Latar Belakang Pembentukan
Seperti juga halnya ICTY, International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) ini juga merupakan bentukan Dewan Keamanan
PBB yang dibentuk melalui Resolusi No. 955 pada tanggal 8 November 1994.[1] Resolusi
tersebut dikeluarkan DK PBB dibawah naungan Bab VII Piagam PBB yang memberikan
wewenang kepada DK PBB untuk mengambil
langkah yang diperlukan guna menegakan perdamaian dan keamanan internasional.[2] Resolusi
tersebut berisi Statuta ICTR yang menjadi landasan hukum bagi berdiri dan
bekerjanya ICTR.
Sama juga halnya dengan latar belakang
pembentukan ICTY, ICTR ini dibentuk sebagai respon masyarakat internasional
yang direpresentasikan melalui DK PBB dalam menyikapi konflik yang terjadi di
Rwanda pada tahun 1994.
Konflik atau perang sipil di Rwanda itu
sendiri bermula dari kekosongan kursi kepresidenan Rwanda yang ditinggalkan
oleh mendiang Presiden Juvenal Habyarimana yang meninggal akibat kecelakaan
pesawat terbang yang ditumpanginya pada 6 April 1994. Menyusul kematian
Presiden Rwanda itu, terjadi pembunuhan besar-besaran yang berdimensi politik
dan etnik yang dimulai dari wilayah Kagali dan kemudian dengan cepat menyebar
diseluruh wilayah Rwanda.[3]
Dalam konflik tersebut terjadi pembantaian
besar-besaran yang dilakukan oleh etnis mayoritas di Rwanda, yaitu suku Hutu,
terhadap etnis minoritas suku Tutsi. Bahkan ekstrimis suku Hutu juga turut
menyasar kelompoknya sendiri sesama suku Hutu yang bersebrangan dengannya (Hutu
Moderat). Pembantaian itu bermotif politik karena ekstrimis Hutu khawatir
kehilangan kekuasaan dalam transisi demokrasi dan perang sipil di Rwanda.
Dalam waktu singkat (1994), jutaan rakyat
Rwanda hidup dibawah bayang-bayang perang sipil dan genosida. Dalam waktu yang
singkat itu pula terjadi gelombang pembunuhan dan genosida yang sangat dahsyat,
karena (sebagaimana dikemukakan oleh Dina L. Shelton) hanya dalam tempo 100 hari lebih dari 800
ribu orang terbunuh dalam konflik tersebut.[4]
Konflik yang sangat mengerikan yang terjadi
di belahan benua Afrika itu akhirnya memancing perhatian dunia. Merespon
tragedi kemanusiaan itu DK PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi No. 995 pada
tanggal 8 November 1994, yakni dengan membentuk International Criminal Tribunal for Rwanda. Pembentukan ICTR itu
sendiri merujuk pada preseden pembentukan pengadilan yang serupa untuk
Yugoslavia setahun sebelumnya (1993).[5]
International
Criminal Tribunal for Rwanda ini berkedudukan
di Arusha, Tanzania. Susunan kelembagaan
ICTY terdiri atas trial chamber (tingkat
pertama) dan appeal chamber (tingkat
banding yang putusannya bersifat final dan terakhir).[6]
Secara organisatoris, layaknya
pengadilan-pengadilan pada umumnya, ICTY terdiri dari hakim, penuntut umum, dan
kepaniteraan.[7]
Komposisi Hakim ICTY terdiri dari 16 hakim dan
berdasarkan Resolusi DK PBB No. 1431 tanggal 14 Agustus 2002 ditetapkan adanya
maksimum 18 hakim hakim ad litem (hakim cadangan; pengganti).
Pada kenyataannya di akhir bekerjanya pengadilan ini pada tahun 2015 hanya ada
9 hakim ad litem. Keenambelas hakim
itu dipilih oleh Majelis Umum PBB untuk masa jabatan 4 tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali. ICTY dipimpin oleh satu orang Presiden/Ketua Mahkamah
dan disampingi satu orang wakil yang berasal dari hakim tetap.[8]
Yurisdiksi
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY)
Yurisdiksi ICTR ini dapat dibedakan menjadi:
a. Yurisdiksi dari segi waktu terjadinya
kejahatan atau dikenal dengan istilah (ratione
temporis);
b. Yurisdiksi dari segi tempat/lokasi
terjadinya kejahatan (ratione locus);
dan
c. Yurisdiksi materil (materiel jurisdiction atau ratione
materiae), yakni cakupan jenis-jenis kejahatan yang dapat diadili oleh
ICTR.
Pertama; ratione temporis, berdasarkan
Statuta ICTR, kewenangan mengadili yang dimiliki oleh ICR ialah dibatasi hanya
pada kejahatan-kejahatan yang terjadi antara tanggal 1 Januari 1994 sampai
dengan 31 Desember 1994 (hanya 1 tahun).[9]
Kedua; ratione locus, berdasarkan Pasal
1 Statuta ICTR (competence of ICTR)
ditegaskan bahwa yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan-kejahatan yang terjadi atau
dilakukan di wilayah negara Rwanda dan negara-negara tetangganya.[10]
Ketiga; ratione materiae, berdasarkan Pasal
2 sampai dengan Pasal 4 Statuta ICTR ditegaskan bahwa kejahatan yang dapat
diadili dihadapan ICTR ialah meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan perang.[11]
Proses Persidangan dan Putusan
Dalam sejarah beridirnya ICTR hingga
saat ini, tercatat sebanyak 93 orang telah didakwa dihadapan ICTR. Dari jumlah
tersebut proses dari masing-masing terdakwa itu berbeda-beda tingkatan atau
statusnya. Berikut adalah rekapitulasinya:
a. Dikembalikan kasusnya untuk
diselesaikan oleh pengadilan nasional (5 orang),
b. Telah diputus; dijatuhi hukuman; atau
kasusnya berhenti karena terdakwa meninggal dunia (66 orang), dan
c. Diputus bebas (14 orang).
d. Buron (8) yang pencariannya diserahkan
pada MICT (Mechanism for International
Criminal Tribunals.[12]
Dari sekian banyak terdakwa yang
tercatat dalam register kasus di ICTY itu, kasus terpilih yang akan diangkat
dan diulas secara singkat dalam tulisan ini ialah kasus Jean Kambanda. Kasus
tersebut dipilih karena putusannya sudah berkekuatan hukum tetap (final) dan
Jean Kambanda adalah salah satu tokoh utama yang berada dibalik peristiwa
kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Rwanda,
dalam kedudukannya sebagai Perdana Menteri ad
interim yang berasal dari etnik/suku Hutu.[13]
Kasus
Jean Kambanda[14]
Jean Kambanda adalah Mantan Perdana
Menteri ad interim Rwanda pasca
kematian Presiden Juvenal Habyarimana. Kambanda merupakan salah satu aktor
utama dibalik sejumlah kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM
yang terjadi di wilayah Rwanda.
Kasus Posisi dan Dakwaan Penuntut Umum
Secara garis besarnya, Kambanda
dituduh melakukan kejahatan-kejahatan
serius terhadap HAM sebagai berikut:
1) Kambanda adalah PM ad interim
Rwanda sejak 8 April sampai dengan 17 Juli 1997. Ia bertanggung jawab atas
segala kondisi keamanan di Rwanda pada saat menjabat jabatan tersebut. Dalam
sidang-sidang kabinet seringkali disinggung persoalan perang sipil dan genosida
yang terjadi di Rwanda namun Kambanda tidak melakukan upaya untuk
menghentikannya;
2) Kambanda yang didukung Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rwanda menyetujui
perlawanan terhadap Front Patriotisme Rwanda yang diklaim sebagai organisasi
suku Tutsi dan kelompok Hutu Moderat. Dalam pada itu pada tanggal 6 April 1994
Kambanda yang didukung oleh suku Hutu dan Angkatan Bersenjata Rwanda melakukan
latihan militer sebagai persiapan dalam rangka pembunuhan besar-besaran di
Rwanda.
3) Pada tanggal 21 Juni 1994, Kambanda memberi dukungan secara terbuka
untuk melakukan pengejaran dan pembunuhan suku Tutsi dan kelompok moderat Hutu;
4) Kambanda terus mmeberikan dukungan terbuka bagi pembantaian suku Tutsi
dan kelompok Moderat Hutu dalam banyak kesempatan sepanjang tahun 1994;
5) Kambanda tidak melakukan upaya pencegahan dan tidak pula melakukan
tindakan korektif dengan mengajukan mereka yang bertanggung jawab atas
kejahatan berta terhadap HAM yang terjadi di Rwanda untuk diadili menurut hukum
yang berlaku.[15]
Berdasarkan kasus-kasus tersebut,
Penuntut Umum yang terdiri dari Carla Del Ponte, Solomon LOH, Norman Farrell,
Morris Anyah, Mathias Marcussen mendakwa Kambanda dengan 6 dakwaan secara
kumulatif, yaitu:
1) Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf a juncto
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal
22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
2) Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf b juncto
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto Pasal
22 dan Pasal 23 Statuta ICTR;
3) Melanggar Pasal 2c ayat (3) huruf c
juncto Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23
Statuta ICTR;
4) Melanggar Pasal 2 ayat (3) huruf e
juncto Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (3) juncto Pasal 22 dan Pasal 23
Statuta ICTR;
5) Melanggar Pasal 3 huruf a juncto
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto
Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR; dan
6) Melanggar Pasal 3 huruf b juncto
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) juncto
Pasal 22 dan Pasal 23 Statuta ICTR.[16]
Sanggahan Terdakwa
Yang menarik dari kasus ini dan membedakannya dengan kasus-kasu lainnya
ialah terdakwa Jean Kambanda tidak memberikan sanggahan atas kejahatan-kejahatan
serius terhadap HAM yang dituduhkan kepadanya. Sebaliknya, ia memberikan
pengakuan atas semua perbuatan dan pasal-pasal yang didakwakan kepadanya.[17]
Pertimbangan Hakim dan Putusan
Pertimbangan hakim dalam kasus Jean Kambanda ini pada pokoknya adalah:
1) Kambanda adalah Perdana Menteri yang
memegang kekuasaan pemerintaha yang seharusnya menciptakan perdamaian dan
mencegah terjadinya genosida yang memakan korban lebih dari 500 ribu jiwa;
2) Kambanda mengakui bahwa pemerintahannya
telah menyalurkan senjata dan amunisi untuk menyerang suku Tutsi;
3) Kambanda mengakui telah melakukan
hasutan secara terbuka untuk menggerakan pembantaian terhadap sukuTutsi;
4) Penghasutan dan keterlibatan Kambanda
dalam konflik yang terjadi di Rwanda tergolong sebagai kejahatan serius
terhadap masyarakat internasional.[18]
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, Majelis Hakim pada trial chamber (tingkat pertama)
menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap Kambanda. Putusan trial chamber ini diajukan banding kepada appeal chamber oleh Kambanda. Appeal
chamber kemudian menjatuhkan putusan yang menguatkan putusan trial chamber, yakni dengan pidana
seumur hidup.[19]
Refleksi
Kritis
Oleh
karena ICTR ini memiliki banyak kemiripan dan keidentikan dengan ICTY, termasuk
dalam segi hukum materiil dan hukum formilnya, maka refleksi kritis yang
penulis berikan terhadap ICTY berlaku juga terhadap ICTR ini.
Hal yang
berbeda dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya itu ialah ruang lingkup
kejahatan-kejahatan serius terhadap HAM yang diatur dalam statuta ICTR dan yang
senyatanya dipraktekan oleh ICTR tidak terbatas hanya dalam keadaan perang.
Statuta ICTR tidak membatasi ruang lingkup kejahatan hanya dalam keadaan
perang. Hal ini adalah sesuai dengan karakteristik kejahatan serius atau
pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di Rwanda yang memang lebih
bersifat “konflik horizontal” atau perang sipil atau perang antar etnik. Hanya
saja konflik tersebut melibatkan dukungan pemerintah terhadap etnik mayoritas (suku
Hutu) yang melakukan pembantaian terhadap etnik minoritas (suku Tutsi). Akan
tetapi jelas bahwa bukan pemerintah dan angkatan bersenjata yang secara
langsung dan masif melakukan kejahatan tersebut.
Saat ini International
Criminal Tribunal for Rwanda telah bubar karena dianggap telah selesai
melakukan tugasnya yang sejak awal memang bersifat ad hoc. Secara resmi, pengadilan ini bubar atau berakhir masa
tugasnya per 31 Desember 2015.[20] Selanjutnya,
sebagaimana halnya ICTY yang juga telah dinyatakan bubar, segala tugas ICTR yang
mungkin masih tersisa dan masih perlu penyelesaian akan dilanjutkan oleh International Residual Mechanism for
Criminal Tribunals.[21]
[1] Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Edisi Kedua, Alumni,
Bandung, 2005, hlm. 285.
[2] Vide Chapter VII Charter of United
Nations 1945 (Piagam PBB).
[3] Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius
terhadap HAM, Erlangga, Jakarta,
2010, hlm. 175.
[4] Dina L. Shelton, Encyclopedia of Genocide and Crimes against
Humanity, Vol. 3, Thomson Gale,
Detroit, New York, San Fransisco, San Diego, New Haven, Conn, Waterville Maine,
London, Munich, 2005, hlm. 925.
[5] Arlina Permanasari et. all., Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of the Red Cross,
Jakarta, 1999, hlm. 190.
[6] Vide Article 10 a Statute of the International Criminal
Tribunal for Rwanda (Stauta ICTR).
[7] Vide Article 11 Statute of the International Criminal
Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[8] Vide Article 12bis Statute of the International
Criminal Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[9] Vide Article 1 Statute of the International Criminal
Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[10] Ibid.
[11] Untuk mengatuhi rumusan dari
masing-masing kejahatan yang menjadi
yurisdiksi ICTR tersebut, lihat Article 1 – Article 4 Statute of the International Criminal
Tribunal for Rwanda (Statuta ICTR).
[12] Lihat Website Resmi ICTR, http://unictr.irmct.org/en/cases/key-figures-cases,
Diakses pada tanggal 13 Desember 2018.
[13] Selain alasan diatas, alasan yang
juga mendasari dipilihnya dua kasus itu ialah ketersediaan referensi atau
literatur yang membahas kedua kasus tersebut.
[14] Data yang diangkat pada bagian ini
sebagian besar bersumber dari Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S
tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A Oktober
2000 atas nama Terdakwa Jean Kambanda; dan Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 190-193;
[15] Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 191; Lihat juga bagian “Case on Merits” Putusan
Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S tertanggal 4 September 1998 atas nama
terdakwa Jean Kambanda.
[16] Eddy O. S., Hariej, Ibid., hlm. 192; lihat juga Bagian “Law and applicable principles” Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR
97-23-S tertanggal 4 September 1998 atas nama terdakwa Jean Kambanda.
[17] Loc Cit.
[18] Ibid.; lihat juga Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S
tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A
Oktober 2000 terhadap terdakwa Jean Kambanda.
[19] Lihat
Bagian “Verdict” (amar putusan) Putusan Trial Chamber ICTR No. ICTR 97-23-S
tertanggal 4 September 1998 dan Putusan Appeal Chamber ICTR No. ICTR 97-23-A
Oktober 2000 terhadap terdakwa Jean Kambanda.
[20] Lihat keterangan dan informasi
mengenai berakhirnya ICTR ini dalam situs resmi International Residual Mechanism for Criminal Tribunals, http://www.irmct.org/en/about, Diakses
pada tanggal 13 Desember 2018.
[21] Untuk mengetahui secara singkat
apa itu International Residual Mechanism
for Criminal Tribunals, lihat situs resminya, http://www.irmct.org/en/about, Diakses
pada tanggal 13 Desember 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar