Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 23 Februari 2015

Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia dibawah Beberapa Undang-Undang Dasar



Politik Hukum Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 asli (sebelum perubahan)
Oleh karena UUD 1945 merupakan produk para founding father yang sudah mulai disusun sejak masa pra kemerdekaan atau masa persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai), lebih khusus lagi oleh sebuah Tim Perancan UUD yang diketuai Ir. Soekarno, maka untuk mengetahui politik hukum HAM yang terkandung dalam UUD 1945, tentu kita harus mengadakan peninjauan/penelusuran risalah-risalah pembahasannya ketika itu.
Melaui berbagai literatur dan referensi yang mengangkat sejarah perumusan dan pembahasan UUD 1945 khususnya yang menyangkut hak asasi maunusia maka dapat dikatakan bahwa pada waktu itu terdapat dua kutub pemikiran mengenai perumusan HAM di dalam UUD 1945 yang asli. Sicara singkat dapat dikemukakan perbedaan mendasar diantara dua kutub pemikiran itu ialah sebagai berikut: Kutub pemikiran yang pertama ialah mereka (anggota BPUPKI; panitia perancang UUD) yang berpaham tidak perlunya HAM dimasukan dan dirumuskan dalam UUD, yang berada dalam kutub ini ialah Soekarno dan Soepomo. Sedangkan Kutub pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpandangan perlunya ada jaminan dan perlindungan HAM di dalam UUD, tokoh yang ada pada posisi ini ialah Moh. Hatta dan M. Yamin.[1]
Para penyusun UUD ketika itu sependapat bahwa UUD yang hendak mereka susun harus didasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong royong, yaitu suatu asas yang sama sekali bertentangan dengan faham liberalisme dan individualisme.[2] Oleh sebab itulah dalam naskah Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh panitia kecil (panitia perancang UUD) itu sema sekali tidak terdapat pengaturan mengenai hak asasi manusia. Dalam pada itu Soekarno mengatakan:
“Saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan njonja, buanglah sama sekali faham individualisme itu. Djanganlah dimasukan dalam Undang-Undang Dasar kita jang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai jang dihanjurkan oleh Republik Perancis itu adanja. Kita menghendaki keadilan sosial. ......... maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.[3]

Senada dengan pandangan Soekarno, Soepomo kemudian menambahkan:
“Tadi dengan pandjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima akan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran jang bertentangan ....”[4]
  
Berdasarkan padangan diatas maka model yang dianut oleh UUD 1945 adalah model integralistik, yaitu suatu model dimana kehidupan antarmanusia dan individu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak berdiri sendiri-sendiri sebagaimana paham individualistik dan liberalistik seperti yang ada dalam masyarakat eropa dan Amerika.
Berbeda pandangan dengan Soekarno dan Seopomo yang tidak menghendaki dimasukannya aturan-aturan menganai HAM dalam UUD, M. Hatta yang walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan dan menentang individualisme liberalisme, berpandangan bahwa pengaturan HAM dalam UUD tetap diperlukan. Berikut pandangannya mengenai hal tersebut:
“Ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal jang mengenai warganegara, disebutkan juga disebelah hak jang sudah diberikan kepada misalnja tiap-tiap warganegara djangan takut mengeluarkan suaranja. Jang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menjurat dan lain-lain. Formuleringnja atau redaksinja boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk mendjaga, supaja negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakjat.”[5]

Senada dengan pandangan M. Hatta, M. Yamin pun mengemukakan padangannya yang pada pokoknya menolak paham yang menghubungkan jaminan HAM dengan paham individualisme dan leberalisme dan oleh karena menghendaki dimasukannya pasal-pasal tentang HAM.
Pada akhirnya, hingga UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, UUD tersebut cenderung menganut aliran yang tidak menghendaki masuknya pengaturan tentang HAM. Namun sebagai hasil kompromi memang muncul beberapa ketentuan/pasal yang dapat dikategorikan mengandung nilai-nilai dan perlindungan hak asasi manusia. Jumlah dan substansinya sangat terbatas, hanya ada 7 pasal saja, pasal-pasal tersebut adalah:
1)                Pasal 27 ayat (1);
2)                Pasal 27 ayat (2);
3)                Pasal 28;
4)                Pasal 29 ayat (2);
5)                Pasal 30 ayat (1);
6)                Pasal 31 ayat (1); dan
7)                Pasal 34.[6]

Politik Hukum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 dan berubahnya bentuk Negara Indenesia dari kesatuan menjadi Republik Indonesia Serikat, hingga diberlakukannya UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950, konstitusi atau UUD yang berlaku pada saat itu adalah Konstitusi RIS 1949. Sementara sejak periode 17 Agustus 1950, ketika Indonesia secara resmi kembali kepada bentuk negara kesatuan dan mengakhiri rezim “RIS” hingga terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konstitusi atau UUD yang berlaku pada saat itu adalah UUDS 1950.
Baik Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950, kedua UUD tersebut ternyata memuat materi HAM yang jauh lebih banyak (signifikan) daripada yang dimuat oleh UUD 1945 yang asli. Oleh beberapa ahli kenyataan tersebut dikaitkan dengan asumsi bahwa karena pada saat itu telah lahir Universal Declaration of Human Right (1948) yang memiliki pengaruh luar biasa pada masa itu. Pengaturan mengenai HAM dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 35 dan dilihat dari substansinya banyak mengadopsi atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh ketentuan HAM yang tercantum dalam UNDHR (1948).[7] Atas dasar itulah kemudian M. Yamin mengatakan bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 adalah contoh dua konstitusi dari beberapa konstitusi negara-negara di dunia yang berhasil memasukan aturan-aturan mengenai HAM seperti yang tercantum dalam keputusan PBB (maksudnya UNDHR 1948).[8]

Politik Hukum Hak Asasi Manusia Pasca Orde Baru (Amandemen UUD 1945 dan Setelahnya)
Politik Hukum dibidang Hak Asasi Manusia pada masa orde baru tidak begitu menggembirakan dan seperti berjalan ditempat. Tidak banyak perkembangan yang bisa dicatat kecuali ada beberapa ratifikasi instrumen HAM internasional seperti ratifikasi Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW 1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984 dan Pembentukan Komnas HAM melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. 
Itu pun hanya dilihat dari segi formilnya saja atau dari dilihat dari adanya produk hukum saja, sedang dalam aktualisasinya masih sangat terbatas, karena kita tahu bahwa orde baru sangat menekankan stabilitas politik dan keamanan, sebagai konsekuensinya perkembangan dan pemajuan HAM kurang mendapat perhatian, kalau bukan malah ditekan.[9]
Perkembangan dan kemajuan di bidang HAM baru mulai nampak setelah jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Setelah periode orde baru berlalu dan berganti menjadi orde reformasi atau dalam bahasa Satya Arinanto disebut “Masa Transisi Politik” barulah hak asasi manusia perlahan-lahan tampil dengan wajah dan harapan baru. Politik hukum HAM pasca orde baru mulai ditata dan menunjukan kemajuan yang cukup signifikan yang ditandai dengan munculnya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi dan berpresktif HAM.
Salah satu dari perkembangan penting di bidang HAM pada masa transisi itu ialah diterbitkannya Ketetapan MPR (Tap MPR) No. XVII tentang Hak Asasi Manusia.[10] Kehadiran Tap MPR yang berisi jaminan dan perlindungan terhadap beberapa aspek dalam HAM tentu saja membawa angin segar dan harapan akan pemajuan HAM. Ketetapan MPR No. XVII Tahu 1998 ini adalah yang pertama dalam sejarah Indonesia, dimana ada sebuah Tap MPR yang mengatur mengenai HAM dan mencoba mengisi ruang-ruang kosong yang terdapat dalam UUD 1945 asli yang memang sangat terbatas dalam memberikan porsi bagi jaminan dan pemajuan HAM.[11]
Setelah Tap MPR No. XVII Tahun 1998, pada tahun 1999 terbit UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara substansial/materil banyak menyerap atau mengadopsi materi muatan Tap MPR No. XVII Tahun 1998.[12] Setelah UU No. 39 Tahun 1999 berhasil dibentuk, maka sebagai konsekuensi diaturnya jaminan perlindungan HAM dan kebutuhan akan adanya pengadilan yang akan mengadili pelanggaran-pelanggaran berat terhadap HAM, maka kemudian (sesuai amanat Pasal 104 UU 39/1999) diterbitkanlah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut pada pokoknya mengatur mengenai yurisdiksi (ratione materiele), cara kerja atau hukum acara, serta hal-hal lain yang menyangkut Pengadilan HAM.[13]
Momentum paling penting dan membahagiakan dalam dunia penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia muncul pada saat dilakukannya amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000. Amandemen tersebut menyentuh dimensi  dan materi materi HAM dalam UUD 1945.
Setelah melalui proses perubahan di MPR pada tahun 2000 dan hasilnya ditetapkan dalam sidang tahunan MPR pada tanggal 7-18 Agustus 2000, lahirlah UUD 1945 hasil perubahan kedua. Bagian yang paling banyak berubah (bertambah) ialah yang menyangkut mengenai HAM. Materi muatan yang berisi ketentuan-ketentuan HAM diletakan pada bab khusus, yaitu “Bab X (Hak Asasi Manusia)”. Materi muatan tentang HAM tersebar dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J dan berada di dalam bab khusus yang mengatur mengenai HAM (Bab X).[14]
Dengan UUD 1945 hasil perubahan kedua (tahun 2000), jaminan, perlindungan serta pemajuan HAM di Indonesia lebih berkepastian dan memiliki landasan hukum yang kokoh karena telah dimuat dan dijabarkan dalam UUD.
Dengan disahkannya perubahan kedua UUD 1945 yang di dalamnya memuat jaminan-jaminan perlindungan HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A – Pasal 28J, maka denyut nadi kehidupan dan kemajuan HAM di Indonesia lebih menguat.


[1] Mengenai hal ini dapat dibaca dan ditelusuri melalui buku M. Yamin yang berjudul “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” yang didalamnya berisi potret dan rekaman pembahasan-pembahasan atau perdebatan-perdebatan dalam perumusan UUD 1945.
[2] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op. Cit., hlm. 313.
[3] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Prapantja, Djakarta, 1959, hlm. 296-297.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Lihat Jimly Asshiddie, Op. Cit., hlm. 352-353. Dari 7 Pasal itu pun menurut analisa Jimly yang sungguh-sungguh berisi jaminan perlindungan HAM hany satu pasal, yaitu Pasal 29 ayat (2) mengenai kemerdekaan memeluk agama dan beribah menurut agamanya, sedangkan satu pasal yang lain yaitu Pasal 28 belum memberikan jaminan secara langsung dan tegas karena ketentuan itu masih akan dan harus dengan undang-undang, sementara 5 pasal lainnya belum dapat dikategorikan sebagai jaminan perlindungan HAM melainkan sekedar jaminan konstitusional hak warga negara (citizen’s constitutional rights.
[7] Vide Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
[8] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia¸ Djambatan, Jakarta, 1951, hlm. 92.
[9] Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan HAM di Indonesia, termasuk dalam periode orde baru dapat dilihat karya Satya Arinanto dalam bukunya (yang diangkat dari Disertasi) Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Selain itu dapat juga dilihat Karya Daniel S. Lev dalam Bukunya Hukum dan Politik di Indonesia, khususnya pada Bab XII (Gerakan Sosial, Konstitusionalisme, dan Hak Asasi).
[10] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Cet. Ketiga, Jakarta, 2011.
[11] Penting untuk diketahui bahwa Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia ini kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Tap MPR No. 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Pasal 1 angka 8) karena materinya sudah di carry over oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga karena telah dilakukannya Perubahan (kedua; tahun 2000) UUD 1945 dimana ketentuan HAM diatur secara lebih rinci dan detail pada UUD 1945 hasil perubahan sehingga secara logis dan legal, Tap MPR tersebut sudah tidak diperlukan lagi.
[12] Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 361.
[13] Vide Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[14] Lihat Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 20; lihat pula Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 361.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar