Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 02 Februari 2015

Judicial Review (Constitutional Review) di Amerika Serikat



Sebagiamana telah dikenal luas, Amerika Serikat (AS) merupakan negara tempat lahirnya pengujian konstitusional atau judicial review melalui putusan Supreme Court yang sangat fenomenal dalam Kasus Marbury versus Madison pada 1803. Sejak saat itu “wabah” judicial review atau constitutional review  mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini.
Begitu fenomenal dan luar biasanya kasus “Marbury vs Madison”, William H. Rehnquist menyebut kasus tersebut sebagai “most famous case ever decided by the US Supreme Court.”[1] Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’  bahkan ada pula yang menyebutnya dengan nada pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’[2]
Disebut luar biasa karena pada waktu putusan yang membatalkan ketentuan Judiciary Act 1789 itu diputus, Konstitusi Amerika sama sekali tidak menyebut adanya kewenangan Supreme Court AS untuk menguji apalagi membatalkan suatu undang-undang. Yang dikenal dalam praktek peradilan pada waktu itu, baik di AS sendiri maupun di negara-negara eropa, hanyalah sebatas pengesampingan atau mengabaikan atau tidak menerapkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau prinsip-prinsip yang lebih tinggi, akan tetapi tidak sampai pada pengujian dan pembatalan.[3]
Hal itu dipertegas dalam pernyataan Leon Duguit yang menyatakan bahwa:
“It has been long accepted dogma that no court could accept a plea of unconstitutionality and refuse to apply a formal statute even where they considered it unconstitutional ..... the principle of the separation of power leads to an entirely different solution. A court which refuses to apply  a statute on the grounds of unconstitutionality does not interfere with the exercise of legislative powers. It does not suspend its application. The law remains untouched .... it is simply because the judicial power is distinct from and independently equal to the two others that i cannot be forced to apply the statutes it deems unconstitutional.[4]
Artinya:
Memang telah lama diterima sebagai suatu dogma bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk menerapkan undang-undang, walaupun undang-undang itu dirasa bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi prinsip pemisahan kekuasan menunjukan jalan keluar yang sama sekali berbeda. Pengadilan yang menolak untuk menerapkan undang-undang  karena alasan inkonstitusionalitas undang-undang tersebut tidaklah dapat disebut sebagai upaya mencampuri kekuasaan legislatif. Nyatanya undang-undang yang bersangkutan tidak disentuh oleh pengadilan, hal itu dilakukan justru karena kekuasaan kehakiman berbeda dan independen dalam kedudukan yang sederajat dengan kedua cabang kekuasaan lainnya dan karenanya tidak boleh dipaksa untuk menerapkan undang-undang yang dinilai suungguh-sungguh bertentangan dengan konstitusi.
Dalam pandangan yang sama, Mauro Cappelleti juga menegaskan adanya semacam “kewenangan tradisional” hakim-hakim Eropa dan Amerika untuk tidak menerapkan hukum yang dinilai bertentangan dengan konstitusi atau nilai-nilai yang lebih tinggi, jauh sebelum John Marshall mengintrodusir Putusan Marbury vs Madison pada 1803. Berikut pernyataannya:
The rationlae behind giving the entire judiciary the duty of constitutional control is, on face of it, both logical or simple, as is apparent form Chief Justice Marshall’s opinion in Marbury vs Madison and earlier from writings of Alexander Hamilton. It is the function of the judiciary, the argumen goes, to interpret the laws in order to apply them in concrete cases. When two such laws are in conlict, it is the judge who must determine which law prevails and then apply it. When the conflict is between enactments of different normative force, the obvious criterion to be applied is that the higher law prevails: lex superior derogat legi inferior. [5]
Melalui Putusan yang dikeluarkan Chief Justice John Marshall dan 5 orang hakim agung lainnya (associate justice) itulah kemudian berkembang sistem  judicial review atau constitutional review dalam sistem hukum Amerika. Sekali pun hal itu tidak pernah ditegaskan secara expresis verbis di dalam Konstitusi Amerika.[6] Sistem inilah yang kemudian, melalui perdebatan dan kontroversi panjang yang mengiringinya, sampai juga di daratan eropa dan kemudian diadopsi oleh negara-negara eropa kontinental dengan membentuk lembaga tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi.
Ciri utama dari pengujian konstitusional di AS yang kemudian dikategorikan sebagai model pengujian tersebar (decentralized model) ialah seluruh pengadilan disetiap tingkatan diberi kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review). Jadi dalam sistem pengujian konstitusional di AS, Supreme Court dan pengadilan-pengadilan dibawahnya berwenang melakukan pengujian konstitusional. Sebagaimana dikatakan oleh Vicki C. Jackson & Mark Tushnet bahwa:
A key characteristic of this model is that the jurisdiction to engage in constitutional interpretation is not limited to a single court. It can be exercised by many courts, state, and federal, and is seen ad inherent to and an ordinary incident of the more general process of case adjudication.[7]
Di AS, pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh semua hakim pada semua tingkatan peradilan. Pengujian konstitusional disana bukan merupakan kegiatan yudisial (persidangan) yang berdiri sendiri yang secara khusus ditujukan hanya untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang, melainkan dilakukan secara bersamaan (include) dengan pemeriksaan/persidangan suatu kasus. Artinya, kegiatan pengujian konstitusional merupakan suatu kegiatan yudisial yang tidak terpisah dan berawal dari proses litigasi biasa di pengadilan-pengadilan. Dalam proses tersebut, manakala hakim menilai ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi maka pada saat itu juga, bersamaan dengan proses litigasi tersebut, hakim melakukan uji konstitusionalitas atas undang-undang yang dimaksud.[8]
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa permohonan constitutional review atau judicial review pada model Amerika ini tidak dapat muncul begitu saja tanpa ada proses persidangan atau kasus biasa yang mendahuluinya. Artinya,  constitutional review di AS ini justru muncul dari kasus-kasus konkret di pengadilan. Dengan kata lain ruang lingkup pengujian konstitusional di AS hanya menjangkau pengujian norma konkret atau concrete norm review.
Oleh karena pengujian konstitusional di AS berawal dan berkaitan dengan kasus konkret, maka putusan yang dihasilkannya pun hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes). Namun demikian, karena di AS berlaku prinsip stare decisis (asas preseden), maka meskipun putusan hakim dalam pengujian konstitusionalitas tersebut bersifat interpartes, akan tetapi dalam kenyetaan putusan itu mempunyai kekuatan preseden yang sangat kuat dan diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain.[9] Lebih-lebih jika putusan itu dikeluarkan oleh Supreme Court, maka pengadilan ditingkat bawah akan selalu (berusaha) mengikuti putusan itu.
Dalam sistem hukum AS yang notabene menganut sistem common law, mekanisme pengujian konstitusional yang seperti ini memang sesuai dengan sejarah dan budaya peradilan di negeri tersebut yang memberikan kepada hakim-hakimnya ruang gerak yang luas di dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Seperti misalnya konsep judge made law, dimana hakim diperkenankan membuat dan melahirkan hukum melalui putusan-putusannya.
Oleh karena pengujian konstitusional yang berlaku di AS hanya mencakup concrete review yang bermula dari kasus-kasus konkret, maka sudah barang tentu pengujian tersebut hanya bersifat posteriori review, yaitu pengujian terhadap undang-undang yang sudah sah dan berlaku. Itu pula sebabnya kerugian konstitusional yang dipersyaratkan dalam mekanisme pengujian konstitusional di AS haruslah bersifat aktual dan spesifik.[10] Artinya, kerugian itu telah benar-benar terjadi dan merugikan si Pemohon. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya kasus konkret yang melatarbelakangi pengujian tersebut. Tidak lah mungkin ada suatu persoalan hukum (lawsuit) di suatu pengadilan jika tidak ada hak yang dirugikan.
Objek pengujian konstitusional di AS tidak terbatas hanya pada undang-undang, melainkan meliputi juga berbagai peraturan, administrative act, dan juga undang-undang negara bagian, bahkan konstitusi negara bagian. Kesemuanya itu dapat diuji apabila memang dianggap bertentangan dengan Konstitusi Federal (Konstitusi AS) sebagai The Supreme Law of the Land.[11]



[1] William H. Rehnquist, The Supreme Court: How It Was, How It Is, William Marrow, New York, 1989, hlm. 114.
[2] Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, Aspen Law & Bussiness, New York, 1997, hlm. 36.
[3] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 21-23.
[4] Leon Duguit dalam Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why It May Not Matter ,” Disampaikan dalam Faculty Scholarship Series, Yale Law School, 1 Januari 2013, hlm. 2757.
[5] Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 135.
[6] Untuk diketahui bahwa sesungguhnya hingga saat ini dalam Article III Konstitusi Amerika Serikat yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, tidak pernah dicantumkan secara tegas dan jelas adanya kewenangan supreme court dan peradilan dibawahnya untuk melakukan judicial review/constitutional review. Lihat dalam Robert Mc Closkey, The American Supreme Court, Revised by Sanford Levinson, Fourth Edition, The University of Chicago Press, Chicago and London, 2005, hlm. 4.
[7] Vicki C. Jackson & Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, Second Edition, Foundation Press, New York, 2006, hlm. 327.
[8] Lihat juga dalam I Gede Dewa Palguna, Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 328.
[9] Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional ....., Op. Cit., hlm. 82.
[10] Syarat kedudukan hukum Pemohon berupa kerugian konstitusional yang bersifat faktual dan spesifik ini adalah satu dari 3 syarat kerugian konstitusional untuk dapat mengajukan permohonan constitutional review yang dikembangkan melalui yurisprudensi AS. Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 65-66.
[11] Lihat Erwin Chemerinsky, Constitutional Law, Principles and Policies, Aspen Law and Bussiness, New York, 1997, hlm. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar