Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Kamis, 02 Juni 2011

Deponering Kasus Bibit-Chandra


oleh Arief Ainul Yaqin ditulis pada 12 November 2010 jam 20:16


       Tulisan kali ini diangkat dari sebuah Kliping yang penulis kumpulkan dan pelajari lalu kemudian direvisi beberapa bagiannya untuk lebih mudah dibaca dan dipahami.

       Sebelum beranjak ke pokok permasalahan, ada baiknya penulis lampirkan beberapa definisi dari beberapa keyword dalam catatan ini, antara lain;
  • SPPP; Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Surat ini berfungsi untuk menghentikan kasus ditingkat Penyidikan dengan beberapa alasan, yakni tidak cukupnya bukti, peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau ditutup (perkaranya) demi hukum. Dasar hukum: pasal 7 i jo pasal 109 ayat (2) KUHAP.
  • SKPP; Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan. Surat ini berfungsi untuk menghentikan kasus ditingkat Penuntutan (kejaksaan) dengan alasan yang sama dengan SPPP diatas. Dasar hukumnya pasal 14 H jo pasal 140 ayat (2) huruf a , b, c, dan d.
  • Deponering; Mengesampingkan perkara. Deponering ini merupakan perwujudan dari asas oportunitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa penuntut umum berhak untuk tidak menuntut suatu perkara yang diajukan kepadanya. Dewasa ini, asas ini diterapkan diseluruh negara kecuali Jerman. Di Indonesia sendiri deponering ini hanya dapat dikeluarkan oleh Jaksa Agung (sebut saja hak prerogratifnya). Dasar hukumnya pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

       Sudah satu tahun lebih kasus yang menyeret dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah ini bergulir dan terus mewarnai headline dari setiap pemberitaan media masa di tanah air. Kasus yang diduga didalamnya terdapat upaya kriminalisasi oleh berbagai pihak dan kepentingan yang menyeret dua pimpinan KPK ini sontak mendapat perhatian publik secara masif.

      Sejak ditahannya Bibit dan Chandra oleh penyidik Mabes Polri pada 29 Oktober 2009, perhatian media masa dan seluruh masyarakat tertuju pada perkara ini, spekulasi demi spekulasi dan bahkan analisa yuridis dari para ahli mengenai kasus ini banyak mengemuka. Opini publik pun segera terbentuk bahwa ditahannya Bibit dan Chandra tanpa berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Begitu juga dengan hal-hal yang seharusnya diperhatikan penyidik untuk menahan seseorang sebagaimana tercantum dalam KUHAP ternyata diabaikan oleh Penyidik.

       Setelah melewati waktu yang panjang, akhirnya pada 29 Oktober 2010 Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Darmono, mengeluarkan Deponering terhadap kasus yang menimpa dua pimpinan KPK tersebut. Kasus ini di kesampingkan oleh Plt Jaksa Agung untuk kepentingan umum, yaitu kepentingan negara dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Republik tercinta ini.

kronologis Kasus Bibit-Chandra;
  • KPK melakukan penyadapan terhadap pembicaraan Susno Duadji (Kabareskrim saat itu) dan Lucas dalam hal rekomendasi pencairan dana nasabah Bank Century sebesar US$ 18 juta. Dalam hal itu terdapat indikasi pemberian dana suap sebesar 10 Milyar kepada Susno Duadji. Ternyata hal ini berbuntut panjang berupa perseteruan Polri dan KPK, karena Susno Duadji merasa tidak terima terhadap penyadapan yang dilakukan KPK kepadanya.
  • 16 Mei 2009 Antasari Azhar yang ketika itu ditahan atas tuduhan Pembunuhan Dirut PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, membuat testimoni tentang adanya dugaan penyuapan terhadap pimpinan KPK.
  • 6 Juli 2009 Antasari Azhar melaporkan dugaan penyuapan kepada pimpinan KPK kepada Mabes Polri berdasarkan rekaman percakapannya dengan Anggoro Widjojo (tersangka dugaan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu Kementrian Kehutanan).
  • 15 Juli 2009 Anggodo Widjojo dan Ary Muladi mengaku telah menyerahkan uang sebesar Rp. 5,1 Milyar kepada pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah. Uang itu digunakan sebagai upaya suap agar kasus yang membelit kakak Anggodo Widjojo (Anggoro Widjojo) dihentikan oleh KPK.
  • 7 Agustus 2009 Penyidik menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni keputusan pencekalan Anggoro Widjojo dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra tanpa persetujuan pimpinan KPK lainnya dan memaksa petugas keimigrasian untuk melaksanakan keputusan tersebut. Dasar tuduhan yang digunakan penyidik adalah pasal 21 ayat 5 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan pasal 23 UU No.31 tahun 1999 junto pasal 421 KUHP.
  • 25 Agustus 2009 Penyidik menambahkan tuduhan kepada Bibit dan Chandra yaitu tuduhan penyuapan berdasarkan keterangan dari Ary Muladi, pasal yang dituduhkan yaitu pasal pasal 12 e UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • 15 September 2009 Bareskrim Mabes Polri menetapkan Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah sebagai tersangka kasus penyalahgunaan kekuasaan dan pemerasan.
  • 2 Oktober 2009 berkas perkara Chandra dikirimkan ke Kejaksaan dan pada tanggal 9 Oktober 2009 berkas perkara Bibit dikirimkan ke Kejaksaan dan ternyata dikembalikan beberapa kali kepada penyidik untuk dilengkapi.
  • 29 Oktober 2009 Bibit dan Chandra ditahan di Markas Brimob Kelapa Dua Depok karena penyidik menganggap kedua tersangka itu telah mempersulit jalannya pemeriksaan dengan melakukan penggiringan opini publik terhadap kasusnya.
  • 2 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk tim 8 yang bertugas mencari fakta dan verifikasi terhadap kasus Bibit dan Chandra yang diketuai Adnan Buyung Nasution.
  • 3 November 2009 dalam sidang uji materil pasal 32 ayat 1 huruf c yang diajukan oleh Bibit dan Chandra, Mahkamah Konstitusi juga memperdengarkan transkrip rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah pihak.
  • 4 November 2009 Bibit dan Chandra dibebaskan dari penahanan akibat dari tekanan publik yang sangat luar biasa dan penangguhan penahanan dari berbagai pihak.
  • 22 November 2009 setelah tim 8 bentukan Presiden selesai bekerja dan memberikan laporan serta rekomendasi, presiden dalam pidatonya meminta kasus Bibit dan Chandra diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan.
  • 1 Desember 2009 menanggapi seruan Presiden, Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) dengan dasar alasan sosiologis kemasyarakatan terhadap kasus Bibit dan Chandra .
  • 24 Maret 2010 Anggodo melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan atas SKPP Bibit dan Chandra ke Pengadilan Negri Jakarta Selatan.
  • 19 April 2010 Pengadilan Negri Jakarta Selatan mengabulkan (memenangkan) gugatan praperadilan Anggodo atas SKPP Bibit dan Chandra.
  • 3 Juni 2010 Pengadilan Tinggi menolak permohonan banding Kejaksaan Agung atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan memerintahkan proses penuntutan terhadap Bibit dan Chandra dilanjutkan.
  • 8 Oktober 2010 Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali Kejaksaan Agung atas putusan pengadilan tinggi.
  • 29 Oktober 2010 plt Jaksa Agung mengeluarkan putusan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra.

       Sejak saat Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah dijadikan tersangka oleh penyidik Mabes Polri tanggal 15 september 2009 atas dugaan penyalahgunaan wewenang/jabatan dan pemerasan, kasus ini memang menjadi tanda tanya besar masyarakat luas, dan civitas akademika khususnya.

       Polisi sepertinya terlalu terburu-buru menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang yang tak lama berselang melakukan penahanan terhadap keduanya. Padahal fakta dan bukti yang dimiliki sangat lemah, yakni:
·        berdasarkan indikasi tindak pidana suap menurut keterangan Anggodo Widjojo dan Ary Muladi
·        penyalahgunaan wewenang terhadap keputusan pencekalan Anggoro Widjojo dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra yang diduga oleh penyidik diputuskan tanpa mengindahkan pasal 21 ayat 5 UU KPK (pengambilan keputusan secara kolektif)
·        tuduhan memaksa institusi keimigrasian untuk melarang Anggoro keluar negeri dan pencabutan larangan bepergian keluar negri atas Joko Tjandra yang melanggar pasal 421 KUHP jo Pasal 23 UU No.31 tahun 1999 tentang Tipikor.

Dari sinilah hiruk pikuk tatanan hukum nasional mulai diguncang oleh, apa yang dinamakan publik sebagai kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kriminalisasi sendiri berarti proses pengkriminalan seseorang, artinya seseorang sebenarnya tidak melakukan tindak kriminal tetapi oleh pihak lain diupayakan/direkayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah orang itu melakukan tindak kriminal.

       Keadaan ini tentu saja menyita waktu, energi, dan konsentrasi penegakan hukum selama 1 tahun terakhir ini. Masyarakat dan kalangan yang simpati terus berupaya memantau dan mengawasi proses hukum yang sarat dengan kriminalisasi ini. Publik bereaksi, demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa, LSM, dan komponen masyarakat lainnya terjadi dihampir seluruh daerah di tanah air. Gerakan satu juta facebooker yang menyuarakan aspirasinya lewat media internet turut meramaikan aksi penolakan terhadap penahanan Bibit dan Chandra. Gerakan itu didukung oleh 1 juta lebih anggota facebook pada 7 November 2009.

       Non-aktifnya dua wakil ketua KPK akibat statusnya sebagai tersangka semakin membuat KPK kehilangan daya untuk melanjutkan pemberantasan Korupsi. Terang saja ini melemahkan KPK karena beberapa bulan sebelumnya KPK telah “ditinggalkan” oleh ketuanya Antasari Azhar yang menjadi terdakwa kasus Pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen. Sehingga kinerja KPK sangat memprihatinkan dengan hanya ditopang oleh dua orang pimpinan sisa, yaitu M. Jasin dan Haryono.

       Perjalanan “kriminalisasi” pimpinan KPK ini terus berlanjut hingga satu tahun kemudian (saat ini). Setelah menanggapi  seruan Presiden dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan oleh Kejaksaan Agung pada 1 Desember 2009. Psaca penerbitan SKPP Bibit dan Chandra kembali menempati posnya sebagai wakil ketua KPK. Namun karena alasan dari penerbitan SKPP ini tidak berdasar dan tidak dikenal oleh KUHAP, yaitu alasan sosiologis kemasyarakatan, maka pihak ketiga, yakni Anggodo mengajukan gugatan praperadilan terhadap SKPP Bibit dan Chandra. Seperti dikatakan penulis sebelumnya bahwa alasan diterbitkannya SKPP adalah tidak berdasar maka Pengadilan Negri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan pembatalan SKPP Bibit dan Chandra.
Menurut penulis, putusan Pengadilan Negeri itu memang sudah tepat, karena dasar hukum SKPP adalah pasal 140 ayat 2 KUHAP, pasal itu menyebutkan alasan penerbitan SKPP, yaitu jika tidak terdapat cukup bukti atau perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana atau perkara ditutup demi hukum. Sedangkan alasan yang digunakan Kejaksaaan adalah alasan sosiologis kemasyarakatan. Ini jelas merupakan kesalahan fatal yang seharusnya tidak terjadi. Bagaimana mungkin Kejaksaan yang sehari-hari mengemban tugas penuntutan sampai tidak memperhatikan syarat materil dari sebuah surat ketetapan penghentian penuntutan sebagaimana dijelaskan diatas, atau malah Kejaksaan yang ketika itu dipimpin Jaksa Agung Hendarman Supandji juga turut terlibat dalam upaya pelemahan KPK karena menerbitkan SKPP yang sudah patut diduga rentan digugat dan dikalahkan melalui praperadilan.

       Selanjutnya Kejaksaan melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun ternyata dalam amar putusannya 3 Juni 2010, Pengadilan DKI Jakarta menolak gugatan Kejaksaan dan mengukuhkan putusan Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Menurut pasal 83 ayat 2 KUHAP putusan terakhir mengenai praperadilan ada di Pengadilan Tinggi. Dalam kasus ini berarti putusan yang membatalkan SKPP Bibit dan Chandra membawa konsekuensi bahwa keduanya kembali berstatus tersangka dan putusan tersebut sudah inkrah karena tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mempertahankan keabsahan SKPP tersebut.

       Namun sekali lagi Kejaksaan mengambil langkah yang salah dan seharusnya tidak sampai terjadi. Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kepada MA terhadap putusan praperadilan Pengadilan Tinggi DKI. Mahkamah Agung pada tanggal 8 Oktober 2010 menolak PK dalam amar putusannya NO (Niet Ontvankeljik Verklaard) artinya tidak dapat menerima permohonan pemohon menyangkut syarat formil, dengan alasan karena Mahkamah Agung tidak memiliki wewenang melakukan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilan. Putusan praperadilan bersifat final dan terakhir di Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung merujuk pada pasal 45 huruf a ayat 1 dan ayat 2 UU Mahkamah Agung jo pasal 83 ayat 2 KUHAP, bahwa tidak ada upaya hukum lanjutan mengenai praperadilan setelah di putus oleh Pengadilan Tinggi. Penulis berpendapat Kejaksaan Agung salah menafsirkan pasal 263 ayat 1 tentang Peninjauan kembali Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mungkin dari pasal inilah Kejaksaan berharap bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dapat dibatalkan melalui peninjauan kembali.

       Kesalahan demi kesalahan atau dalam konotasi yang lebih baik, kekeliruan demi kekeliruan yang dilakukan Kejaksaan Agung berimplikasi pada kembalinya status Bibit dan Chandra sebagai tersangka sejak saat diputuskannnya amar putusan pengadilan tinggi, terlebih ketika MA menolak permohonan PK Kejaksaan. Namun untung saja Keppres pemberhentian sementara Bibit dan Chandra tidak dikeluarkan Presiden mengingat upaya hukum mengenai perkara tersangka masih akan dilakukan oleh Kejaksaan dan karena kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan.

       Keadaan hukum yang carut marut dan ketidakpastian status hukum Bibit dan Chandra membuat Komisi Pemberantasan Korupsi kembali rentan, karena dapat saja kedua pimpinannya itu harus meninggalkan kursi kepemimpinan KPK (sementara) terkait statusnya yang kembali menjadi tersangka, apabila keputusan untuk itu dikeluarkan (Keppres pemberhentian sementara).

       Atas dasar kepentingan pemberantasan korupsi di negeri ini, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, akhirnya Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono, mengeluarkan Deponering atas kasus Bibit dan Chandra. Keputusan ini dikeluarkan oleh Plt Jaksa Agung pada 29 Oktober 2010, tepat satu tahun saat Bibit dan Chandra ditahan oleh Mabes Polri ketika itu. Dasar hukum deponering atau pengesampingan perkara oleh Jaksa Agung adalah pasal 35 c Undang-undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi: "Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang, diantaranya adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum." Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Alasan yang dikemukakan oleh Plt Jaksa Agung Darmono adalah demi kepentingan yang lebih luas, yaitu menyelamatkan pemberantasan korupsi.

      Sebelum maupun sesudah dikeluarkannya deponering ini, polemik dan diskursus berkembang luas dimasyarakat dan diantara para pakar. Ada yang lebih memilih penyelesaian kasus Bibit dan Chandra melalui pengadilan. Ada yang lebih memilih diselesaikan melalui penerbitan SKPP kedua, dan ada juga yang memilih dan kemudian mendukung dikeluarkannya deponering oleh Jaksa Agung (dalam hal ini Plt Jaksa Agung).

       Penulis sendiri berpendapat, semua opsi bermasalah (seperti pernyataan Bambang Widjojanto dalam Kompas 1 November 2010). Mengapa ? karena baik deponering, SKPP, atau bahkan diselesaikan lewat pengadilan, ketiga opsi tersebut mengandung resiko dan kekurangan plus tidak akan dapat mengakomodir berbagai pendapat yang ada. Namun seperti istilah “tidak ada gading yang tak retak” keputusan deponering merupakan alternatif pilihan yang terbaik diantara dua opsi lainnya.

      Deponering dikeluarkan untuk menyelesaikan proses panjang yang tak berdasar yang menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyelahgunaan wewenang dan pemerasan. Satu tahun lebih energi pemberantasan korupsi di negeri ini tertatih-tatih dengan ditetapkannya tiga pimpinannya menjadi tersangka (bahkan Antasari Azhar kini berstatus terdakwa). KPK menjadi vacum of power setidaknya dalam beberapa waktu, yaitu sejak dikeluarkannya Keppres pemberhentian sementara Antasari Azhar, Keppres pemberhentian sementara Bibit dan Chandra sampai diisi kembali ketiga jabatan itu oleh Keppres pengangkatan pelaksana tugas pimpinan KPK, yaitu Tumpak Hatorangan mengisi posisi Antasari Azhar, Mas Achmad Santosa mengisi posisi Chandra, dan Waluyo mengisi posisi Bibit. Rangkaian penonaktifan diatas jelas membuat kita semua tersadar betapa tersanderanya KPK oleh permasalahan internalnya. Sehingga dikhawatirkan, penanganan kasus-kasus korupsi tidak akan berjalan efektif sesuai dengan status KPK sebagai lembaga superbody.

       Syarat deponering sendiri tidak terlalu berbelit dan memakan waktu. Sejak saat ditetapkannya deponering oleh Plt Jaksa Agung maka kekuatan hukumnya adalah tetap, adapun dalam penjelasan pasal 35c UU Kejaksaan hanya mengisyaratkan perlunya memerhatikan saran dan pendapat badan-badan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal tersebut tidak akan membawa konsekuensi terhadap keabsahan deponering karena yang dilakukan adalah untuk meminta pendapat bukan persetujuan atau pengesahan. Jadi apapun keputusan lembaga yang dimintai saran dan pendapat itu, tidak akan mempengaruhi keabsahan deponering. Karena kita tahu dalam doktrin, deponering adalah wewenang Jaksa untuk mengesampingkan perkara, dengan atau tanpa syarat, demi kepentingan umum.

       Deponering juga dapat menghindarkan proses hukum lanjutan terhadap Bibit dan Chandra karena perkaranya dikesampingkan. Hal ini dianggap lebih baik daripada melimpahkan perkara ini ke pengadilan untuk diperiksa, diadili, dan diputus karena akan memakan waktu yang sangat panjang dan berlarut larut mengingat bisa saja perkara ini di banding, kasasi, atau bahkan sampai PK. Disamping itu juga melimpahkan perkara yang tidak cukup bukti dan lemah secara hukum akan membuang-buang energi, apalagi jika pada akhirnya pengadilan memvonis bebas, tentu akan mencoreng nama baik Penyidik dan Penuntut Umum. Karena apabila sudah patut dirasa perkara itu tidak cukup bukti atau lemah dasar hukumnya maka ada prosedur penghentian penyidikan (SPPP) dan penghentian penuntutan (SKPP) disana, bukan memaksakan mengajukannya ke pengadilan.

       Tentu bukan esensi pencarian keadilan dan pembuktian secara sah oleh Pengadilan yang dihindari dari proses peradilan ini, tetapi yang dihindarkan adalah akan terjadinya kekosongan pimpinan KPK untuk kesekian kalinya tanpa bukti yang cukup karena Bibit dan Chandra pastilah akan dinonkatifkan sebagai pimpinan KPK. KPK akan semakin lemah dan menambah daftar lembaga penegak hukum yang vakum kepemimpinan di negeri ini, karena ternyata Komisi Yudisial dan Kejaksaan pun sedang mengalami masa suksesi kepemimpinan setelah Bussyro Muqaddas (ketua KY) dan Hendarman Supandji (Jaksa Agung) tidak lagi menempati posisinya. Ini adalah sebuah Ironi, demikian yang dikatakan Gayus Lumbun, dalam suatu negara ada tiga lembaga penegak hukum sekaligus yang tidak mempunyai pemimpin definitif (KPK, KY, dan Kejaksaan).

       Apabila opsi melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan diambil maka seyoianya KPK akan kembali meradang, krisis pimpinan, dan sudah tentu implikasinya akan luas kepada keberlangsungan pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan oleh bangsa ini. Untuk mengganti pimpinan KPK misalnya (sebagai upaya pengisian kekosongan pimpinan KPK), akan memakan waktu yang sangat lama, mengapa ? sebab Perpu No.4 Tahun 2009 tentang pengangkatan pimpinan KPK apabila terjadi kekosongan pimpinan telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi pada tanggal 4 Maret 2010 oleh DPR. Jadi untuk menggantikan pimpinan KPK, presiden harus manjalankan mekanisme pasal 30 UU KPK. Penulis berkeyakinan, waktu yang dibutuhkan sampai terpilihnya pimpinan KPK sesuai prosedur pasal 30 UU KPK akan memakan waktu kurang lebih 6 bulan 5 hari, itupun belum termasuk waktu yang dibutuhkan Panitia seleksi untuk memilih nama-nama calon pimpinan untuk diserahkan kepada Presiden. Jadi yang pasti tidak kurang dari 6 bulan KPK akan mengalami vacum of leadership. Inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu tidak berkelebihan apabila Plt Jaksa Agung, Darmono yang sudah sangat berani dan tegas mengambil langkah deponering, “Menyelematkan kepentingan yang lebih luas, menyelamatkan pemberantasan korupsi”. Begitu pernyataan Darmono.

       Namun kembali penulis ingatkan, "tak ada gading yang tak retak". Rupanya pepetah itu berlaku juga bagi deponering ini. Disamping efektifitas dan efesiensinya yang meyakinkan untuk menngesampingkan perkara Bibit dan Chandra, ternyata deponering juga memiliki kelemahan dan sejumlah resiko. Kelemahannya, deponering ditujukan untuk mengesampingkan perkara, artinya tindak pidana dianggap terjadi, unsur-unsur tindak pidana terpenuhi tetapi pemidanaannya tidak dilanjutkan karena dikesampingkan dengan alasan kepentingan umum.
         Dengan deponering, secara de facto Bibit dan Chandra selesai perkaranya, namun secara de jure Bibit dan Chandra dianggap bersalah seperti dijelaskan diatas. Jadi dengan deponering, Bibit dan Chandra punya beban moril kepada masyarakat dan hukum. Namun ekses ini harus kita kesampingkan dulu, kita harus secara obyektif dan adil melihat perjalanan kasus ini dari awal, dari mulai proses penyelidikan, Penyidikan di Kepolisian, sampai penuntutan di Kejaksaan, walaupun akhirnya sikap kejaksaan ini ambivalen, karena dahulu menyatakan kasus ini lengkap dan Jaksa Agung ketika itu “ngotot” men-judge Bibit dan Chandra melakukan apa yang dituduhkan penyidik.

       Dari rangkaian panjang, melelahkan, dan penuh rekayasa ini kita akan mendapatkan suatu konklusi bahwa memang proses dan konsekuensi hukum yang selama ini dan yang nanti akan berakhir adalah mengandung masalah. Kasus ini sudah tidak lagi murni menjadi ranah yudikatif namun kasus terlanjur keruh dan tercemar oleh kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan responsivitas masif dari masyarakat. Oleh karena itu dapat kita maklumi bahwa keputusan apapun, termasuk deponering sebagai upaya penyelesaian kasus yang melemahkan KPK ini akan menuai kontroversi. Namun dapatlah diterima oleh hemat penulis bahwa deponering adalah yang terbaik bagi kepentingan pemberantasan korupsi.

       Dengan keputusan ini segala upaya pelemahan, rekayasa, atau bahkan dalam tingkat yang paling ekstrem krimnalisasi terhadap KPK dapat segera di peti eskan. Hari dikeluarkannya deponering adalah hari kemenangan bagi penyelamatan dan kelangsungan pemberantasan korupsi. Pimpinan KPK tersisa, yakni Bibit Samad Rianto, Chandra Marta Hamzah. M Jasin, dan Haryono yang kesemuanya adalah wakil ketua KPK kini dapat kembali bekerja dalam suasana yang kondusif dan tenang.

       Akhirnya pada Jumat 29 Oktober 2010 Pelaksana Tugas Jaksa Agung, Darmono mengakhiri kasus yang sarat dengan kriminalisasi ini digerbang deponering. Inilah hari kemenangan ! Tuhan telah menunjukan jalan terbaik bagi kita semua dan memberikan pelajaran yang sangat berharga dan mahal, betapa masih buruknya penegakan hukum di negeri tercinta ini, betapa masih perlunya reformasi ditubuh penegak hukum kita agar peristiwa-peristiwa seperti ini tidak lagi terjadi. Sebagai generasi muda kita semua-lah yang akan menjawab pertanyaan dan tantangan ini. Mari bersiap dan berbenah diri melanjutkan suksesi dan estafeta kepemimpinan negeri ini !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar