Pengujian
konstitusional sebetulnya telah dikenal di Taiwan sejak 1947, dengan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi Taiwan yang disebut Council of Grand Justice berdasarkan Konstitusi Republik Cina
(Taiwan) 1947.[1] Council of Grand Justice ini
merupakan bagian dari Judicial Yuan
(Kekuasaan Kehakiman) yang terdiri dari Supreme
Court (Mahkamah Agung) dan Council of
Grand Justice sendiri, sebuah komposisi
kekuasaan kehakiman yang mirip dengan Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Meskipun telah ada
sejak terbentuknya Konstitusi 1947, lembaga pengujian konstitusional disana
tidak berfungsi atau mengalami stagnasi dalam waktu yang cukup lama dengan
diberlakukannya hukum darurat militer (martial
law) dibawah rezim otoriter Kuomintang sejak 1949-1987. Keadaan itu baru
berubah ketika otoritarianisme Taiwan berakhir dan memasuki masa transisi yang
mulai berlangsung sejak 1991.[2]
Berdasarkan
Perubahan Keempat Konstitusi Taiwan 1947,[3]
Council of Grand Justice (MK Taiwan)
beranggotakan 15 orang hakim yang
wewenang pemilihan dan pengangkatannya ada ditangan Presiden. Namun dalam pengangkatan
hakim MK Taiwan, Presiden membentuk semacam komisi pemilihan yang diketuai oleh
Wakil Presiden. Komisi Pemilihan itulah yang nanti akan melakukan segala proses
rekrutmen. Hasil akhirnya yaitu berupa daftar nama-nama yang diajukan kepada
Presiden untuk dipilih dan diangkat. Suatu prosedur rekrutmen yang sangat mirip
dengan yang berlaku di Indonesia, khususnya untuk 3 hakim konstitusi yang
diangkat dari jalur pemerintah/presiden. Masa jabatan hakim MK Taiwan adalah 8
tahun dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali. Setiap empat tahun sekali
terjadi pergantian terhadap setengah dari jumlah hakim yang ada bersamaan
dengan siklus Pemilihan Presiden.[4]
Berdasarkan Pasal 78
Konstitusi Taiwan, MK Taiwan mempunyai dua yurisdiksi kewenangan, yaitu:
1.
Melakukan
penafsiran terhadap norma-norma konstitusi; dan
2.
Melakukan
kesatuan penafsiran (unified
interpretation) terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaannya (ordinance).
Berdasarkan kewenangannya
diatas maka kewenangan MK Taiwan torgolong sangat terbatas, yaitu hanya
mencakup kewenangan dibidang pengujian konstitusional saja. Secara normatif,
sesuai dengan ketentuan Konstitusi 1947, pengujian ini pun sebenarnya hanya
berupa tafsir konstitusional saja, hanya saja tafsir itu kemudian dapat diikuti
dengan pembatalan (annulment) norma
yang diuji apabila dianggap inkonstitusional.
Yang menarik dari
sistem pengujian konstitusional Taiwan adalah menyangkut objek pengujiannya
yang tidak terbatas pada legislative acts
(undang-undang) dan executive acts (peraturan
perundang-undangan pelaksanaan undang-undang) saja tetapi juga mencakup
pengujian terhadap norma konstitusi itu sendiri, terutama norma hasil
perubahan.
Dalam hal
pengujian/penafsiran terhadap norma konstitusi, yang mempunyai legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat umum.
Penafsiran terhadap
norma konstitusi hasil perubahan yang kemudian diikuti dengan pembatalan pernah
dilakukan oleh MK Taiwan. Ketika itu MK Taiwan menguji dan akhirnya membatalkan
Pasal 1 Additional Articles hasil
perubahan Konstitusi Taiwan yang mengatur mengenai tata cara pemilihan anggota
Majelis Nasional.[5] Pasal 1 AA hasil Perubahan
Konstitusi yang ditetapkan oleh Majelis Nasional itu memuat ketentuan perpanjangan
masa jabatan dari Anggota Kamar Ketiga Majelis Nasional dan Kamar Keempat
Legislative Yuan. Oleh Pemohon, yaitu lebih dari 100 Anggota Legislative Yuan,
ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.
Melalui Putusan
(Interpretasi) No. 499 Tahun 2000
(interpretation 499 of 2000), MK Taiwan akhirnya menyatakan Pasal 1 Additional Articles (Aturan Tambahan)
hasil perubahan Konstitusi bertentangan dengan konstitusi itu sendiri dan oleh
karenanya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 30 Juni 2002.[6]
Di dalam pertimbangan hukumnya MK Taiwan menyatakan bahwa:
“The term extension for delegates of
National Assembly and the members of Legislative Yuan is not justified under
the Constitution, nor is it in conformity with the fundamental principle laid
out herein.”[7]
Sementara dalam hal pengujian/penafsiran (unified interpretation) terhadap
undang-undang dan peraturan pelaksaannya (ordinance),
mula-mula hanya lembaga pemerintah yang mempunyai legal standing untuk dapat mengajukan permohonan yang dimaksud.
Mengenai hal itu Tom Ginsburg menjelaskan bahwa tujuan dilakukannya kesatuan
penafsiran oleh MK Taiwan ialah untuk menegakan konsistensi antara peraturan
yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, khususnya dalam rangka
efisiensi penggunaan kekuasaan administratif pemerintahan. Itulah sebabnya
mengapa awalnya hanya lembaga pemerintah yang diberikan hak untuk memohon
penafsiran tersebut.[8]
Akan tetapi dalam perkembangannya MK Taiwan kemudian
membuka keran permohonan pengujian/penafsiran ini bagi Permohon Perorangan
(masyarakat). Berdasarkan Article 5
Paragraph ke-2 Hukum Acara MK Taiwan,[9] Pemohon
Perorangan dapat mengajukan permohonan pengujian konstitusional atas suatu
undang-undang atau peraturan pelaksanaannya apabila yang bersangkutan
menganggap hak konstitusionalnya telah sedemikian terlanggar. Namun demikian
permohonan itu baru dapat diajukan apabila seluruh upaya hukum biasa telah
selesai ditempuh. Apabila dicermati pengujian ini lebih mirip dengan mekanisme constitutional complaint seperti yang
berlaku di Austria, Jerman, dan negara-negara lain yang mengadopsi sistem constitutional complaint.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka MK Taiwan hanya melaksanakan interpretasi (pengujian)
terhadap norma abstrak (abstract norm
review) dan tidak memiliki wewenang untuk memutus legalitas atau
konstitusionalitas perkara konkret tertentu.[10]
Sementara Putusannya (MK Taiwan) bersifat final dan mengikat serta berlaku
secara prospektif (berlaku kedepan tidak berlaku surut).
[1] Sejak pertama kali
diberlakukan pada 1947 hingga kini, Konstitusi Taiwan 1947 telah mengalami 5
kali perubahan.
[2] Ibid. hlm. 107.
[3] Perubahan Keempat
Konstitusi Taiwan 1947 disahkan pada tahun 1997.
[4] Ketentuan ini dimaksudkan
agar Presiden terpilih mempunyai kesempatan untuk dapat mengisi setengah dari
jumlah kursi hakim MK Taiwan.
[5] Perubahan Konstitusi
itu sendiri merupakan hasil karya Majelis Nasional karena Majelis Nasional
itulah yang oleh Konstitusi Taiwan ditunjuk sebagai satu-satunya lembaga
tertinggi yang memiliki kewenangan untuk mengadakan perubahan.
[6] Putusan No. 499 Tahun
2000 ini diterbitkan/diucapkan pada tanggal 24 Maret 2000.
[7] Lihat Jimly
Asshiddiqie dan Ahmad Syarizal, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.
123.
[8] Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies;
Constitutional Court in Asian Case, Princeton University Press, New Jersey,
2003, hlm. 123.
[9] Article 5 Paragraph ke-2 Law of Procedure (Hukum Acara MK Taiwan)
merupakan bagian dari Hukum Acara MK Taiwan hasil revisi tahun 1993. Jadi
setelah tahun 1993 dibuka kemungkinan bagi Perorangan untuk mengajukan
permohonan constitutional review atau judicial
review.
[10] Sean Cooney dalam
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm.
131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar