Rabu,12 Januari 2011 Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Hakim Ketua Mahfud M.D mengabulkan uji materi/judicial review terhadap pasal 184 ayat (4) UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang diajukan beberapa anggota DPR. Sebagai pembuka, mari kita lihat bunyi pasal tersebut: "Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Ya, pasal ini berkaitan dengan mekanisme politik dalam rangka penggunaan hak menyatakan pendapat DPR yang secara bertahap dapat menuju pada proses pemakzulan/pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Sebelum lebih jauh membahas substansi permasalahan ini ada baiknya penulis menyajikan pengertian dan pemahaman tentang hak menyatakan pendapat ini. Hak menyatakan pendapat diatur dalam pasal 20 A ayat (2) UUD 1945, hak ini merupakan atribusi/kewenangan yang diberikan konstitusi dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Secara normatif, di dalam sistem pemerintahan presidensiil, legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) tidak dapat saling menjatuhkan. Namun pada umumnya konstitusi dibanyak negara dengan sistem presidensiil tetap memberikan ruang kepada rakyat melalui wakilnya di parlemen untuk menuntut pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional yang biasa dikenal dengan istilah Impeachment/pemakzulan. Hak menyatakan pendapat inilah yang merupakan pintu masuk bagi DPR untuk melaksanakan pemakzulan tersebut.
Secara umum dapat dikatakan pemakzulan di Indonesia sangat sulit dan harus melalui proses yang rumit yaitu proses politik di DPR dan MPR dan proses hukum di MK (forum privelegiatum). Dimulai dari:
1. usul hak menyatakan pendapat yang hanya dapat diajukan sedikitnya oleh 25 anggota DPR
2. sidang paripurna DPR untuk menerima usul hak menyatakan pendapat menjadi hak menyatakan pendapat dengan kuorum 3/4 suara yang menyetujui dari 3/4 (yg sekarang telah dicabut oleh MK dan menggantinya dengan kourum mayoritas sederhana/50+1 suara)
3. membentuk panitia khusus guna persiapan mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/Wakil Presiden kepada MK. Setelah panitia khusus bekerja dan memberikan laporan kerja, DPR mengadakan sidang paripurna untuk menerima atau menolak laporan tersebut melalui sidang paripurna
4. sidang paripurna untuk menerima atau menolak laporan tersebut harus dihadiri oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 dari anggota yang hadir. Dalam hal DPR meneyetujui usul itu, DPR meneruskan usul itu kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus
5. Dalam waktu paling lambat 90 hari setelah MK menerima usul DPR, MK harus memutuskan apakah Presiden dan/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
6. Dalam hal MK memutuskan bahwa pendapat DPR seperti diatas terbukti, maka DPR menyelenggarakan paripurna untuk meneruskan proses (usul pemakzulan) tersebut kepada MPR
7. Dalam waktu paling lambat 30 hari setelah diterimanya usul DPR, MPR mengadakan sidang
8. Keputusan final mengenai usul pemakzulan ini diputuskan oleh MPR dalam rapat paripurna MPR setelah mendengar penjelasan Prseiden dan/Wakil Presiden dengan syarat dihadiri oleh 3/4 dr jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dr jumlah anggota yg hadir.
Mekanisme konstitusional yang harus di lalui untuk pemakzulan begitu panjang dan rumit, mekanisme diatas hanyalah mekanisme secara konstitusional yuridis, belum lagi jika ditambah dengan proses politik seperti lobi-lobi politik, tawar menawar kesepakatan, konsolidasi suara untuk memenuhi/menggagalkan kuorum, dan lain sebagainya. Proses berliku itu akhirnya sedikit teratasi oleh keputusan MK tentang uji materi pasal 184 ayat (4), MK membatalkan bunyi pasal yang mensyaratkan kuorum 3/4 di internal DPR untuk menerima usul hak menyatakan pendapat menjadi hak menyatakan pendapat. Mahkamah Konstitusi hanya mensyaratkan kuorum mayoritas sederhana untuk menerima ususl tersebut, dan yang dimaksud kourum mayoritas sederhana ini adalah 50+1 suara.
Mahkamah Kostitusi menyatakan pasal 184 ayat (4) tidak sesuai dengan pasal 7 B ayat (2), dimana ketentuan suara minimal pada pasal 184 ayat (4) justru lebih tinggi dibandingkan ketentuan suara minimal pada Pasal 7 B ayat (2). Pasal 7 B ayat (2) hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya 2/3 suara dari 2/3 jumlah anggota yg hadir dr seluruh anggota DPR. Sedangkan pasal 184 ayat (4) justru mensyaratakan kuorum sebesar 3/4 suara dari 3/4 jumlah anggota yang hadir dari seluruh anggota DPR. MK memutuskan bahwa kuorum pada pasal 184 harus lebih rendah dari kuorum pasal 7 B ayat (2). Dan ketentuan itu menjadi 50+1 dari seluruh jumlah anggota DPR harus hadir dan disetujui oleh 50+1 dari anggota yang hadir.
Lalu apakah dengan dikabulkannya uji materi dan perubahan syarat minimal ini akan membuka peluang pemakzulan ?
jawaban untuk pertanyaan ini bersifat ambivalen; disatu sisi memang mempermudah jalan untuk pemakzulan dengan syarat suara yg disederhanakan itu. Namun disisi lain pemakzulan terhadap Wakil Presiden yang diwacanakan terkait kasus Century ini tetap sulit. Mengapa ? untuk menjawabnya maka sekarang saatnya membawa pembaca sekalian pada kondisi riil di DPR.
Seperti sudah kita ketahui bersama, partai penyokong pemerintahan SBY-Boediono ini adalah Partai Demokrat. Dalam Pemilu 2009 yang lalu, Demokrat berhasil meraih kursi terbanyak di DPR yaitu 148 kursi dari 560 kursi di DPR. Kekuataan konfigurasi partai politik pemerintahan bertambah mayakinkan setelah berkoalisi dengan sejumlah partai. Walaupun pada kasus bergulirnya Angket Cenutry yang lalu banyak partai koalisi yg "membelot" dari opsi mendukung pemerintah. Namun setidaknya masih ada dua partai koalisi yg masih setia kepada pemerintah, yakni PAN dan PKB. PAN sendiri mempunyai 46 suara di DPR, sedangkan PKB memliki 28 suara. Jadi, suara yang sekiranya tetap konsisten mendukung pemerintah ini ada 219 (seharusnya jumlahnya 220 tetapi dikurangi 1 suara, yaitu Lily Wahid yang berasal dari PKB yg ternyata membelot dari keputusan partainya).
Jadi dengan konstelasi politik yang mendukung pemerintah ini kurang lebih pemerintah memiliki sebanyak 219 suara (Demokrat, PAN, dan PKB) di DPR dan jika jumlah suara itu tetap konsisten seperti itu, ditingkat DPR saja pemakzulan itu sudah nyaris MUSTAHIL terjadi . Mengapa ? pada sidang paripurna DPR untuk meneruskan usul pemakzulan kepada MK saja dibutuhkan kehadiran minimal 373 anggota (2/3 dr 560). Dengan konfigurasi politik pro pemerintah di DPR yg mencapai angka 219 maka sarat untuk dihadiri oleh 373 anggota itu saja bisa digagalkan oleh partai pendukung pemerintah, misalnya dengan abstain. 560-219=341, dengan begitu saja sidang paripurna tersebut akan gagal. Sedangkan masih banyak lagi cara yang bisa dilakukan oleh partai koalisi pro pemerintah untuk mementahkan proses pemakzulan. Andai saja rapat itu dihadiri oleh semua anggota DPR, sebanyak 560, maka kuorum yang harus dicapai minimalnya sebesar 373 suara dan jika partai pro pemerintah yang tiga itu ingin berpolitik secara elegan dengan tidak memilih jalan abstain dan memilih tetap menghadiri sidang, maka sarat minimal itu lagi-lagi tidak akan tercapai. Dengan tiga partai itu tidak memilih opsi meneruskan usul pemakzulan kepada MK saja kuorum sebesar 2/3 atau 373 suara itu akan kembali gagal terpenuhi. Belum lagi permsalahan hukumnya sendiri yang belum selesai disidik oleh lembaga penegak hukum.
Di tingkat pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi sendiri jelas akan menemukan kesulitan yang sangat mendasar karena untuk memutuskan bahwa Wakil Presiden, dalam hal ini Boediono bersalah diperlukan proses hukum yang independen dan merdeka, tidak lagi terkontaminasi oleh tarik menarik kepentingan politik. Mahkamah Konstitusi dengan jumlah hakim yang hanya 9 orang juga akan mendapat masalah yang tidak kecil, disatu pihak; mengadili, memeriksa, dan memutus pendapat DPR tentang pemberhentian Wakil Presiden adalah kewajiban yang diamanatkan konstitusi dan "celakanya" harus sudah diputus selambat-lambatnya 90 hari. Di pihak lain, MK akan dihadapkan pada pembuktian tuduhan pelanggaran hukum terkait Bail Out Century yang ternyata sampai sekarang belum jelas arah dan perkembangan penyidikannya. Kesemuanya itu seakan menjadi sebuah dinding yang begitu besar yang akan menghambat (jika tidak boleh penulis katakan sebagai penghalang) proses pemakzulan terhadap Wapres Boediono.
Dan yang terakhir, andai pun paripurna DPR berhasil memoloskan usul pemeberhentian itu kepada MK dan kemudian MK memutus bahwa Boediono bersalah, maka inisiator pemakzulan harus bersabar dan kembali memainkan dan merancang manuver politik ditubuh MPR. Syarat minimal untuk memutuskan apakah Wapres akan diberhentikan atau tidak harus dihadiri sekurang-kurangnya 519 anggota MPR (3/4 dari 592 anggota MPR) dan harus disetujui oleh 2/3 dari anggota yang hadir. Sebut saja misalnya semua anggota MPR hadir, maka suara yang dibutuhkan untuk memberhentikan Wapres minimal harus 394 suara. Bukan suara yang sedikit dan mudah untuk dicapai.
Kesimpulan yang dapat penulis uraikan adalah "Pemakzulan adalah hak politik yang asasi dari seluruh warganegara Indonesia melalui wakil-wakilnya di parlemen namun perlu kita ingat bahwa pemakzulan hendaknya dilaksanakan hanya jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarka bukti yang kuat diduga telah melanggar hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bukan atas dasar keinginan dan ambisi politik yang semu dan pragmatis untuk kepentingan golongan tertentu."
Saran yang penulis harapkan yang mudah-mudahan menjadi sebuah atensi dari para politisi adalah, sebaiknya dan memang akan jauh lebih baik apabila wakil rakyat bersama-sama dengan pemerintah melanjutkan dan menggiatkan saja upaya hukum yang sedang berjalan terkait dengan kasus Cantury di lembaga penegak hukum. Akan lebih terhormat dan berkeadilan jika pelanggaran terhadap segala sesuatu, termasuk yang melibatkan pejabat negara, terlebih dahulu dilakukan proses pencarian pembuktian oleh lembaga penegak hukum. Hal ini penting agar kepastian hukum dapat tercapai. Bukankah suatu kedzaliman membawa seseorang pada kondisi terduga dan digonjang ganjing oleh wacana pemakzulan, apalagi jika sudah dihadapkan pada mekanisme pemakzulan, sedangkan upaya hukum terhadap kasus yang menjadi dasar dugaannya saja masih dalam proses dan belum pasti ???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar