Sudah menjadi prinsip umum hukum (general principe of law) yang telah
diterima secara universal bahwa pada prinsipnya kaidah/norma hukum dapat dibedakan
ke dalam dua bentuk, yakni keputusan (beschikking)
dan peraturan (regeling).[1]
Keputusan adalah instrumen hukum yang berisi ketetapan/keputusan yang bersifat
individual, konkrit, dan berlaku khusus (terbatas). Sedangkan peraturan adalah instrumen
hukum yang bersifat umum, berisi pengaturan, berlaku serta mengikat untuk umum.[2]
Di Indonesia, pengaturan
mengenai bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan diatur
dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU
P3). Menurut UU tersebut, Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.[3] Pasal
100 (Ketentuan Penutup) UU tersebut dengan tegas menyatakan bahwa semua
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan keputusan-keputusan pejabat lainnya
yang bersifat mengatur, harus dimaknai sebagai peraturan.[4]
Dengan demikian politik hukum perundang-undangan di Indonesia menghendaki
adanya purifikasi antara peraturan dan keputusan, karena memang terdapat
perbedaan yang sangat prinsipal diantara keduanya. Perbedaan tersebut
setidak-tidaknya meliputi tiga hal:
1)
Perbedaan isi
dan sifat:
Peraturan
berisi norma hukum yang berlaku dan mengikat umum (regeling).
Keputusan
berisi suatu penetapan atau keputusan yang sifatnya individual, final, dan
konkret.
2)
Perbedaan cara
melawannya:
Upaya
hukum untuk melawan/menggugat peraturan dilakukan melalui mekanisme pengujian
peraturan perundang-undangan (judicial
review). Untuk undang-undang melalui MK, sedang untuk peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang melalui MA.
Upaya
hukum untuk melawan/membatalkan keputusan dilakukan melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
3)
Perbedaan
kekuatan berlaku dan mengikatnya:
Dengan
diundangkannya suatu peraturan di dalam Lembaran Negara atau Berita Negara,
maka peraturan tersebut memiliki daya berlaku dan mengikat umum (binding force). Sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 87 UU P3 “Peraturan
Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.” Hal tersebut dimaksudkan agar semua orang mengetahui adanya
peraturan yang dimaksud sehingga dengan dimikian berlakulah asas fiksi hukum “Iedereen wordht geacht de wet te kennen.”
Artinya setiap orang dianggap mengetahui hukum. Oleh karena itu tidak ada
alasan bagi yang melanggar hukum bahwa ia tidak mengetahui hukumnya.[5]
Suatu
keputusan/ketetapan tidak dipersyaratkan untuk diundangkan dalam Lembaran
Negara atau Berita Negara karena keputusan/ketetapan tidak dimaksudkan untuk
berlaku dan mengikat umum.[6]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas jelaslah
bahwa harus dibedakan antara peraturan dan keputusan. Karena keduanya memliki
perbedaan yang prinsip, baik dari segi isi, penggunaan, serta kekuatan berlaku
dan mengikatnya.[7] Sebagaimana dikatakan oleh
Jimly Asshiddiqie bahwa pengaturan yang menghasilkan norma yang bersifat
mengatur (regelingsdaad) seharusnya
tidak dituangkan dan disebut dengan istilah lain kecuali “peraturan.”[8]
Kesalahan atau kekeliruan dalam prosedur pembentukan
suatu kaidah hukum akan berimplikasi pada keabsahan kaidah tersebut dan oleh
karenanya dapat dimintakan pengujian melalui pengujian formil kepada lembaga
yang berwenang (uji formil undang-undang melalui MK, uji formil peraturan
perundang-undangan melalui MA, dan pengujian formil KTUN melalui PTUN). Pengujian formil itu sendiri menyangkut penilaian dan pengujian terhadap ketepatan bentuk (peraturan atau keputusan/ketetapan), lembaga/pejabat yang berwenang membentuknya, tata cara pembentukannya dan hal-hal lain yang tidak termasuk kedalam cakupan uji materi.
Kesalahan atau kekeliruan dari segi substansi/materi muatan suatu kaidah hukum akan
mengakibatkan dokumen tersebut diuji materi (materiil
reviview) dan dibatalkan oleh lembaga yang berwenang mengujinya. Pengujian dari segi materi ini sesuai dengan namanya tentu saja merupakan suatu penilaian atas ketepatan dan kesesuian materi atau isi daripada suatu kaidah hukum.
Demikian juga kekeliruan penggunaan dan penuangan kaidah hukum yang seharusnya diberi baju hukum "peraturan" menjadi "keputusan" atau sebaliknya, menurut penulis dapat dimohonkan pengujian secara formil.
[1]Maria
Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan
(Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 30.
[2]
Lihat Ridwan H.R, Hukum Administrasi
Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 133-148. Dan Jimly
Asshiddqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 2.
[3]
Vide Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
[4]
Sejak adanya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ketentuan itu sudah diatur dalam undang-undang tersebut,
tepatnya pada Pasal 56 sebagai upaya untuk melakukan purifikasi antara
peraturan dan keputusan.
[5]
Lia Riesta Dewi dan Arief Ainul Yaqin, Mengenal
Hukum melalui Pengantar Hukum, Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Serang,
2012, hlm. 54.
[6]
Lihat Bab IX (Pengundangan) UU No. 12 Tahun 2011. Bab tersebut mengatur syarat
dan tata cara pengundangan peraturan perundang-undangan sebagai syarat berlaku
dan mengikatnya peraturan yang dimaksud.
[7]
Menurut Ridwan H.R., Keputusan/Ketetapan (beschikking)
adalah instrumen yang digunakan oleh organ pemerintahan untuk mengatur
peristiwa konkret dan individual dalam bidang administrasi dilingkungan organ
pemerintahan tersebut.
[8]
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 8.
Trma kasih atas info, stlah membaca dan memahami,timbul pertanyaan, apakah akta nikah merupakan suatu keputusan atau peraturan ?
BalasHapusPada prinsipnya Akta Nikah adalah sebuah kutipan peristiwa hukum yang dicatat secara resmi oleh instansi yang berwenang; untuk WNI beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh KUA sedangkan utk WNI Non-Islam pencatatannya dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dalam Hukum Administrasi Negara, surat/akta semacam ini digolongkan sebagai keputusan yang bersifat deklaratif,artinya suatu keputusan yg hanya menyatakan/mengesahkan suatu peristiwa hukum yg telah ada. Oleh karena itu akta nikah termasuk sebuah keputusan tata usaha negara, meski hanya bersifat deklaratif akan tetapi ia dicatat dan dikeluarkan secara resmi oleh badan/pejabat tata usaha negara yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai bukti, dalam praktek/kenyataan, ada banyak kasus dimana akta nikah ini bisa digugat dan menjadi objek sengketa tata usaha negara di PTUN. itu artinya Akta Nikah memang termasuk dalam kategori keputusan. Terima Kasih, semoga bermanfaat ...
HapusTerima kasih pak arif, sangat membantu
Hapussama-sama ...
HapusTerima kasih atas informasinya, namun izinkan saya bertanya apakah pemberlakuan surat edaran yang berisikan instruksi untuk mengatur sesuatu hal apakah dapat dapat digolongkan sebagai Beschikking? dan pemberlakuan surat edaran apakah bisa di sengketakan di PTUN?
BalasHapusPertama, dalam ilmu perundang-undangan surat edaran ini adalah suatu produk yang berada di luar kategori keputusan (beschikking)maupun peraturan (regeling). Jadi prinsipnya (teorinya) dia bukan keputusan dan bukan juga peraturan. Namun pada praktinya, surat edaran yg boleh dikatakan tidak jelas jenis kelaminnya ini memang ada dan seringkali digunakan. Karenanya dalam khazanah ilmu perundang-undangan surat edaran ini disebut dgn istilah tersendiri, yaitu peraturan kebijakan (beleidsregel). Dalam teori perundang-undangan, beleidsregel seperti surat edaran ini mestinya secara substansi hanya berisi ketentuan yang bersifat anjuran, himbauan, pedoman yang sifatnya fakultatif, bukan imperatif. Dengan kata lain tidak boleh bersifat memerintah/melarang/memaksa umum (publik) apalagi berisi ancaman dan sanksi. Tapi dalam kenyataannya di lembaga-lembaga negara dan pemerintahan sering kita menemukan adanya surat edaran yang digunakan secara "salah kaprah". Surat edaran seringkali memuat norma yang sebetulnya bersifat norma peraturan perundang-undangan karena isinya mengatur, memaksa, dan mengikat umum, bahkan ada yang disertai dengan ancaman dan sanksi. Hal ini sebetulnya keliru dan tidak pada tempatnya.
HapusKedua, jika ternyata surat edaran ini terlanjur digunakan secara keliru yang mana isinya bersifat mengatur, memaksa, dan mengikat umum layaknya sebuah peraturan perundang-undangan apakah dia bisa digugat/disengketakan? Jawabannya bisa. Berdasarkan pengalaman uji materi di MA, surat edaran dapat di gugat/diuji di Mahkamah Agung melalui jalur/mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU yang memang adalah kewenangan MA untuk mengujinya. Contohnya, Putusan MA No. 23P/HUM/2009. Dalam putusan ini MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara, sebab MA menilai secara substansi SE tersebut bersifat regeling sehingga harus dianggap sebagai peraturan perundang-undangan dan karenanya dapat menjadi objek uji materi di MA. Putusan lainnya yang juga menguji surat edaran adalah Putusan MA No. 3P/HUM/2010.
Jadi jika sebuah SE isinya bersifat mengatur (regeling) dan mengikat umum layaknya sebuah peraturan perundang-undangan maka ia dapat digugat/diuji melalui uji materi di MA, bukan sengketa TUN di PTUN.