Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Selasa, 03 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Thailand



Pengujian konstitusional diterima dan diadopsi dalam Konstitusi Kerajaan Thailand 1997 dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Thailand. Tugas MK Thailand itu sendiri sebagaimana teah menjadi khittah daripada Mahkamah Konstitusi di negara-negara lain di dunia ialah melakukan pengujian konstitusionalitas atau judicial review terhadap berbagai norma hukum, khususnya undang-undang.
Berkenaan dengan pentingnya tugas pengujian konstitusional yang diemban oleh MK, Hene van Maarseven di dalam sebuah penelitiannya mendapati kesimpulan bahwa dari semua konstitusi negara-negara di dunia yang mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi, tugas yang paling utama dari dibentuknya Mahkamah Konstitusi itu adalah untuk menyelenggarakan judicial review.[1]
Secara konstitusional, dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan Konstitusi Kerajaan Thailand 1997 yang mengatur perihal MK, dapat dikemukakan bahwa pada pokoknya MK Thailand memiliki dua kewenangan utama:
1. Pengujian konstitusional terhadap berbagai produk hukum untuk ditentukan konstitusionalitasnya; dan
2.       Mengadili sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara.[2]
Akan tetapi dalam praktek dan perkembangannya kemudian, kewenangan MK Thailand diperluas melalui undang-undang.[3] Namun demikian, yang akan dibahas disini hanya yang menyangkut kewenangan dalam hal pengujian konstitusionalnya saja.
Jika diringkas berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai MK Thailand, baik dalam Konstitusi maupun undang-undang, maka kewenangan pengujian konstitusional yang dimiliki MK Thailand ialah meliputi:
1.        Pengujian Rancangan Undan-Undang dan Rancangan Undang-Undang Organik[4]
     Pengujian terhadap Rancangan Undang-Undang dianggap sebagai wewenang paling penting yang dimiliki MK Thailand. Pengujian ini dilakukan terhadap suatu RUU yang telah disetujui oleh Majelis Nasional berdasarkan ketentuan Pasal 93 Konstitusi namun belum diajukan oleh Perdana Menteri kepada Raja untuk ditandatangani. Yang dapat mengajukan permohonan ini ialah ketua dari masing-masing kamar Parlemen (House of Representative dan Senat) dan Perdana Menteri.
2.        Pengujian terhadap Peraturan Darurat sebelum diberlakukan
       Peraturan darurat adalah sebuah peraturan yang dibuat untuk menegakan keamanan nasional atau dalam rangka melindungi ekonomi nasional dari ancaman bahaya.[5]
     Pengujian terhadap Peraturan Darurat dapat diajukan oleh 1/5 anggota House of Representative atau 1/5 anggota Senat kepada MK dengan alasan bahwa Peraturan Darurat itu tidak sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi.
       Setelah diperiksa oleh MK dan MK membenarkan alasan pemohon bahwa Peraturan Darurat itu bertentangan dengan Konstitusi, maka Peraturan Darurat itu tidak mempunyai kekuatan mengikat dan oleh karenanya tidak dapat diberlakukan.
3.        Pengujian terhadap undang-undang
       Dalam sistem pengujian konstitusional di Thailand, pengujian terhadap undang-undang hanya mungkin diajukan dalam kerangka concrete review, artinya harus berdasarkan kasus konkret. Manakala suatu undang-undang telah disahkan menjadi undang-undang maka pintu untuk melakukan pengujian abstrak sudah tertutup.
Dalam hal ini yang dapat mengajukan permohonan pada prinsipnya adalah pengadilan/hakim, yaitu dengan mengajukan permohonan kepada MK untuk menilai dan memutus konstitusionalitas sebuah undang-undang yang menjadi dasar dari kasus yang sedang diadilinya. Namun selain hakim, inisiatif untuk mengajukan permohonan ini juga dapat berasal dari para pihak dalam kasus yang bersangkutan atau dapat juga diajukan oleh Ombudsman (berdasarkan ketentuan Pasal 198 Konstitusi).
Apabila MK memutus bahwa undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan Konstitusi maka undang-undang tersebut batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Jika dicermati, pengujian terhadap RUU dan Peraturan daerah yang belum diberlakukan sebagaimana diuraikan dalam poin nomor 1 dan 2, maka pengujian itu jatuh dalam kategori a priori abstract review, yaitu pengujian terhadap suatu norma abstrak manakala norma itu masih berupa rancangan atau belum berlaku. Sedangkan pengujian terhadap undang-undang sebagaimana diuraikan pada poin nomor 3, ia termasuk kategori pengujian konkret, karena persoalan konstitusionalitas itu berawal dan merupakan bagian dari kasus konkret yang sedang diperiksa di pengadilan.
Putusan MK Thailand bersifat final dan mengikat umum (erga omnes).
                                  



[1] Hene van Maarseven dalam Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies; Constitutional Court in Asian Case, Princeton University Press, New Jersey, 2003, hlm. 9.
[2] Asmara Raksasataya dan James R. Klein dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syarizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 294.
[3] Ibid., hlm. 296.
[4] Yang dimaksud dengan RUU Organik adalah RUU yang pembentukannya diperintahkan langsung oleh Konstitusi.
[5] Vide Pasal 218 Konstitusi Kerajaan Thailand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar