Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 27 Juni 2016

Tiga Jenis Kejahatan Serius atau Pelanggaran Berat Terhadap HAM menurut Hukum Internasional



Dalam konteks internasional, berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional yang ada dan telah menjadi kesepakatan diantara para ahli (comminis opinio docturum), yang dipandang sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM ialah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.[1]
Pengaturan mengenai hal itu dapat ditemukan dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti:
a.       London Charter 1945 (Piagam Pengadilan Nuremberg);
b.      Charter of the International Military Tribunal for the Far East 1946 (Piagam Pengadilan Tokyo);
c.       Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948);
d.       Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia 1993;
e.       Statute of the International Criminal Tribunal for Former Rwanda 1994; dan
f.        Statute Rome of the International Criminal Court 1998.
Kejahatan-kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM sehingga menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM sejak era Pengadilan Nuremberg (1945-1946) dan Pengadilan Tokyo (1946-1948).[2] Dasar-dasar yang diletakan oleh kedua Pengadilan Militer Internasional tersebut kemudian menjadi preseden yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan HAM internasional yang dibentuk setelahnya, yakni International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (1994), International Criminal Tribunal for Former Rwanda (1995), dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court; ICC).
Pada mulanya, berdasarkan charter (piagam) Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, yang dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat HAM yang menjadi yurisdiksi materiil dari kedua pengadilan tersebut adalah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak termasuknya kejahatan genosida sebagai kejahatan yang beridiri sendiri dalam kedua piagam pengadilan itu dikarena rumusan/unsur-unsur kejahatan genosida belum berhasil dirumuskan secara internasional ketika itu. Kejahatan genosida baru berhasil diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun 1948 melalui Covention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.[3]
 Namun demikian, tidak berarti unsur-unsur kejahatan yang tergolong sebagai “genosida” sebagaimana yang dikenal dan dirumuskan pada saat tidak terakomodir atau “unpunishment” dalam Piagam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Tindakan-tindakan yang tergolong sebagai genosida juga sebetulnya sudah diatur/terckaup dalam kedua piagam itu, hanya saja tidak ditempatkan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri sebagai “genosida” sebagaimana yang kita kenal saat ini[4]
Selanjutnya, di bawah ini akan dikemukakan perihal tiga kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM menurut hukum Internasional.
1.     Genosida
Secara terminologis, genosida terdiri dari dua kata, yaitu geno atau genos yang berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis dan cide atau cidium yang berasal dari bahasa Latin yang artinya membunuh.[5] Jadi secara harfiah genosida bermakna pembunuhan terhadap suatu ras, bangsa, atau etnik.
Para ahli hukum internasional seperti William A. Schabas, Roy Gutman dan Davied Rief satu suara dalam menyebut Raphael Lemkin sebagai orang yang pertama kali mengintrodusir istilah “genocide.”[6]  Istilah itu diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe.[7]
Oleh karena terminologi “genosida” itu baru diperkenalkan di tahun 1944 maka kejahatan genosida tidak termuat dalam Piagam Pengadilan Nuremberg maupun Piagam Pengadilan Tokyo yang disusun pada tahun 1945 dan 1946 Pengertian dan unsur-unsur kejahatan genosida belum berhasil dirumuskan secara yuridis dalam kedua piagam yang menjadi dasar lahir dan bekerjanya dua pengadilan tersebut meskipun istilah “genosida” sempat mengemuka di dalam sidang-sidang penyusunan kedua piagam tersebut. Akan tetapi sayangnya istilah genosida dan unsur-unsurnya  tidak muncul dalam kedua piagam itu, melainkan hanya menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana diterangkan oleh William A. Schabas bahwa:
The term “genocide” was first used by Raphael Lemkin in his book Axis Rule in Occupied Europe, published in late 1944. Although the word appears in the drafting history of the Charter of the International Military Tribunal, the final text of that instrument uses the cognate term “crimes against humanity” to deal with the persecution and physical extermination of national, ethnic, racial and religious minorities.[8]
Dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe, Raphael Lemkin mendefinisikan Genosida sebagai:
“as intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of national group with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social institutions of culture, language, national feelings, religio, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, ..... the actions involved are directed against individuals, not in their individual capacity, but as member of the national group.”[9]
Sementara itu, Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan genosida secara lebih singkat, yaitu “an act committed with the intent to destroy, in whole or part, a national, ethnic, racial, or religious group.[10]
Penting untuk dipahami bahwa penemuan istilah “genosida” dan perumusannya dalam piagam-piagam ataupun konvensi-konvensi internasional memang baru dimulai pada dekade 1940-an, namun tidak berarti bahwa sebelum itu tidak pernah terjadi kejahatan genosida di dunia ini. Sejarah panjang peradaban manusia menunjukan bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan yang saat ini dikualifikasikan sebagai genosida telah terjadi dalam banyak kasus, tempat, dan waktu. Hanya saja ketika itu belum ada istilah genosida untuk menyebut kejahatan-kejahatan yang dimaskud.[11] Demikian juga belum ada hukum internasional yang mengatur tentang apa itu genosida, apa saja unsur-unsurnya, dan bagaimana tata cara mengadili pelakunya.
Diperkenalkannnya istilah genosida dan pengaturannya dalam berbagai instrumen hukum internasional dilatarbelakangi oleh banyaknya peristiwa kejahatan yang meliputi pembunuhan, pembantaian, pemusnahan dan bentuk-bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap suatu kelompok ras, etnik, atau agama tertentu pada awal abad ke-20. Diantara peristiwa yang dapat disebut sebagai genosida yang terjadi di paruh pertama abad ke 20 itu antara lain adalah pembantaian suku bantu pada tahun 1904 oleh tentara Jerman di Herero Namibia (Afrika), pembantaian suku Kurdi Turki di distrik Dersim 1937-1938, dan yang paling fenomenal ialah pembantaian dan pemusnahan secara sistematis orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman menjelang dan selama Perang Dunia II.[12]
Belajar dari pengalaman buruk di masa lalu itu maka masyarakat bangsa-bangsa (internasional) memulai usaha untuk membentuk  sebuah konvensi yang berskala internasional yang akan merumuskan kejahatan genosida dan upaya untuk menghukum para pelakunya. Usaha untuk itu mulai diprakarsai oleh Majelis Umum PBB sejak akhir 1946. Pada saat itu Majelis Umum PBB memulai usaha untuk menyusun sebuah traktat yang akan mengatur mengenai kejahatan genosida.[13] Dua tahun kemudian, tepatnya pada 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB menerima Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Kovensi Genosida) melalui Resolusi Majelis Umum PBB 260A (III).[14]
Konvensi tersebut berisi ketentuan-ketentuan mengenai genosida seperti pengertian genosida, rumusan atau unsur-unsurnya, ruang lingkup kejahatan genosida, dan keharusan untuk menghukum pelaku kejahatan genosida, baik oleh Pengadilan Nasional maupun oleh suatu Pengadilan Internasional.
              2.     Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)” pertama kali muncul dan digunakan pada tahun 1915 dalam kasus pembantaian populasi Armenia di Turki oleh tentara Turki (Massacres of Turkey’s Armenian Population). Istilah itu digunakan dalam Deklarasi Bersama antara Perancis, Inggris, dan Rusia pada tanggal 24 Mei 1915 yang mengutuk tindakan Turki dalam kasus pembantaian tersebut. Namun upaya untuk menuntut kejahatan itu gagal dengan asalan tidak dimungkinkannya pemberlakuan retroactive criminal legislation (hukum yang berlaku surut).[15]
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan ini mengemuka kembali, bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya, dengan dibentuknya International Military Tribunal atau yang lebih dikenal sebagai Pengadilan Nuremberg pada tahun 1945. Pengadilan Nuremberg sendiri dibentuk untuk mengadili “mantan kolaborator Nazi”[16] yang salah satu yurisdiksi materinya ialah mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan (disamping kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang).
Dalam perkembangan selanjutnya, kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi salah satu dari tiga jenis kejahatan yang dinyatakan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM oleh masyarakat internasional. Hal itu tercermin dalam berbagai piagam atau statuta internasional yang membentuk Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM.
              3.     Kejahatan Perang
Kejahatan perang bersama-sama dengan kejahatan piracy atau bajak laut merupakan dua kejahatan internasional yang tertua di dunia. Dalam catatan sejarah, khususnya di eropa, penuntutan secara internasional terhadap kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman, tahun 1474. Peradilan terhadap Hagenbach dilakukan di Austria oleh persekutuan negara Kerajaan Suci Roma dimana Hagenbach didakwa atas kasus pembunuhan, pemerkosaan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang melanggar hukum kanonik (hukum Tuhan) dan hukum Negara Romawi pada saat ia melakukan pendudukan militer. Dalam persidangan tersebut, Hagenbach dijatuhi hukum mati.[17]
Setelah peristiwa itu, seiring dengan kemajuan zaman dan tumbuhnya negara-negara nasional, telah banyak terjadi peperangan di banyak tempat di hampir seluruh penjuru dunia. Peristiwa yang paling terkenal dari sekian banyak cerita tentang perang itu adalah meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914-198. Banyak negara yang terlibat di dalamnya dan banyak pula korban yang berjatuhan dalam perang yang dahsyat di awal abad ke 20 tersebut.[18]
Perang Dunia I yang “berdarah-darah” dan menyimpan banyak cerita kejahatan perang di dalamnya itu kemudian terulang lagi pada tahun 1939 dengan skala yang lebih dahyat, yang kita kenal dengan Perang Dunia II.[19] Dapat dikatakan bahwa sejarah peperangan sama tuanya dengan sejarah perdaban manusia itu sendiri. Perang mewarnai sepanjang perjalanan perdaban manusia. Hanya mungkin aktor dan tempatnya saja yang berganti-ganti.
Pengalaman-pengalaman mengerikan sebagaimana tergambar diatas akhirnya menyadarkan masyarakat internasional untuk tidak membiarkan perang berkobar sedemikian rupa tanpa batasan. Itulah sebabnya kemudian masyarakat internasional berupaya merumuskan pembatasan-pembatasan di dalam perang. Usaha untuk memberikan pembatasan semacam itu sebetulnya sudah dimulai sejak dahulu. Hal itu dapat ditelusuri misalnya dari mulai tulisan-tulisan Sun Tzu (ahli militer China Kuno) pada abad ke-6 SM, hukum-hukum Yunani yang mengatur dan membatasi perang, serta tidak terkecuali juga hukum agama yang mengatur dan membatasi peperangan agar jangan sampai menimbulkan kerugian yang tidak diperlukan.[20]
Untuk memahami apa dan bagaimana itu kejahatan perang maka perlu kiranya terlebih dahulu dipahami hubungan antara perang, hukum yang mengatur mengenai perang (hukum humaniter), dan kejahatan perang itu sendiri. Hubungan ketiganya itu perlu dipahami karena ketiga hal tersebut saling bertautan dan bergandengan satu sama lain. Adanya perang membutuhkan aturan-aturan dan pembatasan agar tidak berkecamuk tanpa terkendali. Pada titik itu maka diciptakanlah hukum humaniter. Jika terjadi perang dan perang itu melanggar hukum humaniter sehingga menimbulkan korban dan kerugian yang tidak dibenarkan menurut hukum humaniter maka pada saat itulah terjadi kejahatan perang. Seperti itulah kira-kira ilustrasi interelasi diantara ketiganya.
Pertama; perihal perang. Telah banyak ahli yang mendifinisikan apa itu perang, namun dalam tulisan ini hanya akan diangkat beberapa diantara saja. Dalam Black’s Law Dictionary, perang didefinisikan sebagai “Hostile conflict by means of armed forces, carried on between nations, states, or rules, or sometimes between parties in the same nation or state.”[21] Sementara itu G. P. H Djatikoesomo mengartikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.[22] Pengertian yang singkat namun menarik diberikan oleh Carl Von Clausewitz yang mendefinisikan perang sebagai politik dengan jalan kekerasan.[23]
Kedua; perihal hukum yang mengatur mengenai perang atau hukum humaniter. Menurut K. G. P. H. Haryomataram, mulanya hukum yang mengatur perihal perang disebut sebagai hukum perang kemudian berubah menjadi hukum mengenai konflik bersenjata dan yang terakhir sebagaimana kita kenal saat ini sebutannya menjadi “hukum humaniter.”[24]
Djatikoesomo mendifinisikan hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang.[25] Sementara Lauterpacht memandang hukum perang dalam arti “the rules of the law of nations respecting warfare.”
Terkait dengan hukum humaniter, dewasa ini telah terdapat dua sumber hukum humaniter yang sangat penting dan fundamental dalam kerangka hukum internasional, yaitu:
1)     Konferensi Den Haag 1907 tentang Hukum Perang yang terdiri dari 13 konvensi; dan
2)     Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat (4) buku dan kemudian ditambah dengan dua (2) Protokol Tambahan 1977.
Ketiga; mengenai kejahatan perang. Pengertian klasik dan sederhana dari kejahatan biasanya merujuk pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum perang atau kebiasan perang. Akan tetapi menurut Deinstein pengertian ini harus dipahami secara hati-hati sebab tidak semua tindakan yang melanggar hukum perang atau kebiasaan perang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.[26]
Definisi kejahatan perang menurut Steven Ratner adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individual.[27]
Pada bagian selanjutnya akan dibahas rumusan kejahatan perang menurut berbagai isntrumen hukum internasional yang berupa piagam atau statuta pembentukan Pengadilan Internasional yang mengadili kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM, salah satunya kejahatan perang.



[1] Pandangan yang mengatakan bahwa kejahatan serius terhadap HAM meliputi tiga jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang antara lain dikemukakan oleh M. Cherif Bassiouni yang dikenal luas sebagai salah satu pelopor pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Lihat selengkapnya dalam M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Transnational Publisher, New York, 1996, hlm. 110
[2] Pada saat Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo dibentuk sesaat setelah Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu, istilah “genosida” belum ditemukan/digunakan secara resmi ketika itu, karena kejahatan genosida baru pertama kali diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun 1948 melalui Covention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide yang diterima oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 260A (III) pada 9 Desember 1948. Kejahatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Nurember dan Pengadilan Tokyo berdasarkan charter dari masing-masing Pengadilan itu adalah kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).
[3] Lihat William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Makalah disampaikan dan dipublikasikan pada United Nations Audiovisual Library of International Law, United Nations, 2008.
[4] Unsur-unsur kejahatan genosida sebetulnya sudah tercakup, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai suatu kejahatan dalam piagam Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan, baik menurut Piagam Pengadilan Nuremberg (Pasal 6 huruf c), maupun Piagam Pengadilan Tokyo tepatnya (Pasal 5 huruf c).
[5] William A Schabas, Genocide in International Law, Cambridge University Press, 2000, hlm. 25.
[6] Lihat William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1; lihat juga Roy Gutman dan David Rief dalam Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 7.
[7] Sebagai informasi, Raphael Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1930.
[8] William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[9] Willia A Schabas, Genocide in International Law, Op. Cit., hlm. 24-25.
[10] Bryan A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 8.
[11] Oleh karena belum adanya istilah atau terminologi untuk menyebut kejahatan-kejahatan yang sekarang disebut “genosida” pada masa-masa berkecamuknya Perang Dunia II, Winston Churchill menyebut kejahatan-kejahatan “genosida” yang dilakukan oleh Nazi pada waktu dengan sebutan “the crime withput a name.” Lihat William Schabas, Genocide in International Law, Op. Cit., hlm. 14-17.
[12] Eddy O. S Hariej, Op. Cit., hlm. 9.
[13] Muladi, Op. Cit., hlm. 172.
[14] William A. Schabas, Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[15] Muladi, Op. Cit., hlm. 176; lihat pula Eddy O. S. Hariej Op. Cit., hlm. 14.
[16] Istilah ini digunakan oleh Satya Arinanto untuk menyebut para terdakwa yang diadili di Pengadilan Nuremberg. Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ketiga, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 243-247.
[17] M. Shokry El-Dakkak,State’s Crimes against Humanity:Genocide, Deportation, and Torture: From the Perspectives of International and Islamic Laws, A. S Noordeen, 2000, hlm. 206-207.
[18] Lihat Wikipedia, Perang Dunia I, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I, Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[19]  Lihat Wikipedia, Perang Dunia II, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_II, Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[20] Roy Gutman dan David Rieff dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 24.
[21] Bryan A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej
[22] G. P. H. Djatikoesomo, Hukum Internasional Bagian Perang, N.V Pemandangan Djakarta, 1956, hlm. 15.
[23] Dani Krisnawati et. all., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena, Jakarta, 2006, hlm. 258.
[24] K. G. P. H. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 6.
[25] G. P. H. Djatikoesomo, Op. Cit., hlm. 2.
[26] Deinsten dalam Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 77.
[27] Steven Ratner dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 31.