Ide dasar judicial
review yang pertama kali dilahirkan di AS melalui putusan Marbury versus
Madison pada tahun 1803 silam kini telah menyebar luas dan diadopsi oleh banyak
negara di dunia. Sampai dengan saat ini setidaknya sudah lebih dari 100 negara
yang mengadopsi mekanisme judicial review
dalam sistem ketatanegaraannya.[1]
Berdasarkan perkembangan dan penerapanya diberbagai
negara diseluruh dunia, para ahli kemudian mencoba mencari dan mengidentifikasi
beberapa model umum dari mekanisme judcial
review. Salah satu dari usaha tersebut ialah dengan membedakan atau
mengkategorikan sistem judicial review
(dalam hal ini adalah constitutional
review) berdasarkan kriteria
lembaga mana yang diberikan wewenang untuk menjalankan fungsi pengujian
tersebut, apakah diberikan hanya kepada satu organ secara terpusat atau
diberikan kepada seluruh badan peradilan secara tersebar. Pengelompokan atau
pengidentifikasian sistem judcial review yang
demikian kemudian melahirkan dua klasifikasi/model judicial review, yaitu centralized
judicial review dan decentralized
review (pengujian yang terpusat dan pengujian yang tersebar).[2]
Pengelompokan judicial
review kedalam dua model: terpusat atau tersebar, didasarkan atau dilihat
dari segi bagaimana kewenangan pengujian itu diberikan/didistribusikan, apakah
diberikan dan menjadi kewenangan eksklusif satu organ penguji seperti misalnya
Mahakamah Konstitusi atau organ lain yang khusus ditunjuk oleh konstitusi untuk
menjalankan fungsi tersebut ataukah kewenangan itu diberikan kepada semua organ
pengadilan yang ada disebuah negara. Kelompok yang pertama disebut sebagai
model yang terpusat sedangkan
kelompok kedua jatuh kepada model yang tersebar.
Sebagaimana dikatakan oleh Mauro Cappelleti bahwa:
“The decentralized (or American)
system gives all the judicial organs within it power to determinate the
constitutionality of legislation. In contract, the cetralized (or Austrian)
system confines this power to a single judicial organ.”[3]
Jadi menurut
Cappelleti, sistem disentralisasi (atau model Amerika) adalah sistem yang
memberikan kepada semua organ peradilan di dalamnya kekuasaan untuk menentukan
konstitusionalitas sebuah undang-undang. Sebaliknya, sistem terpusat (atau
model Austria) adalah sistem yang membatasi kekuasaan ini (judicial review) hanya pada satu organ peradilan.
Kewenangan untuk melaksanakan hak menguji di
beberapa negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dilakukan oleh
suatu lembaga yang dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi atau constitutional court, metode
pengujiannya disebut principaliter. Tata
cara pengujian yang hanya dilakukan oleh satu mahkamah dikenal sebagai sistem
sentralisasi. Sedangkan pada beberapa negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, pelaksanaan judicial review dilakukan oleh hakim
melalui kasus konkret yang dihadapinya dalam pengadilan, metode pengujiannya
disebut incidenter.[4]
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengelompokan atau pembedaan dua model pengujian tersebut adalah
pengelompokan yang didasarkan pada pemegang kewenangan judicial review itu, apakah dimiliki secara eksklusif atau
tersentralisasi pada lembaga tertentu atau dapat dilakukan oleh setiap hakim
disemua forum peradilan.[5]
A.
Decentralized Judicial Review
(Judicial Review yang Tersebar)
Model decentralized judicial review ini sering
juga diistilahkan sebagai American Model atau
pengujian model Amerika. Penamaan yang demikian memang wajar saja diberikan
untuk menyebut sistem pengujian yang tersebar (decentralized system) ini, karena memang sistem ini lahir dan
diprakarsai serta dikembangkan oleh Amerika Serikat yang bermula dari putusan
fenomenal pada kasus Marbury vs Madison (1803).
Ciri utama dari model ini yang membedakannya dengan
model yang terpusat ialah bahwa seluruh pengadilan disetiap tingkatan diberi
kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review):
A key characteristic of this model
is that the jurisdiction to engage in constitutional interpretation is not
limited to a single court. It can be exercised by many courts, state, and
federal, and is seen ad inherent to and an ordinary incident of the more
general process of case adjudication.[6]
Dalam pengujian konstitusionl model Amerika atau
model tersebar ini, pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh semua hakim
pada semua tingkatan peradilan dan pengujian tersebut bukan sebagai kegiatan
yudisial (persidangan) yang berdiri sendiri yang secara khusus ditujukan hanya
untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang, melainkan dilakukan
secara bersamaan (include) dengan
pemeriksaan/persidangan suatu kasus. Dalam model judicial review yang tersebar ini, kegiatan pengujian undang-undang
(atau peraturan lain) merupakan suatu kegiatan yudisial yang tidak terpisah dan
berawal dari proses litigasi biasa/umum. Dalam proses tersebut manakala hakim
menilai ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD maka pada saat itu juga,
bersamaan dengan proses litigasi tersebut, ia melakukan uji konstitusionalitas
atas undang-undang yang dimaksud.[7]
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa permohonan judicial review pada model yang tersebar
tidak dapat muncul begitu saja tanpa ada proses persidangan atau kasus biasa
yang mendahuluinya. Dalam pada itu, judicial review pada model ini justru
muncul dari proses penyelesaian kasus-kasus konkret di pengadilan. Oleh
karenanya dapat dikatakan bahwa triger
mechanism dari judicial review di
negara negara yang menganut model Amerika ini ialah kasus-kasus konkret yang
sedang diajudikasi (diselesaikan) di pengadilan yang di dalam prosesnya kemudian
ditemukan adanya praduga atau keraguan akan konstitusionalitas dari suatu peraturan
yang menjadi dasar hukum dalam kasus yang dimaksud.
Oleh karena itu putusan yang dihasilkan dari proses judicial review tersebut hanya mengikat
para pihak yang bersengketa (interpartes).
Namun demikian, karena mekanisme decentralized
judicial review ini pada umumnya dianut di negara-negara dengan sistem
hukum anglo-saxon yang mengakui
adanya prinsip stare decisis (asas
preseden), maka meskipun putusan hakim dalam pengujian konstitusionalitas tersebut bersifat interpartes, putusan
tersebut mempunyai kekuatan preseden yang sangat kuat dan melembaga dalam
sistem judicial rerview di negara
yang bersangkutan.[8]
Dalam sistem common
law dimana model ini tumbuh dan berkembang serta diadopsi oleh
negara-negara common law, khususnya
untuk kasus Amerika, model ini memang sesuai dengan sejarah dan budaya
peradilan di negeri tersebut yang memberikan kepada hakim-hakimnya ruang gerak
yang luas di dalam menjalankan kekuasaan kehakimannya seperti misalnya konsep judge made law dimana hakim
diperkenankan membuat dan melahirkan hukum melalui putusan-putusannya atas
suatu kasus konkret. Bahkan jauh sebelum John Marshall memperkenalkan mekanisme
judicial review dengan membatalkan Judiciari Act 1789 dalam kasus Marbury
vs Madison pada 1803, sebetulnya hakim-hakim di Amerika mempunyai dan sudah
mempraktekan kewenangan tradisional mereka untuk tidak menerapkan atau
mengenyampingkan ketentuan hukum yang tidak konstitusional atau bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Dalam pada itu Mauro Cappelleti
mengemukakan pernyataannya sebagai berikut:
The rationlae behind giving the
entire judiciary the duty of constitutional control is, on face of it, both
logical or simple, as is apparent form Chief Justice Marshall’s opinion in
Marbury vs Madison and earlier from writings of Alexander Hamilton. It is the
function of the judiciary, the argumen goes, to interpret the laws in order to
apply them in concrete cases. When two such laws are in conlict, it is the
judge who must determine which law prevails and then apply it. When the
conflict is between enactments of different normative force, the obvious
criterion to be applied is that the higher law prevails: lex superior derogat
legi inferior. [9]
Jadi dapatlah dipahami bahwa model judicial review yang tersebar ini tumbuh
subur dan sangat efektif di AS dan negara-negara pengikutinya yang tergolong
kedalam sistem common law, karena
memang sejarah dan tradisi pengadilan disana memungkinkan sistem ini berjalan
efektif.
Salah satu latar belakang diberikannya kewenangan judicial review kepada semua pengadilan
yang sudah ada (existing courts) dan
oleh karenanya tidak dibentuk lembaga baru yang menjalankan kewenangan tersebut
di dalam sistem yang tersebar di negara-negara common law, disebabkan karena
kuantitas atau jumlah undang-undang dinegara-negara tersebut memang tidak
sebanyak di negara-negara civil law,
sehingga tidak perlu membentuk lembaga tersendiri, melainkan cukup diberikan
kepada MA dan peradilan dibawahnya.[10]
Karakteristik lainnya dari model Amerika ini ialah
pengujian konstitusional dilakukan terhadap undang-undang yang telah sah dan
resmi berlaku atau disebut juga dengan istilah a posteriori review. Pengujian pada model ini juga biasanya
bersifat concrete review, yaitu
pengujian dilakukan sebagai akibat penerapan hukum di pengadilan biasa/umum
atas suatu kasus konkret yang dirasa ada persoalan inkonstitusionalitas dari
norma hukum yang menjadi dasar dalam kasus tersebut, sehingga perlu dilakukan
pengujian konstitusionalitas atas norma hukum yang dimaksud.
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa putusan judicial
review pada model ini hanya mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Hal
yang demikian dapat dipahami mengingat munculnya persoalan konstitusionalitas
itu sendiri berawal dari kasus konkret yang ditemukan dalam proses penyelesaian
perkara tersebut di pengadilan.
Yang menarik
dari model Amerika ini ialah putusan pengadilan atas judicial review yang bersifat deklaratif dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu
suatu putusan yang berisi pernyataan akan suatu keadaan, misalnya menyatakan
suatu ketentuan UU adalah bertentangan dengan UUD dan sifatnya retroaktif atau
berlaku surut kebelakang, sejak saat UU yang bersangkutan diundangkan. Hal ini
dapat dipahami karena dalam konteks pengujian yang tersebar, judicial review diajukan atas adanya
kasus konkret yang sedang berjalan sehingga putusan pembatalan atas suatu
undang-undang memang harus menyentuh dan berlaku kebelakang sehingga perbuatan
yang sudah dilakukan akan dikenai akibat hukum dari pembatalan tersebut.
Model yang
pertama kali dikembangkan di Amerika berdasarkan sejarah judicial review yang dilakukan John Marshall dkk pada 1803 ini
mempunyai pengaruh yang luas di dunia, tidak sedikit negara yang kemudian mengikuti
dan mengadopsi model ini, khususnya namun tidak terbatas pada negara-negara
dilingkungan sistem hukum common law (anglo saxon). Negara-negara tersebut
yang berasal dari kawasan eropa antara lain: Denmark, Irlandia, Norwegia dan
Swedia. Dari Afrika: Bostwana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya, Malawi, Namibia,
Nigeria, Tanzania. Negara-negara timur tengah seperti: Iran dan Israel. Di
Asia: Bangladesh, Fiji, India, Jepang, Filipina, Malaysia, Nauru, Nepal, New
Zealand, Papua New Guinea, Singapura, dan Tibet. Dan juga dinegara-negara
Amerika Latin seperti Argentina, Bahamas, Bolivia, dan Dominica.[11]
B.
Centralized Judicial Review
(Judicial Review yang Terpusat)
Centralized
Judicial Review biasa
diistilahkan dengan sebutan Austrian Model atau bahkan disebut juga Kelsenian
model. Penamaan yang demikian merujuk kepada sumber atau sejarah model itu
sendiri yang memang berasal dari Austria.
Model pengujian yang terpusat ini merupakan suatu
model yang dipelopori dan dikembangkan oleh Austria melalui pembentukan
Mahkamah Konstitusi pada tahun 1920 melalui pembentukan Konstitusi 1920. Adalah
Hans Kelsen, seorang ahli hukum kenamaan asal Universitas Wina yang mencetuskan
gagasan pembentukan suatu organ pengadilan khusus yang bertugas melakukan judicial review atau constitutional review yang disebut
Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshoft)
yang terpisah dan berada diluar struktur Mahkamah Agung namun masih berada
dalam cabang kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi itulah yang dalam
bayangan Hans Kelsem akan mengemban tugas pengujian konstitusional. Dalam hal
ini Hans Kelsen mengembangkan gagasan mengenai pelembagaan judicial review yang terpisah dari Mahkamah Agung seperti di
Amerika.
Gagasan Hans Kelsen ini menemui momentumnya ketika
ia diangkat sebagai Chancelery (Anggota
Pembaharu Konstitusi Austria 1919-1920) dalam rangka merumuskan konstitusi baru
Austria yang pada saat itu memisahkan diri dari Kekaisaran Austria-Hongaria
pasca kekalahan pada Perang Dunia II. Dalam momentum perumusan Konstitusi
Austria 1920 itulah Kelsen menuangkan ide-idenya di dalam Konstitusi yang ia
rancang dan pada akhirnya mendapat persetujuan. Sehingga dengan disahkannya
Konstitusi Austria pada Oktober 1920, Mahkamah Konstitusi Austria (Bunderverfassungsgerichtshoft) pun
resmi terbentuk. Pembentukan MK Austria itu kemudian dalam sejarah dianggap
sebagai yang pertama dalam di dunia.[12]
Sebagaimana diterangkan oleh Jimly Asshiddiqie,
model pelembagaan judicial review
melalui pembentukan organ khusus yang disebut MK yang diperkenalkan oleh
Austria, kemudian dengan cepat menyebar dan mempengaruhi negara-negara eropa
disekitarnya seperti Cekoslowakia (1920), Liechtenstien (1925), Yunani (1927),
Spanyol (1931), dan Irlandia (1937). Perkembangan dan penyebaran pengaruh
tersebut sempat terhenti (sementara) akibat Perang Dunia II yang berkecamuk
dengan hebatnya dan melanda dunia, khususnya eropa. Oleh karena peristiwa itu
Mahkamah Konstitusi yang telah terbentuk di beberapa negara, termasuk di
Austria sendiri mengalami stagnasi untuk waktu yang cukup lama (1933-1945).[13]
Baru setelah Perang Dunia II usai dan dunia kembali
menata masa depannya yang lebih cerah, perkembangan ketatanegaraan di bidang
konstitusi, dalam hal ini pelembagaan judicial
review model Austria, kembali berkembang dan bahkan menyebar dengan pesat.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, model
Austria ini berbeda dari model Amerika karena perbedaan institusi yang
berwenang melakukan tugas pengujian konstitusional. Jika pada model Amerika
fungsi tersebut dilekatkan pada MA dan kewenangannya disitribusikan kepada
semua pengadilan yang ada dibawahnya, maka menjadi ciri utama dari model Autria
ini ialah melembagakan mekanisme juducial
review dalam arti constitutional
review melalui pembentukan organ yang khusus berupa Mahkamah Konstitusi atau
lembaga lain yang mempunyai kewenangan eksklusif untuk melakukan pengujian
konstitusional yang berada diluar MA.
Di negara-negara dengan model pengujian yang
terpusat ini dibentuk suatu organ khusus yang ditujukan untuk mengemban fungsi
pengujian konstitusional di negara yang bersangkutan dan kewenangan tersebut
adalah kompetensi absolut dari organ yang dimaksud yang tidak dimiliki oleh
lembaga lain. Yang ada pada model ini (dibeberapa negara) hanya sebatas
wewenang dari pengadilan biasa yang sedang menyelesaikan kasus konkret untuk
mengajukan pertanyaan konstitusional (constitutional
question) kepada MK mengenai
konstitusionalitas suatu peraturan yang menjadi dasar hukum dalam kasus tersebut.
Sistem tersebut dikenal dan menjadi salah satu wewenang MK di negara-negara
seperti Jerman, Italia, Spanyol, Portugis, dan Belgia.[14]
Sehubungan dengan ciri utama constitutional review Model Austria yang terletak pada sentralisasi
dan monopoli organ pengujinya (judicial
organ), I Dewa Gede Palguna
mengemukakan pendapatnya mengenai dua ciri utama dari sistem ini, yaitu:
1. Kewenangan
pengujian konstitusionalitas undang-undang dilaksanakan secara tersentralisasi,
yaitu oleh sebuah mahkamah yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut yang
bernama mahakamah konstitusi (atau sebutan lain); dan
2. Pengujian
konstitusionalitas undang-undang tersebut dapat dilakukan tanpa mempersyaratkan
adanya suatu kasus konkret, melainkan cukup secara abstrak atau hanya
berdasarkan argumentasi teoritis.[15]
Oleh karena sistem pengujian konstitusional terpusat
ini berasal dan dikembangkan dari sistem hukum civil law (eropa kontinental) yakni di Austria (1920), maka tidak
heran dalam perkembangan dan penyebarannya sistem ini diadopsi oleh banyak
negara civil law.
Menurut Mauro Cappelleti, setidaknya ada tiga alasan
mengapa sistem terpusat ini diadopsi di negara-negara civil law. Pertama, adanya
konsepsi pemisahan kekuasaan yang dianut eropa kontinental. Kedua, tidak adanya prinsip yang serupa
atau sebanding dengan prinsip stare
decisis. Ketiga, ketidakcocokan
pengadilan –pengadilan biasa (umum) apabila diserahi kewenangan menguji
undang-undang.[16]
Sehubungan dengan 3 alasan penerimaan sistem
terpusat oleh negara-negara civil law sebagaimana
dikemukakan Mauro Cappelleti diatas, berikut ini uraian atau penjelasannya:
1. Negara-negara
civil law menganut teori pemisahan kekuasaan yang tegas dan
penghormatan atas supremacy of law.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus melaksanakan dan menafsirkan UU
sebagaimana adanya dan tidak diperkenankan membatalkan berlakunya suatu UU.
Oleh karena itu pengujian yang dilakukan oleh hakim hanya dapat dilakukan oleh
suatu mahkamah yang khusus;
2. Negara-negara
civil law tidak menggunakan asas preseden atau stare decisis. Oleh karenanya sulit menerapkan sistem yang tersebar
karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing-masing pengadilan
berwenang memutus persoalan konstitusonalitas suatu undang-undang yang sangat
mungkin putusannya berbeda-beda satu sama lain karena tidak terikat pada asas
preseden; dan
3. Pengadilan-pengadilan
di negara-negara civil law tidak
mempunyai cukup kompetensi dan spesialisasi untuk melakukan pengujian
konstitusional karena berbagai alasan, seperti alasan rekrutmen dan promosi
jabatan yang bersifat karir, hanya terlatih dalam hal penerapan (mekanis; kaku)
peraturan perundang-undangan di dalam memeriksa suatu kasus dan tidak terlatih
mengembangkan kemampuan law making,
dan lain sebagainya. Sehingga amat sulit bagi negara-negara civil law untuk menerima dan menganut
model yang tersebar. Sebaliknya, sangat cocok menganut model pengujian yang
terpusat melalui lembaga yang khusus dengan hakim-hakim yang khusus pula.[17]
Pengujian
konstitsionalitas suatu undang-undang dalam model Austria ini dapat meliputi
pengujian norma abstrak maupun juga (dibeberapa negara)[18]
pengujian norma konkret (abstract review
and concrete review).
Pengujian norma abstrak
(concret review) adalah pengujian
terhadap undang-undang atupun peraturan lainnya secara abstrak, dalam arti
murni pengujian norma, bukan pengujian norma dalam suatu kasus/perkara tertentu
di pengadilan. Sedangkan pengujian norma konkret (concrete review) adalah pengujian terhadap suatu undang-undang
atau peraturan lainnya dalam kasus konkret dimana norma yang dipersoalkan
konstitsionalitasnya itu berasal/bermula dari kasus konkret yang sedang
ditangani oleh pengadilan biasa. Pengujian konkret ini biasanya dilakukan
melalui sistem refferal (penyerahan)
dari pengadilan biasa kepada MK untuk dilakukan pengujian konstitusional atas
norma yang dipersoalkan/dipertanyakan tersebut. Dalam hal terjadi penyerahan
dan pengujian konkret, maka pengadilan yang bersangkutan menunda pemeriksaan
atas kasus yang dasar hukumnya sedang dijui hingga ada putusan MK.[19]
Mahkamah Konstitusi
dalam model Autria ini segala putusannya bersifat erga omnes, artinya mengikat umum, tidak hanya para pihak yang
bersengketa yang ditemukan dalam model Amerika.
Karena model Austria
ini diikuti dan diadopsi oleh banyak negara di didunia, maka adalah konsekuensi
yang logis jika model ini berkembang sedemikian rupa dengan berbagai modifikasi
dan variasi di negara-negara penganutnya yang bahkan kadangkala bergerak jauh
dari model aslinya yang ada di Austria, maka penting untuk mengidentifikasi
beberapa ciri umum dari model ini sehingga bisa menjadi alat ukur untuk
mengenali sekaligus membedakan model ini dari model Amerika. Berikut ini adalah
ciri-ciri umumnya menurut Jimly Asshiddiqie:
1. Badan-badan
pelaksana pengujian bersifat independen, didirikan diluar cabang kekuasaan
kehakiman yang biasa berpuncak di Mahkamah Agung;
2. Di
negara-negara yang mengadopsi mekanisme constitutional
complaint, penyelesaian permasalahannya dilakukan dengan cara mengadakan
pemisahan antara mekanisme constitutional
review dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa;
3. Sifat
monopoli dan melakukan constitutional
review atau spesialisasi dalam rangka constitutional
review ataupun terjaminnya konsentrasi kewenangan dalam satu institusi
pelaksana;
4. Para
hakim Mahkamah Konstitusi biasanya dipilih oleh lembaga-lembaga politik;
5. Sifat
khusus dari proses peradilan yang diselenggarakannya, yaitu bahwa putusannya
disamping bersifat yuridis juga bernuansa politis, meskipun lembaga-lembaga
mahkamah tersebut dapat pula memiliki fungsi yang murni konsultatif;
6. Mekanisme
yang berlaku dalam rangka pengujian konstitusionalitas undang-undang menurut
model Austria ini pada umumnya bersifat represif (posteriori review), meskipun untuk sebagian kecil tetap ada juga
yang coraknya preventif (a priori review).[20]
Jika dilihat berdarkan tolok ukur atau perspektif
kepada siapa kewenangan pengujian konstitusional diberikan atau lembaga mana
yang mempunyai kewenangan untuk itu dan bagaimana kewenangan itu diberikan,
apakah terpusat (centralized model)
atau tersebar (decentralized model) ?
maka sistem pengujian konstitusional yang ada di Perancis dengan lembaganya
yang dikenal dengan nama Conseil
Constitutionnel, termasuk ke dalam klasifikasi atau model yang terpusat (centralized model). Karena pada
kenyataannya conseil constitutionnel
merupakan lembaga yang terpusat dan kewenangan untuk melakukan pengujian
konstitusionalitas itu tidak diberikan/disebar kepada pengadilan-pengadilan
biasa (umum), melainkan menjadi kompetensi absolut dari conseil constitutionnel. Persoalan mengenai kelembagaan conseil constitutionnel yang khas dan
berbeda dari mahkamah konstitusi pada umumnya dalam Model Austria serta
perbedaan metode pengujiannya yang hanya terbatas pada pengujian a
priori, itu merupakan persoalan lain yang bukan domain pembahasan makalah
ini, karena makalah ini hanya membahas pengelompokan dua model pengujian
konstitusional yang dilihat dari tolok ukur persebaran kewenangannya, apakah
terpusat atau tersebar.
Hingga saat ini, negara-negara yang menganut model
terpusat dengan membentuk organ yang khusus yang berada diluar MA, baik yang
berupa Mahkamah Konstitusi maupun organ lain di luar kekuasaan kehakiman
seperti model Conseil Constitutionnel Perancis, tercatat sudah ada 80 negara.[21]
[1] Jimly
Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi
Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 45.
[2] Salah
satu dari hali yang mengelompokan sistem
judicial review kedalam model “centralized
dan decentralized judicial review” ialah Mauro Cappelleti. Untuk lebih
jelasnya lihat Mauro Cappelleti, The
Judicial Process Comperative Perspective, Clarendon Press, Oxford, 1989, hlm. 133-149.
[3] Ibid., hlm. 132-133.
[4] Tim
Penyusun Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Mahkamah Agung dalam
Melaksanakan Hak Uji Material dalam Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sisitem Hukum
Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 37-38.
Yang dimaksud dengan metode pengujian principaliter
adalah metode pengujian undang-undang yang permohonannya langsung/sengaja
ditujukan kepada organ penguji (mahkamah konstitusi) sebagai permohonan yang
berdiri sendiri dan memang dimaksudkan untuk memohon pengujian yang dimaksud.
Sedangkan yang dimaksud dengan metode incedenter
adalah metode pengujian undang-undang yang permohonannya diajukan bersama (include) dengan perkara biasa/umum yang
diajukannya kepada pengadilan biasa/umum, jadi permohonannya tidak berdiri
sendiri sebagai permohonan yang khusus ditujukan untuk memohon pengujian yang
dimaksud.
[5] Lihat
Arend Lijphart, Pattern of Democracy;
Government Form and Performance in Thirty Six Countries, Yale University
Press, London, 1999, hlm. 224-225.
[6]
Vicki C. Jackson & Mark Tushnet dalam I Dewa Gede Palguna, Constitutional Complaint (Pengaduan
Konstitusional) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
2013, hlm.327.
[7]
Ibid., hlm. 328.
[8]
Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm.
82.
[9]
Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 135.
[10]
Lihat Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm.
83.
[11]
Ibid., hlm. 83.
[12]
Maruarar Siahaan dengan merujuk pada Herman Schwartz tidak sependapat akan hal
ini, menurutnyam sesuai dengan kronologi pembentukannya, Mahkamah Konstitusi
Cekoslowakia lah yang pertama kali berdiri, yaitu pada Februari 1920. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi Austria baru terbentuk pada Oktober 1920 sesuai dengan
waktu pengesahan Konstitusi Austria. Akan tetapi Maruarar Siahaan tidak
menampik bahwa gagasan pembentukan MK yang tersendiri dan terpisah dari MA itu
merupakan buah pemikiran Hans Kelsen dan dikembangkan olehnya. Hanya saja
menurutnya ide itu diadopsi dan diwujudkan lebih dulu oleh Cekeslowakia. Lihat
selengkapnya dalam Maruarar Siahaan, Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 3
[13]
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 29-30.
[14]
Ibid., hlm. 84. Lihat juga
Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2009, hlm.
289-290.
[15]
I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., hlm.
339.
[16]
Mauro Cappelleti, Op. Cit., hlm. 137.
[17]
Bandingkan dengan fatmawati, Op. Cit., hlm.
13-14.
[18]
Dibubuhi keterangan (dibeberapa negara) karena pada kenyatannya tidak semua
negara penganut model Austria atau sistem terpusat mengadopsi pengujian norma
konkret (concrete review). Salah satu
contoh yang paling jelas dari itu adalah Indonesia, mekanisme judicial review di Indonesia tidak
mengenal pengujian norma konkret dari pengadilan biasa (MA dan peradilan
dibawahnya).
[19]
Mengenai mekanisme pengujian konkret ini bisa dilihat misalnya pada Konstitusi
Jerman dan UU MK Jerman (Pasal 80).
Untuk lebih jelasnya lihat Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal,
Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 60-72.
[20]
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian
Konstitusional di Berbagai Negara, Op. Cit., hlm. 53-54.
[21]
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry mencatat hingga tahun 2005 ada 78 negara
yang telah mendirikan Mahkamah Konstitusi. Lihat Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, Undang-Undang, dan
Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 78 Negara, PSHTN FH UI, Jakarta,
2003; sementara setelah tahun 2005,
penulis menemukan sekurang-kurangnya ada dua negara yang juga telah
mendirikan Mahkamah Konstitusi, yakni Republik Kosovo dan Republik Tajikistan.
Mahkamah Konstitusi Republik Kosovo resmi berdiri pada Desember 2008. Sementara
Mahkamah Konstitusi Republik Tajikistan resmi berdiri pada Februari 2016. Jadi
berdasarkan perkembangan tersebut, telah berdiri sebanyak 80 Mahkamah
Konstitusi di seluruh dunia. Lihat lebih lanjut mengenai MK Kosovo ini dalam situs
resminya, http://www.gjk-ks.org/?cid=2,32,
Diakses pada tanggal 10 Februari 2016; Lihat juga mengenai MK Tajikistan ini
dalam situs resminya, http://www.constcourt.tj/eng/,
Diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar