Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Rabu, 18 Mei 2016

Mauro Cappelleti: tentang Judicial Review yang Tersebar Versus Judicial Review Terpusat (Decentralized Versus Centralized Judicial Review)



Meskipun peristiwa abad kedua puluh membawa barat secara keseluruhan melihat nilai judicial review terhadap undang-undang, perbedaan historis dan filosofis antara negara-negara Barat telah mencegah sistem identik mereka mengadopsi sistem pengujian tersebut. Dari sudut pandang perbandingan, salah satu fitur yang paling instruktif dari setiap sistem judicial review adalah pilihan negara, baik sistem terpusat atau sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi (atau Amerika) adalah sistem yang memberikan semua organ peradilan di dalamnya kekuasaan untuk menentukan konstitusionalitas sebuah undang-undang. Sebaliknya, Sistem terpusat (atau Austria) sistem yang membatasi kekuasaan ini ke satu organ peradilan. Kedua sistem ini telah diperkenalkan, bahkan baru-baru ini, di beberapa negara dan dengan demikian telah melayani (sebagai model) di luar negara asalnya (Autria).
A.      Decentralized Judicial Review (Judicial Review yang Tersebar)
Model desentralisasi memiliki asal-usulnya di Amerika Serikat, di mana judicial review tetap menjadi lembaga yang paling khas dan unik. Hal ini ditemukan terutama di beberapa bekas koloni Inggris, termasuk Kanada, Australia, dan India. Sistem Amerika juga telah diperkenalkan di Jepang di bawah Konstitusi 1947.
Seperti juga di Eropa, sistem Amerika telah memiliki dan masih memiliki padanannya. Sebuah kemiripan tertentu dapat ditemukan dalam hukum Swiss, di mana di samping tindakan langsung dihadapan Pengadilan Federal, terdapat hak umum untuk me-review (menguji) di pengadilan biasa. Meskipun judicial review ini dibatasi pada hukum kanton (hukum negara bagian), namun hakim Swiss memiliki kekuasaan umum untuk mengabaikan hukum kanton (hukum negara bagian) yang bertentangan dengan Konstitusi Federal. Kekuasaan ini telah diderivasi dari prinsip bahwa hukum federal "meruntuhkan/mengalahkan" hukum wilayah/negara bagian. Namun, tidak ada kontrol peradilan atas konstitusionalitas undang-undang federal.
Hukum Norwegia, sejak akhir abad lalu dan Hukum Denmark, juga menegaskan kekuasaan pengadilan untuk meninjau kesesuaian undang-undang dengan konstitusi dan mengabaikan, dalam kasus konkret undang-undang yang inkonstitusional.
Jerman dan Italia, di mana hari ini kita menemukan sistem terpusat daripada sistem desentralisasi, juga sempat bereksperimen dengan tipe judicial review Amerika: Jerman di bawah Konstitusi Weimar dan Italia dari 1948 sampai 1956 – artinya, dari penerapan konstitusi kaku yang pertama sampai mahkamah konstitusi mulai berfungsi.
Alasan di balik pemberian tugas pengujian konstitusional kepada seluruh peradilan adalah, salah satunya, baik secara logis maupun sederhana, seperti terlihat dari pendapat Ketua Mahkamah Marshall dalam kasus Marbury vs Madison dan sebelumnya dari tulisan Alexander Hamilton.
Ketika dua hukum tersebut bertentangan, maka hakim yang harus menentukan hukum mana yang berlaku dan kemudian menerapkannya. Ketika konflik tersebut terjadi antara norma hukum yang berbeda (tingkatannya), kriteria yang jelas akan diterapkan adalah bahwa hukum yang lebih tinggi yang berlaku: lex superior derogat legi inferior.
B.   Judicial Review yang Terpusat (Centralized Judicial Review)
Meskipun ada logika yang menarik dari argumen judicial review yang tersebar, judicial review yang terpusat bukan tanpa pengikut – kesemuanya merupakan negara-negara civil law. Pola dasar dari sistem ini terkandung di dalam Konstitusi Austria tanggal 1 Oktober 1920, yang juga disebut Oktoberverfassung (Konstitusi Oktober).
Pada tahun-tahun belakangan ini, sistem tersentralisir diadopsi oleh Konstitusi Italia tahun 1948 dan Konstitusi Bonn tahun 1949. Keduanya masih berlaku. Yang lebih mutakhir lagi, sistem ini diperkenalkan juga di Cyprus tahun 1960, Turki pada tahun 1961, dan Yugoslavia pada tahun 1963. Di Yugoslavia, ia adalah satu-satunya negara Komunis yang mengadopsi sistem judicial review, kontrol konstitusi dilaksanakan pada tingkat nasional oleh Pengadilan Konstitusi Federal dan pada tingkat regional oleh pengadilan-pengadilan konstitusi di enam republik.
Tiga alasan utama pentingnya pengadopsian sistem judicial review terpusat di sejumlah negara-negara civil law yang sedang berkembang. Pertama, konsepsi kontinental mengenai pemisahaan kekuasaan. Kedua,  tidak adanya  prinsip yang sebanding dengan stare decisis di dalam  yurisprudensi civil law; dan  Ketiga, ketidakcocokan peradilan (biasa; umum) civil law (untuk melakukan judicial review).
           1.      Teori Pemisahan Kekuasaan
Sistem terpusat merefleksikan konsepsi pemisahan kekuasaan yang berbeda dan berdasarkan sistem yang sangat berbeda dengan dari sistem judicial review yang tersebar. Negara-negara civil law cenderung mengikuti doktrin pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum perundang-undangan (undang-undang) secara lebih kaku. Mula-mula doktrin-doktrin ini dimaksudkan Montesquieu, Rousseau dan lain-lain yang dihantui rasa takut terhadap kekuasaan yang dipegang oleh satu orang,  peradilan yang anti demokrasi,  dimana setiap penafsiran hukum pengadilan atau fortiori (alasan yang lebih kuat), pembatalan undang-undang yang merupakan tindakan politik, dan oleh karenanya perambahan (pelanggaran batas) terhadap wewenang eksklusif cabang legislatif untuk membuat hukum. Oleh karenanya sistem (judicial review) terpusat menolak memberikan wewenang ini kepada pengadilan (yudisial) pada umumnya. Hakim biasa harus menerima dan menerapkan hukum sebagaimana dia menemukannya (dalam teks tertulis; undang-undang). Satu-satunya penyangkalan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut terletak pada wewenang para hakim biasa untuk menunda litigasi (persidangan) yang sedang diperiksa olehnya guna menantikan petunjuk/acuan (putusan) Mahkamah Konstitusi atas permasalahan konstitusional yang telah diajukannya. 
Pengakuan/pengenalan karakter politik judicial review ini direfleksikan dari cara penunjukan para anggota (hakim) Mahkamah Konstitusi dan bagaimana sejumlah pertanyaan-pertanyaan (permasalahan) dijawab oleh pengadilan tersebut. Lembaga-lembaga yang berwenang menunjuk/mengangkat para hakim biasanya ditentukan oleh konstitusi itu sendiri dan menjamin bahwa keanggotaan pengadilan-pengadilan mencerminkan semua kelompok-kelompok politik utama. Mahkamah konstitusi di sistem yang terpusat tidak menjauhkan diri dari pertimbangan terhadap permasalahan-permasalahan yang oleh Mahkamah Agung AS akan ditolak sebagai sesuatu yang pada dasarnya bersifat politis. Seringkali Pengadilan Amerika menghindari persoalan-persoalan yang berbau politik, misalnya mengenai tindakan atau kebijakan eksekutif dalam hubungan-hubungan luar negeri atau apakah legislatif telah sungguh-sungguh memperhatikan prosedur-prosedurnya sendiri di dalam mengajukan perubahan undang-undang atau konstitusi. Sebaliknya, Pengadilan-Pengadilan Konstitusi Eropa yang terpusat, konsisten dengan peranan kuasi-politik mereka yang diakui, terkadang dapat menjawab/melayani persoalan-persoalan yang berbahaya (politis) tersebut.
           2.      Tidak Adanya  “Stare Decisis” (Asas Preseden)
Terlepas dari teori, di negara-negara civil law, judicial review terpusat memberikan cara-cara praktis untuk melembagakan konsistensi hukum konsitusi, dengan tidak menganut doktrin ‘stare decisis’ common law. Di dalam sistem Amerika, setiap pengadilan, tinggi atau rendah, keduanya mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menentukan konstitusionalitas undang-undang yang terbit sebelumnya. Ini mungkin akan mengakibatkan perbedaan diantara para hakim untuk mecapai hasil-hasil yang tidak konsisten terhadap persoalan-persoalan yang mirip/serupa yang mana hal tersebut bukanlah stare decisis (asas preseden).
Berdasarkan doktrin ini, pengadilan-pengadilan terikat untuk mengikuti keputusan-keputusan hakim sebelumnya. Keberadaan satu-satunya pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), digabungkan dengan kewajiban pengadilan-pengadilan dibawahnya untuk mengikuti keputusan-keputusan sebelumnya (preseden) yang lebih tinggi, untuk menjamin keseragaman penyelesaian kasus-kasus konstitusional. Namun, stare decisis menjadikan hukum itu mati karena stare decisis (asas preseden) mencegah penerapan hukum di masa depan  oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.
Pertimbangan hukum dan pemikiran John Marshall dalam Kasus Marbury vs Madison kemudian berkembang dan berpandangan bahwa Konstitusi adalah hukum yang tertinggi (superior), hakim harus memutus kasus ketika menurutnya hukum yang berlaku tidak konstitusional, harus memberikan preseden kepada Konstitusi. Hakim tidak melanggar ranah legislasi, dia tidak mencoba untuk membuat undang-undang. Dia semata-mata  hanya mengabaikan (tidak menerapkan) hukum yang lebih rendah di dalam kasus konkret.
Dengan demikian, walapun sistem Amerika telah diperkenalkan di beberapa negara civil law, hal tersebut belum merupakan keberhasilan yang total. Konstitusi Weimar Jerman dan Itali pasca perang sebelum adanya institusi Mahkamah Konstitusional secara penuh mengungkapkan ketidakcocokan metode judicial review yang tersebar untuk negara-negara civil law dan hal yang sama mungkin terjadi di Jepang.
Dengan demikian, di dalam  mengadopsi sistem judicial review, negara-negara yang mempunyai pemikiran bahwa stare decisis adalah sesuatu yang asing, harus bekerja dengan instrumen hukum yang sangat berbeda dari Negara AS dan negara-negara common law lainnya.
           3.      Ketidcocokan Peradilan Biasa
Mahkamah Agung AS dan sebagai contoh Jepang berdasarkan Konstitusi tahun  1947, masih jauh dari kata setara dengan pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa. yurisdiksi Mahkamah Agung AS tidak begitu dibatasi, karena hampir semua kasus masuk ke Mahkamah Agung melalui sistem banding yang normal dan tidak melalui prosedur khusus. Begitu juga untuk pertanyaan-pertanyaan konstitusional, tidak ada prosedur luar biasa yang digunakan.
Dalam hal ini, orang dapat mempertanyakan mengapa negara-negara yang memilih sistem judicial review terpusat tersebut ingin mendirikan pengadilan-pengadilan konstitusional yang khusus dan tidak memberikan yurisdiksi atas persoalan-persoalan konstitusional kepada pengadilan-pengadilan banding tertinggi yang sudah ada.
Akhirnya, sebagian besar peradilan Eropa nampak secara psikologis tidak mampu berorientasi pada nilai, fungsi-fungsi kuasi politik yang terlibat dalam judicial review. Hakim-hakim kontinental biasanya adalah ‘para hakim karir’ yang memasuki dunia peradilan pada usia yang masih muda dan dipromosikan ke pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi sebagian besar berdasarkan sistem senioritas. Latihan professional mereka  lebih banyak mengembangkan keterampilan di dalam teknik penerapan undang-undang ketimbang di dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan kebijakan. Bagaimanapun pelaksanaan judicial review sangat berbeda dengan fungsi pengadilan biasa di dalam menerapkan undang-undang. Oleh karenanya tugas untuk  melaksanakan konstitusi sering menuntut diskresi yang lebih tinggi ketimbang tugas  menafsirkan undang-undang biasa.
Di AS, Mahkamah Agung itu sendiri pertama-pertama melakukan tugas judicial review, tetapi untuk menekankan fungsi ini di pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi Eropa, yang mana kegiatan tersebut tidak akan dikenal dan asing bagi tradisi mereka, dirasa tidak cocok. Konstitusi Weimar Jerman dan Konstitusi Italia dari tahun 1948 sampai 1956 telah mengadakan percobaan dengan sistem judicial review yang terdesentralisasi (tersebar), namun hasilnya menunjukan bahwa sistem tersebut lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberi manfaat.
Mahkamah Agung AS dengan mengingat dua abad pengalamannya telah memperlihatkan kecocokan mereka dengan tugas mereka yang sulit dan dengan sistem judicial review yang tersebar.
C.   Konvergensi  (Titik Temu)
Demi kejelasan, telah ditarik sebuah dikotomi antara bentuk-bentuk judicial review yang terpusat (centralized) dan tersebar (dicentralized), dikotomi yang dalam kenyataannya membesar-besarkan perbedaan diantara kedua sistem tersebut. Demi keseimbangan, beberapa poin konvergensi (titik pertemuan; persamaan) diantara dua pendekatan ini kini harus ditekankan/digarisbawahi. Abad kedua puluh telah menyamarkan perbedaan-perbedaan yang sudah lama ada antara hukum alam dan hukum positif, diantara pengadilan-pengadilan yang berorientasi pada preseden dan yang berorientasi pada perundang-undangan, dan diantara macam-macam teori-teori pemisahan kekuasaan – perbedaan-perbedaan yang terletak dibawah perbedaan asumsi dalam menyikapi judicial review.
Pengukuhan pengadilan-pengadilan konstitusi yang khusus dengan wewenang untuk melakukan judicial review dan membatalkan undang-undang yang tidak sesuai dengan  konstitusi, tentu saja merupakan hasil kompromi yang layak dengan konsepsi pemisahan kekuasaan yang menolak wewenang tersebut untuk semua badan peradilan. Sesungguhnya, pengadilan-pengadilan biasa di negara-negara dengan sistem judicial review yang terpusat tetap dilarang melakukan judical review.
Melalui penggunaan certiorari, secara berangsur-angsur Mahkamah Agung AS membatasi dirinya hanya untuk (menjawab; menyelesaikan) pertanyaan konstitusional yang paling penting dan mendasar. Tentu hal tersebut merupakan peranan pasti (yurisdiksi) dari pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa yang sama sekali tidak mempunyai yurisdiksi terhadap kasus-kasus biasa.
Banyak negara lainnya mencari bentuk-bentuk yang sesuai dengan filosofinya masing-masing dan meskipun demikian mampu menjawab tuntuntan-tuntutan masa kini, memberikan bukti terbaik bahwa  judicial review bukan hanya layak dipertahankan atau digiatkan tetapi juga merupakan institusi yang sangat fleksibel.

*Notes: 

Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dan resume dari buku Mauro Cappelleti yang sangat fenomenal dalam barisan literatur tentang judicial review atau constitutional review yang berjudul The Judicial Process Comperative Perspective,” tepatnya Bab III tentang Judicial Review In Comparative Perspective.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar