A.
Desain Reformasi Birokrasi
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tepatnya
pada Alenia Keempat, telah digariskan di dalamnya tujuan pembentukan
Pemerintahan Negara Indonesia, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.[1]
Cita-cita dan tujuan mulia sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu tentu bukan persoalan yang remeh untuk
diwujudkan. Dibutuhkan segenap usaha yang melibatkan seluruh sumber daya yang
dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara tersebut, salah
satu prasyarat itu ialah birokrasi atau aparatur pemerintahan yang handal yang
dapat menggerakan roda pemerintahan menuju pencapaian tujuan bernegara
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan birokrasi dan aparatur
pemerintahan yang dapat menarik gerbong kemajuan dan pembangunan nasional
seperti yang diharapkan itu maka reformasi birokrasi merupakan suatu pilihan
yang rasional, bahkan urgen untuk dilakukan. Tren global yang terjadi
akhir-akhir ini seolah mengkonfirmasi hal tersebut. Banyak negara telah
menempuh upaya reformasi dan restrukturisasi birokrasinya sebagai jawaban atas
tantangan dan tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan dinamis karena tanpa
reformasi maka birokrasi tidak akan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan
masyarakat yang seharusnya dilayaninya.[2]
Birokrasi merupakan salah satu elemen
penting penentu keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan negara. Tanpa birokrasi
yang handal dan menerapkan prinsip-prinsip clean
government dan good governance sulit
rasanya mengharapkan kemajuan sebuah negara.[3] Oleh
sebab itu, reformasi birokrasi menjadi suatu alternatif solusi yang sangat
relevan untuk dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan
negara dan pelayanan publik kepada masyarakat.
Reformasi
birokrasi pada dasarnya adalah melaksanakan reformasi administrasi (administrative reform has been a central
acrivity of government during the past several decade). Dalam konteks, reformasi
birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata
kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai
sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad
ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan
mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
1.
mengurangi
dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat
di instansi yang bersangkutan;
2.
menjadikan
negara yang memiliki most-improved
bureaucracy;
3.
meningkatkan
mutu pelayanan kepada masyarakat;
4.
meningkatkan
mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi;
5.
meningkatkan
efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi;
6.
menjadikan
birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi
globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.[4]
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan sekaligus
mendorong reformasi birokrasi di Indonesia, antara lain:
1.
terjadinya
gerakan reformasi pasca lengsernya Soeharto yang menghendaki birokrasi netral,
transparan, responsif, akuntabilitas, bersih, dan berwibawa;
2.
digulirkannya
otonomi daerah dimana struktur birokrasi tidak lagi tersentralisasi pada
Pemerintah Pusat melainkan diserahkan
kepada masing-masing daerah; dan
3.
era
globalisasi dan perdagangan bebas yang menghendaki birokrasi yang lebih
profesional, karena pengguna jasa birokrasi sudah bukan lagi hanya masyarakat
domestik tetapi juga masyarakat internasional.[5]
Ada
beberapa hal yang menjadi tujuan atau sasaran dari reformasi birokrasi. Menurut
data yang dirilis National Performance Review-US, salah satu tujuan utama dari
reformasi birokrasi ialah to make
government work better and costless. Adapun dalam konteks Indonesia,
sebagaimana telah digariskan dalam kebijakan Reformasi Birokrasi di Indonesia
yang telah dibingkai melalui Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025, tujuan reformasi birokrasi di Indonesia ialah menciptakan
birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme,
mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh
nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.[6]
Berdasarkan
Perpres No. 81 Tahun 2010 yang notabene merupakan kerangka acuan atau pedomen
bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia ditetapkan bahwa grand design
reformasi birokrasi mencakup tiga (3) aspek, yakni:
1.
Tata
laksana;
2.
Kelembagaan;
dan
3.
Sumber
Daya Manusia
Lebih lanjut Prespres
No. 81 Tahun 2010 juga menetapkan delapan (8) area perubahan yang disasar dalam
reformasi birokrasi periode 2010-2025 berikut hasil yang ingin dicapai dari
masing-masing area tersebut.
Area Perubahan dan Hasil yang
Diharapkan[7]
No.
|
Area Perubahan
|
Hasil yang
Diharapkan
|
1.
|
Organisasi
|
Organisasi
yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right
sizing)
|
2.
|
Tata
laksana
|
Sistem,
proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance
|
3.
|
Sumber
daya manusia aparatur
|
SDM
aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera
|
4.
|
Peraturan
perundang-undangan
|
Regulasi
yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif
|
5.
|
Pengawasan
|
Meningkatnya
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
|
6.
|
Akuntabilitas
|
Meningkatkan
kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
|
7.
|
Pelayanan
publik
|
Pelayanan
prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
|
8.
|
Budaya
Kerja Aparatur
|
Birokrasi
dengan integritas dan kinerja yang tinggi
|
Berdasarkan
Kebijakan Grand Design Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Perpres No. 81
Tahun 2010, ditetapkan juga beberapa kondisi yang diharapkan dapat tercapai
pada setiap periode-periode tertentu (5 tahunan), yakni:
a.
Tahun
2014; diharapkan sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut:
1)
penyelenggaraan pemerintahan yang baik,
bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
2)
kualitas pelayanan publik;
3)
kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi;
4)
profesionalisme SDM aparatur yang didukung
oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi,
transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan
antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan
kesejahteraan yang sepadan.
b.
Tahun
2019; diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain itu,
diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan
masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam
dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas kinerja
birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, dan mind-set serta
cultureset yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi.
c.
Tahun
2025; diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi
pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat
dan abdi negara.[8]
B.
Capaian-Capaian Reformasi Birokrasi
Sejak reformasi
birokrasi mulai digemakan dan digulirkan pasca tumbangnya rezim Soeharto pada
1998, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terdapat beberapa
pencapaian-pencapaian sebagai hasil dari reformasi birokrasi tersebut. Beberapa
diantara pencapaian-pencapaian tersebut yang dapat diketengahkan antara lain
ialah sebagai berikut:
1.
Penerapan
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme
Kehendak dan tekad untuk melakukan reformasi
birokrasi di Indonesia setelah terkungkung dalam situasi politik yang otoriter
dimulai sejak tahun 1998. Tidak lama setelah tumbangnya rezim orde baru. Upaya
pertama kearah itu dapat dilihat melalui pembentukan Tap MPR No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dengan pembentukan UU No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
Dalam kedua instrumen hukum tersebut diatur hal-hal
penting yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas korupsi, diantaranya ialah menetapkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB) yang terdiri atas tujuh asas[9] dan
pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang bertugas memeriksa
kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk mencegah
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.[10]
Komisi inilah yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana kita kenal sekarang.
Meskipun diakui bahwa spektrum capaian ini hanya
dari aspek regulasi atau perundang-undangan, namun capaian ini telah meletakan
dasar-dasar political will sekaligus
politik hukum negara untuk memulai babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara
setelah terbitnya fajar reformasi.
2.
Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No.
30 Tahun 2002 tentang KPK. Melalui pembentukan lembaga ini diharapkan dapat
dilakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang diketahui
bersama telah menjadi “patologi” atau penyakit akut yang menjangkiti birokrasi
di Indonesia, dari level pusat sampai di level daerah. [11]
3. Pembentukan Ombudsman
berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 dan Pengaturan Pelayanan Publik melalui UU No.
25 Tahun 2009
Salah satu capaian penting dalam upaya mereformasi
birokrasi ialah dibentuknya Ombudsman Republik Indonesia sebagai kelanjutan (upgrade) dari Komisi Ombudsman Nasional
yang telah ada yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.
Tugas utamanya ialah untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelengara negara. Keberadaan Ombudsman yang kuat dan mandiri
dapat mendorong terciptanya iklim pelayanan publik yang prima dan sesuai dengan
harapan serta kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya, melalui pembentukan UU No. 25 Tahun
2009 diatur perihal Pelayanan Publik dengan sedemikian rupa dalam rangka
mewujudkan pelayanan publik yang bermutu dan sesuai harapan masyarakat.
4. Pembentukan Komisi
Informasi dan Penerapan Keterbukaan Informasi Publik
Salah satu tuntutan reformasi yang menyuara dalam
banyak forum ialah perihal keterbukaan dan transparansi penyelenggaraan negara
di lingkungan instansi-instansi negara. Atas dasar tuntutan itu maka kemudian
elemen-elemen masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Memperoleh Informasi Publik (KMIP) mulai menyuarakan aspirasi untuk
membentuk UU kebebasan/keterbukaan informasi publik beserta lembaga khusus yang
akan mengawal keterbukaan informasi tersebut.[12]
Tuntutan itu tercatat mulai disuarakan sejak tahun
2000. Setelah melalui proses advokasi dan pembahasan di DPR yang cukup panjang,
akhirnya pada 30 April 2008 disahkanlah UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Keberadaan UU dan Komisi Informasi ini menambah
terang proses demokratisasi dan berkontribusi pula dalam upaya reformasi
birokrasi dalam rangka mendorong transparansi di sektor publik (penyelenggara
negara). Upaya ini patut diapresiasi samil terus di dukung hingga pada
terwujudnya tata pemerintahan yang benar-benar transparan dan akuntabel, meski
pun juga tidak dipungkiri jalan kearah sana masih terasa cukup jauh. Namun hal
yang melegakan ialah, setidaknya langkah-langkah itu telah mulai diayun
walaupun masih jauhjarak yang harus ditempuh.
5. Mekanisme Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah yang Akuntabel dan Berbasis Elektronik
Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah
dewasa ini harus diakui telah mengalami kemajuan-kemajuan yang cukup berarti
daripada periode-periode sebelumnya. Pengadaan barang dan jasa pemerintah saat
ini diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 yang terakhir kali (perubahan
ketiga) diubah dengan Perpres No. 172 Tahun 2014. Berdasarkan keseluruhan
aturan itu, mekanisme pengadaan barang dan jasa diatur sedmikian rinci dan jelasnya
sehingga dapat meminimalisir penyalahgunaan-penyalahgunaan yang pada periode
sebelumnya dapat dengan mudah dilakukan atau “diakali.”
Melalui regulasi tersebut diatur dan dikembangkan
pula sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik sehingga memudahkan
partisipasi serta pengawasan dari masyarakat, seperti dengan adanya program e-procurement, LPSE, dan e-tendering.
6. Pengaturan mengenai
Aparatur Sipil Negara melalui UU No. 5 Tahun 2014
Setelah melalui proses yang cukup panjang, UU
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) akhirnya berhasil disahkan pada 15 Januari
2014. Undang-undang ini mengatur subjek Aparatur Sipil Negara yang terdiri atas
PNS dan Non-PNS (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja; PPPK). Sebelum
adanya UU ini, pegawai pemerintahan yang berstatus Non-PNS seolah tidak
mempunyai payung hukum dan jaminan perlindungan hukum jelas karena UU
sebelumnya, yakni No. 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian dan perubahannya UU No.
43 Tahun 1999, hanya mengatur PNS dan sama sekali tidak mencakup pegawai
pemerintah non PNS.
Melalui UU ini status hukum pegawai pemerintah
Non-PNS diakui dan ditempatkan pada kedudukan yang setara (equal) dengan PNS, yang berbeda hanya status kepegawaiannya saja
(tetap dan tidak tetap/kontrak). Melalui UU ini pula dijabarkan secara rinci
hak dan kewajiban dari aparatur sipil negara. Dengan pengaturan yang jelas
seperti itu diharapkan subjek hukum yang diatur (ASN) di dalamnya tidak
kebingungan dan sehingga tidak berjalan diluar batas-batas rambu yang telah
ditetapkan dalam UU tersebut. Singkatnya UU ASN menjadi pegangan dan pedoman
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari aparatur sipil negara dalam rangka
menciptakan tata kerja yang profesional dan berhasil guna.
C.
Kendala dan Problem Reformasi
Birokrasi
Meskipun diakui bahwa telah terdapat beberapa
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dari proses reformasi birokrasi
sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, namun tidak dapat dipungkiri juga
bahwa reformasi birokrasi yang tengah berjalan ini masih menyisakan sejumlah
persoalan/problem. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa persoalan-persoalan
tersebut antara lain ialah:
1. Pelayanan publik yang
masih belum memadai dan belum sesuai harapan masyarakat;
2. Keterbukaan informasi
atau transparansi yang masih “setengah hati” di lingkungan badan-badan publik,
khususnya instansi-instansi pemerintahan;
3. Masih lemahnya
pengawasan, khususnya pengawasan internal, sehingga sistem pengawasan yang ada
dapat dikatakan tidak berdaya tangkal (deterent
effect) serta tidak pula berdaya guna;
4. Kultur birokrasi yang
tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip clean
government dan good governance
sehingga menghambat proses reformasi birokrasi seperti budaya asal bapak senang
(ABS), budaya patron client (nepotisme),
arogansi aparatur pemerintahan yang bermental dilayani bukan melayani (served mentality not service or serve
mentality), kecenderungan untuk mempertahankan status quo karena merasa diuntungkan oleh sistem yang sudah ada;
5. Peraturan
perundang-undangan yang masih tumoang tindih bahkan bertentangan satu sama lain
baik secara vertikal maupun horizontal;
6. Masih tingginya angka
dan budaya korupsi. Data-data seputar penegakan hukum korupsi yang ada hingga
saat ini masih kurang menggembirakan. Data Transparency
International yang mengukur indeks persepsi korupsi (IPK) dari setiap
negara yang di surveynya menyebutkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia mendapat
skors atau IPK 3.4 dari skala 0-10, atas IPK tersebut Indonesia menempati peringkat
ke 107 dari 174 negara yang di survei.[13]
Lebih konkret lagi, data yang dirilis KPK menyebutkan bahwa sejak tahun 2005,
sebanyak 325 Kepala Daerah telah tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu adalah
sekitar 70% dari jumlah seluruh Kepala Daerah yang ada di Indonesia. Selain itu
dilaporkan juga oleh KPK bahwa sebanyak 3600-an anggota DPRD telah terjerat
kasus korupsi.[14] Angka-angka dan fakta
diatas menunjukan betapa masih rapuh dan rentannya birokrasi kita terhadap
perilaku-perilaku koruptif.
D.
Sumbang Saran untuk Perbaikan
Birokrasi
Atas sejumlah persoalan birokrasi yang masih tersisa
sebagaimana dijabarkan diatas maka Penulis menawarkan sejumlah proposisi
(saran; rekomendasi) dalam rangka perbaikan atas sejumlah persoalan tersebut;
1. Meningkatkan mutu
pelayanan publik
Peningkatan mutu pelayanan publik ini dapat
diwujudkan oleh aparatur pemerintahan (birokrasi) melalui pelaksanaan UU No. 25
Tahun 2009 secara optimal. Rambu-rambu dan pedoman pelayanan sebetulnya sudah
diatur sedemikian rupa dalam undang-undang tersebut sehingga permasalahannya
sekarang ialah ada di aras pelaksanaannya.
Peningkatan mutu pelayanan publik juga dapat
dilakukan melalui upaya-upaya inovatif yang memudahkan masyarakat, salah satu
contoh ialah dengan membangun sistem Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
sehingga masyarakat tidak perlu direpotkan oleh rantai birokrasi yang begitu
panjang dan rumit dan cukup mengurus perizinan di satu pintu.
2. Menerapkan prinsip clean government dan good governance sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan target-target yang telah direncakan
serta dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks;
3. Menerapkan prinsip
keterbukaan informasi dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Keterbukaan
atau transparansi merupakan prasyarat utama dari upaya pencegahan korupsi.
Tanpa adanya komitmen transparansi sulit rasanya mengharapkan keberhasilan
pencegahan maupun pemberantasan korupsi;
4. Membuka ruang
partisipasi dan pengawasan publik. Dibukanya keran partisipasi publik dapat
meningkatkan kualitas dan kehasilgunaan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah karena telah melalui proses penyerapan aspirasi dan keterlibatan
langsung masyarakat (bottom up proccess).
Sementara dibukanya ruang pengawasan publik dapat meningkatkan kontrol terhadap
penyelenggaraan negara sehingga dapat mencegah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).
5. Mengikis kultur
birokrasi yang tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip good governance (bad
bureaucracy) sambil membangun kultur birokrasi yang baru (meskipun harus
secara perlahan-lahan) yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dan tuntutan reformasi birokrasi;
6. Pencegahan korupsi
melalui pembangunan budaya anti korupsi. Walaupun pernyataan penulis ini
seringkali disangkal oleh KPK namun kesan yang ada selama ini pemberantasan
korupsi lebih dititik beratkan pada upaya represif (penindakan; penegakan
hukum) daripada upaya preventif. Perihal fenomena tersebut sejak lama fakta
telah berbicara bahwa upaya penindakan/represif semacam itu kurang berhasil
dalam pemberantasan korupsi sehingga kedepan strategi itu harus diperbaiki
dengan mengedepankan upaya preventif melalui pembangunan budaya anti korupsi.
[1]
Vide Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia Keempat.
[2]
Perihal fenomena global reformasi birokrasi dan restrukturisasi birokrasi ini
dapat dibaca dalam buku David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government; How the Enterpreunial Spirit is Transforming
the Public Sector, City Hall to the Pentagon, Reading, 1992.
[3]
Lihat Lampiran Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I Pendahuluan, hlm. 1.
[4]
Ibid., hlm. 4.
[5]
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi
Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 130-131.
[6]
Lihat Bab II Grand Design Reformasi Birokrasi, Poin 2.7 Tujuan Reformasi
Birokrasi, Lampiran Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025.
[7]
Ibid.
[8]
Lihat Bab I Pendahuluan, Poin 1.4 Kondisi yang Diinginkan, Lampiran Peraturan
Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
[9]
Vide Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
[10]
Vide Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
[11]
Lihat S. F. Marbun, Hukum Administrasi
Negara II, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 143-147.
[12]
Anotasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
Diterbitkan oleh Komisi Informasi Pusat yang bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL), Jakarta, 2009, hlm. 1-8.
[13]
Indeks Korupsi: Peringkat Indonesia Membaik, Tapi Masih Buruk, http://www.dw.de/indeks-korupsi-peringkat-indonesia-membaik-tapi-masih-buruk/a-18107694,
Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
[14]
Saat Ini, 325 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi,
http://keuda.kemendagri.go.id/berita/detail/1516-saat-ini--325-kepala-daerah-tersangkut-korupsi, Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
Lihat juga KPK: Anggota DPRD yang Terjerat Korupsi 3.600 Orang , http://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3600.Orang,
Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar