Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 03 Februari 2016

Lembaga Upaya Administratif Pasca Berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Implikasinya terhadap Hukum Acara di PTUN



A.       Latar Belakang Permasalahan
Peradilan Tata Usaha Negara beserta hukum acaranya yang tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (dan perubahannya)[1], saat ini tengah dihadapkan pada sejumlah dinamika di dalam pelaksanaannya sehubungan dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dilihat dari segi substansinya (materi muatannya), UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.[2] Sedangkan hukum formilnya tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2014, muncul beberapa ketentuan dan paradigma baru dalam lapangan administrasi pemerintahan yang tentunya akan berimplikasi pada praktek peradilan administrasi yang selama ini telah dijalankan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
Salah satu materi yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 ialah perihal lembaga upaya administratif.[3] Dengan diaturnya lembaga upaya administratif oleh UU No. 30 Tahun 2014, maka upaya administratif yang selama ini dikenal (menurut UU No. 5 Tahun 1986) mengalami perubahan.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986, upaya administratif hanya berlaku bagi sengketa-sengketa TUN tertentu saja yang memang oleh peraturan perundang-undangan disediakan upaya administratifnya.[4] Sementara di luar itu, yakni sengketa TUN yang tidak tersedia upaya administratifnya, dapat langsung diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).[5]
Sementara upaya administratif dalam UU No. 30 Tahun 2014 bersifat wajib dan berlaku terhadap semua sengketa TUN. Artinya, penyelesaian setiap sengketa TUN harus terlebih dahulu diupayakan melalu lembaga upaya administratif yang terdiri upaya keberatan dan banding administratif. Setelah seluruh upaya administratif itu ditempuh (exhausted) namun tidak juga terdapat penyelesaian, barulah gugatan ke pengadilan dapat dilakukan.
Dalam hal ini pengadilan diposisikan sebagai the last resort atau ultimum remedium bagi penyelesaian sengketa TUN. Makudnya, undang-undang ingin mendorong agar setiap sengketa TUN sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya administratif. Jika seluruh upaya administratif telah selesai ditempuh tetapi masih juga tidak ada kata penyelesaian, barulah sengketa itu bisa diajukan kepada PTUN untuk diperiksa dan diputus.[6]
Konstruksi penyelesaian sengketa TUN yang demikian dirasa lebih baik dan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip hukum administratsi negara dimana penyelesaian pertama terhadap setiap sengeta TUN harus terlebih dahulu dilakukan di lingkungan (internal) pemerintahan itu sendiri. Setelah upaya penyelesaian di internal pemerintahan (upaya administratif) itu ditempuh namun gagal, barulah gugatan kepada PTUN bisa dilayangkan.[7]
Berdasarkan uraian diatas jelas lah bahwa lembaga upaya admisitratif dalam kerangka penyelesaian sengketa TUN dewasa ini telah mengalami perubahan sehubungan dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2014.
Perubahan di aras upaya administratif itu tentu saja akan menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian di dalam hukum acara peradilan tata usaha negara agar lembaga tersebut dapat diakomodir dalam sistem penyelesaian sengketa TUN di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Itulah sebabnya kajian akademis mengenai persoalan yang terbilang masih hangat ini sangat penting untuk dilakukan, agar dapat dirumuskan suatu upaya yang nyata agar lembaga ini dapat segera diimplementasikan.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis akan mengangkat persoalan ini dalam sebuah penelitian kecil yang berjudul “Lembaga Upaya Administratif dan Perubahannya Pasca Berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.”

B.       Lembaga Upaya Administratif Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 dan Perubahannya Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014
1.        Lembaga Upaya Administratif Menurut UU No. 5 Tahun 1986
Lembaga upaya administratif menurut Indroharto adalah prosedur penyelesaian sengketa administrasi/tata usaha negara yang dilakukan sendiri oleh pemerintah (bukan oleh badan peradilan). Lembaga upaya administrasi ini biasanya diadakan sebelum suatu sengketa TUN dibawa ke pengadilan agar dapat diselesaikan terlebih dahulu di lingkungan pemerintahan itu sendiri.[8]
Lembaga upaya adiministratif dalam UU no. 5 Tahun 1986 diatur dalam Pasal 48. Sedangkan tindak lanjut atau upaya penyelesaian sengketa TUN yang telah menempuh upaya administratif itu diatur dalam Pasal 51 ayat (3).[9] Untuk lebih jelasnya berikut adalah bunyi pasalnya:
Pasal 48
Ayat (1)
“Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.”
Ayat (2)
“Pengadilan baru berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.”
Pasal 51 ayat (3)
“Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.”
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat diketahui bahwa lembaga upaya administratif yang dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1986 hanya berlaku dan diwajibkan terhadap sengketa-sengketa TUN tertentu yang memang oleh peraturan perundang-undangannya disediakan upaya administratifnya.
Dalam hal  ini dapat dikatakan bahwa UU No. 5 Tahun 1986 hanya mengambil sikap untuk mengakui dan menghormati lembaga administratif yang telah ada. Sebaliknya, UU No. 5 Tahun 1986 tidak mewajibkan upaya administratif bagi sengketa TUN yang oleh undang-undangnya memang tidak disediakan upaya administratifnya.[10]
Berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, upaya administratif itu terdiri atas:
a.         Keberatan (administratief bezwaar) ; dan/atau
b.        Banding administratif (administratief beroep).
Disebut upaya keberatan apabila penyelesaian sengketa TUN itu diselesaikan oleh badan/pejabat yang telah mengeluarkan keputusan TUN yang dimaksud. Sedang yang dimaksud dengan banding administratif adalah penyelesaian sengketa TUN yang diajukan kepada instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan tersebut.[11]
Dalam prakteknya, upaya administratif yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan untuk sengketa TUN tertentu itu dapat berupa:
a.         upaya keberatan saja;
b.        upaya banding administratif saja; atau
c.         upaya keberatan dan banding administratif (kumulatif).[12]
Terhadap sengketa-sengketa TUN yang tersedia upaya administratifnya itu maka penyelesaiannya harus terlebih dahulu menggunakan upaya administratif yang tersedia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 5 Tahun 1986, apabila semua upaya administratif telah ditempuh namun hasilnya tetap tidak memuaskan maka sengketa TUN tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) untuk diperiksa dan diputus. Dalam hal ini PT TUN bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama yang memutus sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 (Sengketa TUN yang telah menempuh upaya administratif). Selanjutnya, terhadap putusan PT TUN itu masih dimungkinkan untuk diajukan kasasi dan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.[13]
Dalam rangka memberikan pedoman pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1986, termasuk mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pasca upaya administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3), Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Bab IV (Upaya Administratif) angka 2 SEMA No. 2 Tahun 1991, disebutkan bahwa:
a.         Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa keberatan saja, maka guagatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersangkutan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya administratif berupa keberatan dan/atau banding administratif, maka gugatan terhadap KTUN yang telah diputus dalam tingkat banding administratif itu diajukan langsung kepada PT TUN.
Jadi meskipun UU No. 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa TUN yang telah melalui upaya administratif harus diajukan kepada PT TUN, akan tetapi pada prakteknya, dengan adanya SEMA No. 2 Tahun 1991, dilakukan pembagian kompetensi antara PTUN dan PTUN. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengadili sengketa TUN yang upaya administratifnya hanya terdiri dari keberatan saja. Sedangkan PT TUN mengadili sengketa TUN yang upaya administratifnya terdiri dari keberatan dan/atau banding administratif.[14]
2.        Lembaga Upaya Administratif Menurut UU No. 30 Tahun 2014
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Peradilan Tata Usaha Negara serta hukum acaranya yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1986 (dan perubahannya) saat ini tengah menghadapi dinamika dan perkembangan terbaru sehubungan dengan terbitnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Salah satu materi yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 ialah mengenai lembaga upaya administratif. Meskipun lembaga upaya administratif ini masih berada dalam rezim penyelesaian sengketa TUN di lingkungan (internal) pemerintahan akan tetapi lembaga ini tidak bisa dipisahkan dari rezim penyelesaian sengketa TUN di pengadilan.[15] Sebab menurut paradigma penyelesaian sengketa TUN yang dianut oleh UU No. 30 Tahun 2014, lembaga upaya administratif adalah prasyarat bagi penyelesaian sengketa TUN di pengadilan. Lembaga upaya administratif dalam UU No. 30 Tahun 2014 ditempatkan sebagai suatu mekanisme yang wajib ditempuh sebelum suatu sengketa diselesaikan oleh Peradilan Tata Usaha Negara.[16]
Pengaturan mengenai lembaga upaya administratif dalam UU No. 30 Tahun 2014 diletakan dalam bab tersendiri, yaitu Bab X tentang Upaya Administrasi, yang terdiri dari Pasal 75 sampai dengan Pasal 78. Dalam UU No. 30 Tahun 2014, upaya administratif diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang merugikan.[17]
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 membuka ruang bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu keputusan/tindakan badan atau pejabat TUN untuk mengajukan upaya administratif. Upaya administratif itu sendiri terdiri dari:
a.         Keberatan (administratief bezwaar); dan
b.        Banding (administratief beroep).[18]
Secara garis besarnya, upaya keberatan menurut UU No. 30 Tahun 2014 dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a.         Keberatan diajukan secara tertulis kepada badan/pejabat yang telah mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan TUN yang dimaksud;
b.        Keberatan diajukan paling lama 21 hari kerja sejak dikeluarkannya keputusan atau dilakukannya tindakan tersebut;
c.         Badan/pejabat TUN menyelesaikan upaya keberatan paling lama 10 hari kerja sejak diterimanya keberatan;
d.        Badan/pejabat TUN berwenang mengabulkan atau menolak keberatan. Dalam hal keberatan dikabulkan maka badan/pejabat TUN wajib menetapkan keputusan baru sesuai permohonan keberatan. Akan tetapi jika keberatan ditolak maka badan/pejabat TUN harus menuangkan keputusan penolakan tersebut secara tertulis dan menyampaikannya kepada pemohon keberatan.[19]
Sementara itu, upaya banding administratif menurut UU No. 30 Tahun 2014 dilakukan dengan mekanisme berikut ini:
a.         banding administratif dilakukan apabila upaya keberatan yang telah ditempuh sebelumnya ditolak atau tidak memuaskan;
b.        banding administratif diajukan kepada atasan dari pejabat yang telah menetapkan keputusan yang dimaksud;
c.         tenggang waktu pengajuan banding administratif adalah 10 hari kerja sejak diterimanya keputusan atas permohonan keberatan;
d.        Badan/pejabat TUN menyelesaikan permohonan banding administratif paling lama 10 hari kerja sejak diterimanya banding tersebut;
e.         Badan/pejabat TUN berwenang mengabulkan atau menolak permohonan banding administratif. Dalam hal banding administratif dikabulkan, maka badan/pejabat TUN wajib menetapkan keputusan baru sesuai permohonan banding. Akan tetapi jika permohonan banding administratif ditolak maka badan/pejabat TUN harus menuangkan keputusan penolakan tersebut secara tertulis dan menyampaikannya kepada pemohon banding.[20]
Setelah seluruh upaya administratif sebagaimana disebut diatas telah ditempuh akan tetapi administrebele[21] masih merasa tidak puas dengan keputusan banding yang ia terima, maka administrebele dapat melanjutkan upaya penyelesaian sengketa TUN yang dimaksud ke pengadilan.[22] Dengan kata lain, gugatan/penyelesaian sengketa TUN di pengadilan baru dapat dilakukan jika seluruh upaya administratif telah ditempuh (exhausted).
Mengenai persoalan ini timbul pertanyaan, pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa TUN pasca upaya administratif, apakah PTUN atau PT TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986.
Menurut hemat penulis, pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa TUN pasca upaya administratif sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU 30/2014, ialah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 18 yang menyatakan bahwa: “ pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang ini (UU 30/2014) adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.”[23]
Lagipula berdasarkan penalaran logis tidak mungkin pengadilan yang dimaksud oleh Pasal 76 ayat (3) UU 30/2014 itu adalah PT TUN sebagaimana dikonstruksikan oleh Pasal 51 ayat (3) UU 5/1986. Sebab jika paradigma UU 5/1986 yang dipakai, maka artinya semua sengketa TUN akan ditangani langsung oleh PT TUN, sebab pasca berlakunya UU 30/2014, seluruh sengketa TUN diharuskan menempuh upaya administratif terlebih dahulu.
Berdasarkan keseluruhan uraian diatas maka dapat lah ditarik suatu benang merah bahwa upaya administratif menurut UU No. 30 Tahun 2014  bersifat wajib (mandatory) dan berlaku terhadap semua sengketa TUN. Artinya, penyelesaian setiap sengketa TUN harus terlebih dahulu diupayakan melalui lembaga upaya administratif yang terdiri dari upaya keberatan dan banding administratif. Setelah seluruh upaya administratif itu telah ditempuh (exhausted) namun tidak juga terdapat penyelesaian, barulah sengketa tersebut dapat diajukan kepada PTUN.  
Dengan demikian maka tergambarkan lah adanya perubahan lembaga upaya administratif pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 jika dibandingkan dengan lembaga upaya administratif yang selama ini dikenal dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Penulis mencatat ada sekurang-kurangnya dua (2) perubahan prinsipil yang terjadi dalam lembaga upaya administratif pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, yaitu:
a.         Sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, lembaga upaya administratif tidak berlaku terhadap semua sengketa TUN, melainkan hanya berlaku terhadap sengketa-sengketa TUN tertentu yang oleh peraturan perundang-undangannya memang disediakan upaya administratifnya. Sedangkan lembaga upaya administratif menurut UU No. 30 Tahun 2014 bersifat wajib (mandatory) dan berlaku terhadap semua sengketa TUN. Artinya, setiap sengketa TUN harus terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya administratif yang terdiri dari upaya keberatan dan banding administratif. Upaya administratif tersebut menjadi syarat untuk dapat diselesaikannya suatu sengketa TUN di PTUN;
b.        Menurut UU No. 5 Tahun 1986, penyelesaian sengketa TUN pasca upaya administratif diajukan langsung kepada PT TUN sebagai pengadilan tingkat pertama yang akan memeriksa dan memutus sengketa TUN yang telah menempuh upaya administratif.[24] Sedangkan menurut UU No. 30 Tahun 2014, penyelesaian sengketa TUN pasca upaya administratif diajukan dan menjadi wewenang PTUN (bukan lagi PT TUN).

C.     Implikasi Perubahan Lembaga Administratif terhadap Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan uraian diatas jelas lah bahwa lembaga upaya admisitratif dalam kerangka penyelesaian sengketa TUN dewasa ini telah mengalami perubahan sehubungan dengan lahirnya UU No. 30 Tahun 2014.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan tersebut akan berimplikasi pada mekanisme penyelesaian sengketa tata usaha negara (hukum acara) di Peradilan Tata Usaha Negara. Sebab upaya administrasi itu sendiri merupakan bagian dari rezim penyelesaian sengketa TUN yang pada ujungnya akan bermuara di Peradilan Tata Usaha Negara.[25] Dalam hubungan ini, lembaga upaya administratif itulah yang menjadi syarat atau pintu masuk untuk dapat diselesaikannya suatu sengketa TUN di PTUN. Artinya, pengaturan lembaga upaya administratif ini memang akan berpengaruh terhadap rancang bangun penyelesaian sengketa TUN di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mengenai hal ini, penulis mencatat bahwa ada dua implikasi perubahan lembaga upaya administratif terhadap hukum acara peradilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986, yaitu:
1.        Pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, lembaga upaya administratif yang terdiri dari upaya keberatan dan banding administratif, bersifat wajib (mandatory) dan berlaku terhadap semua sengketa TUN. Penyelesaian sengketa TUN di PTUN hanya dimungkinkan apabila seluruh upaya administratif telah digunakan (exhausted).
Perubahan ini telah mengubah paradigma dan ketentuan mengenai lembaga upaya administratif yang selama ini dikenal dan diatur dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986.
2.        Pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, penyelesaian setiap sengketa TUN pasca upaya administratif diajukan kepada PTUN (bukan lagi ke PT TUN).
Perubahan ini telah mengubah paradigma penyelesaian sengketa TUN pasca upaya administratif yang diatur dalam Pasal 51 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu melalui PT TUN. Bahkan menurut hemat penulis, ketentuan pasal tersebut akan menjadi norma mati (doedel regel) sebab telah diubah secara diam-diam oleh UU No. 30 Tahun 2014 yang mengatur bahwa penyelesaian sengketa TUN pasca upaya administratif diajukan kepada PTUN.
Perubahan lembaga upaya administratif pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 ini jelas menimbulkan konsekuensi dan implikasi terhadap hukum acara peradilan tata usaha negara sebagaimana digambarkan diatas.
Dinamika ini tentu saja membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dalam hukum acara peradilan tata usaha negara agar Peradilan Tata Usaha Negara dapat menampung dan mengikuti perubahan ini. Cara yang paling efektif untuk itu tentu saja dengan mengadakan perubahan terhadap UU No. 5 Tahun 1986 (yang sejauh ini telah mengalami dua kali perubahan).
Akan tetapi jika solusi final berupa perubahan UU No. 5 Tahun 1986 itu belum bisa terwujud mengingat rumit dan panjangnya proses tersebut, maka menurut hemat penulis Mahkamah Agung bisa mengambil inisiatif dalam mengatasi persoalan ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung misalnya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang akan mengatur perihal upaya administrasi dan mekanisme penyelesaiannya di pengadilan. Melalui Perma itu diharapkan lembaga upaya administrasi yang telah dirancang dengan baik oleh UU No. 30 Tahun 2014 dapat segera diimplementasikan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.




D.       Kesimpulan
 1.   Ada dua (2) perubahan mendasar yang terjadi dalam lembaga upaya administratif pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, yaitu:
a.    Lembaga upaya administratif menurut UU No. 30 Tahun 2014 bersifat wajib (mandatory) dan berlaku terhadap semua sengketa TUN. Artinya, setiap sengketa TUN harus terlebih dahulu diselesaikan melalui lembaga upaya administratif yang terdiri dari upaya keberatan dan banding administratif. Penyelesaian sengketa TUN di pengadilan (PTUN) hanya dimungkinkan apabila seluruh upaya administratif itu telah ditempuh;
b.    Penyelesaian setiap sengketa TUN pasca upaya administratif diajukan kepada PTUN (bukan lagi PT TUN).
2.   Perubahan lembaga upaya administratif pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 membawa dampak/implikasi terhadap ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986, khususnya menyangkut ketentuan Pasal 48 dan Pasal 51 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur soal upaya administratif dan mekanisme penyelesaian sengketa TUN pasca upaya administratif (seperti yang dijelaskan pada poin 1 diatas).




[1] Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah diubah untuk pertama kalinya dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan diubah kembali untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009.
[2] Penegasan bahwa Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 adalah hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilihat dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 itu sendiri, tepatnya pada Alenia Kelima yang berbunyi “ ... Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.” Hal ini juga dikemukakan oleh Supandi, Hakim Agung pada Kamar Tata Usaha Negara yang juga Dosen pengasuh mata kuliah Peradilan Administrasi Negara pada program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam perkuliahannya tertanggal 18 September 2015,  Supandi mengatakan bahwa sesungguhnya UU No. 30 Tahun 2014 merupakan hukum materiil bagi Peradilan Tata Usaha Negara yang melengkapi hukum formil yang sudah ada (UU No. 5 Tahun 1986).
[3] Menurut S.F Marbun, ada beberapa istilah lain yang dapat dipergunakan untuk menyebut istilah “upaya administratif” ini, antara lain guasi rechtspraak atau peradilan administrasi semu. Lihat S. F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 65.
[4] Vide Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[5] Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 193-194.
[6] Vide Bab X Upaya Administratif (Pasal 75 sampai dengan Pasal 78) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[7] Uraian perihal upaya hukum yang seharusnya ditempuh dalam perselisihan administratif ini dapat dilihat selengkapnya dalam Philipus M. Hadjon, “Kebutuhan Akan Hukum Administrasi Umum,” dalam Muhadi, editor, Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2015, hlm. 31.
[8] Indroharto, Op. Cit., hlm. 194.
[9] A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. Keenam, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 17.
[10] Lihat Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Cet. Ketiga, Jakarta, 2002, hlm. 83-84.
[11] Lihat juga perihal definisi upaya keberatan dan banding administratif ini dalam R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 110-111.

[12] R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 112.
[13] Vide Pasal 51 ayat 4 juncto Pasal 132 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[14] Zairin Harahap, Op. Cit., hlm. 84.
[15] Sebagaimana dikemukakan oleh Baharudin Lopa dan Andi Hamzah bahwa penyelesaian sengketa administrasi dapat dilakukan melalui dua cara/pendekatan, yaitu melalui upaya administatif dan upaya hukum (gugatan) di peradilan administrasi. Lihat selengkapnya dalam Baharudin Lopa dan Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cet. Kesatu, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hm. 58.
[16] Vide Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[17] Vide Pasal 1 angka 16 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[18] Vide Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[19] Mengenai mekanisme upaya keberatan ini dapat dibaca dalam Pasal 77 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[20] Mengenai mekanisme upaya keberatan ini dapat dibaca dalam Pasal 78 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[21] Administrabele adalah warga masyarakat pencari keadilan yang menempuh upaya hukum terhadap keputusan/tindakan pejabat tata usaha negara yang dianggap merugikan kepentinganya, baik melalui upaya administratif (jika tersedia) maupun melalui pengadilan (PTUN). Lihat dalam Baharudin Lopa dan Andi Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cet. Kesatu, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hm. 58.
[22] Vide Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[23] Lihat pendapat yang sama mengenai hal ini dalam Bambang Heriyanto, Kompetensi Absolut Peradilan Tun Pasca Berlakunya UU Administrasi Pemerintahan, http://hery-judge.blogspot.co.id/2009/12/tata-cara-pelaksanaan-uang-paksa-dan.html, Diakses pada tanggal 5 Desember 2015.

[24] Ketentuan ini diatur dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian dielaborasi lebih lanjut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1991 Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut SEMA No. 2 Tahun 1991, penyelesaian terhadap sengketa TUN yang telah menempuh upaya administratif dilakukan oleh: (i) PTUN, jika upaya administratifnya hanya berupa keberatan saja; dan (ii) PT TUN, jika upaya administratifnya berupa keberatan dan/atau banding administratif.
[25] Sebagaimana dikemukakan oleh Baharudin Lopa dan Andi Hamzah bahwa penyelesaian sengketa administrasi dapat dilakukan melalui dua cara/pendekatan, yaitu melalui upaya administatif dan upaya hukum (gugatan) di peradilan administrasi. Lihat selengkapnya dalam Baharudin Lopa dan Andi Hamzah, Op. Cit., hm. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar