Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 07 Agustus 2017

Melawan Perppu Ormas, Menggugat Asas Contrarius Actus



Pangkal Persoalan
Pada tanggal 10 Juli 2017 yang lalu, Presiden Jokowi resmi menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (selanjutnya disebut Perppu Ormas). Jika ditarik kebelakang, penerbitan Perppu ini tidak bisa dilepaskan dari rencana Pemerintahan Jokowi untuk mengambil langkah pembubaran atas Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
 Rencana dan inisiatif pembubaran HTI itu mulai diumumkan secara luas oleh Pemerintah sekitar awal bulan Mei 2017. Akan tetapi rencana tersebut urung dilakukan karena terganjal aturan tentang pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 yang memang mensyaratkan langkah yang panjang dan berjenjang untuk membubarkan suatu Ormas.
Jika diringkas, langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah untuk membubarkan suatu Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu secara berturut-turut adalah sebagai berikut: upaya persuasif Pemerintah kepada Ormas yang dianggap melanggar hukum, pemberian peringatan tertulis 1, 2, dan 3, penghentian sementara kegiatan Ormas oleh Pemerintah, pengajuan permintaan pembubaran Ormas dari Menteri Hukum dan HAM kepada Kejaksaan, pengajuan permohonan pembubaran Ormas oleh Kejaksaan kepada Pengadilan Negeri, persidangan di Pengadilan Negeri, dan terakhir Kasasi (jika salah satu pihak tidak menerima putusan pembubaran Ormas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri).
Demikian itulah aturan tentang pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2013, panjang, berjenjang, dan rumit memang. Akan tetapi aturan yang demikian itu sesungguhnya diciptakan untuk memberikan keadilan dan perlindungan yang layak terhadap hak berserikat setiap orang yang telah dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Aturan tentang Pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 itu sebetulnya sudah baik dan tepat, karena tidak memberikan kewenangan pembubaran Ormas secara sepihak hanya kepada Pemerintah, melainkan melibatkan juga kontrol dari lembaga yusidial (pengadilan) di dalamnya. Dengan konstruksi yang demikian itu diharapkan pembubaran Ormas tidak semata-mata ditentukan oleh pertimbangan yang bersifat subjektif dan politis dari pemerintah, melainkan didasarkan juga pada due process of law (proses hukum yang adil dan layak) melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan. Di Pengadilan itulah nantinya Pemerintah selaku pihak yang menginisiasi pembubaran Ormas dan Ormas yang bersangkutan akan dipertemukan untuk saling membela kepentingan hukumnya di dalam forum persidangan yang fair.
Perppu Ormas sebagai Jalan Pintas
Sadar akan rumit dan panjangnya proses pembubaran Ormas yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2013 itu maka akhirnya Pemerintah mengambil jalan pintas untuk “mengakali” aturan pembubaran Ormas yang ketat dan panjang itu dengan mengeluarkan Perppu, yakni Perppu No. 2 Tahun 2017 yang populer disebut sebagai Perppu Ormas.
Demi memuluskan jalan untuk membubarkan HTI, aturan/mekanisme pembubaran Ormas yang sebelumnya dikonstruksikan secara ketat dan hati-hati oleh UU No. 17 Tahun 2013 diubah secara total melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 sehingga menghasilkan mekanisme yang sama sekali baru yang tentunya kontraproduktif dengan makenisme pembubaran Ormas yang telah diatur oleh undang-undang sebelumnya (UU 17/2013).
Substansi Perppu yang Bermasalah
Jika boleh dipersingkat dan diperjelas, esensi dibuatnya Perppu Ormas ini tidak lain dan tidak bukan ialah untuk “mengakali” mekanisme pembubaran Ormas dari yang sebelumnya mempersyaratkan langkah yang panjang dan berjenjang dengan melibatkan juga kontrol pengadilan menjadi mekanisme yang singkat dan terpusat di tangan pemerintah.
Akibatnya, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam hal aturan pembubaran Ormas dari yang sebelumnya berwatak demokratis dan menjunjung tinggi prinsip due process of law menjadi aturan pembubaran Ormas yang berwatak otoritarian dan sarat akan kesewenang-wenangan karena kewenangan pembubaran Ormas sepenuhnya diserahkan dan dipusatkan di tangan pemerintah tanpa melibatkan pengadilan.
Jika sebelumnya (berdasarkan UU No. 17/2013) Ormas hanya bisa dibubarkan oleh Pemerintah setelah adanya putusan pengadilan maka sekarang (berdasarkan Perppu Ormas) Ormas bisa dibubarkan oleh Pemerintah tanpa harus melibatkan pengadilan.
Salah Kaprah Memahami dan Mengadopsi Asas Contrarius Actus
Adalah asas contrarius actus yang menjadi jantung dan ruh daripada Perppu Ormas ini. Asas ini lah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk mengambil alih dan memusatkan kewenangan pembubaran Ormas ditangannya (tanpa melalui pengadilan). Asas contrarius actus ini dipahami dan diterjemahkan oleh pemerintah secara kaku dan sempit agar dapat dijadikan alat justifikasi/pembenaran tindakannya yang memusatkan kewenangan pembubaran Parpol ditangannya. Akibatnya terjadi kekeliruan alias salah kaprah dalam memahami dan menerapkan asas ini di dalam Perppu Ormas.
Oleh Pemerintah, sebagaimana dapat dibaca dalam Penjelasan Pasal 61 ayat (3) Perppu Ormas, asas ini ditafsirkan/diterjemahkan dengan definisi bahwa pejabat yang berwenang menerbitkan suatu keputusan maka secara mutatis mutandis (otomatis) ia juga berwenang mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya itu.
Pengertian diatas secara definisi memang nampak tidak bermasalah karena memang demikian itulah definisi sederhana dari asas contrarius actus. Akan tetapi jika dicermati dan dikontekstualisasikan dengan isu pembubaran Ormas, definisi yang demikian menjadi tidak relevan dan keliru, sebab:
Pertama, asas contrarius actus yang merupakan asas hukum yang lahir dari rahim hukum administrasi negara ini terbatas penerapannya hanya pada keputusan-keputusan yang bersifat pemberian ijin (vergunning) dan tidak boleh digunakan untuk membatalkan keputusan yang bersifat pengesahan atas hak asasi yang dimiliki seseorang/sekelompok orang, misalnya menikah, berserikat/berkumpul dalam suatu Ormas (Suteki, 2017).
Kedua, berdasarkan sejarah asal muasal kemunculannya dalam tradisi hukum Romawi dan perkembangannya sampai sekarang, asas contrarius actus ini tidak bisa diterapkan secara serta merta, dalam arti siapa yang berwenang mengeluarkan suatu keputusan maka sudah pasti ia juga berwenang membatalkannya. Asas ini hanya dapat diberlakukan/diterapkan manakala peraturan perundang-undangan tidak mengatur tata cara pembatalan suatu keputusan. Sementara apabila suatu peraturan perundang-undangan telah mengatur dan menyediakan tata cara pembatalan suatu keputusan maka aturan hukum itulah yang harus digunakan.
Jadi menurut sejarah dan tujuannya, asas ini adalah asas yang bersifat umum dan hanya berlaku ketika tidak ada mekanisme pembatalan keputusan yang bersifat spesifik. Tujuan dibuatnya asas hukum ini pada dasarnya hanya untuk menghindari kekosongan tentang siapa yang berwenang mencabut/membatalkan suatu keputusan bilamana ketentuan untuk itu tidak diatur secara spesifik di dalam peraturan perundang-undangan (Rudolph Sohm, 1892:341-343).
Sebaliknya, jika telah ditetapkan suatu mekanisme pencabutan keputusan, dalam hal ini adalah mekanisme pencabutan status badan hukum Ormas di dalam suatu undang-undang (in case UU No. 17 Tahun 2013) maka mekanisme itulah yang harus diberlakukan, sedangkan asas contrarius actus sesuai dengan hakekat dan tujuannya harus dikesampingkan karena telah tersedia aturan hukum yang secara spesifik telah mengatur tentang siapa yang berwenang dan bagaimana mekanisme pencabutan atas suatu keputusan. Apalagi aturan pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 itu ternyata lebih baik dari sudut pandang hukum dan perlindungan hak-hak fundamental yang telah dijamin konstitusi karena mensyaratkan langkah-langkah pembubaran yang ketat dan hati-hati, selain juga melibatkan proses chechk and balances antara Pemerintah dan Pengadilan.
Pada titik inilah kekeliruan Pemerintah dalam memahami, menerjemahkan, dan mengadopsi asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini terlihat dengan sangat jelas. Entah siapa yang memunculkan ide dan mengkonstruksinya di dalam Perppu Ormas ini, yang jelas pencatutan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas ini adalah satu kekeliruan yang besar yang berdampak pada munculnya anggapan yang salah bahwa dengan menggunakan asas ini Pemerintah (c.q Menteri Hukum dan HAM) selaku pihak yang berwenang memberikan status badan hukum bagi Ormas maka secara otomatis berwenang juga mencabut status badan hukum yang telah ditetapkannya itu.
Perppu Ormas harus Dilawan
Berdasarkan seluruh uraian yang telah dikemukakan sebelumnya maka terang lah bahwa Perppu Ormas ini mengandung substansi yang cacat secara yuridis dan cacat pula secara teoretis.
Selain itu, Perppu ini juga merupakan ancaman yang serius terhadap hak dan kebebasan berserikat yang telah dijamin oleh konstitusi karena meniadakan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang demokratis dan fair yang telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013.
Untuk itu tidak ada opsi lain kecuali menolak dan melawan kehadiran Perppu ini, dengan jalan dan melalui cara-cara yang legal dan konstitusional tentunya, misalnya dengan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Perppu ini kepada MK dan/atau mendorong DPR agar pada saatnya nanti ketika Perppu ini dimintakan persetujuan untuk ditetapkan menjadi undang-undang, DPR dapat menolaknya sehingga Perppu ini harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar