Perkembangan hukum di
bidang ketatanegaraan, khususnya di negara-negara yang telah mendirikan
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai organ penjaga konstitusi sekaligus pelindung hak-hak
konstitusional warga negaranya, menunjukan tren kemajuan yang sangat pesat
dalam hal jaminan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Salah
satu tren dari perkembangan ketatanegaraan modern itu ialah dibukanya akses
pengujian konstitusional (constitutional
review) melalui mekanisme Constitutional
Question di Mahkamah Konstitusi.
Hingga saat ini,
tercatat sudah ada 78 negara yang telah membentuk dan memiliki MK yang
kewenanganya ialah memutus perkara-perkara konstitusional,[1]
termasuk dan yang paling utama ialah kewenangan pengujian konstitusional atau judicial review.[2]
Dari negara-negara tersebut, banyak diantaranya yang sudah melengkapi
kewenangan Mahkamah Konstitusi-nya dengan mekanisme Constitutional Question. Negara-negara yang tercatat telah
menerapkan mekanisme Constitutional
Question dalam sistem pengujian konstitusionalnya antara lain Jerman,
Austria, Italia, Spanyol, Rusia, Korea Selatan, Kroasia, Thailand serta masih
banyak lainnya.[3]
Constitutional
Question itu sendiri merupakan suatu
mekanisme dalam kerangka pengujian konstitusional, dimana hakim-hakim pada
peradilan biasa dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional (pertanyaan
konstitusional) kepada Mahkamah Konstitusi perihal suatu undang—undang yang ia ragukan
konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan perkara/kasus konkret yang sedang
ia tangani.[4]
Dalam hal Mahkamah
Konstitusi (MK) menerima “pertanyaan konstitusional” atau Constitutional Question dari hakim pengadilan, maka terhadap kasus
konkret yang dimaksud dihentikan sementara persidangan/pemeriksaannya hingga
adanya putusan MK.[5] Mahkamah Konstitusi tentu
hanya memeriksa dan memutus konstitusionalitas undang-undang yang dimaksud,
bukan memutus kasus konkretnya itu sendiri. Sebab MK tidak mempunyai yurisdiksi
untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus konkret karena hal itu merupakan
kompetensi absolut peradilan biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[6]
Oleh karena objek
permohonannya adalah norma undang-undang dalam kaitannya dengan suatu kasus
konkret di pengadilan, maka itulah sebabnya mekanisme Constitutional Question ini disebut pula sebagai mekanisme
Pengujian Norma Konkret (Concrete Norm
Review).[7] Jerman, negara yang secara umum dianggap
sebagai yang paling menonjol dan sukses mempraktekan pengujian konstitusional
melalui Mahkamah Konstitusi-nya (Bundesverfassungsgerichts),[8] menyebut
Constitutional Question ini dengan istilah
Konkrete Normenkontrolle.[9]
Berkaca pada
negara-negara yang telah mengadopsi Constitutional
Question atau Pengujian Norma Konkret sebagaimana disebut diatas, mekanisme
itu disediakan guna menyelesaikan persoalan konstitusionalitas suatu norma
hukum yang sedang dihadapi oleh pengadilan atau para pihak yang terlibat di
dalamnya, yakni dengan jalan memberikan hak kepada hakim atau para pihak untuk
mengajukan permohonan pengujian atas norma hukum yang diragukan
konstitusionalitasnya itu kepada MK. Karena bukan tidak mungkin persoalan
konstitusionalitas sebuah undang-undang justru muncul dari proses litigasi atas
suatu kasus konkret di pengadilan.[10]
Kondisi objektif saat
ini di Indonesia, mekanisme Constitutional
Question sebagaimana dipaparkan diatas itu belum terlembagakan di Mahkamah
Konstitusi RI. Padahal (seperti yang telah dikatakan pada akhir paragraf
diatas) bukan tidak mungkin persoalan konstitusionalitas atas sebuah
undang-undang justru muncul dari proses penyelesaian kasus-kasus konkret di
pengadilan.
Pada kenyataannya, dalam
praktek pengujian undang-undang terhadap UUD yang dilaksanakan oleh MK RI, kemungkinan-kemungkinan
diatas terkonfirmasi dan benar adanya. Hal itu terbukti dengan diajukannya
beberapa permohonan pengujian undang-undang yang berpangkal dari kasus konkret
di Pengadilan.
Diantara
permohonan-permohonan tersebut ada yang diajukan oleh Pemohon yang pada saat yang
bersangkutan sedang menjalani proses persidangan (umumnya pidana) di
pengadilan, ada pula permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang masih berstatus
tersangka dalam suatu kasus pidana sebelum perkaranya dilimpahkan dan diadili
di pengadilan. Bahkan ada pula permohonan yang dikarenakan ketiadaan akses
terhadap mekanisme Constitutional
Question ini baru diajukan oleh Pemohon setelah ia selesai menjalani masa
pidananya, dimana ia telah dijatuhi vonnis bersalah oleh pengadilan,[11] ironisnya,
sebagian dari pasal-pasal yang menjadi dasar untuk menghukumnya itu kemudian terbukti
bertentangan dengan UUD dan dibatalkan oleh MK.[12]
Seandainya ketika itu mekanisme constitutional question telah diterapkan
di Indonesia tentu saja ironi atau kerugian konstitusional seperti yang
tergambar diatas bisa dihindari, yakni dengan jalan mengajukan “pertanyaan
konstitusional” atau constitutional
question atas suatu undang-undang yang menjadi dasar hukum dalam suatu
kasus konkret di pengadilan yang diduga bertentangan dengan UUD.
Melalui mekanisme Constitutional Question, kerugian
hak-hak konstitusional warga negara akibat pemberlakuan/penerapan hukum yang
bertentangan dengan UUD sebagaimana tergambar diatas dapat dicegah dengan cara
mengajukan pertanyaan konstitusional kepada MK untuk menentukan
konstitusionalitas undang-undang yang dipersoalkan sebelum putusan pengadilan atas
suatu kasus konret tersebut dijatuhkan. Dengan adanya permohonan itu maka
segala proses proses persidangan atas perkara konkret yang dimaksud harus
dihentikan sementara sampai adanya putusan MK yang akan menentukan
konstitusional atau inkonstitusionalnya undang-undang yang dijui. Putusan MK
itulah yang akan menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas
perkara konret yang dimaksud.
Mekanisme inilah yang
tidak dijumpai dalam sistem pungujian konstitusional di Indonesia. Dalam sistem
yang berlaku di Indonesia saat ini, meskipun para pihak atau hakim pengadilan
dapat saja mengajukan permohonan pengujian atas suatu undang-undang yang
diragukan konstitusionalitasnya dalam kaitannya dengan suatu perkara konkret
yang sedang berjalan di pengadilan, namun pengujian tersebut tidak dapat
menunda persidangan atas kasus konkret yang dimaksud hingga adanya putusan MK.
Dengan kata lain, permohonan pengujian undang-undang itu tidak serta merta
menghentikan proses pemeriksaan/persidangan yang sedang berjalan di Pengadilan.
Dalam sistem pengujian
yang demikian, tidak menutup kemungkinan putusan atas kasus konkretnya dijatuhkan
lebih dulu oleh pengadilan, padahal undang-undang yang menjadi dasar putusan
tersebut masih diperiksa konstitusionalitasnya oleh MK; apakah konstitusional
sehingga dapat diterapkan atau sebaliknya, inkonstitusional sehingga tidak
dapat diterapkan.
Dalam keadaan yang
paling ekstrem, bukan tidak mungkin pengadilan memutus bersalah seseorang mendahului
Putusan MK yang notabene sedang menguji konstitusionalitas undang-undang yang
menjadi dasar hukum dalam kasus konkret yang dimaksud. Sementara MK kemudian
menjatuhkan putusan yang membatalkan undang-undang yang menjadi dasar hukum
dari putusan pengadilan tersebut karena dinilai bertentangan dengan UUD.
Fakta-fakta diatas menunjukan
bahwa sistem pengujian konstitusional kita masih memiliki kelemahan yang dapat
bermuara pada tercederainya hak-hak konstitusional warga negara. Hal tersebut
jelas tidak sesuai serta bertentangan dengan prinsip-prinsip dan semangat UUD
1945. Sebaliknya, UUD 1945 menghendaki adanya perlindungan maksimal terhadap
hak-hak konstitusional warga negara dan pada saat saat bersamaan meniadakaan
kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya, termasuk perlindungan dari
kesewenang-wenangan penerapan aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan
dengan UUD 1945.
Berdasarkan
uraian-uraian dan pertimbangan diatas, gagasan pelembagaan Constitutional Question atau Pengujian Norma Konkret di Indonesia melalui
MK RI sebagai upaya untuk memaksimalkan ruang perlindungan dan pencarian
keadilan bagi segenap Warga Negara Indonesia bukanlah suatu ide yang
mengada-ada. Sebaliknya, gagasan yang demikian justru sangat logis, prospektif,
dan bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda bagi
negara yang berlandaskan pada hukum dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia.[13]
[1] Lihat Jimly
Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah
Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, Undang-Undang, dan Peraturan tentang
Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, PSHTN FH UI, Jakarta, 2003.
[2] Sebagaimana dikatakan
oleh Herbert Hesmauninger bahwa fungsi dan alasan utama dibentuknya Mahkamah
Konstitusi adalah untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap produk
hukum yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi sebagai upaya menegakan
Konstitusi di negara-negara demokrasi konstitusional. Lihat Herbert
Hesmauninger, The Austrian Legal System, Manzsche
Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hlm. 139.
[3] Lihat Muchamad Ali
Safa’at, “Menggagas Constitutional
Question di Indonesia” Majalah Konstitusi Berita Mahkamah Konstitusi,
Desember 2009, hlm. 7. Lihat juga I Dewa Palguna, Constitutional Question: Latar Belakang dan Praktik Di Negara Lain
Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia, Makalah Pada Seminar Nasional
“Mekanisme Constitutional Question Sebagai Sarana Menjamin Supremasi
Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Konstitusi (PPK)
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Setjen dan Kepaniteraan
MK RI di Malang, 21 November 2009, hlm. 4.
[4] Lihat I Dewa Gede
Palguna, Ibid., hlm. 2.
[5] Mekanisme penghentian
sementara persidangan kasus konkret di Pengadilan biasa ini dimaksudkan untuk
menjaga adanya konsistensi Putusan Pengadilan dengan Putusan MK. Pengadilan
biasa yang mengadili kasus konkret itu harus menunggu hingga adanya Putusan MK
yang akan menentukan konstitusionalitas undang-undang yang diuji. Setelah
adanya Putusan MK barulah persidangan atas kasus konkret yang dimaksud dapat
dilanjutkan dan putusan pengadilan tersebut tentu saja harus mengikuti Putusan
MK; apakah undang-undang yang diuji itu konstitusional sehingga bisa diterapkan
oleh pengadilan atau sebaliknya, dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak
dapat diterapkan.
[6]
Victor Ferreres Comella, “Is the European
Model of Constitutional Review in Crisis”, Paper presented for the
12th Annual Conference on ‘the Individual Vs. the State’,
Central European University, Budapest, June 18-19, 2004, hlm. 4.
[7] Istilah Pengujian
Norma Konkret (Concrete Norm Review)
sebetulnya lebih umum daripada istilah Constitutional
Question karena istilah yang disebut pertama itu dikenal/dipergunakan juga
di negara-negara yang meletakan kewenangan judicial
review pada Mahkamah Agung dan peradilan dibawahnya atau yang menganut
model decentralized judical review (judicial
review yang tersebar) seperti Amerika Serikat. Istilah Pengujian Norma Konkret
dipergunakan di negara-negara yang menganut decentralized
judicial review karena merujuk pada objek pengujiannya yang berupa norma
undang-undang atau peraturan lain dalam kaitannya dengan kasus konkret. Dengan
kata lain, disebut “Pengujian Norma Konkret” karena memang judicial review di negara-negara tersebut hanya dapat
digerakan/diajukan jika persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang itu
terjelma dalam kasus konkret yang sedang berjalan di pengadilan. Untuk lebih
memahami penggunaan istilah “Pengujian Norma Konkret” ini dapat dilihat lebih
lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Cet. Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
[8] Dalam menyoroti
kemajuan dan kemapanan konstitusionalisme dan perlindungan hak-hak
konstitusional di Jerman, David P Currie dengan berani menyimpulkan bahwa
Jerman telah melampaui Amerika Serikat dalam bidang tersebut. Lihat dalam David
P. Currie, The Constitution of the
Federal Republic of Germany, The University of Chicago Press, Chicago and
London, 1994, hlm. 173.
[9] Lihat I Dewa Gede
Palguna, Op. Cit., hlm. 2.
[10] Lihat Muchamad Ali
Safa’at, “Menggagas Constitutional Question di Indonesia”, Op. Cit., hlm. 3-5.
[11] Permohonan Pengujian
Undang-Undang ini diajukan oleh Dr. R Panji Utomo yang teregister dengan Nomor
Perkara 6/PUU-V/2007. Pasal-Pasal yang dimohonkan pengujiannya dalam permohonan
q
quo adalah Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207
dan Pasal 208 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007.
[12] Pasal-Pasal yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 154 dan Pasal 155 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Vide Bagian
Amar Putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-V/2007.
[13] Pernyataan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum telah ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sementara upaya bangsa Indonesia untuk
menjamin tegaknya HAM diatur secara lengkap dan rinci dalam Bab X A UUD NRI
Tahun 1945 yang terdiri dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar