Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 02 Juni 2011

Hak Recall Partai Politik dalam Pengertian dan Implementasinya

Oleh Arief Ainul Yaqin ·ditulis pada 19 April 2011

Recall secara etimologi adalah "penarikan kembali". Sedangkan Hak Recall  Partai Politik adalah suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen (DPR/DPRD) oleh partai politiknya. Perlu dikemukakan disini bahwa Recall yang dimaksud dalam tulisan ini adalah recall oleh partai politik, karena jika tidak dibatasi demikian, pembahasan recall akan lebih panjang lebar karena sesuai pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh badan kehormatan DPR.

     Recall dalam undang-undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebut pemberhentian/penggantian antarwaktu (pemberhentian dalam masa jabatannya).

      Mengapa hak Recall Partai Politik ini perlu dibahas ? pertama karena hak Recall ini merupakan salah satu perdebatan hangat dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu hukum dan ilmu politik. Hak Recall akan menarik untuk dikaji karena nilai kontroversinya yang begitu dilematis, bagai dua sisi uang logam yang berbeda satu sama lain.

     Sebenarnya titik perdebatan mengenai recall anggota DPR/DPRD ini muncul ketika recall itu dilihat secara umum, yaitu meliputi recall oleh parpol maupun oleh DPR sendiri melalui badan kehormatan, tentunya dengan alasan-alasan terntenu. Dalam Pasal 213 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 disebutkan mengenai alasan-alasan pemberhentian antarwaktu anggota DPR, antara lain:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena      melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.

     Jika memandang recall secara umum seperti diatas (dari poin a sampai poin i) memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya sebagai instrumen/lembaga yang dapat mengontrol anggota DPR, karena ketika memenuhi salah satu syarat recall diatas maka anggota DPR yang bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat kita bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada mekanisme pemberhentian anggota DPR sekalipun dia berbuat salah.

      Namun yang menjadi masalah adalah ketika hak recall ini diberikan kepada parpol, karena menurut Pasal 16 ayat (2) UU No.2 Tahun 2008 tentang Parpol. Parpol dapat merecall anggotanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD dan ART partai. Jika sudah direcall (diberhentikan dari partai politiknya) otomatis ia juga akan diberhentikan dari keanggotaannya di DPR/DPRD. Hal inilah yang menjadi titik pangkal permasalahannya, dimana hak recall parpol ini cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila parpol menganggap tindakan anggotanya yang menjadi anggota DPR/DPRD diluar garis kebijakan parpol maka Parpol akan merecallnya dari keanggotaan DPR/DPRD.

      Sekarang setelah diuraikan mengenai hak recall dalam pengertiannya, maka selanjutnya akan dibahas hak recall Parpol dalam implementasinya.

      Pada era reformasi, hak recall Parpol terhadap anggotanya mendapat banyak kritikan karena dianggap menghalang-halangi kebebasan anggota DPR untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall Parpol banyak digunakan untuk memberhentikan anggota DPR yang tidak tunduk pada kebijakan Parpol, akibatnya hak recall Parpol menjadi sebuah bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara langsung) anggota DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak Recall Parpol seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan anggota DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya.

     Pada masa DPR/DPRD periode 1999-2004, aspirasi dan tuntutan masyarakat itu kemudian diakomodir dalam UU No.2 Tahun 1999 tentang Parpol dan UU No.4 Tahun 1999 tentang Susudan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Hak Recall Parpol ditiadakan. Namun ternyata ketiadaan hak Recall Parpol ini tidak lantas membuat suasana ketatanegaraan menjadi stabil dan kondusif. Anggota DPR/DPRD ketika itu banyak yang melakukan perbuatan-perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang anggota dewan, seperti perjudian, perbuatan asusila, korupsi, suap, dan lain-lain. Keadaan itu timbul setidak-tidaknya karena ketiadaan hak Recall Parpol terhadap anggotanya dan juga lemahnya sistem pengawasan dan penegakan kode etik di internal DPR sendiri. Jadi ketika internal control  lemah dan eksternal control  pun lemah maka praktek-praktek seperti itulah yang muncul. Anggota dewan "yang terhormat" itu seringkali melakukan pelanggaran, ia seringkali berlindung dibalik hak imunitas yang dimikinya, padahal hak imunitas itu sendiri tidak diberikan untuk hal-hal semacam itu, hak imunitas berlaku manakala anggota dewan mengeluarkan pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapatnya yang berkaitan dengan fungsi, tugas, dan wewenang DPR/DPRD.

      Barkaca pada keadaan tersebut maka pada masa bakti DPR/DPRD periode tahun 2004-2009 melalui UU No.22 Tahun 2003 tentang Susduk MD3, mekanisme recall oleh Parpol kembali dihidupkan. Hak Recall itu tetap diberikan kepada Parpol pada masa bakti DPR/DPRD 2009-2014 melalui UU No.2 Tahun 2008 tentang Parpol dan UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3. Namun permasalahan tidak lantas selesai, Hak Recall Parpol ini kemudian kembali dipermasalahkan karena parktek yang selama ini berlangsung hak  Recall partai politik justru itu digunakan oleh Parpol untuk menyingkirkan orang-orang yang vokal dan kritis, dimana menurut Parpol, sikap anggotanya tersebut menyalahi kebijakan partai sehingga berdasarkan undang-undang, Parpol berhak merecallnya dengan mengusulkan pemberhentian anggota partai tersebut dari keanggotaan DPR/DPRD kepada pimpinan DPR/DPRD untuk kemudian disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian (pasal 214 UU. No27 Tahun 2009 tentang MD3).

      Sebagaiamana yang sudah disampaikan diawal bahwa hak Recall Parpol ini bagai dua sisi uang logam yang saling berbeda. Ada yang setuju dan ada juga yang menolak.

     Saat ini, alasan mengapa Recall oleh Parpol dibenarkan dan diimplementasikan adalah dengan merujuk ketentuan pasal 22 B UUD 1945 yang berbunyi "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang." Artinya UUD 1945 memang telah menyerahkan pengaturan mengenai Recall anggota DPR kepada UU. Kemudian amanat pasal 22 B UUD 1945 dielaborasi oleh UU No.2 Tahun 2008 tentang Parpol dan UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3. Kedua undang-undang tersebut memang meberikan hak kepada Parpol untuk merecall anggotanya dari keanggotaan DPR/DPRD. Jika memang anggota tersebut dianggap melanggar kebijakan Parpol sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Parpol yang bersangkutan. 
      Masalah yang muncul akhir-akhir ini dan menjadi trend pembicaraan dikalangan civitas akademika adalah recall oleh Parpol terhadap anggota DPR yang kritis dan vokal terhadap pemerintah, yaitu Lily Chadidjah Wahid dan Effendi Choirie. Hak Recall Parpol digunakan oleh pimpinan PKB untuk memberhentikan antarwaktu keduanya. Partai menganggap sikap kedua anggotanya tersebut diluar batas toleransi dan menyelahi kebijakan partai. Lily Wahid terkait sikapnya yang "mbelelo" (membelot) dari kebijakan farksinya (PKB) untuk mendukung pemerintah, karena saat voting dalam rapat Paripurna DPR untuk menerima hasil kerja Pansus terkait kasus Century untuk diteruskan kepada lembaga pro justicia , Lily Wahid adalah satu-satunya anggota DPR dari fraksi PKB yang memilik opsi C (opsi yang menyatakan ada permasalahan hukum dalam bail out Century). Sedangkan Effendi Choirie terkait sikapnya yang mendukung hak angket mafia pajak, padahal fraksi PKB saat itu menolak usul hak angket tersebut.

      Pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung mem-back up kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi sebab di-Recall-nya seorang anggota dewan yang justru bersikap vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak pro rakyat tersebut. Anggota DPR/DPRD seperti pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat adanya hak Recall dari Parpol, padahal kebebasan berpendapat dan kemerdekaan mengeluarkan pikiran telah dijamin oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam beberapa pasalnya, antara lain:
- Pasal 28 E UUD 1945
ayat (2)  "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."
ayat (3)  "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
- Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."

     Selain norma konstitusi tersebut diatas, hak recall Parpol dalam kasus diatas juga bertentangan dengan hak imunitas yang dimiliki oleh anggota DPR. Sebagaimana diatur dalam pasal 196 UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 yang menyatakan bahwa setiap anggota DPR mempunyai hak imunitas. Salah satu bentuk hak imunitas itu yakni; anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik didalam maupun diluar rapat DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang DPR.

      Jika kita mengacu pada ketentuan pasal 196 UU No.27 Tahun 2009 tersebut, maka nyatalah terlihat keganjilan dalam praktek pelaksanaan hak recall oleh parpol terhadap anggotanya, dimana secara faktual  Lily Wahid dan Effendi Choirie di recall oleh parpolnya (PKB) karena pernyataan dan sikapnya didalam rapat maupun diluar rapat DPR yang berkaitan dengan wewenang DPR, yaitu wewenang hak angket. Seharusnya jika memang pasal ini dicermati oleh Parpol yang bersangkutan, maka hak recall tersebut merupakan suatu Obscuur Feiten  ( fakta yang tidak dapat diterima) karena seharusnya kedua anggota DPR tersebut bereda dalam lindungan hak imunitas yang dimiliknya.

      Walaupun pendapat penulis berbeda dengan putusan MK tentang judicial review atas UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h dan UU No.2 Tahun 2008 tentang Parpol pasal 12 huruf g dan h, namun penulis tidak begitu saja mengaksiomakan (membenarkan) putusan MK. Walaupun secara legal consequens  putusan MK tersebut bersifat mengikat dan final sejak saat diucapkan. Namun sifat putusan MK yang final and binding  itu bukan berarti sebuah dinding penghalang bagi kajian-kajian akademis mengenai hak recall Parpol. Pasalnya yang penulis pertentangkan tidak hanya antara ketentuan mengenai hak recall Parpol dengan ketentuan dalam UUD 1945 (wewenang MK hanya memungkinkan MK memeriksa dan mengadili pengujian undang-undang terhadap UUD 1945) tetapi juga pertentang antara hak recall Parpol sebagaimana diatur dalam pasal 213 ayat 2 UU No.27 Tahun 2009 dan Pasal 12 huruf g dan h UU No2 Tahun 2008 dengan hak imunitas anggota DPR yang diatur dalam pasal 196 UU No.27 Tahun 2009.

      Menurut ketentuan pasal 196 UU MD3, seharusnya tidak ada alasan bagi Parpol untuk merecall anggotanya dari jabatannya sebagai anggota DPR dengan alasan pernyataan dan pendapatnya dalam menjalankan tugas dan wewenang DPR. Hak imunitas ini mengikat setiap anggota DPR dan seharusnya Parpol menghormati hak itu, toh mekanisme kontrol terhadap anggota DPR sudah dilakukan diinternal DPR oleh Badan Kehormatan, alasan-alasan bagi Badan Kehormatan untuk merecall anggota DPR justru lebih rasional dan dapat diterima oleh hukum, bukan semata-mata alasan-alasan yang bertendensi dan sarat akan kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.

      Namun perlu disyukuri bahwa undang-undang Partai Politik, dalam pasal 32 dan 33, memberikan ruang bagi anggota DPR/DPRD untuk mencari keadilan atas penggunaan hak recall Parpol terhadapnya untuk diselesaikan, baik melalui upaya litigasi maupun non litigasi.

      Seperti kasus yang menimpa Lily Wahid dan Effendi Choirie, keduanya memanfaatkan ruang yang diberikan oleh undang-undang untuk menggugat PKB dan pimpinan DPR di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tujuannya untuk mencari keadilan.
Pengadilan akan memutus gugatan tersebut, apabila mengabulkan maka hak recall Parpol terhadap Lily Wahid dan Effendi Choirie batal demi hukum dan tidak bisa dilanjutkan (karena saat ini Lily Wahid dan Effendi Choirie belum resmi diberhentikan antarwaktu sebagai anggota DPR). Namun apabila gugatan ditolak, maka proses recall terhadap keduanya akan dilanjutkan dan akan diberhentikan antarwaktu. Namun jika masing-masing
pihak (penggugat ataupun tergugat) tidak puas terhadap putusan PN Jakarta Pusat maka masih dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung tersebut akan bersifat final dan terakhir.


http://a8.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc6/215742_1339576105262_1706957704_564368_3733436_n.jpg

2 komentar:

  1. maaf masbro, saya baca tulisan anda kok jadi bingung;
    sebenarnya recall anggota DPR ini mulai kapan adanya & diatur dimana? karena tulisan di atas dijelaskan bahwa recall adalah pergantian antar waktu sesuai UU No.27/2009 ttg MD3 dan/atau UU No.2/2008 ttg Parpol, tapi lembaga recall ini pernah ditiadakan dengan UU no.2/1999 ttg parpol dan UU no.4/1999 ttg Susduk MD3.???
    yg mengatur recall th. 2008 & 2009 tapi pernah dicabut th. 1999???

    BalasHapus
  2. Maaf kalau tulisan ini kurang jelas dlm mengutarakan sejarah hak recall di Indonesia.
    Apabila kita menelusuri sejarah recall anggota legislatif di Indonesia, sebetulnya hak recall sdh dikenal sejak masa orde baru, tepatnya dgn dikeluarkannya UU No. 16 Th 1969 tntg Susduk MPR, DPR, dam DPRD. UU itu mengatur bbrp ketentuan tntg pemberhntian anggota legislatif oleh Parpol yg mnjd induknya.

    Itulah sebabnya diatas saya katakan Recall pernah ada, namun ketika memasuki masa reformasi (1999) melalui UU No. 2/99 tntg Parpol dan UU No. 4/99 tntg Susduk MPR, DPRD, dan DPRD hak recall partai politik dihapuskan. Setelah 2 tahun praktek recall oleh Parpol ditiadakan ternyata keadaan tdk menjadi kondusif, banyak anggota legislatif yang melanggar hukum atau etika sebagai pejabat. Itulah sebabnya pada amandemen kedua UUD 1945 dimasukan ketentuan yg kemudian akan memungkinkan pembuat UU utk kembali mengatur dan menghidupkan hak recall Parpol (Pasal 22B UUD 1945). Selanjutnya melalui UU No. 31 Th 2002 tntg Parpol dan UU No. 22 th 2003 tntg Susduk MPR, DPR, dan DPRD, hak recall Parpol yg sempat "dimatikan" pd tahun 1999 kembali "dihudupkan" dan itu berlangsung sampai sekarang.

    BalasHapus