Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 03 Februari 2016

Reformasi Birokrasi Dalam Upaya Mewujudkan Good Governance di Indonesia



A.      Desain Reformasi Birokrasi
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tepatnya pada Alenia Keempat, telah digariskan di dalamnya tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.[1]
Cita-cita dan tujuan mulia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu tentu bukan persoalan yang remeh untuk diwujudkan. Dibutuhkan segenap usaha yang melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara tersebut, salah satu prasyarat itu ialah birokrasi atau aparatur pemerintahan yang handal yang dapat menggerakan roda pemerintahan menuju pencapaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan birokrasi dan aparatur pemerintahan yang dapat menarik gerbong kemajuan dan pembangunan nasional seperti yang diharapkan itu maka reformasi birokrasi merupakan suatu pilihan yang rasional, bahkan urgen untuk dilakukan. Tren global yang terjadi akhir-akhir ini seolah mengkonfirmasi hal tersebut. Banyak negara telah menempuh upaya reformasi dan restrukturisasi birokrasinya sebagai jawaban atas tantangan dan tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan dinamis karena tanpa reformasi maka birokrasi tidak akan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang seharusnya dilayaninya.[2]
Birokrasi merupakan salah satu elemen penting penentu keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan negara. Tanpa birokrasi yang handal dan menerapkan prinsip-prinsip clean government dan good governance sulit rasanya mengharapkan kemajuan sebuah negara.[3] Oleh sebab itu, reformasi birokrasi menjadi suatu alternatif solusi yang sangat relevan untuk dilaksanakan dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan negara dan pelayanan publik kepada masyarakat.
Reformasi birokrasi pada dasarnya adalah melaksanakan reformasi administrasi (administrative reform has been a central acrivity of government during the past several decade). Dalam konteks, reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya:
1.      mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan;
2.      menjadikan negara yang memiliki most-improved bureaucracy;
3.      meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat;
4.      meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi;
5.      meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi;
6.      menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.[4]
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan sekaligus mendorong reformasi birokrasi di Indonesia, antara lain:
1.         terjadinya gerakan reformasi pasca lengsernya Soeharto yang menghendaki birokrasi netral, transparan, responsif, akuntabilitas, bersih, dan berwibawa;
2.         digulirkannya otonomi daerah dimana struktur birokrasi tidak lagi tersentralisasi pada Pemerintah Pusat melainkan diserahkan  kepada masing-masing daerah; dan
3.         era globalisasi dan perdagangan bebas yang menghendaki birokrasi yang lebih profesional, karena pengguna jasa birokrasi sudah bukan lagi hanya masyarakat domestik tetapi juga masyarakat internasional.[5]
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan atau sasaran dari reformasi birokrasi. Menurut data yang dirilis National Performance Review-US, salah satu tujuan utama dari reformasi birokrasi ialah to make government work better and costless. Adapun dalam konteks Indonesia, sebagaimana telah digariskan dalam kebijakan Reformasi Birokrasi di Indonesia yang telah dibingkai melalui Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, tujuan reformasi birokrasi di Indonesia ialah menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.[6]
Berdasarkan Perpres No. 81 Tahun 2010 yang notabene merupakan kerangka acuan atau pedomen bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia ditetapkan bahwa grand design reformasi birokrasi mencakup tiga (3) aspek, yakni:
1.      Tata laksana;
2.      Kelembagaan; dan
3.      Sumber Daya Manusia
Lebih lanjut Prespres No. 81 Tahun 2010 juga menetapkan delapan (8) area perubahan yang disasar dalam reformasi birokrasi periode 2010-2025 berikut hasil yang ingin dicapai dari masing-masing area tersebut.
Area Perubahan dan Hasil yang Diharapkan[7]
No.
Area Perubahan
Hasil yang Diharapkan
1.
Organisasi
Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing)
2.
Tata laksana
Sistem, proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance
3.
Sumber daya manusia aparatur
SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera
4.
Peraturan perundang-undangan
Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif
5.
Pengawasan
Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN
6.
Akuntabilitas
Meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
7.
Pelayanan publik
Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat
8.
Budaya Kerja Aparatur
Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi

Berdasarkan Kebijakan Grand Design Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Perpres No. 81 Tahun 2010, ditetapkan juga beberapa kondisi yang diharapkan dapat tercapai pada setiap periode-periode tertentu (5 tahunan), yakni:
a.    Tahun 2014; diharapkan sudah berhasil mencapai penguatan dalam beberapa hal berikut:
1)     penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
2)     kualitas pelayanan publik;
3)     kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi;
4)     profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan.
b.    Tahun 2019; diharapkan dapat diwujudkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Selain itu, diharapkan pula dapat diwujudkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, harapan bangsa Indonesia yang semakin maju dan mampu bersaing dalam dinamika global yang semakin ketat, kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi semakin baik, SDM aparatur semakin profesional, dan mind-set serta cultureset yang mencerminkan integritas dan kinerja semakin tinggi.
c.    Tahun 2025; diharapkan telah terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara.[8]

B.       Capaian-Capaian Reformasi Birokrasi
Sejak reformasi birokrasi mulai digemakan dan digulirkan pasca tumbangnya rezim Soeharto pada 1998, tidak dapat dipungkiri bahwa telah terdapat beberapa pencapaian-pencapaian sebagai hasil dari reformasi birokrasi tersebut. Beberapa diantara pencapaian-pencapaian tersebut yang dapat diketengahkan antara lain ialah sebagai berikut:
1.      Penerapan Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Kehendak dan tekad untuk melakukan reformasi birokrasi di Indonesia setelah terkungkung dalam situasi politik yang otoriter dimulai sejak tahun 1998. Tidak lama setelah tumbangnya rezim orde baru. Upaya pertama kearah itu dapat dilihat melalui pembentukan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dengan pembentukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dalam kedua instrumen hukum tersebut diatur hal-hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, diantaranya ialah menetapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang terdiri atas tujuh asas[9] dan pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang bertugas memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.[10] Komisi inilah yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana kita kenal sekarang.
Meskipun diakui bahwa spektrum capaian ini hanya dari aspek regulasi atau perundang-undangan, namun capaian ini telah meletakan dasar-dasar political will sekaligus politik hukum negara untuk memulai babak baru kehidupan berbangsa dan bernegara setelah terbitnya fajar reformasi.
2.      Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Melalui pembentukan lembaga ini diharapkan dapat dilakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang diketahui bersama telah menjadi “patologi” atau penyakit akut yang menjangkiti birokrasi di Indonesia, dari level pusat sampai di level daerah. [11]
3.      Pembentukan Ombudsman berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 dan Pengaturan Pelayanan Publik melalui UU No. 25 Tahun 2009
Salah satu capaian penting dalam upaya mereformasi birokrasi ialah dibentuknya Ombudsman Republik Indonesia sebagai kelanjutan (upgrade) dari Komisi Ombudsman Nasional yang telah ada yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Tugas utamanya ialah untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelengara negara. Keberadaan Ombudsman yang kuat dan mandiri dapat mendorong terciptanya iklim pelayanan publik yang prima dan sesuai dengan harapan serta kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya, melalui pembentukan UU No. 25 Tahun 2009 diatur perihal Pelayanan Publik dengan sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang bermutu dan sesuai harapan masyarakat.
4.      Pembentukan Komisi Informasi dan Penerapan Keterbukaan Informasi Publik
Salah satu tuntutan reformasi yang menyuara dalam banyak forum ialah perihal keterbukaan dan transparansi penyelenggaraan negara di lingkungan instansi-instansi negara. Atas dasar tuntutan itu maka kemudian elemen-elemen masyarakat sipil yang terhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Memperoleh Informasi Publik (KMIP) mulai menyuarakan aspirasi untuk membentuk UU kebebasan/keterbukaan informasi publik beserta lembaga khusus yang akan mengawal keterbukaan informasi tersebut.[12]
Tuntutan itu tercatat mulai disuarakan sejak tahun 2000. Setelah melalui proses advokasi dan pembahasan di DPR yang cukup panjang, akhirnya pada 30 April 2008 disahkanlah UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Keberadaan UU dan Komisi Informasi ini menambah terang proses demokratisasi dan berkontribusi pula dalam upaya reformasi birokrasi dalam rangka mendorong transparansi di sektor publik (penyelenggara negara). Upaya ini patut diapresiasi samil terus di dukung hingga pada terwujudnya tata pemerintahan yang benar-benar transparan dan akuntabel, meski pun juga tidak dipungkiri jalan kearah sana masih terasa cukup jauh. Namun hal yang melegakan ialah, setidaknya langkah-langkah itu telah mulai diayun walaupun masih jauhjarak yang harus ditempuh.
5.      Mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang Akuntabel dan Berbasis Elektronik
Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah dewasa ini harus diakui telah mengalami kemajuan-kemajuan yang cukup berarti daripada periode-periode sebelumnya. Pengadaan barang dan jasa pemerintah saat ini diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 yang terakhir kali (perubahan ketiga) diubah dengan Perpres No. 172 Tahun 2014. Berdasarkan keseluruhan aturan itu, mekanisme pengadaan barang dan jasa diatur sedmikian rinci dan jelasnya sehingga dapat meminimalisir penyalahgunaan-penyalahgunaan yang pada periode sebelumnya dapat dengan mudah dilakukan atau “diakali.”
Melalui regulasi tersebut diatur dan dikembangkan pula sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik sehingga memudahkan partisipasi serta pengawasan dari masyarakat, seperti dengan adanya program e-procurement, LPSE, dan e-tendering.
6.      Pengaturan mengenai Aparatur Sipil Negara melalui UU No. 5 Tahun 2014
Setelah melalui proses yang cukup panjang, UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) akhirnya berhasil disahkan pada 15 Januari 2014. Undang-undang ini mengatur subjek Aparatur Sipil Negara yang terdiri atas PNS dan Non-PNS (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja; PPPK). Sebelum adanya UU ini, pegawai pemerintahan yang berstatus Non-PNS seolah tidak mempunyai payung hukum dan jaminan perlindungan hukum jelas karena UU sebelumnya, yakni No. 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian dan perubahannya UU No. 43 Tahun 1999, hanya mengatur PNS dan sama sekali tidak mencakup pegawai pemerintah non PNS.
Melalui UU ini status hukum pegawai pemerintah Non-PNS diakui dan ditempatkan pada kedudukan yang setara (equal) dengan PNS, yang berbeda hanya status kepegawaiannya saja (tetap dan tidak tetap/kontrak). Melalui UU ini pula dijabarkan secara rinci hak dan kewajiban dari aparatur sipil negara. Dengan pengaturan yang jelas seperti itu diharapkan subjek hukum yang diatur (ASN) di dalamnya tidak kebingungan dan sehingga tidak berjalan diluar batas-batas rambu yang telah ditetapkan dalam UU tersebut. Singkatnya UU ASN menjadi pegangan dan pedoman mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari aparatur sipil negara dalam rangka menciptakan tata kerja yang profesional dan berhasil guna.

C.      Kendala dan Problem Reformasi Birokrasi
Meskipun diakui bahwa telah terdapat beberapa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dari proses reformasi birokrasi sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa reformasi birokrasi yang tengah berjalan ini masih menyisakan sejumlah persoalan/problem. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa persoalan-persoalan tersebut antara lain ialah:
1.      Pelayanan publik yang masih belum memadai dan belum sesuai harapan masyarakat;
2.      Keterbukaan informasi atau transparansi yang masih “setengah hati” di lingkungan badan-badan publik, khususnya instansi-instansi pemerintahan;
3.      Masih lemahnya pengawasan, khususnya pengawasan internal, sehingga sistem pengawasan yang ada dapat dikatakan tidak berdaya tangkal (deterent effect) serta tidak pula berdaya guna;
4.      Kultur birokrasi yang tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip clean government dan good governance sehingga menghambat proses reformasi birokrasi seperti budaya asal bapak senang (ABS), budaya patron client (nepotisme), arogansi aparatur pemerintahan yang bermental dilayani bukan melayani (served mentality not service or serve mentality), kecenderungan untuk mempertahankan status quo karena merasa diuntungkan oleh sistem yang sudah ada;
5.      Peraturan perundang-undangan yang masih tumoang tindih bahkan bertentangan satu sama lain baik secara vertikal maupun horizontal;
6.      Masih tingginya angka dan budaya korupsi. Data-data seputar penegakan hukum korupsi yang ada hingga saat ini masih kurang menggembirakan. Data Transparency International yang mengukur indeks persepsi korupsi (IPK) dari setiap negara yang di surveynya menyebutkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia mendapat skors atau IPK 3.4 dari skala 0-10, atas IPK tersebut Indonesia menempati peringkat ke 107 dari 174 negara yang di survei.[13] Lebih konkret lagi, data yang dirilis KPK menyebutkan bahwa sejak tahun 2005, sebanyak 325 Kepala Daerah telah tersangkut kasus korupsi. Jumlah itu adalah sekitar 70% dari jumlah seluruh Kepala Daerah yang ada di Indonesia. Selain itu dilaporkan juga oleh KPK bahwa sebanyak 3600-an anggota DPRD telah terjerat kasus korupsi.[14] Angka-angka dan fakta diatas menunjukan betapa masih rapuh dan rentannya birokrasi kita terhadap perilaku-perilaku koruptif.


D.      Sumbang Saran untuk Perbaikan Birokrasi
Atas sejumlah persoalan birokrasi yang masih tersisa sebagaimana dijabarkan diatas maka Penulis menawarkan sejumlah proposisi (saran; rekomendasi) dalam rangka perbaikan atas sejumlah persoalan tersebut;
1.      Meningkatkan mutu pelayanan publik
Peningkatan mutu pelayanan publik ini dapat diwujudkan oleh aparatur pemerintahan (birokrasi) melalui pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 secara optimal. Rambu-rambu dan pedoman pelayanan sebetulnya sudah diatur sedemikian rupa dalam undang-undang tersebut sehingga permasalahannya sekarang ialah ada di aras pelaksanaannya.
Peningkatan mutu pelayanan publik juga dapat dilakukan melalui upaya-upaya inovatif yang memudahkan masyarakat, salah satu contoh ialah dengan membangun sistem Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sehingga masyarakat tidak perlu direpotkan oleh rantai birokrasi yang begitu panjang dan rumit dan cukup mengurus perizinan di satu pintu.
2.      Menerapkan prinsip clean government dan good governance sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan target-target yang telah direncakan serta dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks;
3.      Menerapkan prinsip keterbukaan informasi dalam segala aspek penyelenggaraan negara. Keterbukaan atau transparansi merupakan prasyarat utama dari upaya pencegahan korupsi. Tanpa adanya komitmen transparansi sulit rasanya mengharapkan keberhasilan pencegahan maupun pemberantasan korupsi;
4.      Membuka ruang partisipasi dan pengawasan publik. Dibukanya keran partisipasi publik dapat meningkatkan kualitas dan kehasilgunaan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena telah melalui proses penyerapan aspirasi dan keterlibatan langsung masyarakat (bottom up proccess). Sementara dibukanya ruang pengawasan publik dapat meningkatkan kontrol terhadap penyelenggaraan negara sehingga dapat mencegah penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).
5.      Mengikis kultur birokrasi yang tidak kompatibel dengan prinsip-prinsip good governance (bad bureaucracy) sambil membangun kultur birokrasi yang baru (meskipun harus secara perlahan-lahan) yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance dan tuntutan reformasi birokrasi;
6.      Pencegahan korupsi melalui pembangunan budaya anti korupsi. Walaupun pernyataan penulis ini seringkali disangkal oleh KPK namun kesan yang ada selama ini pemberantasan korupsi lebih dititik beratkan pada upaya represif (penindakan; penegakan hukum) daripada upaya preventif. Perihal fenomena tersebut sejak lama fakta telah berbicara bahwa upaya penindakan/represif semacam itu kurang berhasil dalam pemberantasan korupsi sehingga kedepan strategi itu harus diperbaiki dengan mengedepankan upaya preventif melalui pembangunan budaya anti korupsi.




[1] Vide Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alenia Keempat.
[2] Perihal fenomena global reformasi birokrasi dan restrukturisasi birokrasi ini dapat dibaca dalam buku David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government; How the Enterpreunial Spirit is Transforming the Public Sector, City Hall to the Pentagon, Reading, 1992.
[3] Lihat Lampiran Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Bab I Pendahuluan, hlm. 1.
[4] Ibid., hlm. 4.
[5] Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2014, hlm. 130-131.
[6] Lihat Bab II Grand Design Reformasi Birokrasi, Poin 2.7 Tujuan Reformasi Birokrasi, Lampiran Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
[7] Ibid.
[8] Lihat Bab I Pendahuluan, Poin 1.4 Kondisi yang Diinginkan, Lampiran Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
[9] Vide Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
[10] Vide Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
[11] Lihat S. F. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 143-147.
[12] Anotasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Diterbitkan oleh Komisi Informasi Pusat yang bekerja sama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2009, hlm. 1-8.
[13] Indeks Korupsi: Peringkat Indonesia Membaik, Tapi Masih Buruk,  http://www.dw.de/indeks-korupsi-peringkat-indonesia-membaik-tapi-masih-buruk/a-18107694, Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
[14] Saat Ini, 325 Kepala Daerah Tersangkut Korupsi,  http://keuda.kemendagri.go.id/berita/detail/1516-saat-ini--325-kepala-daerah-tersangkut-korupsi, Diakses pada tanggal 30 Maret 2015. Lihat juga KPK: Anggota DPRD yang Terjerat Korupsi 3.600 Orang , http://nasional.kompas.com/read/2014/09/25/22533641/KPK.Anggota.DPRD.yang.Terjerat.Korupsi.3600.Orang, Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar