Catatan Singkat
Mengenai
isu kudeta 1998 pasca kejatuhan Soeharto, sebetulnya yg lebih berkesempatan
untuk kudeta pada waktu itu bukan Panglima ABRI (pimpinan tertinggi TNI-Polri) yg ketika
itu dijabat Jend. Wiranto. Kesempatan lebih besar justru ada dalam genggaman
Letjen. Prabowo.
Ketika itu hubungan Letjen Prabowo - Brigjen Suharto - Mayjen Muchdi P.R, masing-masing sebagai Pangkostrad, Danpasmar, dan Danjen Kopassus, disebut-sebut sebagai triumvirat. Masing-masing panglima itu memimpin pasukan tempur terpusat; Kostrad, Marinir, dan Kopassus.
Kekuatan triumvirat yang membawahi unsur terpenting dalam tubuh ABRI itu ditambah lagi oleh setidaknya satu kekuatan yang akan sangat menentukan. Komando teritorial di Jakarta (Kodam Jaya) ketika itu dipegang Pangdam Sjafrie Sjamsoeddin yg dikenal dekat dengan Prabowo karena satu leting lulusan Akmil 74 serta sama-sama berasal dari kesatuan baret merah (Kopassus).
Dengan sikap Prabowo yg "dikenal" seringkali melakukan insubordinasi terhadap Wiranto, bahkan tercium aroma persaingan diantara keduanya, jelas lah Wiranto kurang percaya diri untuk melakukan kudeta. Kubu Prabowo dikhawatirkan akan bersebrangan dengannya sehingga Wiranto tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta. Justru akan menjadi malapetaka bila seandainya Prabowo melakukan kontra-kudeta.
Wiranto memang Pangab ketika itu, menjadi pucuk pimpinan dalam hierarki ABRI, namun Wiranto hampir tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta jika Prabowo bersebrangan dengannya. Sedangkan Prabowo, meskipun hanya seorang Pangkostrad (bintang 3), namun ia memiliki dukungan kekuatan pasukan yang ril, khususnya dari Kostrad-Marinir-Kopassus, plus perkiraan dukungan Kodam Jaya.
"Persaingan" atau bahkan mungkin "persebrangan" diantara keduanya (WIranto-Prabowo), sadar tidak sadar adalah faktor utama pencegah terjadinya kudeta ditengah" kondisi ibu pertiwi yg sedang "sakit" ketika itu.
Keduanya sama-sama bertahan, sama-sama mengkalkulasi kekuatan masing-masing sampai akhirnya tiba pada kesimpulan: ABRI tidak akan solid untuk kudeta, Wiranto ataupun Prabowo yang melakukannya. Masing-masing diantara mereka akan menjadi pendulum yg bersebrangan dan berhadap-hadapan.
Itulah teori singkat terkait peristiwa huru-hara 98 dengan segala intrik di dalamnya, utamanya isu pengambilalihan kekuasaan pemerintahan oleh militer atau disebut kudeta.
Ketika itu hubungan Letjen Prabowo - Brigjen Suharto - Mayjen Muchdi P.R, masing-masing sebagai Pangkostrad, Danpasmar, dan Danjen Kopassus, disebut-sebut sebagai triumvirat. Masing-masing panglima itu memimpin pasukan tempur terpusat; Kostrad, Marinir, dan Kopassus.
Kekuatan triumvirat yang membawahi unsur terpenting dalam tubuh ABRI itu ditambah lagi oleh setidaknya satu kekuatan yang akan sangat menentukan. Komando teritorial di Jakarta (Kodam Jaya) ketika itu dipegang Pangdam Sjafrie Sjamsoeddin yg dikenal dekat dengan Prabowo karena satu leting lulusan Akmil 74 serta sama-sama berasal dari kesatuan baret merah (Kopassus).
Dengan sikap Prabowo yg "dikenal" seringkali melakukan insubordinasi terhadap Wiranto, bahkan tercium aroma persaingan diantara keduanya, jelas lah Wiranto kurang percaya diri untuk melakukan kudeta. Kubu Prabowo dikhawatirkan akan bersebrangan dengannya sehingga Wiranto tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta. Justru akan menjadi malapetaka bila seandainya Prabowo melakukan kontra-kudeta.
Wiranto memang Pangab ketika itu, menjadi pucuk pimpinan dalam hierarki ABRI, namun Wiranto hampir tidak punya cukup kekuatan untuk kudeta jika Prabowo bersebrangan dengannya. Sedangkan Prabowo, meskipun hanya seorang Pangkostrad (bintang 3), namun ia memiliki dukungan kekuatan pasukan yang ril, khususnya dari Kostrad-Marinir-Kopassus, plus perkiraan dukungan Kodam Jaya.
"Persaingan" atau bahkan mungkin "persebrangan" diantara keduanya (WIranto-Prabowo), sadar tidak sadar adalah faktor utama pencegah terjadinya kudeta ditengah" kondisi ibu pertiwi yg sedang "sakit" ketika itu.
Keduanya sama-sama bertahan, sama-sama mengkalkulasi kekuatan masing-masing sampai akhirnya tiba pada kesimpulan: ABRI tidak akan solid untuk kudeta, Wiranto ataupun Prabowo yang melakukannya. Masing-masing diantara mereka akan menjadi pendulum yg bersebrangan dan berhadap-hadapan.
Itulah teori singkat terkait peristiwa huru-hara 98 dengan segala intrik di dalamnya, utamanya isu pengambilalihan kekuasaan pemerintahan oleh militer atau disebut kudeta.
sejarah 1998 tak pernah jelas
BalasHapus