Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan, menyaksikan, atau mungkin merasakannya sendiri, kita tidak dilayani secara baik dan layak oleh; pegawai publik, aparat penegak hukum, bahkan ditingkat pejabat -pejabat negara. Mereka seringkali dalam menjalankan tugasnya mengharapkan hadiah atau imbalan dari masyarakat. tentu saja dengan keahlian mereka berkilah mereka akan menggunakan kata-kata balas budi, uang pelicin, dan lain sebagainya.Bahkan terkadang pelayanan baru diberikan apabila 'uang pelicin' atau 'uang balas budi' sudah diterima. Kenyataan ini sesungguhnya sudah sangat meresahkan kita semua, yang konon katanya sebagai pemilik asli kedaulatan yang harus dilayanai oleh penyelenggara negara. Nah bagaimana hal ini dalam kacamata negara hukum (rechtsataat) ? Mari kita kupas secara singkat, jelas, dan simpel.
Gratifikasi dalam bahasa Inggris adalah gratify yang berarti memberi kebahagiaan, memberi kepuasan. Gratifikasi dalam terminologi hukum adalah setiap pemberian atau hadiah dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, tiket perjalanan, serba-serbi fasilitas lainnya yang diberikan karena ada hubungannya dengan jabatan, kekuasaan, dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Gratifikasi adalah suatu perbuatan yang berpeluang menimbulkan penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan karena ada iming-iming pemberian. Dalam tingkat yang paling ekstrim, gratifikasi ini akan mengarah kepada tindak pidana penyuapan dan korupsi. Mengapa ? karena yang diberi hadiah itu adalah orang yang memiliki akses terhadap kebijakan-kebijakan publik atau setidaknya yang mempunyai andil dalam pembuatan kebijakan publik. Bahkan Plato (427-347 SM) seorang filsuf Yunani kuno mengatakan "Para pelayan bangsa harus memberikan pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-hadiah. Mereka yang membangkang harus, kalau terbukti bersalah, dibunuh tanpa upacara."
Di era supremasi hukum seperti saat ini, Gratifikasi (dalam terminologi hukum) adalah ancaman bagi kedewasaan berdemokrasi sekaligus parasit dalam menciptakan mental yang tangguh dan integritas moral dikalangan penyelenggara negara. Gratifikasi sejak tahun 2001 telah menemukan dasar hukumnya melalui Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gratifikasi telah memiliki pijakan hukum dalam menentukan apa itu gratifikasi, bagaimana itu gratifikasi, dan seperti apa konsekuensi hukum yang akan diterima oleh seorang gratifikan.
Dalam pasal 12 B UU No.20 Tahun 2001 yang merubah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliarrupiah).
Makna dari pasal diatas adalah: Gratifikasi yang dapat dimajukan dan diproses secara hukum adalah gratifikasi yang melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Pada ayat kedua disebutkan ancaman hukuman bagi para pegawai negeri dan penyelenggara negara yang melakukan gratifikasi.
Kemudian Pasal selanjutnya, pasal 12 C dari Undang-undang yang sama berbunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dapat disimpulkan bahwa jika penerima Gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya gratifikasi maka ancaman hukuman yang disebutkan dalam pasal 12 B menjadi gugur dan akan melahirkan dua variabel; 1- gratifikasi itu ditetapkan sebagai milik penerima atau 2- gratifikasi itu ditetapkan menjadi milik negara. Kemudian setelah KPK menerima laporan itu maka dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari, KPK harus menentukan dan menetapkan apakah gratifikasi itu menjadi milik negara ataukah menjadi milik penerima gratifikasi. Mengenai ayat yang ke empat, aturan dan tata cara pelaporan gratifikasi disebutkan dalam bab III tentang tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut substansinya:
BAB III TATA CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal 16: Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut :
a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang kurangnya memuat :1. nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2. jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3. tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4. uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5. nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal 17:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
(2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
(3) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korups isebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat(4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
(6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 18: Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dalam Berita Negara.
Dari norma peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang gratifikasi dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan embrio dari terjadinya tindak pidana suap. Hal ini wajar saja terjadi jika budaya gratifikasi terus berakar dimasyarakat tanpa adanya suatu koridor hukum yang dapat memberikan batasan-batasan. Seperti dijelaskan dalam Pasal 12 B tentang ancaman hukuman bagi yang menerima gratifikasi tanpa melapor ke KPK, adalah ancaman hukuman dengan dakwaan tindak pidana suap. Hal ini berarti antara gratifikasi dan suap itu ada kecenderungan (kesamaan) dan memiliki perbedaan yang tipis. Untuk perbedaan ini penulis mempunyai rumus: Gratifikasi= hadiah+jabatan. Sedangkan Suap= Gratifikasi+jabatan. Keduanya sama-sama menjadikan jabatan, kekuasaan, dan wewenang sebagai motif dari suatu pemeberian/hadiah, perbedaannya adalah gratifikasi masih merupakan Zaakwarneming (sesuatu yang boleh) asalkan tidak bertentangan dengan kewajiban dan wewenangnya serta melaporkannya ke KPK. Sedangkan suap adalah perbuatan onrechtmatigedaad (sesuatu yang bertentangan dengan hukum) karena pemberian itu mengakibatkan kontrak/konsekuensi kepada yang diberi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cara menyalahgunakan jabatan, kekuasaan, dan wewenang yang dimiliknya. Perbedaan itu akan musnah seketika (artinya gratifikasi sama dengan suap) manakala gratifikasi itu tidak dilaporkan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini adalah KPK. Jadi kalau dirumuskan adalah Gratifikasi=Suap apabila tidak dilaporkan ke KPK.
Penjelasan diatas baru membahas nasab (hubungan darah) atau korelasi antara Gratifikasi dan suap. Lalu bagaimana hubungan Gratifikasi dan suap dengan salah satu Extraordinary Crime yaitu korupsi. Hubungannya adalah jika Gratifikasi merupakan embrio dari Suap maka suap merupakan janin dari korupsi. Apa artinya ? artinya, jika gratifikasi saja gagal dicegah agar tidak menimbulkan tindak pidana suap maka hal ini akan berimplikasi pada rentannya keberhasilan pencegahan korupsi. Jika gratifikasi sudah sulit dikendalikan dan berubah menjadi suap maka tindak pidana suap akan terus maju dan berkembang, tidak lagi sebagai upaya pemberian namun akan menjadi upaya pengambilan kekayaan negara secara melawab hukum. Nah, pada taraf inilah Korupsi mulai lahir. Jadi secara singkat, kronologis timbulnya gratifikasi, suap, dan akhirnya korupsi bisa digambarkan sebagai berikut: Gratifikasi-Suap-Korupsi.
Dari beberapa peraturan perundang-undangan pun jelas dapat kita pahami bahwa keterkaitan antara gratifikasi, suap, dan korupsi ini benar-benar merupakan ancaman dan bahaya bagi bangsa dan negara kita. Aturan dan landasan yuridis formil gratifikasi terdapat dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU no. 20 tahun 2001) dan undang-undang komisi pemberantasan korupsi (UU no. 30 tahun 2001), begitu juga dengan landasan yuridis formil tindak pidana suap yang berasal dari gratifikasi, dimuat juga dalam dua undang-undang tersebut, yaitu berupa prosedur pembuktian apakah gratifikasi itu termasuk suap atau bukan serta ancaman hukumannya (pasal 12 B UU no.20 tahun 2001). Dalam pasal 6 D junto pasal 13 B UU KPK terkandung pengertian bahwa gratifikasi dan suap merupakan tugas dari KPK dalam bidang pencegahan tindak pidana korupsi, kemudian wewenang yang diberikan dalam pelaksanaan tugas itu adalah menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi melalui mekanisme seperti dalam bab III UU KPK yang telah disebutkan diatas.
Jadi setelah penjelasan yang cukup singkat dan mudah-mudahan dapat dipahami oleh pembaca sekalian, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa jika ingin memberantas korupsi mulailah dengan meninggalkan kebiasaan gratifikasi, jika kebiasaan itu sudah ditinggalkan maka niscahya ekses buruk yang dapat timbul karena budaya masyarakat yang suka gratifikasi dan suap yaitu korupsi, dapat direduksi (kalau memang tidak bisa dihilangkan). Ingat gratifikasi adalah embrio dari segala bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan kekuasaan, jabatan, perekonomian, kekayaan negara dan masih banyak yang lannya. Seseorang yang sudah terbiasa memberi dan menerima gratifikasi maka dia juga akan terbiasa dengan menyuap dan disuap, jika seorang sudah biasa disuap dan menyuap maka dia juga tidak akan ragu untuk melakukan tindak pidana korupsi.
nice post hehehhee
BalasHapustrmksh buat postnya bantu tugasq hehehehehhehe ^_^
BalasHapus