Jumat 26 November 2010 yang lalu masyarakat Yogyakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya terkejut mendengar pernyataan Presiden SBY dalam rapat Kabinet Terbatas di Istana Negera. Rapat itu beragendakan pembahasan RUU-RUU yang tengah digodok Pemerintah, termasuk RUU Keistimewaan Yogyakarta. Ketika itu Presiden SBY mengatakan: " Nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi mau pun nilai-nilai demokrasi." Tentu saja semua orang tahu bahwa pernyataan itu ditujukan terhadap sistem monarki yang ada di Yogyakarta. Tidak sulit mengambil kesimpulan itu mengingat hanya Yogyakarta lah satu-satunya daerah yang masih menganut sistem monarki dalam tata pemerintahan daerahnya.
Ucapan Presiden yang singkat itu sontak menimbulkan polemik dan kontroversi yang mewarnai setiap Headline dari berbagai Media Masa di tanah air. Tafsir-tafsir dari berbagai kalangan pun turut mewarnai isu ini, banyak kalangan yang menafsirkan bahwa Presiden tidak menghendaki sistem pengangkatan Sultan dan Paku Alam yang secara turun temurun memimpin sebuah Daerah Provinsi di Indonesia.
Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui dulu latar sejarah dari KerajaanYogyakarta itu sendiri. Hal itu penting dikemukakan oleh karena status Daerah Istimewa yang disandang oleh Yogyakarta itu sendiri merupakan buah dari asal usul dan sejarah panjang kerajaan Yogyakarta.
Cikal bakal Kerajaan Ngyayogyakarta Hadingrat adalah kerajaan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755 diadakan Perjanjian Gianti yang pada dasarnya membagi wilayah Mataram menjadi dua; wilayah pertama diberikan kepada Kerajaan Surakarta dan wilayah kedua diberkan kepada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi inilah yang kemudian menjadi Raja atas wilayah pedalaman Jawa yang dipisah dari wilayah Keraaan Surakarta. Selanjutnya dalam mendirikan dan memerintah kerajaan baru itu Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah (Sultan Hamengku Buwono I).
Pada tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I menetapkan nama untuk daerah kekuasaannya itu dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Ibukotanya yang bernama Ngayogyakarta. Sejak saat itu Masyarakat Jawa Yogyakarta diperintah oleh Raja mereka yang berasal dari Keraton Yogya secara turun temurun dan telah memiliki akar budaya yang sangat kuat dan terpelihara selama ratusan tahun.
Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bahwa Kerajaan Ngayogyakarta Hadingrat mendukung dan menjadi bagian dalam Negara Republik Indonesia pada tanggal 5 September 1945. Pada waktu yang bersamaan juga pihak Kasuhunan Surakarta yang dipimpin oleh Paku Alam VIII menyatakan integrasinya ke dalam Negara Republik Indonesia.
Sebagai balasannya, Pemerintah pusat pada 30 Oktober 1945 mengeluarkan Piagam Penetapan tentang kedudukan kedua penguasa itu sebagai kepala Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Selanjutnya melalui UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya padaPasal 18 ayat 5 ditegaskan bahwa kepala pemerintahan Yogyakarta diangkat oleh Presiden RI dari keturunan Kerajaan Ngayogyakarta Hadingingrat sebagai Gubernur dan dari keturunan Kadipaten Paku Alaman sebagai wakil Gubernurnya.
Secara Yuridis Formil Yogyakarta diberikan status sebagai Daerah Istimewa dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kembali pada persoalan pokok mengenai pernyataan Presiden SBY, maka apa yang dikatakannya itu sebenarnya tidak selayaknya untuk dialamatkan kepada Yogyakarta. Sebab UUD 1945 sendiri telah mengakui dan menjamin perihal kekhususan atau keistimewaan suatu daerah, tepatnya diatur oleh Pasal 18 B ayat 1 yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."
Kembali pada persoalan pokok mengenai pernyataan Presiden SBY, maka apa yang dikatakannya itu sebenarnya tidak selayaknya untuk dialamatkan kepada Yogyakarta. Sebab UUD 1945 sendiri telah mengakui dan menjamin perihal kekhususan atau keistimewaan suatu daerah, tepatnya diatur oleh Pasal 18 B ayat 1 yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang."
Daerah yang bersifat khusus bisa digolongkan ke dalam;
1. Kekhususan fungsi dan kedudukannya, contoh: DKI Jakarta, berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007 ditetapkan sebagai Daerah Khusus terkait Fungsi dan Kedudukannya sebagai Ibu Kota Negara.
2. Kekhususan wewenang dan tugasnya, biasanya daerah ini diberikan status khusus dalam hal otonomi, jadi karena kekhususannya dalam hal wewenang dan tugas untuk mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya maka daerah ini dinamai daerah otonomi khusus. Otonomi khusus biasanya diberikan karena tuntutan dan kesenjangan ekonomi yang dialami daerah tersebut dibandingkan dengan daerah lain. Contoh: Otonomi Khusus bagi Provonsi Aceh dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Otonomi Khusus bagi Papua dalam UU No. 21 Tahun 2001.
Daerah yang bersifat Istimewa adalah daerah yang diberikan status sebagai Daerah Istimewa karena hak asal usul dan latar belakang sejarahnya. Atas dasar keistimewaannya itu maka perlu diberikan wewenang dan tata cara pelaksanaan pemerintahan yang khusus sesuai sejarah dan budaya masyarakatnya. Indonesia memiliki dua daerah Istimewa, yaitu DI Nangroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan DI Yogyakarta berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950.
Masing-masing Daerah Khusus dan Daerah Istimewa itu mempunyai kekhusussannya masing-masing. Contoh: DKI Jakarta yang mempunyai Kekhusussan dimana sistem pemilihan Walikota/Bupatinya tidak tunduk pada mekanisme Pilkada pada umumnya, karena Walikota dan Bupati dangkat oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Pertimbangan DPRD Provinsi Jakarta (Pasal 19 UU No. 29 Tahun 2007). Aceh mempunyai kekhususan untuk menyelenggarakan dan melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya (Pasal 4 UU No. 44 Tahun 1999). Begitupun dengan DI Yogyakarta yang memiliki kekhususan dalam hal pengisian jabatan Kepala Daerahnya yang berasal dari keturunan Raja Yogyakarta sebagai Gubernur dan dari keturunan Raja Kasuhunan Surakarta sebagai Wakil Gubernur. Semua kekhususan/keistimewaan dari daerah-daerah diatas, tidak terecuali Yogyakarta, diakui dan dihormati oleh Negara dan dajamin keberlangsungannya oleh UUD 1945 Pasal 18 B ayat 1.
Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi DIY yang tidak dilakukan melalui mekanisme Pemilu tidak dapat "dituding" begitu saja sebagai tidak demokratis. Jika sistem pengisian jabatan di Yogyakarta itu kemudian dipermasalahkan Presiden karena dianggap bertabrakan atau melanggar konstitusi, maka sekarang pertanyaannya ialah konstitusi mana yang terlanggar dengan sistem yang berlaku di DIY itu ? Pasal berapa dari konstitusi tersebut yang terlanggar ? Keistimewaan Yogyakarta justru telah dibingkai dalam kerangka konstitusional yang sangat kuat melalui Pasal 18 B ayat (1) UUD.
Dalam kacamata Hukum Tata Negara, hal yang seperti ini, yakni kekhususan atau keistimewaan suatu daerah adalah wajar terjadi dalam suatu negara yang memliki heterogenitas yang tinggi seperti Indonesia. Dengan meminjam teori yang dikemukakan oleh Geovani Sartori, Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan dengan disentralisasi a simetris, artinya walaupun negara berbentuk kesatuan namun dimungkinkan apabila ada perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya, terdapat variasi disana-sini. Hal inilah yang secara faktual memang terjadi di Indonesia.
Sepertinya kita harus berkaca sejanak pada sejarah kelam bangsa kita dimasa lalu dimana kebijakan Pemerintah Pusat yang keliru dapat berakibat fatal dan justru mengobarkan disintegrasi. Sebagai contoh, pada tahun 1950 Nangroe Aceh Darussalam diturunkan statusnya dari Daerah Istimewa menjadi Karesidenan yang berada dibawah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan itu diambil lantaran Pemerintah sedang berupaya melakukan penyederhanaan administrasi pemerintahan. Akan tetapi upaya pemerintah itu justru berubah menjadi malapetaka bagi keutuhan NKRI. Rakyat Aceh yang ketika itu dibawah kepemimpinan Tengku Daud Beureuh sebagai Gubernur melakukan resistensi (perlawanan), bahkan pada 20 September 1953 beliau memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Rakyat Aceh mengungkapkan ekspresi kekecewaannya dengan perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Indonesia, mereka merasa dikhianatai oleh Pemerintah. Karena dalam masa perjuangan kemerdekaan, Rakyat Aceh menyepakati suatu kontrak politik dengan Pemerintah Pusat dengan janji dipihak rakyat aceh bahwa mereka akan membela tegaknya NKRI dengan jiwa raga mereka dalam berbagai pertempuran melawan Belanda, diantaranya dalam pertempuran Medan Area, bahkan rakyat Aceh mengumpulkan harta mereka untuk disumbangkan kepada Negara untuk membeli 2 buah pesawat untuk kepentingan negara dan janji dipihak Pemerintah akan memberikan status Daerah Istimewa untuk Aceh mengingat latar belakang sejarah dan budaya masyarakatnya.
Peristiwa diatas hendaknya menjadi perhatian dan pembelajaran besar untuk kita semua betapa fatalnya akibat dari suatu kebijakan yang salah. Disintegrasi, ya disintegrasi menjadi ancaman sekaligus kenyataan dari direposisikannya suatu sistem masyarakat yang telah mendarah daging seperti kasus Pemberontakan rakyat Aceh diatas. Apa yang terjadi pada rakyat Aceh mempunyai kecenderungan yang sama dengan apa yang terjadi sekarang ini. Jika rakyat Aceh merasa dikhianatai karena kehilangan status keistimewaannya maka rakyat Yogyakarta pun merasakan hal yang sama, keistimewaan mereka akan hilang ketika sistem pemilihan Kepala Daerah mereka dirubah. Karena perlu anda ketahui, Keistimewaan Yogyakarta terletak pada pemimpinnya yang diangkat dari keturunan Raja Yogyakarta. Jadi konklusinya adalah; apabila Kepala Daerah mereka sudah tidak lagi diangkat dari keturunan Kerajaan Yogyakarta maka hilanglah keistimewaan Yogyakarta.
Semoga apa yang terjadi di masa lalu sebagai akibat dari Wrong Policy tidak sampai terjadi dimasa ini karena tentulah keadaaan masyarakat dimasa lalu sudah berubah dengan keadaan masyarakat dimasa kini yang cenderung lebih terdidik. Namun jika Pemerintah tidak peka dan sensitif terhadap aspirasi dan tuntutan masyarakat Yogyakarta maka bukan hal yang mustahil pula akan terjadi suatu keguncangan sosial, khususnya di Yogyakarta dan tidak menutup kemungkinan pula akan terjadinya krisis vertikal antara Sri Sultan Hamengku Buwono (yang didukung oleh rakyat Yogyakarta) dengan Pemerintah Pusat.
Menurut penulis, untuk merubah sistem yang telah terbangun dan berkembang dan telah mapan seperti di DI Yogyakarta perlulah kajian yang mendalam melibatkan berbagai elemen masyarakat yang bersangkutan. Pemerintah tidak bisa memutuskan secara sepihak, karena bagaimanapun dan seperti apapun sistem kepemimpinan di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta sendirilah yang akan merasakannya. Oleh sebab itu, selama tidak ada gejolak ataupun tuntutan mengenai sistem kepemimpinan dari dalam masyarakatnya sendiri maka menurut penulis tidaklah perlu untuk mengotak atik-atik sistem yang sudah mapan tersebut. Yogyakarta sendiri seringkali menjadi tolok ukur dan studi komparasi untuk berbagai hal, seperti transparansi pemerintahan, pelestarian budaya, dan pelestarian bangunan warisan sejarah.
Pada akhirnya polemik yang semacam ini cukuplah kita jadikan pelajaran untuk perbaikan dimasa yang akan datang dan jangan sampai kita terlalu larut dalam perbedaan yang mungkin saja akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Semoga polemik yang sedang "panas" ini segara didapati jalan keluarnya dan RUU Keistimewaan Yogyakarta segara rampung dan menjadi UU karena berbeda dengan daerah khusus/istimewa lainnya seperti DKI Jakarta yang telah memliki payung hukum mengenai kekhususannya sebagai Ibu Kota Negara melalui UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI dan Aceh yang juga telah memliki payung hukum mengenai keistimewaannya sebagai Derah Istimewa melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DI Nangroe Aceh Darussalam, Yogyakarta masih tertinggal dalam hal landasan hukum yang memayungi Keistimewaannya sebagai Daerah Istimewa karena masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1950 yang tentunya semakin usang terdegradasi oleh perkembangan zaman. Dan sesuai tujuan awal dibentuknya UU Keistimewaan DI Yogyakarta, semoga RUU ini kelak menjadi UU yang benar-benar semakin memperkuat kedudukan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dan benar-benar merupakan produk yang merepresantasikan aspirasi rakyat Indonesia (pada umumnya) dan Masyarakat Yogyakarta (pada khususnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar