Seri 2: Penangguhan
Berlakunya Putusan MK
Putusan
MK atas Permohonan Pemilu Serentak tertuang dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013
yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014. Dalam putusan tersebut, pada pokoknya
MK mengabulkan Permohonan Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential Thereshold.
Namun
demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam amar putusan tersebut,
dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana dimaksud diatas
diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu seterusnya.
Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak dikabulkan oleh MK, namun
penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu 2019 mendatang.
Dalam
putusan a quo, MK menangguhkan
berlakunya akibat hukum putusannya sendiri, yaitu menunda berlakunya Putusan
Pemilu Serentak.
Sebelum
sampai pada amar yang menyatakan menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak,
tentu saja MK menguraikan ratio legis
dibalik amar tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya MK
berpendapat bahwa:
a. Tahapan
Penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan, apabila putusan Pemlu
Serentak diberlakukan segera setelah diucapkan, maka tahapan Pemilu 2014
menjadi terganggu dan terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukumnya.
Sehingga dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang justru tidak
dikehendaki oleh UUD;
b. Pemilu
Serentak membutuhkan aturan baru sebagai dasar hukum, maka menurut penalaran
yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau
sekurang-kurangnya tidak memadai untuk pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik dan komprehensif;
c. Langkah
membatasi akibat hukum (rechtsgevolg)
dari putusan MK yang menyatakan inkonstitusional suatu norma UU pernah
dilakukan MK sebelumnya, yakni dalam putusan:
1)
No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yaitu
mengenai pembatalan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 (pembentukan Pengadilan
Tipikor). Dalam putusan tersebut MK membatalkan Pasal 53 karena pengaturan
pembentukan Pengadilan Tipikor harus dituangkan dengan undang-undang
tersendiri, tidak menginduk (include)
pada UU KPK. Namun salah satu amar dalam putusan tersebut menyatakan menunda mengikatnya putusan a quo sampai 3 tahun sejak diucapkannya
putusan a quo. Hal tersebut
dilakukan oleh MK untuk memberikan waktu kepada pembentuk UU guna membentuk UU
yang baru dan menata instrumen hukum yang diperlukan serta mencegah kevakuman
penegakan hukum dibidang pemberantasan korupsi;
2)
No. 026/PUU-III/2005, putusan atas
pengujian UU 13/2005 tentang APBN Tahun 2006 mengenai batas minimal anggaran
pendidikan. Dalam putusan a quo, MK
membatasi putusannya hanya sepanjang jumlah anggaran pendidikan dalam UU
tersebut sebesar 9,1% sebagai batas yang tertinggi dalam APBN 2006, tidak
membatalkan UU a quo secara
keseluruhan sebagaimana yang diminta pemohon. Hal tersebut dilakukan MK demi
kelangsungan penyelenggaraan negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN
yang dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2005.[1]
d. Diperlukan
waktu juga untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran hukum dalam rangka
penyelenggaraan Pemilu Serentak; dan
e. Pilpres
dan Pilleg Tahun 2004 dan 2009 yang dilaksanakan secara tidak serentak dengan
segala akibat hukumnya harus dinyatakan sah dan konstitusional.
Demikian
itulah pertimbangan-pertimbangan hukum dibalik penangguhan berlakunya putusan
Pemilu Serentak. Namun begitu, putusan tersebut nyatanya tidak begitu saja
diterima oleh masyarakat luas, ada pro kontra dan diskursus yang demikian hebatnya
mengenai putusan MK yang menangguhkan berlakunya Pemilu Serentak.
Sebagian
kalangan menilai MK telah melakukan kekeliruan dengan menangguhkan putusannya
sendiri, sebab apabila merujuk pada Pasal 47 UU 24/2003 tentang MK, dinyatakan
bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum.” Atas dasar itulah beberapa ahli menyatakan MK telah
salah karena menangguhkan putusannya sendiri. Putusan tersebut dinilai melangkahi
Pasal 47 UU MK yang seharusnya sudah inkracht
(berkekuatan hukum tetap) sejak selesai diucapkan dalam silang pleno.
Tanpa
berpretensi untuk masuk dalam perdebatan pro kontra diatas, penulis tertarik
untuk melakukan kajian/telaah akademis terhadap pilihan MK menangguhkan
pelaksanaan Putusan Pemilu Serentak. Hal mana sangat penting dilakukan guna
menjaga purifikasi kajian ini dari nuansa dan kepentingan politis yang memang
kental dalam permasalahan ini. Untuk maksud tersebut, Penulis akan menelaah
dasar penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud
diatas.
Langkah
membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau lebih tegasnya; penangguhan
berlakunya akibat hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik
peradilan, dalam hal ini peradilan konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Manakala akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan
menimbulkan keguncangan atau chaostic
apabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah muncul terobosan
dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat hukum (rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki.
Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi
pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir
MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau
setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut.
Dalam
pada itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat
hukum dari putusannya. Sepanjang sejarah MK, sudah ada 3 putusan MK yang
menangguhkan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan, termasuk Putusan
Pemilu serentak ini.
Setidak-tidaknya
terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya
sendiri; Pertama, untuk menghindari
kekacauan karena sesuatu hal telah kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan
suatu norma oleh MK. Kedua, memberikan
kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan MK,
sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika akibat
hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis
pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio legis dibalik putusan penangguhan berlakunya akibat hukum
Putusan MK.
Selain
praktik yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi RI, penangguhan berlakunya akibat
hukum suatu putusan juga dikenal dan lazim dipraktekan oleh constitutional court negara-negara lain
di dunia. Salah satu yang sejak lama mempraktekannya ialah Mahkamah Konstitusi
Austria (Verfassungsgerichtshof). Salah
satu ciri MK Austria organ ini dapat menunda akibat hukum dari suatu pembatalan
hingga jangka waktu melebihi 18 bulan. Penundaan tersebut pada prinsipnya juga
dimaksudkan untuk menghindari kekacauan akibat pembatalan norma (kekosongan
hukum) dan memberi kesempatan kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti
pembatalan tersebut.[2] Singkatnya,
di Austria diterapkan margin of tolerance,
setidaknya dalam bentuk waktu, kepada pembentuk UU untuk menyesuaikannya dengan
putusan MK Austria.
Berdasarkan
penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan
berlakunya akibat hukum Putusan MK bukanlah sesuatu yang haram dilakukan. Landasan
empiris (faktual), teoritis, maupun perbandingan menunjukan pada satu persamaan
bahwa penangguhan tersebut dapat saja dilakukan manakala ada alasan dan kebutuhan
yang urgen untuk itu.
Apabila
dikaitkan dengan Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum” maka penagguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sama sekali tidak
melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal 47 tersebut, sebagaimana yang
dikemukakan oleh sebagian kalangan.
Makna
frasa “..... memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan ....” jika ditafsirkan menggunakan metode
gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum
tetap atau inkracht van gewijsde,
dalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD,
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Berisi
penangguhan berlakunya atau tidak, putusan tersebut tetap memperoleh kekuatan
hukum mengikat (inkracht) sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno. Jadi apa pun amar putusannya, baik yang
langsung berlaku seketika itu juga maupun yang ditangguhkan hingga jangka waktu
tertentu, putusan tersebut tetap inkracht
atau memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga tidak dimungkinkan upaya
perlawanan terhadapnya.
Frasa
“..... memperoleh kekeuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan” tidak berarti bahwa putusan itu harus berlaku dan
dilaksanakan seketika itu juga. Bukan itu maksud dan makna Pasal 47 UU MK. Maksud
dan makna rumusan Pasal 47 itu ialah untuk mempertegas sifat dan kekuatan hukum
Putusan MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD, yaitu final dan
terakhir. Hal mana merupakan suatu penegasan bahwa tidak ada upaya hukum apa pun
yang dapat membatalkan Putusan MK karena sifatnya final and binding. Sedangkan soal kapan amar putusan itu akan
diberlakukan dan dilaksanakan, Pasal 47 tidak membatasinya.
Berdasarkan
logika yang paling sederhana pun pendapat yang mengatakan penangguhan
berlakunya putusan MK sebagai pengingkaran Pasal 47 UU MK, sulit diterima dan
tentu saja mudah dipatahkan, karena toh putusan tersebut tetap inkracht sejak selesai diucapkan. Artinya,
apa pun yang diputuskan MK dalam amar putusannya tetap saja mengikat dan harus
dipatuhi. Sebagai ilustrasi: bukankah putusan yang berisi pananggguhan
penyelenggaraan Pemilu Serentak tetap memperoleh kekuatan hukum tetap? bukankah
putusan yang berisi penangguhan Pemilu Serentak itu harus dipatuhi, yaitu tetap
dilakukan secara terpisah pada Pemilu 2014 dan baru akan berlaku pada Pemilu
2019?
Demikian
itulah sekelumit bukti dan penjelasan bahwa pembatasan berlakunya akibat hukum
dari suatu putusan bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 47 UU MK. Bukan untuk
itu dan tidak pada tempatnya meletakan Pasal 47 UU MK dalam perdebatan boleh
tidaknya MK menangguhkan berlakunya putusannya sendiri. Karena Pasal 47 UU MK
dimaksudkan untuk mempertegas sifat putusan MK yang final and binding sebagaimana dimaksud oleh UUD.
Dalam
pandangan penulis, kelemahan atau kekurangan yang mendasar dari putusan
tersebut justru bukan karena penangguhan pelaksanaan Pemilu serentak, melainkan
pada pertimbangan hukum dibaliknya. Terdapat kekurangan yang mendasar dalam persidangan MK untuk memutuskan Permohonan Pemilu
Serentak, dimana KPU sebagai Penyelenggara Pemilu yang mengetahui persis
kesiapan Penyelenggaran Pemilu justru tidak pernah dihadirkan dan didengar
keterangannya. Dalam keadaan yang demikian tidak mengherankan jika MK dicibir
dan terkesan “sok tahu” karena memutuskan penangguhan Pemilu Serentak pada 2019
tanpa mendengar dan mempertimbangkan keterangan KPU. Seandainya MK menghadirkan
KPU untuk didengar keterangannya terkiat kesiapannya menyelenggarakan Pemilu
Serentak, maka Putusan MK akan terlihat lebih utuh dan legitimate karena sudah mempertimbangkan keterangan sekaligus kesiapan
KPU selaku Penyelenggara Pemilu.
[1]
Putusan MK mengenai batas minimal anggaran pendidikan yang mengharuskan
Pemerintah mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN sebagaimana
diperintahkan Pasal 31 ayat (4) UUD, dalam kenyataannya baru dapat dipenuhi
Pemerintah pada APBN 2009.
[2]
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar