Sebagiamana telah dikenal luas, Amerika Serikat (AS)
merupakan negara tempat lahirnya pengujian konstitusional atau judicial review melalui putusan Supreme Court yang sangat fenomenal
dalam Kasus Marbury versus Madison pada 1803. Sejak saat itu “wabah” judicial review atau constitutional review mulai menyebar dan akhirnya mendapat kedudukan
yang penting dalam dunia hukum seperti sekarang ini.
Begitu fenomenal dan luar biasanya
kasus “Marbury vs Madison”, William H. Rehnquist menyebut kasus tersebut
sebagai “most famous case ever decided by
the US Supreme Court.”[1]
Selain itu para pakar juga menyebut kasus ini dengan berbagai sebutan/istilah, antara lain ‘most brilliant innovation’ atau ‘landmark decision’ bahkan
ada pula yang menyebutnya dengan nada pujian sebagai ‘single most important decision in American Constitutional Law.’[2]
Disebut luar biasa karena pada waktu
putusan yang membatalkan ketentuan Judiciary
Act 1789 itu diputus, Konstitusi Amerika sama sekali tidak menyebut adanya
kewenangan Supreme Court AS untuk
menguji apalagi membatalkan suatu undang-undang. Yang dikenal dalam praktek
peradilan pada waktu itu, baik di AS sendiri maupun di negara-negara eropa,
hanyalah sebatas pengesampingan atau mengabaikan atau tidak menerapkan
undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau prinsip-prinsip
yang lebih tinggi, akan tetapi tidak sampai pada pengujian dan pembatalan.[3]
Hal itu dipertegas dalam pernyataan Leon
Duguit yang menyatakan bahwa:
“It
has been long accepted dogma that no court could accept a plea of
unconstitutionality and refuse to apply a formal statute even where they
considered it unconstitutional ..... the principle of the separation of power
leads to an entirely different solution. A court which refuses to apply a statute on the grounds of
unconstitutionality does not interfere with the exercise of legislative powers.
It does not suspend its application. The law remains untouched .... it is
simply because the judicial power is distinct from and independently equal to
the two others that i cannot be forced to apply the statutes it deems
unconstitutional.[4]
Artinya:
Memang telah lama diterima sebagai
suatu dogma bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk menerapkan
undang-undang, walaupun undang-undang itu dirasa bertentangan dengan
konstitusi. Akan tetapi prinsip pemisahan kekuasan menunjukan jalan keluar yang
sama sekali berbeda. Pengadilan yang menolak untuk menerapkan
undang-undang karena alasan
inkonstitusionalitas undang-undang tersebut tidaklah dapat disebut sebagai
upaya mencampuri kekuasaan legislatif. Nyatanya undang-undang yang bersangkutan
tidak disentuh oleh pengadilan, hal itu dilakukan justru karena kekuasaan
kehakiman berbeda dan independen dalam kedudukan yang sederajat dengan kedua
cabang kekuasaan lainnya dan karenanya tidak boleh dipaksa untuk menerapkan
undang-undang yang dinilai suungguh-sungguh bertentangan dengan konstitusi.
Dalam pandangan yang
sama, Mauro Cappelleti juga menegaskan adanya semacam “kewenangan tradisional”
hakim-hakim Eropa dan Amerika untuk tidak menerapkan hukum yang dinilai
bertentangan dengan konstitusi atau nilai-nilai yang lebih tinggi, jauh sebelum
John Marshall mengintrodusir Putusan Marbury vs Madison pada 1803. Berikut
pernyataannya:
The
rationlae behind giving the entire judiciary the duty of constitutional control
is, on face of it, both logical or simple, as is apparent form Chief Justice
Marshall’s opinion in Marbury vs Madison and earlier from writings of Alexander
Hamilton. It is the function of the judiciary, the argumen goes, to interpret
the laws in order to apply them in concrete cases. When two such laws are in
conlict, it is the judge who must determine which law prevails and then apply
it. When the conflict is between enactments of different normative force, the
obvious criterion to be applied is that the higher law prevails: lex superior
derogat legi inferior. [5]
Melalui Putusan yang
dikeluarkan Chief Justice John Marshall dan 5 orang hakim agung lainnya (associate justice) itulah kemudian
berkembang sistem judicial review atau constitutional
review dalam sistem hukum Amerika. Sekali pun hal itu tidak pernah
ditegaskan secara expresis verbis di
dalam Konstitusi Amerika.[6]
Sistem inilah yang kemudian, melalui perdebatan dan kontroversi panjang yang
mengiringinya, sampai juga di daratan eropa dan kemudian diadopsi oleh
negara-negara eropa kontinental dengan membentuk lembaga tersendiri bernama
Mahkamah Konstitusi.
Ciri utama dari pengujian
konstitusional di AS yang kemudian dikategorikan sebagai model pengujian
tersebar (decentralized model) ialah seluruh
pengadilan disetiap tingkatan diberi kewenangan untuk melakukan pengujian
konstitusional (constitutional review).
Jadi dalam sistem pengujian konstitusional di AS, Supreme Court dan pengadilan-pengadilan dibawahnya berwenang
melakukan pengujian konstitusional. Sebagaimana dikatakan oleh Vicki C. Jackson
& Mark Tushnet bahwa:
A
key characteristic of this model is that the jurisdiction to engage in
constitutional interpretation is not limited to a single court. It can be
exercised by many courts, state, and federal, and is seen ad inherent to and an
ordinary incident of the more general process of case adjudication.[7]
Di AS, pengujian
konstitusional dapat dilakukan oleh semua hakim pada semua tingkatan peradilan.
Pengujian konstitusional disana bukan merupakan kegiatan yudisial (persidangan)
yang berdiri sendiri yang secara khusus ditujukan hanya untuk menguji
konstitusionalitas sebuah undang-undang, melainkan dilakukan secara bersamaan (include) dengan pemeriksaan/persidangan
suatu kasus. Artinya, kegiatan pengujian konstitusional merupakan suatu
kegiatan yudisial yang tidak terpisah dan berawal dari proses litigasi biasa di
pengadilan-pengadilan. Dalam proses tersebut, manakala hakim menilai ada
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi maka pada saat itu juga,
bersamaan dengan proses litigasi tersebut, hakim melakukan uji
konstitusionalitas atas undang-undang yang dimaksud.[8]
Dengan demikian
dapatlah dipahami bahwa permohonan constitutional
review atau judicial review pada
model Amerika ini tidak dapat muncul begitu saja tanpa ada proses persidangan
atau kasus biasa yang mendahuluinya. Artinya,
constitutional review di AS
ini justru muncul dari kasus-kasus konkret di pengadilan. Dengan kata lain
ruang lingkup pengujian konstitusional di AS hanya menjangkau pengujian norma
konkret atau concrete norm review.
Oleh karena
pengujian konstitusional di AS berawal dan berkaitan dengan kasus konkret, maka
putusan yang dihasilkannya pun hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes). Namun demikian, karena di
AS berlaku prinsip stare decisis (asas
preseden), maka meskipun putusan hakim dalam pengujian konstitusionalitas tersebut bersifat interpartes, akan
tetapi dalam kenyetaan putusan itu mempunyai kekuatan preseden yang sangat kuat
dan diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain.[9]
Lebih-lebih jika putusan itu dikeluarkan oleh Supreme Court, maka pengadilan ditingkat bawah akan selalu
(berusaha) mengikuti putusan itu.
Dalam sistem hukum
AS yang notabene menganut sistem common
law, mekanisme pengujian konstitusional yang seperti ini memang sesuai
dengan sejarah dan budaya peradilan di negeri tersebut yang memberikan kepada
hakim-hakimnya ruang gerak yang luas di dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Seperti misalnya konsep judge made law, dimana
hakim diperkenankan membuat dan melahirkan hukum melalui putusan-putusannya.
Oleh karena
pengujian konstitusional yang berlaku di AS hanya mencakup concrete review yang bermula dari kasus-kasus konkret, maka sudah
barang tentu pengujian tersebut hanya bersifat posteriori review, yaitu pengujian terhadap undang-undang yang
sudah sah dan berlaku. Itu pula sebabnya kerugian konstitusional yang
dipersyaratkan dalam mekanisme pengujian konstitusional di AS haruslah bersifat
aktual dan spesifik.[10]
Artinya, kerugian itu telah benar-benar terjadi dan merugikan si Pemohon. Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari adanya kasus konkret yang melatarbelakangi
pengujian tersebut. Tidak lah mungkin ada suatu persoalan hukum (lawsuit) di suatu pengadilan jika tidak
ada hak yang dirugikan.
Objek pengujian
konstitusional di AS tidak terbatas hanya pada undang-undang, melainkan
meliputi juga berbagai peraturan, administrative
act, dan juga undang-undang negara bagian, bahkan konstitusi negara bagian.
Kesemuanya itu dapat diuji apabila memang dianggap bertentangan dengan
Konstitusi Federal (Konstitusi AS) sebagai The
Supreme Law of the Land.[11]
[1] William H. Rehnquist, The Supreme Court: How It Was, How It Is,
William Marrow, New York, 1989, hlm. 114.
[2] Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies,
Aspen Law & Bussiness, New York, 1997, hlm. 36.
[3] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 21-23.
[4] Leon Duguit dalam Alec
Stone Sweet, “Why Europe Rejected
American Judicial Review and Why It May Not Matter ,” Disampaikan dalam
Faculty Scholarship Series, Yale Law School, 1 Januari 2013, hlm. 2757.
[5] Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 135.
[6] Untuk diketahui bahwa
sesungguhnya hingga saat ini dalam Article III Konstitusi Amerika Serikat yang
mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, tidak pernah dicantumkan secara tegas
dan jelas adanya kewenangan supreme court
dan peradilan dibawahnya untuk melakukan judicial
review/constitutional review. Lihat dalam Robert Mc Closkey, The American Supreme Court, Revised by
Sanford Levinson, Fourth Edition, The University of Chicago Press, Chicago and
London, 2005, hlm. 4.
[7] Vicki C. Jackson &
Mark Tushnet, Comparative Constitutional
Law, Second Edition, Foundation Press, New York, 2006, hlm. 327.
[8] Lihat juga dalam I
Gede Dewa Palguna, Constitutional
Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 328.
[9] Lihat juga Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional ....., Op. Cit., hlm. 82.
[10] Syarat kedudukan hukum
Pemohon berupa kerugian konstitusional yang bersifat faktual dan spesifik ini
adalah satu dari 3 syarat kerugian konstitusional untuk dapat mengajukan
permohonan constitutional review yang
dikembangkan melalui yurisprudensi AS. Lihat Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 65-66.
[11] Lihat Erwin
Chemerinsky, Constitutional Law,
Principles and Policies, Aspen Law and Bussiness, New York, 1997, hlm. 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar