Pengujian konstitusional
diterima dan diadopsi dalam Konstitusi Kerajaan Thailand 1997 dengan
dibentuknya Mahkamah Konstitusi Thailand. Tugas MK Thailand itu sendiri
sebagaimana teah menjadi khittah daripada Mahkamah Konstitusi di negara-negara
lain di dunia ialah melakukan pengujian konstitusionalitas atau judicial review terhadap berbagai norma
hukum, khususnya undang-undang.
Berkenaan dengan pentingnya
tugas pengujian konstitusional yang diemban oleh MK, Hene van Maarseven di
dalam sebuah penelitiannya mendapati kesimpulan bahwa dari semua konstitusi
negara-negara di dunia yang mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi, tugas
yang paling utama dari dibentuknya Mahkamah Konstitusi itu adalah untuk menyelenggarakan
judicial review.[1]
Secara konstitusional, dengan
merujuk pada ketentuan-ketentuan Konstitusi Kerajaan Thailand 1997 yang
mengatur perihal MK, dapat dikemukakan bahwa pada pokoknya MK Thailand memiliki
dua kewenangan utama:
1. Pengujian konstitusional
terhadap berbagai produk hukum untuk ditentukan konstitusionalitasnya; dan
2. Mengadili sengketa
kewenangan antar lembaga-lembaga negara.[2]
Akan
tetapi dalam praktek dan perkembangannya kemudian, kewenangan MK Thailand
diperluas melalui undang-undang.[3] Namun
demikian, yang akan dibahas disini hanya yang menyangkut kewenangan dalam hal
pengujian konstitusionalnya saja.
Jika
diringkas berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai MK Thailand,
baik dalam Konstitusi maupun undang-undang, maka kewenangan pengujian
konstitusional yang dimiliki MK Thailand ialah meliputi:
1.
Pengujian Rancangan
Undan-Undang dan Rancangan Undang-Undang Organik[4]
Pengujian terhadap Rancangan Undang-Undang dianggap sebagai
wewenang paling penting yang dimiliki MK Thailand. Pengujian ini dilakukan
terhadap suatu RUU yang telah disetujui oleh Majelis Nasional berdasarkan
ketentuan Pasal 93 Konstitusi namun belum diajukan oleh Perdana Menteri kepada
Raja untuk ditandatangani. Yang dapat mengajukan permohonan ini ialah ketua
dari masing-masing kamar Parlemen (House
of Representative dan Senat) dan Perdana Menteri.
2.
Pengujian terhadap
Peraturan Darurat sebelum diberlakukan
Peraturan
darurat adalah sebuah peraturan yang dibuat untuk menegakan keamanan nasional
atau dalam rangka melindungi ekonomi nasional dari ancaman bahaya.[5]
Pengujian
terhadap Peraturan Darurat dapat diajukan oleh 1/5 anggota House of
Representative atau 1/5 anggota Senat kepada MK dengan alasan bahwa Peraturan
Darurat itu tidak sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi.
Setelah
diperiksa oleh MK dan MK membenarkan alasan pemohon bahwa Peraturan Darurat itu
bertentangan dengan Konstitusi, maka Peraturan Darurat itu tidak mempunyai
kekuatan mengikat dan oleh karenanya tidak dapat diberlakukan.
3.
Pengujian terhadap
undang-undang
Dalam sistem pengujian konstitusional di Thailand, pengujian
terhadap undang-undang hanya mungkin diajukan dalam kerangka concrete review, artinya harus
berdasarkan kasus konkret. Manakala suatu undang-undang telah disahkan menjadi
undang-undang maka pintu untuk melakukan pengujian abstrak sudah tertutup.
Dalam hal ini yang dapat
mengajukan permohonan pada prinsipnya adalah pengadilan/hakim, yaitu dengan
mengajukan permohonan kepada MK untuk menilai dan memutus konstitusionalitas
sebuah undang-undang yang menjadi dasar dari kasus yang sedang diadilinya.
Namun selain hakim, inisiatif untuk mengajukan permohonan ini juga dapat berasal
dari para pihak dalam kasus yang bersangkutan atau dapat juga diajukan oleh
Ombudsman (berdasarkan ketentuan Pasal
198 Konstitusi).
Apabila MK memutus bahwa
undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan Konstitusi maka
undang-undang tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Jika dicermati, pengujian
terhadap RUU dan Peraturan daerah yang belum diberlakukan sebagaimana diuraikan
dalam poin nomor 1 dan 2, maka pengujian itu jatuh dalam kategori a priori abstract review, yaitu pengujian
terhadap suatu norma abstrak manakala norma itu masih berupa rancangan atau
belum berlaku. Sedangkan pengujian terhadap undang-undang sebagaimana diuraikan
pada poin nomor 3, ia termasuk kategori pengujian konkret, karena persoalan
konstitusionalitas itu berawal dan merupakan bagian dari kasus konkret yang
sedang diperiksa di pengadilan.
Putusan MK Thailand bersifat
final dan mengikat umum (erga omnes).
[1] Hene van Maarseven
dalam Tom Ginsburg, Judicial Review in
New Democracies; Constitutional Court in Asian Case, Princeton University
Press, New Jersey, 2003, hlm. 9.
[2] Asmara Raksasataya dan
James R. Klein dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syarizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm. 294.
[3] Ibid., hlm. 296.
[4] Yang dimaksud dengan
RUU Organik adalah RUU yang pembentukannya diperintahkan langsung oleh
Konstitusi.
[5] Vide Pasal 218
Konstitusi Kerajaan Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar