Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 03 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Korea Selatan



Pengujian Konstitusional di Korea Selatan dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi 1987 (Republik Keenam). Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (MK Korsel) resmi terbentuk pada 1988 setelah dikeluarkannya undang-undang tentang MK sebagai pelaksanaan atas ketentuan Konstitusi 1987 yang mengatur mengenai MK.
Secara kelembagaan, MK Korsel terdiri atas 9 orang hakim konstitusi. Model perekrutannya sangat mirip dengan yang berlaku di Indonesia, yaitu dipilih oleh Presiden, Majelis Nasional (DPR), dan Mahkamah Agung. Masing-masing lembaga tersebut memilih 3 orang hakim konstitusi. Yang berbeda dengan Indonesia ialah dalam hal pemilihan ketuanya, di Indonesia Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh anggota MK, tetapi di Korsel, Ketua dipilih oleh Presiden setelah memperoleh persetujuan Majelis Nasional. Masa bakti hakim konstitusi adalah 9 tahun dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali.[1]
Berdasarkan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan 1987, MK Korsel memiliki kewenangan sebagai berikut:
1.        Pengujian undang-undang terhadap Konstitusi atas permintaan pengadilan/hakim;
2.        Impeachment (pemakzulan)
3.        Memutus pembubaran partai politik;
4.        Memutus permohonan individual (constitutional complaint)
Berdasarkan ketentuan Pasal 111 Konstitusi Korea Selatan 1987 sebagaimana telah diuraikan diatas, pengujian konstitusional di Korsel hanya mencakup pengujian norma konkret (concrete norm review) atas suatu undang-undang yang telah menjelma dalam kasus konkret yang sedang ditangani/diselesaikan di pengadilan.
 Dalam pada itu, permohonan pengujian konstitusionalitas dapat diajukan baik oleh hakim yang sedang menangani kasus yang dimaksud atau oleh Para Pihak sendiri apabila hakim menolak untuk mengajukan permohonan yang dimaksud kepada MK.[2]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek pengujian konstitusional di MK terbatas hanya pada undang-undang saja. Sedangkan pengujian legalitas dan/atau konstitusionalitas atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, keputusan administratif, dan tindakan pemerintah (executive exercise) menjadi kewenangan/yurisdiksi daripada Supreme Court (Mahkamah Agung) Korea Selatan yang putusannya bersifat final.[3]
Berdasarkan konstruksi yang digambarkan diatas maka dapat dikatakan bahwa sebetulnya pengujian konstitusional di Korea Selatan terbagi atau dibagi menjadi dua, yaitu:
1.        Pengujian konstitusional atas undang-undang terhadap konstitusi; dan
2.      Pengujian konstitusional atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, keputusan dan tindakan administratif pemerintah terhadap konstitusi.
Pengujian Konstitusionalitas atas suatu undang-undang terhadap konstitusi dilaksanakan dan merupakan kewenangan MK. Sedangkan pengujian konstitusional yang disebut terakhir dilaksanakan dan merupakan kewenangan MA. Sistem yang berlaku di Korsel ini sangat unik dan tidak lazim ditemui di negara-negara lain yang mengadopsi sistem pengujian konstitusional dengan membentuk MK, karena biasanya pengujian konstitusional itu dipusatkan dan menjadi kewenangan ekslusif Mahkamah Konstitusi.[4]
Putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan bersifat final dan terakhir serta mengikat umum (erga omnes). Artinya tidak dimungkinkan adanya upaya hukum terhadap putusan yang telah dikeluarkan MK Korsel.



[1] Vide Pasal 11 Konstitusi Korea Selatan.
[2] Vide Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (Korea Selatan).
[3] Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 107 ayat (2) Konstitusi Korea Selatan.
[4] Bandingkan sistem yang berlaku di Korea Selatan ini dengan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pengujian peraturan perundang-undangan dalam arti judicial review memang dibagi menjadi dua, yaitu pengujian legalitas berupa penguijan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang-undang terhadap undang-undang yang kewenangannya dimiliki oleh MA dan pengujian konstitusionalitas berupa pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya ada pada MK. Dengan demikian Di Indonesia, pengujian konstitusional tetap menjadi kewenangan eksklusif MK, sedangkan MA hanya berwenang melakukan pengujian legalitas. Sementara di Korea Selatan, MA juga diberi wewenang untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap peraturan dibawah undang-undang, keputusan administratif, dan tindakan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar