Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 03 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Perancis



Dalam banyak hal Perancis membangun kekhasan sistem hukumnya sendiri yang berbeda dari negara lainnya, tidak terkecuali dalam soal pengujian konstitusional. Berbeda dengan negara eropa kontinental lainnya yang mengembangkan model pengujian konstitusional dengan membentuk mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, Perancis mengembangkan variannya tersendiri dalam soal pengujian konstitusional, yaitu dengan membentuk Conseil Constitutionnel (Dewan Konstitusi).[1]
Jadi meskipun sama-sama menganut model yang terpusat (centralized model) seperti di negara-negara eropa kontinental lainnya, namun terdapat perbedaan dalam soal kelembagaan yang berwenang mengujianya. Di Perancis, Dewan Konstitusi secara yuridis konstitusional bukanlah lembaga peradilan atau kehakiman. Itulah sebabnya kita lebih mudah untuk menyebutnya sebagai lembaga politis yang memiliki fungsi yudisial daripada sebaliknya, lembaga yudisial yang memiliki fungsi politis.[2] Kesimpulan itu setidak-tidaknya didasarkan pada tiga alasan utama, yaitu:
1.    Pengaturan mengenai Dewan Konstitusi secara konstitusional berdasarkan  Konstitusi Perancis diletakan dalam Bab tersendiri diluar Bab yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu diletakan pada Bab VII. Sedangkan perihal kekuasaan kehakiman diatur secara tersendiri dalam Bab VIII.[3]
2.    Anggota Dewan Konstitusi bukanlah hakim dan tidak pula dipersyaratkan harus berpendidikan hukum. Sebagaimana dapat dibaca dalam Konstitusi Perancis dan Undang-Undang yang mengatur tentang Dewan Konstitusi Perancis, tidak ada satu pun penyebutan yang menunjukan bahwa anggota Dewan Konstitusi adalah hakim. Demikian juga untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi, tidak dipersyaratkan keharusan berpendidikan hukum sebagaimana hal tersebut telah menjadi keharusan untuk seseorang dapat menjadi hakim dimana pun di dunia.[4]
3.        Secara historis dibentuknya Dewan Konstitusi justru merupakan hasil kompromi antara dua arus pemikiran yang saling kontradiktif; prinsip supremasi parlemen sebagai cermin kedaulatan rakyat serta ketidakpercayaan (untrust) pada lembaga peradilan di satu sisi dengan kebutuhan akan penegakan hukum dasar yang tertuang dalam konstitusi dan prinsip check and balances terhadap Parlemen yang sangat berkuasa di sisi yang lain. Oleh karena itu sejak awal pembentukannya, Dewan Konstitusi memang tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman.[5]
Dewan Konstitusi “diawaki” oleh delapan (8) anggota biasa dan satu (1) orang Presiden. Jadi jumlah anggotanya 9 orang. 3 orang anggotanya diangkat oleh Presiden, 3 lainnya oleh Ketua Majelis Nasional, dan 3 orang lainnya diangkat oleh Ketua Senat. Jabatan anggota Dewan Konstitusi 9 tahun dan tidak dapat dipilih lagi setelahnya.[6]
Berdasarkan Konstitusi Republik Perancis Kelima Tahun 1958 (berikut perubahannya) secara garis besar dapat dikatakan bahwa Dewan Konstitusi Perancis memiliki kompetensi/kewenangan sebagai berikut:
1.        Mengadili sengketa Pemilu[7]
2.    Memberi nasehat kepada Presiden, baik ketika Presiden menggunakan kekuasaannya mengatasi keadaan darurat maupun dalam menetapkan aturan yang dikeluarkan setelah ditetapkannya keadaan darurat[8]
3.        Menguji Konstitusionalitas Perjanjian Internasional (treaties).[9]
4.        Menguji Konstitusionalitas RUU Organik dan Peraturan Tata Tertib Parlemen.[10]
Berdasarkan kewenangan-kewenangan yang disebut diatas, yang tergolong ke dalam kewenangan pengujian konstitusional adalah kewenangan nomor 3 dan nomor 4.[11] Dengan demikian Pengujian Konstitusional di Perancis meliputi pengujian terhadap:
a.         Rancangan Undang-Undang Organik dan RUU lainnya (RUU biasa);
b.        Peraturan Tata Tertib Parlemen; dan
c.         Perjanjian Internasional.[12]
Sebagaimana dikenal luas, sistem pengujin konstitusional yang dipraktekan oleh Dewan Konstitusi Perancis memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda dari sistem pengujian yang lazimnya berlaku di negara-negara lain. Di Perancis, ruang lingkup pengujian konstitusionalnya hanya mencakup a priori review atau preventive review, yaitu menguji suatu RUU yang telah diterima/disetujui oleh Parlemen namun belum diundangkan.
Jadi yang diuji bukanlah undang-undang yang telah sah dan resmi berlaku, melainkan suatu RUU. Berdasarkan Pasal 61 Konstitusi Perancis, yang dapat mengajukan permohonan ini dibatasi hanya pada Presiden, Perdana Menteri, Ketua Majelis Nasional, Ketua Senate, atau 60 orang anggota legislatif atau 60 orang senator.
Pembatasan dalam soal rights on standing to sue kepada organ-organ tertentu dan tidak diberikan kepada masyarakat umum dapat dimengerti dengan argumentasi bahwa RUU tersebut belum berlaku sehingga belum menimbulkan akibat hukum apa-apa bagi masyarakat. Sementara penyaluran hak untuk mengajukan pengujian itu kepada organ-organ sebagaimana disebut diatas diberikan sebagai bagian dari upaya check and balances dalam proses legislasi di Perancis. Jadi bagi kelompok minoritas di Parlemen Perancis yang tidak menyetujui adanya sutau RUU dengan alasan tidak sesuai dengan Konstitusi, dapat menyalurkan pendapatnya tersebut melalui pengajian konstitusional kepada Dewan Konstitusi.
Sistem pengujian konstitusional di Perancis membedakan antara pengujian RUU Organik dengan RUU biasa. Yang dimaksud dengan RUU Organik adalah suatu RUU yang dibentuk atas perintah langsung konstitusi, artinya sumber kewenangan pembentukannya berasal langsung dari konstitusi dan biasanya menyangkut hal-hal yang pokok-pokok atau mendasar seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Pemilu, dan banyak lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang biasa adalah undang-undang yang dibentuk tanpa adanya perintah langsung dari konstitusi, singkatnya semua undang-undang yang tidak masuk kategori undang-undang organik.[13]
Terhadap RUU yang masuk dalam kategori RUU Organik, pengujiannya bersifat wajib. Parlemen yang telah menerima/menyetujui sebuah RUU Organik untuk menjadi undang-undang wajib menyampaikan RUU yang dimaksud kepada Dewan Konstitusi untuk diuji konstitusionalitasnya. Artinya setiap RUU organik pastilah harus melewati pengujian oleh Dewan Konstitusi terlebih dahulu sebelum diundangkan menjadi undang-undang. Sementara untuk pengujian RUU biasa, sifat pengujiannya tidak wajib, kasuistis. Tidak setiap RUU biasa harus diajukan kepada Dewan Konstitusi untuk diuji. Hanya RUU yang dianggap inkonstitusional saja yang mungkin akan diajukan kepada Dewan Konstitusi.
Sementara alasan mengapa peraturan internal Parlemen (Majelis Nasional dan Senat) tentang Tata Tertib (pen: di Indonesia Tata Tertib DPR dan Tata Tertib DPD) menjadi salah satu yurisdiksi daripada Dewan Konstitusi, jawaban akan hal itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang mengenai Parlemen itu sendiri. Dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa pengalaman yang terjadi di Perancis pada masa Republik Ketiga dan Keempat, regulasi internal Parlemen menempati kedudukan yang supreme. Seringkali peraturan internal Parlemen itu mengatur hal-hal yang sangat penting dan bahkan jauh lebih pokok daripada yang diatur dalam konstitusi, seperti misalnya tata cara perubahan konstitusi. Belajar dari kesalahan itu maka melalui pembaruan Konstitusi Perancis pada 1958, peraturan internal Parlemen tentang Tata Tertib dimasukan sebagai objek pengujian konstitusional dan menjadi yurisdiksi Dewan Konstitusi untuk mengujinya.[14]
Selain pengujian secara preventif (a priori abstract review), di Perancis tidak dikenal adanya pengujian terhadap undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan (posteriori absctract review), apalagi pengujian konkret yang berasal dari kasus-kasus konkret di pengadilan-pengadilan.
Adapun mengenai sifat Putusan Dewan Konstitusi, Putusan Dewan Konstitusi Perancis bersifat final dan mengikat semua lembaga yang memiliki otoritas publik. Terhadap Putusan Dewan Konstitusi, tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun.




[1] I Dewa Gede Palguna, , Constitutional Complaint (Pengaduan Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 352.
[2] Banyak diantara ahli dan sepertinya telah menjadi semacam comminis opinio docturum (kesepakatan diantara para ahli) bahwa Mahkamah Konstitusi, meskipun ia adalah lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman) namun karena yurisdiksinya adalah yursidiksi konstitusional yang sangat dekat dengan area politik maka Mahkamah Konstitusi juga seringkali disebut sebagai lembaga peradilan yang bersifat politis. Mengenai pernyataan-pernyataan para ahli mengenai hal ini salah satunya dapat dilihat misalnya pendapat Mauro Cappelleti yang menyatakan bahwa “The exercise of judicial review, however, i quite different from usual judication function of applying the law ..... therefore the task of fullfiling a constitution often demands  a higher sense of discretion than the task of interpreting ordinary statutes.” Lihat Mauro Cappelleti, The Judicial Process Comperative Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 143-144.
[3] Lihat Konstitusi Perancis Bab VII dan Bab VIII.
[4] Meskipun tidak dipersyaratkan berpendidikan hukum tapi dalam kenyataan selalu ada Anggota Dewan Konstitusi yang berlatar belakang pendidikan hukum, Lihat Alec Stone Sweet, Governing with Judges, Oxford University Press, Oxford, 2000, hlm. 48.
[5] Mengenai alasan-alasan mengapa dibentuk Dewan Konstitusi yang bukan lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi, dikemukakan juga oleh banyak ahli, salah satunya adalah John Bell. Ia mengemukakan bahwa ada dua alasan utama mengapa dibentuk Dewan Konstitusi bukan Mahkamah Konstitusi: Pertama, undang-undang merupakan cerminan kehendak umum (volonte generale) sehingga tidak mungkin diadakan pengujian konstitusionalitas atas suatu UU. Kedua, adanya prinsip pemisahan kekuasaan yang tidak memungkinkan lembaga peradilan menguji produk legislatif. Lihat dalam John Bell, French Constitutional Law, Clarendon Press, Oxford-New York, 1992, hlm. 29.
[6] Vide Pasal 56 Konstitusi Perancia1958.
[7] Vide Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Konstitusi Perancis 1958.
[8] Berdasarkan Pasal 16 Konstitusi Perancis 1958, Presiden diwajibkan untuk meminta nasehat (official consultation) Dewan Konstitusi sebelum mengambil langkah-langkah dalam keadaan darurat.
[9] Menurut hukum Perancis, suatu traktat ada yang cukup ditandatangani oleh Presiden saja dan apa pula traktat yang memerlukan ratifikasi oleh Parlemen. Hal mana mirip dengan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan Berdasarkan Pasal 55 Konstitusi Perancis, suatu traktat yang telah diratifikasi maka ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari loi (undang-undang). Itulah sebabnya pengujian terlebih dahulu (prior review) oleh Dewan Konstitusi terhadap perjanjian internasional itu dianggap perlu. Karena meskipun suatu undang-undang tidak dapat dibatalkan dengan alasan bertentangan dengan traktat tetapi  pengadilan dapat menolak menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan traktat.
[10] Vide Pasal 61 Konstitusi Perancia 1958.
[11] Bandingkan dengan pendapat John Bell yang menyebut adanya 5 wilayah kewenangan Dewan Konstitusi Perancis dalam Vicki C, Jackson & Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, Second Edition, Fondation Press, New York, 2006, hlm. 514-516.
[12] Kewenangan Dewan Konstitusi menguji Perjanjian Internasional ini baru diadopsi melalui Perubahan Konstitusi pada tahun 1974.
[13] Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 136.
[14] Jimly Asshiddiqe dan Ahmad Zyahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 156.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar