku bagi si kalah. Seperti misalnya yang
terjadi dalam perjanjian Versailes 1919 setelah Perang Dunia ke I. Kendati pun
berupa perjanjian dan samasekali tidak berisi pembentukan pengadilan militer internasional
seperti Nuremberg Trial, namun anasir anasirnya sama dengan apa yang
terjadi pada “penjahat perang Jerman” yang diadili di Nuremberg Trial, dimana
pihak yang menang bertindak sebagai pendikte hukum dan aturan yang harus
dipatuhi oleh si kalah.
Dengan demikian menurut penulis benarlah apa yang
dikatakan oleh Hermann Goering bahwa Nuremberg Trial merupakan pengadilan
politik dimana nuanasa dan kehendak politik negara sekutu lebih dominan
ketimbang kadar hukumnya. Harus disadari bahwa kepentingan sekutulah yang telah
melahirkan London Charter yang
kemudian melahirkan Nuremberg Trial, maka sudah tentu kepentingan sekutulah
yang akan menjadi palu keadilan dalam Nuremberg Trial
tersebut. Jika kembali ke prinsip dasar hukum yang berasaskan pada equality before the law maka sungguh petinggi-petinggi
negara sekutu pun harus ikut bertanggung jawab atas kerusakan hebat yang
dialami umat manusia akibat perang dunia ke II. Jika mempersoalkan masalah
kejahatan perang, bukankah tidak hanya petinggi-petinggi Jerman yang melakukan
kejahatan perang? bukankah petinggi petinggi negara sekutu pun melakukan hal
yang sama yang tak kalah kejamnya dengan Jerman terhadap negera-negara poros
(Jerman-Italia-Jepang).
Itulah kurang lebih gambaran dan bukti bahwa
Nuremberg Trial, betapa pun, adalah pengadilan politik yang dilaksanakan dengan
atribut hukum internasional. Namun penulis menilai cara yang demikian itu jauh
lebih terhormat daripada mengeksekusi “para penjahat perang Nazi Jerman” secara
suka-suka tanpa proses pengadilan.
[1]
Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas
Beberapa kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Yogyakarta, 2010, hlm.
48.
[2]
Ibid
[3]
Ian Brownlie, International Law and the Use
of Force by States, Oxford University Press, New York, 1963, hlm. 162.
[4]
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 59.
[5]
Antonio Cassese, International Criminal
Law, Oxford University Press, New York,
2003 hlm.143.
[6]
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 60-61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar