Austria dikenal luas
sebagai negara pertama yang mempelopori pembentukan Mahkamah Konstitusi yang
fungsi utamanya ialah menegakan supremasi konstitusi melalui pengujian
konstitusional terhadap segala produk hukum yang dianggap bertentangan
dengannya. Gambaran mengenai supremasi konstitusi ini dilukiskan secara singkat
oleh seorang jurist kenamaan asal Perancis Abbe de Sieyes yang mengatakan “A constitution is a body of obligatory
laws, or it is nothing.”[1]
Mula-mula, gagasan
mengenai pelembagaan pengujian konstitusional atau judicial review di Austria dilontarkan oleh sarjana hukum Austria
yang terkenal Georg Jellinek (akhir abad ke 19). Ia menggagas pelembagaan
fungsi constitutional review ke dalam
tubuh Mahkamah Agung Austria.[2]
Namun ide dan gagasannya itu kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya yang
bernama Hans Kelsen. Oleh Hans Kelsen ide pelembagaan constitutional review itu
dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak hanya dilekatkan dan menjadi
kewenangan MA seperti yang ada di AS, melainkan dengan membentuk lembaga
tersendiri yang disebut Mahkamah Konstitusi.
Gagasan Hans Kelsen
mengenai pembentukan sebuah lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung itu
kemudian menemui momentumnya manakala ia ditunjuk sebagai Chancelery (Anggota Tim Penasehat Penyusun Konstitusi Austria pada
tahun 1919). Konstitusi yang mulai disusun tahun 1919 itu sendiri kemudian
berhasil dirampungkan dan disahkan sebagai Konstitusi pertama Autria pasca berpisah
dari Kekaisaran Austro-Hongarian setelah Perang Dunia I pada tanggal 1 Oktober
1920 dengan nama resmi Bundesverfassungsgesetz (Konstitusi Federal Austria)[3]
Bersamaan dengan disahkannya
Konstitusi 1920 itulah lahir sebuah lembaga baru dengan fungsi yang juga baru
dalam sistem ketatanegaraan Austria, bahkan di dunia, yaitu dengan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi Austria (Bundesverfassungsgerichtshof).
Mahkamah ini memiliki wewenang ekslusif untuk melakukan pengujian konstitusional.
Sejak saat itu sejarah baru dalam bidang ketatanegaraan tercipta, yaitu dengan
dibentuknya sebuah organ kehakiman yang bernama Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung dengan fungsi utamanya melakukan
pengujian konstitusional.
Dalam sejarah
pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia, MK Austria (Bundesverfassungsgerichtshof) tercatat sebagai yang pertama di
dunia yang kemudian menjadi role model
bagi banyak negara lainnya.[4]
Mahkamah Konstitusi
Austria terdiri dari Presiden Mahkamah, Wakil Presiden Mahkamah dan 12 anggota,
sehingga kesemuanya jumlahnya 14 hakim. Disamping ke 14 hakim itu, terdapat 7
hakim pengganti yang siap mengisi atau menggantikan hakim yang sedang
berhalangan, sehingga diharapkan persidangan MK akan selalu dihadiri oleh 14
hakim secara lengkap (full bench).[5]
Berdasarkan
Konstitusi Austria, MK Austria memiliki cukup banyak kewenangan yang jika
dirangkum ialah sebagai berikut:[6]
1.
Pengujian
Konstitusional yang meliputi:
a.
Pengujian
UU, baik UU Federal maupun UU negara bagian terhadap UUD (Konstitusi);
b. Preventive review berdasarkan permohonan dari Pemerintah
Federal terhadap RUU negara bagian atau sebaliknya (dari Pemerintah Negara
Bagian terhadap RUU federal).
c. Pengujian
Peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU (biasanya merupakan
lempahan dari pengadilan umum dan PTUN);
d.
Pengujian
perjanjian internasional (secara umum);
e.
Pengujian
formil Konstitusi (terhadap hasil amandemen);
f.
Pengujian
Konstitusi Negara Bagian terhadap Konstitusi Federal;
2.
Memutus
sengketa hasil Pemilu Parlemen dan Presiden;
3. Memutus
sengketa kompetensi antara Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi serta seluruh
jenis peradilan lainnya;
4.
Memutus
perkara impeachment terhadap pejabat
tinggi negara; dan
5. Constitutional complaint (individual
complaint) sejak
1975 (namun tidak untuk menggugat putusan pengadilan).[7]
Sesuai dengan topik
dan pokok bahasan tulisan ini, maka pembahasan pada bagian ini akan di fokuskan
hanya pada kewenangan MK Austria di bidang pengujian konstitusional saja.
Pengujian
konstitusional yang berlaku dalam sistem Austria ini cukup luas jangkauannya,
yakni meliputi a priori review dan juga posteriori
review. A priori review atau
biasa disebut juga dengan istilah preventive
review ini berlaku terhadap suatu RUU ( undang-undang yang belum berlaku). Legal standing atau pihak yang dapat
mengajukan pengujian jenis ini terbatas hanya pada organ pemerintahan federal
dan pemerintahan negara bagian.[8]
Untuk jenis
pengujian yang tergolong dalam kategori posteriori
review (pengujian terhadap UU; setelah disahkan dan resmi menjadi UU) hanya
dapat diajukan dalam kerangka concrete
review. Artinya pengujian dapat diajukan dalam hal terdapat kasus konkret
yang dihadapi oleh Pemohon. Permohonan juga dapat diajukan atas inisiatif hakim
yang sedang menghadapi persoalan konstitusionalitas dari suatu norma hukum yang
menjadi dasar dalam perkara yang sedang ia tangani. Dalam hal yang demikian, maka hakim
mengajukan penyerahan/pelimpahan (judicial
referral) perkara konstitusionalitas tersebut kepada MK dan disertai dengan
penghentian atau penundaan pemeriksaan terhadap perkara yang dimaksud sampai
ada putusan MK. Namun kenyataan menunjukan bahwa perkara-perkara yang berasal
dari pelimpahan (referral) pengadilan
itu mayoritas tidak diterima oleh MK.[9]
Satu hal yang
menarik dan unik dari sistem pengujian konstitusional di Austria ini adalah
dimungkinkannya pengujian terhadap undang-undang secara aktif atas inisiatif
mahkamah sendiri apabila mahkamah menilai bahwa suatu undang-undang nyata-nyata
bertentangan dengan konstitusi dan keberadaannya tidak dapat ditolelir lagi.[10]
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, objek pengujian (objectum
litis) konstitusional di Austria ini terbilang cukup banyak apabila
dibandingkan dengan negara-negara lain, apalagi jika dibandingkan dengan
Indonesia yang MK-nya hanya dapat menguji UU terhadap UUD. Jika dirangkum, maka
objek atau norma hukum yang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK Austria
ini meliputi:
a.
RUU
Federal dan RUU Negara Bagian;
b.
UU
Federal dan UU Negara Bagian;
c.
UUD
Negara bagian;
d.
Perjanjian
Internasional;
e. Konstitusi
hasil perubahan/amandemen yang dilihat dan diuji secara formil (tata cara dan
prosedur pembentukannya); dan
f.
Peraturan
dibawah undang-undang (secondary
legislation).
Putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes), artinya tidak
dimungkinkan adanya perlawanan atau upaya hukum apa pun terhadap putusan
tersebut. Sifat putusan MK yang final dan erga
omnes ini memang merupakan sebuah kelaziman dalam peradilan konstitusi di semua negara di dunia,
tidak terkecuali Indonesia.
Dalam putusannya,
terutama dalam perkara pengujian konstitusional, MK Austria mengenal adanya dua
kategori putusan, yakni Putusan yang membatalkan sebagian isi undang-undang
yang diuji (biasanya dalam hal uji materiil) dan Putusan yang membatalkan suatu
undang-undang secara keseluruhan (biasanya dalam hal uji formil).
Selain itu, salah
satu ciri khas dari MK Austria ialah kewenangannya untuk menunda akibat hukum
dari suatu putusan hingga jangka waktu lebih dari 18 bulan. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan kepada legislator untuk memperbaiki
undang-undang/norma hukum yang telah dibatalkan untuk menghindari kekosongan
hukum.[11]
Bahkan pembatalan tersebut dapat juga diikuti pemberlakukan undang-undang lama
yang pernah berlaku sebelumnya. Namun dalam kenyataannya yang terakhir ini selalu
dihindari oleh MK.[12]
Daya
jangkau putusan MK Austria, sebagaimana lazimnya mahkamah-mahkamah konstitusi
di negara lain, bersifat prospektif atau berlaku kedepan (ex nunc). Tidak bersifat retroaktif atau berlaku surut (ex tunc).[13]
[1] Abbe de Sieyes dalam
Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial
Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective, Oxford
University Press, New York, 1992, hlm. 35.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24.
[3] Lihat Herbert
Hemauniger, The Austrian Legal System, Manzsche
Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hlm. 139.
[4] Mengenai penisbatan MK
Austria sebagai yang pertama di dunia, Maruarar Siahaan dengan merujuk pada pendapat
Herman Schwartz tidak sependapat akan hal ini, menurutnya sesuai dengan
kronologi pembentukannya, Mahkamah Konstitusi Cekoslowakia lah yang pertama
kali berdiri, yaitu pada Februari 1920. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Austria
baru terbentuk pada Oktober 1920 sesuai dengan waktu pengesahan Konstitusi
Austria. Akan tetapi Maruarar Siahaan tidak menampik bahwa gagasan pembentukan
MK yang tersendiri dan terpisah dari MA itu merupakan buah pemikiran Hans
Kelsen. Hanya saja menurutnya ide itu justru diadopsi dan diwujudkan lebih dulu
oleh Cekeslowakia. Lihat selengkapnya dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 3
[5] Vide Pasal 147
Konstitusi Austria.
[6] Vide Chapter VI
tentang “Constitutional and Administrative Guarantees” Khususnya pada Bagian D
tentang “Constitutional Court” dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 148.
[7] Vide Pasal 144
Konstitusi Austria.
[8] Vide Pasal 138 ayat
(2) Konstitusi Austria; Lihat juga Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi
Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 16.
[9] Herbert Hesmauninger, The Austrian Legal ....., Op. Cit., hlm.
157.
[10] Vide Pasal 140 ayat
(3) Konstutusi Austria.
[11] Jimly Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di 10 Negara ...., Op.
Cit., hlm. 20-21.
[12] Herbert Hesmauninger, Op. Cit., hlm. 146.
[13] Daya jangkau putusan
yang bersifat prospektif ini sangat berbeda dengan putusan pengujian
konstitusional di AS yang bersifat retroaktif. Lihat kembali bagian B tentang
Pengujian Konstitusional di Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar