Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 02 Februari 2015

Pengujian Konstitusional (Constitutional Review) di Austria



Austria dikenal luas sebagai negara pertama yang mempelopori pembentukan Mahkamah Konstitusi yang fungsi utamanya ialah menegakan supremasi konstitusi melalui pengujian konstitusional terhadap segala produk hukum yang dianggap bertentangan dengannya. Gambaran mengenai supremasi konstitusi ini dilukiskan secara singkat oleh seorang  jurist kenamaan asal Perancis Abbe de Sieyes yang mengatakan “A constitution is a body of obligatory laws, or it is nothing.”[1]
Mula-mula, gagasan mengenai pelembagaan pengujian konstitusional atau judicial review di Austria dilontarkan oleh sarjana hukum Austria yang terkenal Georg Jellinek (akhir abad ke 19). Ia menggagas pelembagaan fungsi constitutional review ke dalam tubuh Mahkamah Agung Austria.[2] Namun ide dan gagasannya itu kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya yang bernama Hans Kelsen. Oleh Hans Kelsen ide pelembagaan constitutional review  itu dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak hanya dilekatkan dan menjadi kewenangan MA seperti yang ada di AS, melainkan dengan membentuk lembaga tersendiri yang disebut Mahkamah Konstitusi.
Gagasan Hans Kelsen mengenai pembentukan sebuah lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung itu kemudian menemui momentumnya manakala ia ditunjuk sebagai Chancelery (Anggota Tim Penasehat Penyusun Konstitusi Austria pada tahun 1919). Konstitusi yang mulai disusun tahun 1919 itu sendiri kemudian berhasil dirampungkan dan disahkan sebagai Konstitusi pertama Autria pasca berpisah dari Kekaisaran Austro-Hongarian setelah Perang Dunia I pada tanggal 1 Oktober 1920 dengan nama resmi Bundesverfassungsgesetz  (Konstitusi Federal Austria)[3]
Bersamaan dengan disahkannya Konstitusi 1920 itulah lahir sebuah lembaga baru dengan fungsi yang juga baru dalam sistem ketatanegaraan Austria, bahkan di dunia, yaitu dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Austria (Bundesverfassungsgerichtshof). Mahkamah ini memiliki wewenang ekslusif untuk melakukan pengujian konstitusional. Sejak saat itu sejarah baru dalam bidang ketatanegaraan tercipta, yaitu dengan dibentuknya sebuah organ kehakiman yang bernama Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung dengan fungsi utamanya melakukan pengujian konstitusional.
Dalam sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia, MK Austria (Bundesverfassungsgerichtshof) tercatat sebagai yang pertama di dunia yang kemudian menjadi role model bagi banyak negara lainnya.[4]
Mahkamah Konstitusi Austria terdiri dari Presiden Mahkamah, Wakil Presiden Mahkamah dan 12 anggota, sehingga kesemuanya jumlahnya 14 hakim. Disamping ke 14 hakim itu, terdapat 7 hakim pengganti yang siap mengisi atau menggantikan hakim yang sedang berhalangan, sehingga diharapkan persidangan MK akan selalu dihadiri oleh 14 hakim secara lengkap (full bench).[5]
Berdasarkan Konstitusi Austria, MK Austria memiliki cukup banyak kewenangan yang jika dirangkum ialah sebagai berikut:[6]
1.        Pengujian Konstitusional yang meliputi:
a.         Pengujian UU, baik UU Federal maupun UU negara bagian terhadap UUD (Konstitusi);
b.    Preventive review berdasarkan permohonan dari Pemerintah Federal terhadap RUU negara bagian atau sebaliknya (dari Pemerintah Negara Bagian terhadap RUU federal).
c.    Pengujian Peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU (biasanya merupakan lempahan dari pengadilan umum dan PTUN);
d.         Pengujian perjanjian internasional (secara umum);
e.         Pengujian formil Konstitusi (terhadap hasil amandemen);
f.          Pengujian Konstitusi Negara Bagian terhadap Konstitusi Federal;
2.        Memutus sengketa hasil Pemilu Parlemen dan Presiden;
3.   Memutus sengketa kompetensi antara Peradilan Umum dan Peradilan Administrasi serta seluruh jenis peradilan lainnya;
4.        Memutus perkara impeachment terhadap pejabat tinggi negara; dan
5.      Constitutional complaint (individual complaint) sejak 1975 (namun tidak untuk menggugat putusan pengadilan).[7]
Sesuai dengan topik dan pokok bahasan tulisan ini, maka pembahasan pada bagian ini akan di fokuskan hanya pada kewenangan MK Austria di bidang pengujian konstitusional saja.
Pengujian konstitusional yang berlaku dalam sistem Austria ini cukup luas jangkauannya, yakni meliputi  a priori review dan juga  posteriori review. A priori review atau biasa disebut juga dengan istilah preventive review ini berlaku terhadap suatu RUU ( undang-undang yang belum berlaku). Legal standing atau pihak yang dapat mengajukan pengujian jenis ini terbatas hanya pada organ pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian.[8]
Untuk jenis pengujian yang tergolong dalam kategori posteriori review (pengujian terhadap UU; setelah disahkan dan resmi menjadi UU) hanya dapat diajukan dalam kerangka concrete review. Artinya pengujian dapat diajukan dalam hal terdapat kasus konkret yang dihadapi oleh Pemohon. Permohonan juga dapat diajukan atas inisiatif hakim yang sedang menghadapi persoalan konstitusionalitas dari suatu norma hukum yang menjadi dasar dalam perkara yang sedang ia tangani.  Dalam hal yang demikian, maka hakim mengajukan penyerahan/pelimpahan (judicial referral) perkara konstitusionalitas tersebut kepada MK dan disertai dengan penghentian atau penundaan pemeriksaan terhadap perkara yang dimaksud sampai ada putusan MK. Namun kenyataan menunjukan bahwa perkara-perkara yang berasal dari pelimpahan (referral) pengadilan itu mayoritas tidak diterima oleh MK.[9]
Satu hal yang menarik dan unik dari sistem pengujian konstitusional di Austria ini adalah dimungkinkannya pengujian terhadap undang-undang secara aktif atas inisiatif mahkamah sendiri apabila mahkamah menilai bahwa suatu undang-undang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi dan keberadaannya tidak dapat ditolelir lagi.[10]
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, objek pengujian (objectum litis) konstitusional di Austria ini terbilang cukup banyak apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, apalagi jika dibandingkan dengan Indonesia yang MK-nya hanya dapat menguji UU terhadap UUD. Jika dirangkum, maka objek atau norma hukum yang dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK Austria ini meliputi:
a.         RUU Federal dan RUU Negara Bagian;
b.        UU Federal dan UU Negara Bagian;
c.         UUD Negara bagian;
d.        Perjanjian Internasional;
e.    Konstitusi hasil perubahan/amandemen yang dilihat dan diuji secara formil (tata cara dan prosedur pembentukannya); dan
f.          Peraturan dibawah undang-undang (secondary legislation).
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes), artinya tidak dimungkinkan adanya perlawanan atau upaya hukum apa pun terhadap putusan tersebut. Sifat putusan MK yang final dan erga omnes ini memang merupakan sebuah kelaziman dalam  peradilan konstitusi di semua negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Dalam putusannya, terutama dalam perkara pengujian konstitusional, MK Austria mengenal adanya dua kategori putusan, yakni Putusan yang membatalkan sebagian isi undang-undang yang diuji (biasanya dalam hal uji materiil) dan Putusan yang membatalkan suatu undang-undang secara keseluruhan (biasanya dalam hal uji formil).
Selain itu, salah satu ciri khas dari MK Austria ialah kewenangannya untuk menunda akibat hukum dari suatu putusan hingga jangka waktu lebih dari 18 bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada legislator untuk memperbaiki undang-undang/norma hukum yang telah dibatalkan untuk menghindari kekosongan hukum.[11] Bahkan pembatalan tersebut dapat juga diikuti pemberlakukan undang-undang lama yang pernah berlaku sebelumnya. Namun dalam kenyataannya yang terakhir ini selalu dihindari oleh MK.[12]
Daya jangkau putusan MK Austria, sebagaimana lazimnya mahkamah-mahkamah konstitusi di negara lain, bersifat prospektif atau berlaku kedepan (ex nunc). Tidak bersifat retroaktif atau berlaku surut (ex tunc).[13]



[1] Abbe de Sieyes dalam Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council in Comparative Perspective, Oxford University Press, New York, 1992, hlm. 35.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 24.
[3] Lihat Herbert Hemauniger, The Austrian Legal System, Manzsche Verlagsund Universitat Buchhandlung, Wien, 2003, hlm. 139.
[4] Mengenai penisbatan MK Austria sebagai yang pertama di dunia, Maruarar Siahaan dengan merujuk pada pendapat Herman Schwartz tidak sependapat akan hal ini, menurutnya sesuai dengan kronologi pembentukannya, Mahkamah Konstitusi Cekoslowakia lah yang pertama kali berdiri, yaitu pada Februari 1920. Sedangkan Mahkamah Konstitusi Austria baru terbentuk pada Oktober 1920 sesuai dengan waktu pengesahan Konstitusi Austria. Akan tetapi Maruarar Siahaan tidak menampik bahwa gagasan pembentukan MK yang tersendiri dan terpisah dari MA itu merupakan buah pemikiran Hans Kelsen. Hanya saja menurutnya ide itu justru diadopsi dan diwujudkan lebih dulu oleh Cekeslowakia. Lihat selengkapnya dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 3
[5] Vide Pasal 147 Konstitusi Austria.
[6] Vide Chapter VI tentang “Constitutional and Administrative Guarantees” Khususnya pada Bagian D tentang “Constitutional Court” dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 148.
[7] Vide Pasal 144 Konstitusi Austria.
[8] Vide Pasal 138 ayat (2) Konstitusi Austria; Lihat juga Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 16.
[9] Herbert Hesmauninger, The Austrian Legal ....., Op. Cit., hlm. 157.
[10] Vide Pasal 140 ayat (3) Konstutusi Austria.
[11] Jimly Asshiddiqie, Peradilan Konstitusi di 10 Negara ...., Op. Cit., hlm. 20-21.
[12] Herbert Hesmauninger, Op. Cit., hlm. 146.
[13] Daya jangkau putusan yang bersifat prospektif ini sangat berbeda dengan putusan pengujian konstitusional di AS yang bersifat retroaktif. Lihat kembali bagian B tentang Pengujian Konstitusional di Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar