Seri 1: Pilihan dan Tafsir
Konstitusional atas Penyelenggaran Pemilihan Umum
Undang-Undang
Dasar Negara Republik 1945 (UUD NRI 1945) yang merupakan supreme law of the land telah membingkai sistem ketatanegaraan
republik ini sedemikian rupa, termasuk Pemilihan Umum (Pemilu). Dewasa ini
Pemilu didaulat sebagai sarana utama pengejawantahan kedaulatan rakyat oleh
negara-negara demokrasi di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pemilihan umum
dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur demokrasi di suatu negara.[1]
Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Pemilu merupakan syarat mutlak bagi negara
demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.[2]
Demikian pentingnya pranata Pemilihan Umum dalam sebuah negara demokrasi, Konstitusi
kita pun turut mengatur mekanisme “hajatan demokrasi” tersebut.
Pemilihan
Umum diatur dalam Pasal 22E (Bab VIIB) UUD. Khusus mengenai Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), selain diatur dalam Pasal 22E, diatur
juga dalam Pasal 6A.
Berikut
bunyi Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (2)[3]:
Pasal
22E
Ayat
(1)
Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali.***)[4]
Ayat
(2)
Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.***)
Ayat
(6)
Ketentuan
lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 6A
Ayat
(2)
Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
Sebagaimana
lazimnya dalam teori konstitusi, UUD hanya mengatur secara umum/pokok-pokoknya
saja, sedangkan pengaturan yang lebih jelas dan rinci diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. Begitu pun halnya dengan persoalan Pemilu, Pasal 22E ayat
(6) mendelegasikan kewenangan kepada Pembentuk UU (delegatie van wetgevingbevogheid) untuk mengaturnya lebih lanjut.
Sesuai
perintah Pasal 22E ayat (6) UUD diatas, maka kemudian Pembentuk UU (DPR bersama
Presiden) membentuk undang-undang yang mengatur Pemilihan Umum. Melalui
pembentukan undang-undang tersebut, Pembentuk UU menuangkan dan menetapkan
politik hukum penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sebagai pelaksanaan amanat
UUD.
Politik
hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang dalam rangka menerjemahkan dan
mengelaborasi Pasal 22E dan Pasal 6A UUD ternyata ialah membagi dan memisahkan
penyelenggaraan Pemilu menjadi dua, yaitu Pemilu untuk memilih Anggota DPR,
DPD, dan DPRD (Pilleg) dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Politik
hukum tersebut tercermin dan terbukti
dengan (selalu) dibentuknya dua undang-undang Pemilu (UU Pilleg dan UU Pilpres)
yang memisahkan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres.
Potret
politik hukum itulah yang kemudian banyak dipersoalkan. Polemik penyelenggaran
Pilleg dan Pilpres yang terpisah itu tidak hanya bergulir deras dalam
forum-forum sosial dan ilmiah, melainkan juga dipersoalkan secara hukum melalui
uji konstitusionalitas UU No. 42 Tahun 2008 (UU Pilpres), khususnya terhadap
pasal-pasal yang menetapkan penyelenggaraan Pilpres setelah penyelenggaran
Pilleg (terpisah).
Sejak
Desember 2008, tercatat sudah ada 3 permohonan pengujian atas pasal-pasal UU
Pilpres yang mengatur penyelenggaraan Pemilu secara terpisah (termasuk soal presidential thereshold)[5] yang
diajukan oleh 3 pemohon. Permohonan-permohonan tersebut kemudian digabungkan
perkaranya dan telah diputus oleh MK dengan Putusan No.51-52-59/PUU-VI/2008
tertanggal 18 Februari 2009 yang pada pokoknya adalah menolak permohonan
pemohon.[6]
Dalam
putusan tersebut MK menolak permohonan pemohon yang mempersoalkan Pemilu yang
tidak serentak antara Pilleg dan Pilpres serta ketentuan ambang batas perolehan
suara bagi Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusulkan Calon Presiden
dan Wakil Presiden (presidential
thereshold).[7]
Amar
putusan yang menolak permohonan tersebut didasarkan atas pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada pokoknya ialah sebagai berikut:
1. Mahkamah
berpendapat bahwa pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pengalaman tersebut telah
menjadi kebiasan (konvensi) dimana kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Selain
itu, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh MPR [Pasal 3 ayat
(2) UUD 1945], maka Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR.
Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh
karenanya harus dibentuk terlebih dahulu.
2. Mahkamah
dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang
atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan
terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal
policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang
dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential
threshold, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai
buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas
melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Putusan
MK atas pengujian UU Pilpres yang hanya berjarak 2 bulan sebelum hari
pemungutan suara Pilleg 2009 tentu saja melegakan. Jadwal dan tahapan
penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sudah dan sedang berjalan tidak kacau balau
karena MK menyatakan Pemilu terpisah tetap konstitusional.
Pemilhan
Umum Tahun 2009 telah berjalan dan dilaksanan terpisah. Namun demikian Putusan
MK No.51-52-59/PUU-VI/2008 ternyata tidak begitu saja dapat memuaskan semua
pihak. Menjelang gelaran Pemilu 2014, UU Pilpres kembali dimohonkan
pengujiannya, yakni mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu yang terpisah
dan ketentuan presidential threshold,
namun dengan batu uji dan dalil-dalil yang berbeda, sehingga mahkamah tidak
menganggapnya sebagai ne bis in idem.
Permohonan
tersebut dimohonkan oleh Efendi Gazali dan diregistrasi di MK tanggal 22
Januari 2013 dengan No. 14/PUU-XI/2013. Pasal-pasal yang diuji yaitu Pasal 3
ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
UU 42 Tahun 2008 terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1),
dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam
permohonannya, Pemohon mengemukakan dalil-dalil (funamentum petendi) yang secara garis besarnya ialah sebagai
berikut:
a. Sistem
Pemerintahan yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Dalam sistem
presidensial jabatan Presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif.
Karenanya tidak relevan mengaitkan dukungan Parpol kepada Presiden. Oleh sebab
itu sebetulnya secara teoritis sistem presidensial tidak mengenal Pemilu yang
terpisah antara Pilleg dan Pilpres, lebih-lebih mempersyaratkan presidential thereshold yang begitu
tinggi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres;
b. Menurut
Teori Presidential Coattail Effect;
dalam Pemilu serentak, pemilih cenderung memilih partai atau gabungan partai
yang mengusung Capres pilihannya. Dengan demikian akan tercipta keselerasan
antara kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif sehingga Pemilu serentak pun
dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat.
c. Pemilu
serentak lebih memungkinkan tercapainya political
efficacy, yaitu kemampuan menentukan hasil politik, dimana Pemilih dapat
menentukan akan memilih partai mana dan Capres mana, baik yang sama antara
Capres dan partai pengusungnya (straight
ticket) maupun beda antara Capres dan partai politik yang dipilihnya (split ticket). Hal mana sulit terjadi
dalam Pemilu terpisah karena belum tentu Capres pilihannya dapat menjadi
peserta Pilpres karena mungkin partainya tidak memenuhi presedential thereshold;
d. Bahwa
dalam pelbagai penelitian telah terbukti bahwa Pemilu serentak dapat lebih
menjamin efisiensi dan efektivitas, baik dari segi anggaran maupun persentase
penggunaan hak pilih serta konstelasi politik yang terbangun setelahnya;
e. Pemilu
serentak dapat menghemat anggaran negara, karena semakin banyak penyelenggaraan
Pemilu maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, utamanya gaji/honor
penyelenggara Pemilu yang porsinya lebih dari 65% dari seluruh anggaran Pemilu;
f. Berdasarkan
perhitungan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah, jika Pilpres dan Pilleg
dilakukan serentak maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam 7
hal;
1)
Pemutakhiran data pemilih (tidak perlu
dua kali kecuali terjadi Pilpres putaran kedua);
2)
Sosialisasi;
3)
Perlengkapan TPS;
4)
Distribusi logistik;
5)
Perjalanan dinas;
6)
Honararium (65% dari total anggaran
Pemilu); dan
7)
Uang lembur.
Dengan penyelenggaraan
Pilleg dan Pilpres yang serentak, anggaran untuk Pemilu dapat dihemat antara
Rp. 5-10 Triliun.
g. Melalui
penelusuran sejarah perubahan ketiga UUD 1945 dalam upaya menggali maksud ketentuan
Penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 23E ayat (1) dan (2),
ditemukan fakta bahwa memang kehendak perumus amandemen UUD melalui PAH I BP
MPR ialah agar Pemilu dilaksanakan secara serentak (Pilleg dan Pilpres). Bahkan
dalam risalah sidang PAH I tersebut muncul kata-kata “Pemilu serentak” dan
“Pemilu 5 kotak (kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota).
Dalam permohonannya, Pemohon meminta prioritas kepada MK untuk memeriksa dan
mengadili perkara tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan
Pemilu 2014 mendapat kepastian hukum.
Setelah
melalui pemeriksaan persidangan dari tanggal 6 Februari 2013 – 20 Maret 2013,
seluruh proses persidangan dinyatakan selesai. Selanjutnya hakim konstitusi
mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna memutus perkara tersebut.
Dalam
Putusannya No. 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014, MK
mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagaian. Yang dikabulkan ialah terkait
permohonan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Sedangkan yang tidak
dikabulkan ialah permohonan pengujian Pasal 9 yang mengatur presidential threshold, dengan alasan
bahwa hal tersebut merupakan legal policy
yang diberikan/didelegasikan oleh UUD (Pasal 22E ayat [6]) kepada pembentuk
undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, oleh karenanya MK
tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili legal
policy tersebut.
Sebelum
sampai pada amar atau diktum putusan, tentu saja ada pertimbangan hukum yang
merupakan ratio decidendi (latar
belakang lahirnya suatu putusan) atas lahirnya suatu amar putusan. Dalam
pertimbangan hukum yang kemudian menjadi dasar dikabulkannya permohonan pemohon
mengenai Pemilu serentak, MK mendasarkannya pada tiga pertimbangan pokok, yaitu:
1. kaitan
antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial;
2. original
intent dari pembentuk UUD 1945; dan
3. efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk
memilih secara cerdas.
Terhadap
pertimbangan pertama, pada pokoknya MK menyatakan bahwa tidak
terdapat kaitan/relevansi antara Pemilu yang diadakan terpisah dengan sistem
presidensial. Dalam sistem Presidensial, jabatan dan keberlangsungan pemerintahan
yang dipimpin Presiden tidak tergantung dari dukungan parlemen sebagaimana
halnya dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, norma hukum yang memisahkan pelaksanaan
Pileg dan Pilpres telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh
UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD
1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Terhadap
pertimbangan kedua, pada pokoknya MK menyatakan bahwa makna asli yang
dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945 ialah penyelenggaraan Pilpres yang
dilakukan serentak dengan Pilleg. Hal tersebut dapat diketahui melalui
penelusuran risalah sidang dan keterangan PAH I BP MPR pada sidang tahunan MPR
tahun 2001. Pada saat itu muncul gambaran teknis dari para perumus bahwa
penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan “serentak”, “Pemilu 5 kotak (DPR, DPD,
Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota).”[8] Dengan demikian, berdasarkan penelusuran terhadap
original intent dari perumus
perubahan UUD, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme
penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pilleg.
Terhadap
pertimbangan ketiga, pada prinsipnya
MK menegaskan bahwa Pemilu serantak memang akan lebih efisien sehingga akan
menghemat uang negara sebagaimana yang didalilkan Pemohon.
Melalui
pertimbangan hukum diatas, sampailah MK pada amar putusan yang mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagaian, yang pada intinya mengabulkan Permohonan
Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential
Thereshold. Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam
amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana
dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan
Pemilu-Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak
dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu
2019 mendatang.
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Edisi Revisi Cet. Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,
hlm. 461.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 417.
[3]
Pasal-pasal dan ayat itulah yang menjadi batu uji atas pokok persoalan dalam
permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.
[4]
***) Menunjukan Hasil Perubahan UUD 1945 yang ketiga (Tahun 2001).
[5]
Presidential Thereshold adalah ambang
batas suara Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusung Capres dan
Cawapres dalam Pilpres. Berdasarkan Pasal 9 UU Pilpres, ambang batas tersebut
ialah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
[6]
Lihat dalam register perkara dan putusan MK di situs http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/,
diakses tanggal 28 Januari 2014.
[7]
Terdapat Dissenting Opinion (pendapat
berbeda) dalam Putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 dari 3 hakim konstitusi; Abdul
Mukhtie Fajar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar.
[8]
Vide Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum (2010),
halaman 602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar