Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 11 Februari 2014

Putusan MK tentang Pemilu Serentak (Seri Lengkap)



Pilihan dan Tafsir Konstitusional atas Penyelenggaran Pemilihan Umum 

Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945 (UUD NRI 1945) yang merupakan supreme law of the land telah membingkai sistem ketatanegaraan republik ini sedemikian rupa, termasuk Pemilihan Umum (Pemilu). Dewasa ini Pemilu didaulat sebagai sarana utama pengejawantahan kedaulatan rakyat oleh negara-negara demokrasi di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pemilihan umum dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur demokrasi di suatu negara.[2] Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Pemilu merupakan syarat mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.[3] Demikian pentingnya pranata Pemilihan Umum dalam sebuah negara demokrasi, Konstitusi kita pun turut mengatur mekanisme “hajatan demokrasi” tersebut.
Pemilihan Umum diatur dalam Pasal 22E (Bab VIIB) UUD. Khusus mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), selain diatur dalam Pasal 22E, diatur juga dalam Pasal 6A.
Berikut bunyi Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (2)[4]:
Pasal 22E
Ayat (1)
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.***)[5]
Ayat (2)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.***)
Ayat (6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 6A
Ayat (2)
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
Sebagaimana lazimnya dalam teori konstitusi, UUD hanya mengatur secara umum/pokok-pokoknya saja, sedangkan pengaturan yang lebih jelas dan rinci diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Begitu pun halnya dengan persoalan Pemilu, Pasal 22E ayat (6) mendelegasikan kewenangan kepada Pembentuk UU (delegatie van wetgevingbevogheid) untuk mengaturnya lebih lanjut.
Sesuai perintah Pasal 22E ayat (6) UUD diatas, maka kemudian Pembentuk UU (DPR bersama Presiden) membentuk undang-undang yang mengatur Pemilihan Umum. Melalui pembentukan undang-undang tersebut, Pembentuk UU menuangkan dan menetapkan politik hukum penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sebagai pelaksanaan amanat UUD.
Politik hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang dalam rangka menerjemahkan dan mengelaborasi Pasal 22E dan Pasal 6A UUD ternyata ialah membagi dan memisahkan penyelenggaraan Pemilu menjadi dua, yaitu Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pilleg) dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Politik hukum tersebut tercermin dan terbukti dengan (selalu) dibentuknya dua undang-undang Pemilu (UU Pilleg dan UU Pilpres) yang memisahkan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres.
Potret politik hukum itulah yang kemudian banyak dipersoalkan. Polemik penyelenggaran Pilleg dan Pilpres yang terpisah itu tidak hanya bergulir deras dalam forum-forum sosial dan ilmiah, melainkan juga dipersoalkan secara hukum melalui uji konstitusionalitas UU No. 42 Tahun 2008 (UU Pilpres), khususnya terhadap pasal-pasal yang menetapkan penyelenggaraan Pilpres setelah penyelenggaran Pilleg (terpisah).
Sejak Desember 2008, tercatat sudah ada 3 permohonan pengujian atas pasal-pasal UU Pilpres yang mengatur penyelenggaraan Pemilu secara terpisah (termasuk soal presidential thereshold)[6] yang diajukan oleh 3 pemohon. Permohonan-permohonan tersebut kemudian digabungkan perkaranya dan telah diputus oleh MK dengan Putusan No.51-52-59/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Februari 2009 yang pada pokoknya adalah menolak permohonan pemohon.[7]
Dalam putusan tersebut MK menolak permohonan pemohon yang mempersoalkan Pemilu yang tidak serentak antara Pilleg dan Pilpres serta ketentuan ambang batas perolehan suara bagi Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential thereshold).[8]
Amar putusan yang menolak permohonan tersebut didasarkan atas pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada pokoknya ialah sebagai berikut:
1.      Mahkamah berpendapat bahwa pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pengalaman tersebut telah menjadi kebiasan (konvensi) dimana kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Selain itu, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh MPR [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], maka Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk terlebih dahulu.
2.      Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Putusan MK atas pengujian UU Pilpres yang hanya berjarak 2 bulan sebelum hari pemungutan suara Pilleg 2009 tentu saja melegakan. Jadwal dan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sudah dan sedang berjalan tidak kacau balau karena MK menyatakan Pemilu terpisah tetap konstitusional.
Pemilhan Umum Tahun 2009 telah berjalan dan dilaksanan terpisah. Namun demikian Putusan MK No.51-52-59/PUU-VI/2008 ternyata tidak begitu saja dapat memuaskan semua pihak. Menjelang gelaran Pemilu 2014, UU Pilpres kembali dimohonkan pengujiannya, yakni mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu yang terpisah dan ketentuan presidential threshold, namun dengan batu uji dan dalil-dalil yang berbeda, sehingga mahkamah tidak menganggapnya sebagai ne bis in idem.
Permohonan tersebut dimohonkan oleh Efendi Gazali dan diregistrasi di MK tanggal 22 Januari 2013 dengan No. 14/PUU-XI/2013. Pasal-pasal yang diuji yaitu Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42 Tahun 2008 terhadap Pasal  4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan dalil-dalil (funamentum petendi) yang secara garis besarnya ialah sebagai berikut:
a.       Sistem Pemerintahan yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Dalam sistem presidensial jabatan Presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif. Karenanya tidak relevan mengaitkan dukungan Parpol kepada Presiden. Oleh sebab itu sebetulnya secara teoritis sistem presidensial tidak mengenal Pemilu yang terpisah antara Pilleg dan Pilpres, lebih-lebih mempersyaratkan presidential thereshold yang begitu tinggi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres;
b.      Menurut Teori Presidential Coattail Effect; dalam Pemilu serentak, pemilih cenderung memilih partai atau gabungan partai yang mengusung Capres pilihannya. Dengan demikian akan tercipta keselerasan antara kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif sehingga Pemilu serentak pun dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat.
c.       Pemilu serentak lebih memungkinkan tercapainya political efficacy, yaitu kemampuan menentukan hasil politik, dimana Pemilih dapat menentukan akan memilih partai mana dan Capres mana, baik yang sama antara Capres dan partai pengusungnya (straight ticket) maupun beda antara Capres dan partai politik yang dipilihnya (split ticket). Hal mana sulit terjadi dalam Pemilu terpisah karena belum tentu Capres pilihannya dapat menjadi peserta Pilpres karena mungkin partainya tidak memenuhi presedential thereshold;
d.      Bahwa dalam pelbagai penelitian telah terbukti bahwa Pemilu serentak dapat lebih menjamin efisiensi dan efektivitas, baik dari segi anggaran maupun persentase penggunaan hak pilih serta konstelasi politik yang terbangun setelahnya;
e.       Pemilu serentak dapat menghemat anggaran negara, karena semakin banyak penyelenggaraan Pemilu maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, utamanya gaji/honor penyelenggara Pemilu yang porsinya lebih dari 65% dari seluruh anggaran Pemilu;
f.       Berdasarkan perhitungan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah, jika Pilpres dan Pilleg dilakukan serentak maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam 7 hal;
1)        Pemutakhiran data pemilih (tidak perlu dua kali kecuali terjadi Pilpres putaran kedua);
2)        Sosialisasi;
3)        Perlengkapan TPS;
4)        Distribusi logistik;
5)        Perjalanan dinas;
6)        Honararium (65% dari total anggaran Pemilu); dan
7)        Uang lembur.
Dengan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres yang serentak, anggaran untuk Pemilu dapat dihemat antara Rp. 5-10 Triliun.
g.      Melalui penelusuran sejarah perubahan ketiga UUD 1945 dalam upaya menggali maksud ketentuan Penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 23E ayat (1) dan (2), ditemukan fakta bahwa memang kehendak perumus amandemen UUD melalui PAH I BP MPR ialah agar Pemilu dilaksanakan secara serentak (Pilleg dan Pilpres). Bahkan dalam risalah sidang PAH I tersebut muncul kata-kata “Pemilu serentak” dan “Pemilu 5 kotak (kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).

Dalam permohonannya, Pemohon meminta prioritas kepada MK untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan Pemilu 2014 mendapat kepastian hukum.
Setelah melalui pemeriksaan persidangan dari tanggal 6 Februari 2013 – 20 Maret 2013, seluruh proses persidangan dinyatakan selesai. Selanjutnya hakim konstitusi mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna memutus perkara tersebut.
Dalam Putusannya No. 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014, MK mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagaian. Yang dikabulkan ialah terkait permohonan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Sedangkan yang tidak dikabulkan ialah permohonan pengujian Pasal 9 yang mengatur presidential threshold, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan legal policy yang diberikan/didelegasikan oleh UUD (Pasal 22E ayat [6]) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, oleh karenanya MK tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili legal policy tersebut.
Sebelum sampai pada amar atau diktum putusan, tentu saja ada pertimbangan hukum yang merupakan ratio decidendi (latar belakang lahirnya suatu putusan) atas lahirnya suatu amar putusan. Dalam pertimbangan hukum yang kemudian menjadi dasar dikabulkannya permohonan pemohon mengenai Pemilu serentak, MK mendasarkannya pada tiga pertimbangan pokok, yaitu:
1.      kaitan antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial;
2.      original intent dari pembentuk UUD 1945; dan
3.      efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
Terhadap pertimbangan pertama, pada pokoknya MK menyatakan bahwa tidak terdapat kaitan/relevansi antara Pemilu yang diadakan terpisah dengan sistem presidensial. Dalam sistem Presidensial, jabatan dan keberlangsungan pemerintahan yang dipimpin Presiden tidak tergantung dari dukungan parlemen sebagaimana halnya dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, norma hukum yang memisahkan pelaksanaan Pileg dan Pilpres telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Terhadap pertimbangan kedua, pada pokoknya MK menyatakan bahwa makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945 ialah penyelenggaraan Pilpres yang dilakukan serentak dengan Pilleg. Hal tersebut dapat diketahui melalui penelusuran risalah sidang dan keterangan PAH I BP MPR pada sidang tahunan MPR tahun 2001. Pada saat itu muncul gambaran teknis dari para perumus bahwa penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan “serentak”, “Pemilu 5 kotak (DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota).”[9]  Dengan demikian, berdasarkan penelusuran terhadap original intent dari perumus perubahan UUD, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pilleg.
Terhadap pertimbangan ketiga, pada prinsipnya MK menegaskan bahwa Pemilu serantak memang akan lebih efisien sehingga akan menghemat uang negara sebagaimana yang didalilkan Pemohon.
Melalui pertimbangan hukum diatas, sampailah MK pada amar putusan yang mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagaian, yang pada intinya mengabulkan Permohonan Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential Thereshold. Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu 2019 mendatang.
Penangguhan Berlakunya Putusan MK

Dalam putusan a quo, MK menangguhkan berlakunya akibat hukum putusannya sendiri, yaitu menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak.
Sebelum sampai pada amar yang menyatakan menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak, tentu saja MK menguraikan ratio legis dibalik amar tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya MK berpendapat bahwa:
a.       Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan, apabila putusan Pemlu Serentak diberlakukan segera setelah diucapkan, maka tahapan Pemilu 2014 menjadi terganggu dan terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukumnya. Sehingga dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki oleh UUD;
b.      Pemilu Serentak membutuhkan aturan baru sebagai dasar hukum, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak memadai untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif;
c.       Langkah membatasi akibat hukum (rechtsgevolg) dari putusan MK yang menyatakan inkonstitusional suatu norma UU pernah dilakukan MK sebelumnya, yakni dalam putusan:
1)         No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yaitu mengenai pembatalan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 (pembentukan Pengadilan Tipikor). Dalam putusan tersebut MK membatalkan Pasal 53 karena pengaturan pembentukan Pengadilan Tipikor harus dituangkan dengan undang-undang tersendiri, tidak menginduk (include) pada UU KPK. Namun salah satu amar dalam putusan tersebut menyatakan menunda mengikatnya putusan a quo sampai 3 tahun sejak diucapkannya putusan a quo. Hal tersebut dilakukan oleh MK untuk memberikan waktu kepada pembentuk UU guna membentuk UU yang baru dan menata instrumen hukum yang diperlukan serta mencegah kevakuman penegakan hukum dibidang pemberantasan korupsi;
2)         No. 026/PUU-III/2005, putusan atas pengujian UU 13/2005 tentang APBN Tahun 2006 mengenai batas minimal anggaran pendidikan. Dalam putusan a quo, MK membatasi putusannya hanya sepanjang jumlah anggaran pendidikan dalam UU tersebut sebesar 9,1% sebagai batas yang tertinggi dalam APBN 2006, tidak membatalkan UU a quo secara keseluruhan sebagaimana yang diminta pemohon. Hal tersebut dilakukan MK demi kelangsungan penyelenggaraan negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN yang dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2005.[10]
d.      Diperlukan waktu juga untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran hukum dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Serentak; dan
e.       Pilpres dan Pilleg Tahun 2004 dan 2009 yang dilaksanakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus dinyatakan sah dan konstitusional.
Demikian itulah pertimbangan-pertimbangan hukum dibalik penangguhan berlakunya putusan Pemilu Serentak. Namun begitu, putusan tersebut nyatanya tidak begitu saja diterima oleh masyarakat luas, ada pro kontra dan diskursus yang demikian hebatnya mengenai putusan MK yang menangguhkan berlakunya Pemilu Serentak.
Sebagian kalangan menilai MK telah melakukan kekeliruan dengan menangguhkan putusannya sendiri, sebab apabila merujuk pada Pasal 47 UU 24/2003 tentang MK, dinyatakan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Atas dasar itulah beberapa ahli menyatakan MK telah salah karena menangguhkan putusannya sendiri. Putusan tersebut dinilai melangkahi Pasal 47 UU MK yang seharusnya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) sejak selesai diucapkan dalam silang pleno.
Tanpa berpretensi untuk masuk dalam perdebatan pro kontra diatas, penulis tertarik untuk melakukan kajian/telaah akademis terhadap pilihan MK menangguhkan pelaksanaan Putusan Pemilu Serentak. Hal mana sangat penting dilakukan guna menjaga purifikasi kajian ini dari nuansa dan kepentingan politis yang memang kental dalam permasalahan ini. Untuk maksud tersebut, Penulis akan menelaah dasar penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud diatas.
Langkah membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau lebih tegasnya; penangguhan berlakunya akibat hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik peradilan, dalam hal ini peradilan konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Manakala akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan menimbulkan keguncangan atau chaostic apabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah muncul terobosan dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat hukum (rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki. Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut.
Dalam pada itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat hukum dari putusannya. Sepanjang sejarah MK, sudah ada 3 putusan MK yang menangguhkan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan, termasuk Putusan Pemilu serentak ini.
Setidak-tidaknya terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya sendiri; Pertama, untuk menghindari kekacauan karena sesuatu hal telah kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan suatu norma oleh MK. Kedua, memberikan kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan MK, sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika akibat hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio legis dibalik putusan penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK.
Selain praktik yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi RI, penangguhan berlakunya akibat hukum suatu putusan juga dikenal dan lazim dipraktekan oleh constitutional court negara-negara lain di dunia. Salah satu yang sejak lama mempraktekannya ialah Mahkamah Konstitusi Austria (Verfassungsgerichtshof). Salah satu ciri MK Austria organ ini dapat menunda akibat hukum dari suatu pembatalan hingga jangka waktu melebihi 18 bulan. Penundaan tersebut pada prinsipnya juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan akibat pembatalan norma (kekosongan hukum) dan memberi kesempatan kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti pembatalan tersebut.[11] Singkatnya, di Austria diterapkan margin of tolerance, setidaknya dalam bentuk waktu, kepada pembentuk UU untuk menyesuaikannya dengan putusan MK Austria.
Berdasarkan penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK bukanlah sesuatu yang haram dilakukan. Landasan empiris (faktual), teoritis, maupun perbandingan menunjukan pada satu persamaan bahwa penangguhan tersebut dapat saja dilakukan manakala ada alasan dan kebutuhan yang urgen untuk itu.
Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” maka penagguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sama sekali tidak melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal 47 tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kalangan.
Makna frasa “..... memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan ....” jika ditafsirkan menggunakan metode gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde, dalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Berisi penangguhan berlakunya atau tidak, putusan tersebut tetap memperoleh kekuatan hukum mengikat (inkracht) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno. Jadi apa pun amar putusannya, baik yang langsung berlaku seketika itu juga maupun yang ditangguhkan hingga jangka waktu tertentu, putusan tersebut tetap inkracht atau memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga tidak dimungkinkan upaya perlawanan terhadapnya.
Frasa “..... memperoleh kekeuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan” tidak berarti bahwa putusan itu harus berlaku dan dilaksanakan seketika itu juga. Bukan itu maksud dan makna Pasal 47 UU MK. Maksud dan makna rumusan Pasal 47 itu ialah untuk mempertegas sifat dan kekuatan hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD, yaitu final dan terakhir. Hal mana merupakan suatu penegasan bahwa tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat membatalkan Putusan MK karena sifatnya final and binding. Sedangkan soal kapan amar putusan itu akan diberlakukan dan dilaksanakan, Pasal 47 tidak membatasinya.
Berdasarkan logika yang paling sederhana pun pendapat yang mengatakan penangguhan berlakunya putusan MK sebagai pengingkaran Pasal 47 UU MK, sulit diterima dan tentu saja mudah dipatahkan, karena toh putusan tersebut tetap inkracht sejak selesai diucapkan. Artinya, apa pun yang diputuskan MK dalam amar putusannya tetap saja mengikat dan harus dipatuhi. Sebagai ilustrasi: bukankah putusan yang berisi pananggguhan penyelenggaraan Pemilu Serentak tetap memperoleh kekuatan hukum tetap? bukankah putusan yang berisi penangguhan Pemilu Serentak itu harus dipatuhi, yaitu tetap dilakukan secara terpisah pada Pemilu 2014 dan baru akan berlaku pada Pemilu 2019?
Demikian itulah sekelumit bukti dan penjelasan bahwa pembatasan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 47 UU MK. Bukan untuk itu dan tidak pada tempatnya meletakan Pasal 47 UU MK dalam perdebatan boleh tidaknya MK menangguhkan berlakunya putusannya sendiri. Karena Pasal 47 UU MK dimaksudkan untuk mempertegas sifat putusan MK yang final and binding sebagaimana dimaksud oleh UUD.
Dalam pandangan penulis, kelemahan atau kekurangan yang mendasar dari putusan tersebut justru bukan karena penangguhan pelaksanaan Pemilu serentak, melainkan pada pertimbangan hukum dibaliknya. Terdapat kekurangan yang mendasar dalam  persidangan MK untuk memutuskan Permohonan Pemilu Serentak, dimana KPU sebagai Penyelenggara Pemilu yang mengetahui persis kesiapan Penyelenggaran Pemilu justru tidak pernah dihadirkan dan didengar keterangannya. Dalam keadaan yang demikian tidak mengherankan jika MK dicibir dan terkesan “sok tahu” karena memutuskan penangguhan Pemilu Serentak pada 2019 tanpa mendengar dan mempertimbangkan keterangan KPU. Seandainya MK menghadirkan KPU untuk didengar keterangannya terkiat kesiapannya menyelenggarakan Pemilu Serentak, maka Putusan MK akan terlihat lebih utuh dan legitimate karena sudah mempertimbangkan keterangan sekaligus kesiapan KPU selaku Penyelenggara Pemilu.


[1] Dibuat oleh Arief Ainul Yaqin pada tanggal 11 Februari 2014.
[2] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cet. Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 461.
[3] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 417.
[4] Pasal-pasal dan ayat itulah yang menjadi batu uji atas pokok persoalan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.
[5] ***) Menunjukan Hasil Perubahan UUD 1945 yang ketiga (Tahun 2001).
[6] Presidential Thereshold adalah ambang batas suara Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres dalam Pilpres. Berdasarkan Pasal 9 UU Pilpres, ambang batas tersebut ialah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
[7] Lihat dalam register perkara dan putusan MK di situs http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, diakses tanggal 28 Januari 2014.
[8] Terdapat Dissenting Opinion (pendapat berbeda) dalam Putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 dari 3 hakim konstitusi; Abdul Mukhtie Fajar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar.
[9] Vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum (2010), halaman 602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001.
[10] Putusan MK mengenai batas minimal anggaran pendidikan yang mengharuskan Pemerintah mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN sebagaimana diperintahkan Pasal 31 ayat (4) UUD, dalam kenyataannya baru dapat dipenuhi Pemerintah pada APBN 2009.
[11] Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.  21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar