Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 11 Februari 2014

Putusan MK mengenai Pemilu Serentak



Seri 2: Penangguhan Berlakunya Putusan MK

Putusan MK atas Permohonan Pemilu Serentak tertuang dalam Putusan No. 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014. Dalam putusan tersebut, pada pokoknya MK mengabulkan Permohonan Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential Thereshold.
Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu 2019 mendatang.
Dalam putusan a quo, MK menangguhkan berlakunya akibat hukum putusannya sendiri, yaitu menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak.
Sebelum sampai pada amar yang menyatakan menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak, tentu saja MK menguraikan ratio legis dibalik amar tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya MK berpendapat bahwa:
a.       Tahapan Penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan, apabila putusan Pemlu Serentak diberlakukan segera setelah diucapkan, maka tahapan Pemilu 2014 menjadi terganggu dan terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukumnya. Sehingga dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki oleh UUD;
b.      Pemilu Serentak membutuhkan aturan baru sebagai dasar hukum, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak memadai untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif;
c.       Langkah membatasi akibat hukum (rechtsgevolg) dari putusan MK yang menyatakan inkonstitusional suatu norma UU pernah dilakukan MK sebelumnya, yakni dalam putusan:
1)         No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yaitu mengenai pembatalan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 (pembentukan Pengadilan Tipikor). Dalam putusan tersebut MK membatalkan Pasal 53 karena pengaturan pembentukan Pengadilan Tipikor harus dituangkan dengan undang-undang tersendiri, tidak menginduk (include) pada UU KPK. Namun salah satu amar dalam putusan tersebut menyatakan menunda mengikatnya putusan a quo sampai 3 tahun sejak diucapkannya putusan a quo. Hal tersebut dilakukan oleh MK untuk memberikan waktu kepada pembentuk UU guna membentuk UU yang baru dan menata instrumen hukum yang diperlukan serta mencegah kevakuman penegakan hukum dibidang pemberantasan korupsi;
2)         No. 026/PUU-III/2005, putusan atas pengujian UU 13/2005 tentang APBN Tahun 2006 mengenai batas minimal anggaran pendidikan. Dalam putusan a quo, MK membatasi putusannya hanya sepanjang jumlah anggaran pendidikan dalam UU tersebut sebesar 9,1% sebagai batas yang tertinggi dalam APBN 2006, tidak membatalkan UU a quo secara keseluruhan sebagaimana yang diminta pemohon. Hal tersebut dilakukan MK demi kelangsungan penyelenggaraan negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN yang dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2005.[1]
d.      Diperlukan waktu juga untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran hukum dalam rangka penyelenggaraan Pemilu Serentak; dan
e.       Pilpres dan Pilleg Tahun 2004 dan 2009 yang dilaksanakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus dinyatakan sah dan konstitusional.
Demikian itulah pertimbangan-pertimbangan hukum dibalik penangguhan berlakunya putusan Pemilu Serentak. Namun begitu, putusan tersebut nyatanya tidak begitu saja diterima oleh masyarakat luas, ada pro kontra dan diskursus yang demikian hebatnya mengenai putusan MK yang menangguhkan berlakunya Pemilu Serentak.
Sebagian kalangan menilai MK telah melakukan kekeliruan dengan menangguhkan putusannya sendiri, sebab apabila merujuk pada Pasal 47 UU 24/2003 tentang MK, dinyatakan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Atas dasar itulah beberapa ahli menyatakan MK telah salah karena menangguhkan putusannya sendiri. Putusan tersebut dinilai melangkahi Pasal 47 UU MK yang seharusnya sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap) sejak selesai diucapkan dalam silang pleno.
Tanpa berpretensi untuk masuk dalam perdebatan pro kontra diatas, penulis tertarik untuk melakukan kajian/telaah akademis terhadap pilihan MK menangguhkan pelaksanaan Putusan Pemilu Serentak. Hal mana sangat penting dilakukan guna menjaga purifikasi kajian ini dari nuansa dan kepentingan politis yang memang kental dalam permasalahan ini. Untuk maksud tersebut, Penulis akan menelaah dasar penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud diatas.
Langkah membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau lebih tegasnya; penangguhan berlakunya akibat hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik peradilan, dalam hal ini peradilan konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Manakala akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan menimbulkan keguncangan atau chaostic apabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah muncul terobosan dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat hukum (rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki. Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut.
Dalam pada itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat hukum dari putusannya. Sepanjang sejarah MK, sudah ada 3 putusan MK yang menangguhkan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan, termasuk Putusan Pemilu serentak ini.
Setidak-tidaknya terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya sendiri; Pertama, untuk menghindari kekacauan karena sesuatu hal telah kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan suatu norma oleh MK. Kedua, memberikan kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan MK, sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika akibat hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio legis dibalik putusan penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK.
Selain praktik yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi RI, penangguhan berlakunya akibat hukum suatu putusan juga dikenal dan lazim dipraktekan oleh constitutional court negara-negara lain di dunia. Salah satu yang sejak lama mempraktekannya ialah Mahkamah Konstitusi Austria (Verfassungsgerichtshof). Salah satu ciri MK Austria organ ini dapat menunda akibat hukum dari suatu pembatalan hingga jangka waktu melebihi 18 bulan. Penundaan tersebut pada prinsipnya juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan akibat pembatalan norma (kekosongan hukum) dan memberi kesempatan kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti pembatalan tersebut.[2] Singkatnya, di Austria diterapkan margin of tolerance, setidaknya dalam bentuk waktu, kepada pembentuk UU untuk menyesuaikannya dengan putusan MK Austria.
Berdasarkan penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK bukanlah sesuatu yang haram dilakukan. Landasan empiris (faktual), teoritis, maupun perbandingan menunjukan pada satu persamaan bahwa penangguhan tersebut dapat saja dilakukan manakala ada alasan dan kebutuhan yang urgen untuk itu.
Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” maka penagguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sama sekali tidak melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal 47 tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kalangan.
Makna frasa “..... memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan ....” jika ditafsirkan menggunakan metode gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde, dalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD, sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Berisi penangguhan berlakunya atau tidak, putusan tersebut tetap memperoleh kekuatan hukum mengikat (inkracht) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno. Jadi apa pun amar putusannya, baik yang langsung berlaku seketika itu juga maupun yang ditangguhkan hingga jangka waktu tertentu, putusan tersebut tetap inkracht atau memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga tidak dimungkinkan upaya perlawanan terhadapnya.
Frasa “..... memperoleh kekeuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan” tidak berarti bahwa putusan itu harus berlaku dan dilaksanakan seketika itu juga. Bukan itu maksud dan makna Pasal 47 UU MK. Maksud dan makna rumusan Pasal 47 itu ialah untuk mempertegas sifat dan kekuatan hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD, yaitu final dan terakhir. Hal mana merupakan suatu penegasan bahwa tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat membatalkan Putusan MK karena sifatnya final and binding. Sedangkan soal kapan amar putusan itu akan diberlakukan dan dilaksanakan, Pasal 47 tidak membatasinya.
Berdasarkan logika yang paling sederhana pun pendapat yang mengatakan penangguhan berlakunya putusan MK sebagai pengingkaran Pasal 47 UU MK, sulit diterima dan tentu saja mudah dipatahkan, karena toh putusan tersebut tetap inkracht sejak selesai diucapkan. Artinya, apa pun yang diputuskan MK dalam amar putusannya tetap saja mengikat dan harus dipatuhi. Sebagai ilustrasi: bukankah putusan yang berisi pananggguhan penyelenggaraan Pemilu Serentak tetap memperoleh kekuatan hukum tetap? bukankah putusan yang berisi penangguhan Pemilu Serentak itu harus dipatuhi, yaitu tetap dilakukan secara terpisah pada Pemilu 2014 dan baru akan berlaku pada Pemilu 2019?
Demikian itulah sekelumit bukti dan penjelasan bahwa pembatasan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 47 UU MK. Bukan untuk itu dan tidak pada tempatnya meletakan Pasal 47 UU MK dalam perdebatan boleh tidaknya MK menangguhkan berlakunya putusannya sendiri. Karena Pasal 47 UU MK dimaksudkan untuk mempertegas sifat putusan MK yang final and binding sebagaimana dimaksud oleh UUD.
Dalam pandangan penulis, kelemahan atau kekurangan yang mendasar dari putusan tersebut justru bukan karena penangguhan pelaksanaan Pemilu serentak, melainkan pada pertimbangan hukum dibaliknya. Terdapat kekurangan yang mendasar dalam  persidangan MK untuk memutuskan Permohonan Pemilu Serentak, dimana KPU sebagai Penyelenggara Pemilu yang mengetahui persis kesiapan Penyelenggaran Pemilu justru tidak pernah dihadirkan dan didengar keterangannya. Dalam keadaan yang demikian tidak mengherankan jika MK dicibir dan terkesan “sok tahu” karena memutuskan penangguhan Pemilu Serentak pada 2019 tanpa mendengar dan mempertimbangkan keterangan KPU. Seandainya MK menghadirkan KPU untuk didengar keterangannya terkiat kesiapannya menyelenggarakan Pemilu Serentak, maka Putusan MK akan terlihat lebih utuh dan legitimate karena sudah mempertimbangkan keterangan sekaligus kesiapan KPU selaku Penyelenggara Pemilu.



[1] Putusan MK mengenai batas minimal anggaran pendidikan yang mengharuskan Pemerintah mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN sebagaimana diperintahkan Pasal 31 ayat (4) UUD, dalam kenyataannya baru dapat dipenuhi Pemerintah pada APBN 2009.
[2] Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.  21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar