Dalam banyak hal
Perancis membangun kekhasan sistem hukumnya sendiri yang berbeda dari negara
lainnya, tidak terkecuali dalam soal pengujian konstitusional. Berbeda dengan
negara eropa kontinental lainnya yang mengembangkan model pengujian
konstitusional dengan membentuk mahkamah konstitusi yang berdiri sendiri di
luar Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, Perancis
mengembangkan variannya tersendiri dalam soal pengujian konstitusional, yaitu
dengan membentuk Conseil Constitutionnel
(Dewan Konstitusi).[1]
Jadi meskipun
sama-sama menganut model yang terpusat (centralized
model) seperti di negara-negara eropa kontinental lainnya, namun terdapat
perbedaan dalam soal kelembagaan yang berwenang mengujianya. Di Perancis, Dewan
Konstitusi secara yuridis konstitusional bukanlah lembaga peradilan atau
kehakiman. Itulah sebabnya kita lebih mudah untuk menyebutnya sebagai lembaga
politis yang memiliki fungsi yudisial daripada sebaliknya, lembaga yudisial
yang memiliki fungsi politis.[2]
Kesimpulan itu setidak-tidaknya didasarkan pada tiga alasan utama, yaitu:
1. Pengaturan
mengenai Dewan Konstitusi secara konstitusional berdasarkan Konstitusi Perancis diletakan dalam Bab
tersendiri diluar Bab yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu diletakan
pada Bab VII. Sedangkan perihal kekuasaan kehakiman diatur secara tersendiri
dalam Bab VIII.[3]
2. Anggota
Dewan Konstitusi bukanlah hakim dan tidak pula dipersyaratkan harus
berpendidikan hukum. Sebagaimana dapat dibaca dalam Konstitusi Perancis dan
Undang-Undang yang mengatur tentang Dewan Konstitusi Perancis, tidak ada satu
pun penyebutan yang menunjukan bahwa anggota Dewan Konstitusi adalah hakim.
Demikian juga untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi, tidak dipersyaratkan
keharusan berpendidikan hukum sebagaimana hal tersebut telah menjadi keharusan
untuk seseorang dapat menjadi hakim dimana pun di dunia.[4]
3.
Secara
historis dibentuknya Dewan Konstitusi justru merupakan hasil kompromi antara
dua arus pemikiran yang saling kontradiktif; prinsip supremasi parlemen sebagai
cermin kedaulatan rakyat serta ketidakpercayaan (untrust) pada lembaga peradilan di satu sisi dengan kebutuhan akan
penegakan hukum dasar yang tertuang dalam konstitusi dan prinsip check and balances terhadap Parlemen
yang sangat berkuasa di sisi yang lain. Oleh karena itu sejak awal
pembentukannya, Dewan Konstitusi memang tidak dimaksudkan untuk menjadi lembaga
peradilan atau kekuasaan kehakiman.[5]
Dewan Konstitusi
“diawaki” oleh delapan (8) anggota biasa dan satu (1) orang Presiden. Jadi
jumlah anggotanya 9 orang. 3 orang anggotanya diangkat oleh Presiden, 3 lainnya
oleh Ketua Majelis Nasional, dan 3 orang lainnya diangkat oleh Ketua Senat.
Jabatan anggota Dewan Konstitusi 9 tahun dan tidak dapat dipilih lagi
setelahnya.[6]
Berdasarkan
Konstitusi Republik Perancis Kelima Tahun 1958 (berikut perubahannya) secara
garis besar dapat dikatakan bahwa Dewan Konstitusi Perancis memiliki
kompetensi/kewenangan sebagai berikut:
1.
Mengadili
sengketa Pemilu[7]
2. Memberi
nasehat kepada Presiden, baik ketika Presiden menggunakan kekuasaannya
mengatasi keadaan darurat maupun dalam menetapkan aturan yang dikeluarkan
setelah ditetapkannya keadaan darurat[8]
3.
Menguji
Konstitusionalitas Perjanjian Internasional (treaties).[9]
4.
Menguji
Konstitusionalitas RUU Organik dan Peraturan Tata Tertib Parlemen.[10]
Berdasarkan
kewenangan-kewenangan yang disebut diatas, yang tergolong ke dalam kewenangan
pengujian konstitusional adalah kewenangan nomor 3 dan nomor 4.[11]
Dengan demikian Pengujian Konstitusional di Perancis meliputi pengujian terhadap:
a.
Rancangan
Undang-Undang Organik dan RUU lainnya (RUU biasa);
b.
Peraturan
Tata Tertib Parlemen; dan
c.
Perjanjian
Internasional.[12]
Sebagaimana
dikenal luas, sistem pengujin konstitusional yang dipraktekan oleh Dewan
Konstitusi Perancis memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda dari sistem
pengujian yang lazimnya berlaku di negara-negara lain. Di Perancis, ruang
lingkup pengujian konstitusionalnya hanya mencakup a priori review atau preventive review, yaitu menguji suatu RUU
yang telah diterima/disetujui oleh Parlemen namun belum diundangkan.
Jadi
yang diuji bukanlah undang-undang yang telah sah dan resmi berlaku, melainkan
suatu RUU. Berdasarkan Pasal 61 Konstitusi Perancis, yang dapat mengajukan
permohonan ini dibatasi hanya pada Presiden, Perdana Menteri, Ketua Majelis
Nasional, Ketua Senate, atau 60 orang anggota legislatif atau 60 orang senator.
Pembatasan
dalam soal rights on standing to sue
kepada organ-organ tertentu dan tidak diberikan kepada masyarakat umum dapat
dimengerti dengan argumentasi bahwa RUU tersebut belum berlaku sehingga belum
menimbulkan akibat hukum apa-apa bagi masyarakat. Sementara penyaluran hak
untuk mengajukan pengujian itu kepada organ-organ sebagaimana disebut diatas
diberikan sebagai bagian dari upaya check
and balances dalam proses legislasi di Perancis. Jadi bagi kelompok
minoritas di Parlemen Perancis yang tidak menyetujui adanya sutau RUU dengan
alasan tidak sesuai dengan Konstitusi, dapat menyalurkan pendapatnya tersebut
melalui pengajian konstitusional kepada Dewan Konstitusi.
Sistem pengujian
konstitusional di Perancis membedakan antara pengujian RUU Organik dengan RUU
biasa. Yang dimaksud dengan RUU Organik adalah suatu RUU yang dibentuk atas
perintah langsung konstitusi, artinya sumber kewenangan pembentukannya berasal
langsung dari konstitusi dan biasanya menyangkut hal-hal yang pokok-pokok atau
mendasar seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Pemilu, dan banyak lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang biasa adalah undang-undang yang
dibentuk tanpa adanya perintah langsung dari konstitusi, singkatnya semua
undang-undang yang tidak masuk kategori undang-undang organik.[13]
Terhadap RUU yang
masuk dalam kategori RUU Organik, pengujiannya bersifat wajib. Parlemen yang
telah menerima/menyetujui sebuah RUU Organik untuk menjadi undang-undang wajib
menyampaikan RUU yang dimaksud kepada Dewan Konstitusi untuk diuji
konstitusionalitasnya. Artinya setiap RUU organik pastilah harus melewati
pengujian oleh Dewan Konstitusi terlebih dahulu sebelum diundangkan menjadi
undang-undang. Sementara untuk pengujian RUU biasa, sifat pengujiannya tidak
wajib, kasuistis. Tidak setiap RUU biasa harus diajukan kepada Dewan Konstitusi
untuk diuji. Hanya RUU yang dianggap inkonstitusional saja yang mungkin akan
diajukan kepada Dewan Konstitusi.
Sementara alasan
mengapa peraturan internal Parlemen (Majelis Nasional dan Senat) tentang Tata
Tertib (pen: di Indonesia Tata Tertib DPR dan Tata Tertib DPD) menjadi salah
satu yurisdiksi daripada Dewan Konstitusi, jawaban akan hal itu tidak bisa dilepaskan
dari sejarah panjang mengenai Parlemen itu sendiri. Dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie bahwa pengalaman yang terjadi di Perancis pada masa Republik Ketiga
dan Keempat, regulasi internal Parlemen menempati kedudukan yang supreme. Seringkali peraturan internal
Parlemen itu mengatur hal-hal yang sangat penting dan bahkan jauh lebih pokok
daripada yang diatur dalam konstitusi, seperti misalnya tata cara perubahan
konstitusi. Belajar dari kesalahan itu maka melalui pembaruan Konstitusi
Perancis pada 1958, peraturan internal Parlemen tentang Tata Tertib dimasukan
sebagai objek pengujian konstitusional dan menjadi yurisdiksi Dewan Konstitusi
untuk mengujinya.[14]
Selain pengujian
secara preventif (a priori abstract
review), di Perancis tidak dikenal adanya pengujian terhadap undang-undang
yang telah disahkan dan diundangkan (posteriori
absctract review), apalagi pengujian konkret yang berasal dari kasus-kasus
konkret di pengadilan-pengadilan.
Adapun mengenai
sifat Putusan Dewan Konstitusi, Putusan Dewan Konstitusi Perancis bersifat
final dan mengikat semua lembaga yang memiliki otoritas publik. Terhadap
Putusan Dewan Konstitusi, tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun.
[1] I Dewa Gede Palguna, , Constitutional Complaint (Pengaduan
Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 352.
[2] Banyak diantara ahli
dan sepertinya telah menjadi semacam comminis
opinio docturum (kesepakatan diantara para ahli) bahwa Mahkamah Konstitusi,
meskipun ia adalah lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman) namun karena
yurisdiksinya adalah yursidiksi konstitusional yang sangat dekat dengan area
politik maka Mahkamah Konstitusi juga seringkali disebut sebagai lembaga
peradilan yang bersifat politis. Mengenai pernyataan-pernyataan para ahli
mengenai hal ini salah satunya dapat dilihat misalnya pendapat Mauro Cappelleti
yang menyatakan bahwa “The exercise of
judicial review, however, i quite different from usual judication function of
applying the law ..... therefore the task of fullfiling a constitution often
demands a higher sense of discretion
than the task of interpreting ordinary
statutes.” Lihat Mauro Cappelleti, The
Judicial Process Comperative
Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 143-144.
[3] Lihat Konstitusi
Perancis Bab VII dan Bab VIII.
[4] Meskipun tidak
dipersyaratkan berpendidikan hukum tapi dalam kenyataan selalu ada Anggota
Dewan Konstitusi yang berlatar belakang pendidikan hukum, Lihat Alec Stone
Sweet, Governing with Judges, Oxford University
Press, Oxford, 2000, hlm. 48.
[5] Mengenai alasan-alasan
mengapa dibentuk Dewan Konstitusi yang bukan lembaga peradilan seperti Mahkamah
Konstitusi, dikemukakan juga oleh banyak ahli, salah satunya adalah John Bell.
Ia mengemukakan bahwa ada dua alasan utama mengapa dibentuk Dewan Konstitusi
bukan Mahkamah Konstitusi: Pertama, undang-undang merupakan cerminan kehendak
umum (volonte generale) sehingga
tidak mungkin diadakan pengujian konstitusionalitas atas suatu UU. Kedua,
adanya prinsip pemisahan kekuasaan yang tidak memungkinkan lembaga peradilan
menguji produk legislatif. Lihat dalam John Bell, French Constitutional Law, Clarendon Press, Oxford-New York, 1992,
hlm. 29.
[6] Vide Pasal 56
Konstitusi Perancia1958.
[7] Vide Pasal 58, Pasal
59, dan Pasal 60 Konstitusi Perancis 1958.
[8] Berdasarkan Pasal 16
Konstitusi Perancis 1958, Presiden diwajibkan untuk meminta nasehat (official consultation) Dewan Konstitusi
sebelum mengambil langkah-langkah dalam keadaan darurat.
[9] Menurut hukum
Perancis, suatu traktat ada yang cukup ditandatangani oleh Presiden saja dan
apa pula traktat yang memerlukan ratifikasi oleh Parlemen. Hal mana mirip
dengan yang berlaku di Indonesia. Sedangkan Berdasarkan Pasal 55 Konstitusi
Perancis, suatu traktat yang telah diratifikasi maka ia mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dari loi (undang-undang).
Itulah sebabnya pengujian terlebih dahulu (prior
review) oleh Dewan Konstitusi terhadap perjanjian internasional itu
dianggap perlu. Karena meskipun suatu undang-undang tidak dapat dibatalkan
dengan alasan bertentangan dengan traktat tetapi pengadilan dapat menolak menerapkan
undang-undang yang bertentangan dengan traktat.
[10] Vide Pasal 61
Konstitusi Perancia 1958.
[11] Bandingkan dengan
pendapat John Bell yang menyebut adanya 5 wilayah kewenangan Dewan Konstitusi
Perancis dalam Vicki C, Jackson & Mark Tushnet, Comparative Constitutional Law, Second Edition, Fondation Press, New York, 2006, hlm. 514-516.
[12] Kewenangan Dewan
Konstitusi menguji Perjanjian Internasional ini baru diadopsi melalui Perubahan
Konstitusi pada tahun 1974.
[13] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, hlm. 136.
[14] Jimly Asshiddiqe dan
Ahmad Zyahrizal, Peradilan Konstitusi di
10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar