Pengujian Konstitusional di Korea Selatan dilaksanakan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi 1987 (Republik
Keenam). Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (MK Korsel) resmi terbentuk pada
1988 setelah dikeluarkannya undang-undang tentang MK sebagai pelaksanaan atas
ketentuan Konstitusi 1987 yang mengatur mengenai MK.
Secara kelembagaan, MK Korsel terdiri atas 9 orang hakim
konstitusi. Model perekrutannya sangat mirip dengan yang berlaku di Indonesia,
yaitu dipilih oleh Presiden, Majelis Nasional (DPR), dan Mahkamah Agung. Masing-masing
lembaga tersebut memilih 3 orang hakim konstitusi. Yang berbeda dengan
Indonesia ialah dalam hal pemilihan ketuanya, di Indonesia Ketua dan Wakil
Ketua MK dipilih dari dan oleh anggota MK, tetapi di Korsel, Ketua dipilih oleh
Presiden setelah memperoleh persetujuan Majelis Nasional. Masa bakti hakim
konstitusi adalah 9 tahun dan setelahnya tidak dapat dipilih kembali.[1]
Berdasarkan Pasal 111 ayat (1) Konstitusi Korea Selatan
1987, MK Korsel memiliki kewenangan sebagai berikut:
1.
Pengujian undang-undang
terhadap Konstitusi atas permintaan pengadilan/hakim;
2.
Impeachment
(pemakzulan)
3.
Memutus pembubaran
partai politik;
4.
Memutus permohonan
individual (constitutional complaint)
Berdasarkan
ketentuan Pasal 111 Konstitusi Korea Selatan 1987 sebagaimana telah diuraikan
diatas, pengujian konstitusional di Korsel hanya mencakup pengujian norma
konkret (concrete norm review) atas
suatu undang-undang yang telah menjelma dalam kasus konkret yang sedang
ditangani/diselesaikan di pengadilan.
Dalam pada itu, permohonan pengujian
konstitusionalitas dapat diajukan baik oleh hakim yang sedang menangani kasus
yang dimaksud atau oleh Para Pihak sendiri apabila hakim menolak untuk mengajukan
permohonan yang dimaksud kepada MK.[2]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa objek pengujian konstitusional di MK terbatas
hanya pada undang-undang saja. Sedangkan pengujian legalitas dan/atau
konstitusionalitas atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang,
keputusan administratif, dan tindakan pemerintah (executive exercise) menjadi kewenangan/yurisdiksi daripada Supreme Court (Mahkamah Agung) Korea
Selatan yang putusannya bersifat final.[3]
Berdasarkan
konstruksi yang digambarkan diatas maka dapat dikatakan bahwa sebetulnya
pengujian konstitusional di Korea Selatan terbagi atau dibagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Pengujian
konstitusional atas undang-undang terhadap konstitusi; dan
2.
Pengujian konstitusional atas peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang, keputusan dan tindakan administratif
pemerintah terhadap konstitusi.
Pengujian Konstitusionalitas
atas suatu undang-undang terhadap konstitusi dilaksanakan dan merupakan
kewenangan MK. Sedangkan pengujian konstitusional yang disebut terakhir
dilaksanakan dan merupakan kewenangan MA. Sistem yang berlaku di Korsel ini
sangat unik dan tidak lazim ditemui di negara-negara lain yang mengadopsi
sistem pengujian konstitusional dengan membentuk MK, karena biasanya pengujian
konstitusional itu dipusatkan dan menjadi kewenangan ekslusif Mahkamah
Konstitusi.[4]
Putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan bersifat final
dan terakhir serta mengikat umum (erga omnes). Artinya tidak dimungkinkan
adanya upaya hukum terhadap putusan yang telah dikeluarkan MK Korsel.
[1] Vide Pasal 11
Konstitusi Korea Selatan.
[2] Vide Pasal 68 ayat (2)
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (Korea Selatan).
[3] Ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 107 ayat (2) Konstitusi Korea Selatan.
[4] Bandingkan sistem yang
berlaku di Korea Selatan ini dengan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 24, Pasal
24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pengujian peraturan
perundang-undangan dalam arti judicial
review memang dibagi menjadi dua, yaitu pengujian legalitas berupa
penguijan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang-undang terhadap
undang-undang yang kewenangannya dimiliki oleh MA dan pengujian
konstitusionalitas berupa pengujian undang-undang terhadap UUD yang
kewenangannya ada pada MK. Dengan demikian Di Indonesia, pengujian
konstitusional tetap menjadi kewenangan eksklusif MK, sedangkan MA hanya
berwenang melakukan pengujian legalitas. Sementara di Korea Selatan, MA juga
diberi wewenang untuk melakukan pengujian konstitusional terhadap peraturan
dibawah undang-undang, keputusan administratif, dan tindakan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar