Pangkal
Persoalan
Pada tanggal 10
Juli 2017 yang lalu, Presiden Jokowi resmi menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Masyarakat (selanjutnya disebut Perppu Ormas). Jika
ditarik kebelakang, penerbitan Perppu ini tidak bisa dilepaskan dari rencana
Pemerintahan Jokowi untuk mengambil langkah pembubaran atas Ormas Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Rencana dan inisiatif pembubaran HTI itu mulai
diumumkan secara luas oleh Pemerintah sekitar awal bulan Mei 2017. Akan tetapi
rencana tersebut urung dilakukan karena terganjal aturan tentang pembubaran
Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 yang memang mensyaratkan langkah
yang panjang dan berjenjang untuk membubarkan suatu Ormas.
Jika diringkas,
langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah untuk membubarkan suatu Ormas yang
diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu secara berturut-turut adalah sebagai
berikut: upaya persuasif Pemerintah kepada Ormas yang dianggap melanggar hukum,
pemberian peringatan tertulis 1, 2, dan 3, penghentian sementara kegiatan Ormas
oleh Pemerintah, pengajuan permintaan pembubaran Ormas dari Menteri Hukum dan
HAM kepada Kejaksaan, pengajuan permohonan pembubaran Ormas oleh Kejaksaan
kepada Pengadilan Negeri, persidangan di Pengadilan Negeri, dan terakhir Kasasi
(jika salah satu pihak tidak menerima putusan pembubaran Ormas yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri).
Demikian itulah
aturan tentang pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2013, panjang,
berjenjang, dan rumit memang. Akan tetapi aturan yang demikian itu sesungguhnya
diciptakan untuk memberikan keadilan dan perlindungan yang layak terhadap hak
berserikat setiap orang yang telah dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Aturan tentang
Pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu sebetulnya sudah
baik dan tepat, karena tidak memberikan kewenangan pembubaran Ormas secara
sepihak hanya kepada Pemerintah, melainkan melibatkan juga kontrol dari lembaga
yusidial (pengadilan) di dalamnya. Dengan konstruksi yang demikian itu
diharapkan pembubaran Ormas tidak semata-mata ditentukan oleh pertimbangan yang
bersifat subjektif dan politis dari pemerintah, melainkan didasarkan juga pada due
process of law (proses hukum yang adil dan layak) melalui pemeriksaan yang
dilakukan oleh pengadilan. Di Pengadilan itulah nantinya Pemerintah selaku
pihak yang menginisiasi pembubaran Ormas dan Ormas yang bersangkutan akan
dipertemukan untuk saling membela kepentingan hukumnya di dalam forum persidangan
yang fair.
Perppu Ormas sebagai Jalan Pintas
Sadar akan
rumit dan panjangnya proses pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun
2013 itu maka akhirnya Pemerintah mengambil jalan pintas untuk “mengakali”
aturan pembubaran Ormas yang ketat dan panjang itu dengan mengeluarkan Perppu,
yakni Perppu No. 2 Tahun 2017 yang populer disebut sebagai Perppu Ormas.
Demi memuluskan
jalan untuk membubarkan HTI, aturan/mekanisme pembubaran Ormas yang sebelumnya
dikonstruksikan secara ketat dan hati-hati oleh UU No. 17 Tahun 2013 diubah
secara total melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 sehingga menghasilkan mekanisme
yang sama sekali baru yang tentunya kontraproduktif dengan makenisme pembubaran
Ormas yang telah diatur oleh undang-undang sebelumnya (UU 17/2013).
Substansi Perppu yang Bermasalah
Jika
boleh dipersingkat dan diperjelas, esensi dibuatnya Perppu Ormas ini tidak lain
dan tidak bukan ialah untuk “mengakali” mekanisme pembubaran Ormas dari yang
sebelumnya mempersyaratkan langkah yang panjang dan berjenjang dengan melibatkan
juga kontrol pengadilan menjadi mekanisme yang singkat dan terpusat di tangan
pemerintah.
Akibatnya,
terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam hal aturan pembubaran Ormas dari
yang sebelumnya berwatak demokratis dan menjunjung tinggi prinsip due
process of law menjadi aturan pembubaran Ormas yang berwatak otoritarian
dan sarat akan kesewenang-wenangan karena kewenangan pembubaran Ormas
sepenuhnya diserahkan dan dipusatkan di tangan pemerintah tanpa melibatkan
pengadilan.
Jika
sebelumnya (berdasarkan UU No. 17/2013) Ormas hanya bisa dibubarkan oleh
Pemerintah setelah adanya putusan pengadilan maka sekarang (berdasarkan Perppu
Ormas) Ormas bisa dibubarkan oleh Pemerintah tanpa harus melibatkan pengadilan.
Salah Kaprah
Memahami dan Mengadopsi Asas Contrarius Actus
Adalah
asas contrarius actus yang menjadi jantung dan ruh daripada Perppu Ormas
ini. Asas ini lah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk mengambil alih dan
memusatkan kewenangan pembubaran Ormas ditangannya (tanpa melalui pengadilan).
Asas contrarius actus ini dipahami dan diterjemahkan oleh pemerintah secara
kaku dan sempit agar dapat dijadikan alat justifikasi/pembenaran tindakannya
yang memusatkan kewenangan pembubaran Parpol ditangannya. Akibatnya terjadi
kekeliruan alias salah kaprah dalam memahami dan menerapkan asas ini di dalam
Perppu Ormas.
Oleh
Pemerintah, sebagaimana dapat dibaca dalam Penjelasan Pasal 61 ayat (3) Perppu
Ormas, asas ini ditafsirkan/diterjemahkan dengan definisi bahwa pejabat yang
berwenang menerbitkan suatu keputusan maka secara mutatis mutandis (otomatis)
ia juga berwenang mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya itu.
Pengertian
diatas secara definisi memang nampak tidak bermasalah karena memang demikian
itulah definisi sederhana dari asas contrarius actus. Akan tetapi jika
dicermati dan dikontekstualisasikan dengan isu pembubaran Ormas, definisi yang
demikian menjadi tidak relevan dan keliru, sebab:
Pertama,
asas contrarius actus yang merupakan asas hukum yang lahir
dari rahim hukum administrasi negara ini terbatas penerapannya hanya pada
keputusan-keputusan yang bersifat pemberian ijin (vergunning) dan tidak
boleh digunakan untuk membatalkan keputusan yang bersifat pengesahan atas hak
asasi yang dimiliki seseorang/sekelompok orang, misalnya menikah,
berserikat/berkumpul dalam suatu Ormas (Suteki, 2017).
Kedua,
berdasarkan sejarah asal muasal kemunculannya dalam tradisi hukum
Romawi dan perkembangannya sampai sekarang,
asas contrarius actus ini tidak
bisa diterapkan secara serta merta, dalam arti siapa yang berwenang
mengeluarkan suatu keputusan maka sudah pasti ia juga berwenang membatalkannya.
Asas ini hanya dapat diberlakukan/diterapkan manakala peraturan perundang-undangan
tidak mengatur tata cara pembatalan suatu keputusan. Sementara apabila suatu
peraturan perundang-undangan telah mengatur dan menyediakan tata cara
pembatalan suatu keputusan maka aturan hukum itulah yang harus digunakan.
Jadi
menurut sejarah dan tujuannya, asas ini adalah asas yang bersifat umum dan
hanya berlaku ketika tidak ada mekanisme pembatalan keputusan yang bersifat
spesifik. Tujuan dibuatnya asas hukum ini pada dasarnya hanya untuk menghindari
kekosongan tentang siapa yang berwenang mencabut/membatalkan suatu keputusan
bilamana ketentuan untuk itu tidak diatur secara spesifik di dalam peraturan
perundang-undangan (Rudolph Sohm, 1892:341-343).
Sebaliknya,
jika telah ditetapkan suatu mekanisme pencabutan keputusan, dalam hal ini
adalah mekanisme pencabutan status badan hukum Ormas di dalam suatu
undang-undang (in case UU No. 17 Tahun 2013) maka mekanisme itulah yang
harus diberlakukan, sedangkan asas contrarius actus sesuai dengan
hakekat dan tujuannya harus dikesampingkan karena telah tersedia aturan hukum
yang secara spesifik telah mengatur tentang siapa yang berwenang dan bagaimana
mekanisme pencabutan atas suatu keputusan. Apalagi aturan pembubaran Ormas yang
diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 itu ternyata lebih baik dari sudut pandang
hukum dan perlindungan hak-hak fundamental yang telah dijamin konstitusi karena
mensyaratkan langkah-langkah pembubaran yang ketat dan hati-hati, selain juga
melibatkan proses chechk and balances antara Pemerintah dan Pengadilan.
Pada
titik inilah kekeliruan Pemerintah dalam memahami, menerjemahkan, dan
mengadopsi asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini terlihat dengan
sangat jelas. Entah siapa yang memunculkan ide dan mengkonstruksinya di dalam
Perppu Ormas ini, yang jelas pencatutan asas contrarius actus dalam
Perppu Ormas ini adalah satu kekeliruan yang besar yang berdampak pada
munculnya anggapan yang salah bahwa dengan menggunakan asas ini Pemerintah (c.q
Menteri Hukum dan HAM) selaku pihak yang berwenang memberikan status badan
hukum bagi Ormas maka secara otomatis berwenang juga mencabut status badan
hukum yang telah ditetapkannya itu.
Perppu Ormas
harus Dilawan
Berdasarkan
seluruh uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka terang lah bahwa Perppu
Ormas ini mengandung substansi yang cacat secara yuridis dan cacat pula secara teoretis.
Selain
itu, Perppu ini juga merupakan ancaman yang serius terhadap hak dan kebebasan
berserikat yang telah dijamin oleh konstitusi karena meniadakan tahapan-tahapan
pembubaran Ormas yang demokratis dan fair yang telah diatur dalam UU No.
17 Tahun 2013.
Untuk
itu tidak ada opsi lain kecuali menolak dan melawan kehadiran Perppu ini,
dengan jalan dan melalui cara-cara yang legal dan konstitusional tentunya,
misalnya dengan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Perppu ini
kepada MK dan/atau mendorong DPR agar pada saatnya nanti ketika Perppu ini
dimintakan persetujuan untuk ditetapkan menjadi undang-undang, DPR dapat
menolaknya sehingga Perppu ini harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar