Maksud daripada judul diatas “Sejarah Judicial
Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di
Indonesia” yaitu bahwa yang menjadi pokok bahasan pada bagian ini ialah
mengenai sejarah judicial review
dalam konteks pengujian konstitusional atau dalam sistem hukum kita dikenal dengan
istilah pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Selain mengemukakan sejarah judicial review dalam tataran global sebagaimana telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini penulis merasa perlu untuk
menguraikan sejarah judicial review
(dalam arti Pengujian Undang-undang terhadap UUD) di Indonesia sendiri. Sejarah
judicial review yang lahir melalui
putusan Kasus Marbury versus Madison 1803 di AS memiliki pengaruh yang sangat
luas dan akhirnya diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagian ini
bermaksud untuk menjelaskan sejarah judicial
review di Indonesia, yaitu untuk mengetahui bagaimana dan seperti apa
perjalanan ketatanegaraan Indonesia dalam menerima dan mengdopsi sistem
tersebut. Untuk tujuan tersebut pembahasan pada bagian ini akan dibagi
berdasarkan kategori periodeisasi tertentu, yaitu sebagai berikut:
1.
Periode UUD 1945 (1945-1949)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat mekanisme
pengujian undang-undang. Di dalam pasal-pasalnya tidak ada satu pun yang membicarakan
mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang oleh badan peradilan. Jadi
pada masa ini tidak dikenal mekanisme judicial
review dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang pada waktu penyusunan Rancangan UUD oleh
BPUPKI ketika itu muncul usulan dari Muhammad Yamin yang pada prinsipnya
menghendaki adanya mekanisme pengujian undang-undang oleh sebuah badan yang
disebutnya sebagai ‘Balai Agung’ yang disamping melaksanakan kekuasaan
kehakiman badan itu juga diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD, hukum
adat, dan syariat Islam. Namun usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan
alasan-alasan sebagai berikut:
1. Tidak semua
negara memiliki MA yang berwenang menguji UU terhadap UUD;
2. Pengujian
undang-undang merupakan masalah politis bukan yuridis bila terdapat perselisihan tentang apakah suatu UU bertentangan dengan UUD atau tidak;
3. Para ahli hukum
Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam melaksanakan hak uji
material.[1]
2. Periode
Konstitusi RIS
Konstitusi RIS merupakan
konstitusi yang menggantikan UUD 1945 yang diberlakukan sejak diakuinya
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi
Meja Bundar dan sekaligus menandai beralihnya bentuk negara kesatuan menjadi
negara federal Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS itu sendiri hanya
berlaku singkat, sebab pada 17 Agustus 1950 Pemerintah secara resmi membubarkan
RIS dan kembali ke bentuk negara kesatuan dan sekaligus mengganti Konstitusi
RIS 1949 dengan UUDS 1950.
Berdasarkan
Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949, ditegaskan asas bahwa undang-undang
federal tidak dapat diganggu gugat.[2]
Suatu asas yang tidak lain diadopsi dari sistem hukum Belanda yang memang tidak
mengizinkan gugatan atau pengujian terhadap undang-undang. Namun demikian
berdasarkan Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949, dikatakan
bahwa MA berwenang menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian yang
dianggap bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949.[3]
Dengan demikian
pada periode ini pun tidak ada kewenangan pengujian undang-undang oleh lembaga
peradilan, yang ada hanya pengujian peraturan ketatanegaraan atau UU daerah
bagian.
3. Periode
UUDS 1950
Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Agustus 1950
menggantikan Konstitusi RIS 1949 tidak memuat ketentuan mengenai adanya
kewenangan pengujian undang-undang. Bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) dinyatakan
dengan tegas bahwa “Undang-undang tidak dapat di ganggu gugat.[4]
4. Periode
Berlakunya Kembali UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan
Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUD 1945 tidak mengatur mekanisme pengujian
undang-undang terhadap UUD. Namun demikian bagian ini akan membahas
perkembangan ketatanegaraan dimana pada periode ini muncul adanya kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah
Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
demikian juga, pada perkembangan selanjutnya telah terbit Tap MPR No. III Tahun
2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang salah
satu materi muatannya mengatur perihal kewenangan pengujian undang-undang
terhadap UUD dan Tap MPR yang kewenangannya dimiliki oleh MPR.
Dengan
perasaan yang setengah hati dan mau tak mau, mekanisme judicial review atas peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang akhirnya dilembagakan dalam UU No. 14 Tahun 1970,[5]
tepatnya pada Pasal 26, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji
peraturan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun celakanya, ayat (2) dari Pasal 26
tersebut menyatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada tingkat kasasi.
Ketentuan
itu menurut Mahfud M.D mengandung kekacauan teoritis dan kekacauan prosedural
karena pada Pasal 26 ayat (1) dikatakan bahwa pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang adalah wewenang (absolut) MA, namun
pada ayat (2)-nya dikatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada pemeriksaan
tingkat kasasi. Ketentuan ini mengandung kekacauan karena di satu sisi
menyatakan bahwa pengujian itu adalah wewenang MA namun di sisi lain dikatakan
bahwa pengujian itu dilakukan pada tingkat kasasi yang artinya harus dilakukan
secara berjenjang dari mulai tingkat pertama, tingkat banding, barulah kemudian
sampai di tingkat kasasi, padahal menurut Pasal 26 ayat (1) jelas-jelas
kewenangan itu ada pada MA dan tidak didistribusikan pada pengadilan
dibawahnya. Lalu bagaimana caranya pengadilan ditingkat pertama dan banding
memeriksa perkara yang jelas-jelas merupakan kewenangan absolut MA.
Konstruksi
hukum yang demikianlah yang oleh Mahfud M.D disebut sebagai kekacauan, karena
secara teoritis dan praktis memang mengandung kekacauan dan akibatnya ketentuan
tersebut tidak bisa dioperasionalkan.[6]
Norma hukumnya ada tapi pelaksanaannya tidak dapat dijalankan sehubungan dengan
kekacauan konstruksi yang terdapat pada Pasal 26 tersebut. Akhirnya norma
tersebut menjadi norma mati (doedel
regels).
Selanjutnya
ketentuan mengenai judicial review peraturan
dibawah UU ini diatur juga di dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Akan tetapi, belum lagi persoalan kekacauan konstruksi hukum yang
dikandung oleh Pasal 26 UU 14/1970 itu terselesaikan, UU 14/1985 tentang MA
(Pasal 31) justru semakin mempersempit ruang lingkup judicial review tersebut dengan menyatakan bahwa pengujian
peraturan dibawah undang-undang hanya mencakup pengujian materiil.[7]
Usaha
untuk mengurai “benang kusut” dan kekacauan normatif yang disebabkan oleh
rumusan Pasal 26 UU 14/1970 pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan
menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Melalui Perma
tersebut MA berupaya mengatasi kebuntuan dalam pengujian peraturan dibawah UU dengan mengatur bahwa upaya pengujian
tersebut dapat diajukan secara langsung kepada MA tanpa melalui proses
berjenjang dari mulai pengujian di pengadilan tingkat pertama dan tingkat
banding. Bahkan Perma tersebut juga memungkinkan pengadilan dibawah MA, baik
ditingkat pertama maupun di tingkat banding, untuk menerima, memeriksa, dan
memutus permohonan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dalam kaitannya
dengan perkara yang sedang berjalan (include
dengan perkara pidana, perdata, atau TUN yang sedang diperiksa) yang putusannya
hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes).[8]
Meskipun
upaya untuk memecah kebuntuan itu telah dilakukan dengan menerbitkan Perma 1
Tahun 1993, kenyataan menunjukan bahwa hingga berakhirnya orde baru, tak ada satu
pun permohonan pengujian peraturan dibawah undang-undang diajukan kepada MA dan
dengan demikian tak ada satu pun produk hukum yang di review oleh MA berdasarkan mekanisme tersebut.[9]
Perkembangan
yang selanjutnya muncul sehubungan dengan diterbitkannya Tap MPR No. III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan
Pasal 5 Tap MPR tersebut dibuka keran constitutional
review[10] untuk menguji
konstitusionalitas UU terhadap UUD oleh MPR, bahkan meliputi juga pengujian UU
terhadap Tap MPR.[11] Selain
itu TAP MPR tersebut menegaskan kembali adanya mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang oleh Mahkamah Agung.[12]
Dengan
semangat memperbaiki sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang dan belajar dari pengalaman masa lalu dimana mekanisme itu tidak
berjalan (deadlock) akibat kekacauan
konstruksi yang dibangun oleh UU 14 Tahun 1970, maka melalui Tap MPR No. III
Tahun 2000 ini, tepatnya pada Pasal 5 ayat (3) dikatakan bahwa pengujian yang
dilakukan oleh MA bersifat aktif dan tanpa melalui prosedur kasasi.[13]
5. Perubahan
UUD 1945
Setelah
runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang telah berkuasa selama 32 tahun
maka keinginan untuk melakukan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara pada
saat itu menemui momentum terbaiknya. Salah satu dimensi yang hendak diubah dan
diperbaiki pada waktu itulah bidang hukum. Undang-Undang Dasar 1945 yang selama
masa orde baru dianggap sakral dan sangat sulit untuk dirubah dengan diaturnya
persyaratan refendum yang diatur dalam Tap MPR No. IV Tahun 1983 tentang
Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Refendum,[14]
tidak luput dari sasaran perubahan.
Gagasan
dan tuntutan perubahan UUD 1945 itu diterima oleh MPR dengan mengadakan
perubahan terhadap UUD 1945. UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, perubahan
pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada
tahun 2001, dan perubahan keemat pada tahun 2002.[15]
Terkait rangkaian perubahan UUD 1945 ini, Mahfud M.D menyatakan bahwa
sesungguhnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan satu kali (satu rangkaian) dengan
empat tahap perubahan yang masing-masing disahkan pada tahun 1999, 2000, 2001,
dan 2002.[16]
Perubahan
tersebut menyentuh banyak aspek dan materi UUD 1945 yang asli, sehingga UUD
1945[17]
hasil perubahan mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik dari segi jumlah
pasal-pasal atau ayat maupun materi yang diatur di dalamnya. Oleh karena besarnya
perubahan yang terjadi pada UUD 1945 (hasil perubahan), banyak ahli yang
kemudian menyebutnya sebagai konstitusi yang sema sekali baru, meskipun masih
menggunakan nama yang sama yaitu UUD 1945.[18]
Dalam kesamaan pendapat seperti diatas, Bagir Manan bahkan menyebut UUD hasil
perubahan sebagai UUD 1945-Baru.[19]
Dalam
materi UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada Sidang
Tahunan MPR tanggal 9 November tahun 2001, terdapat ketentuan yang sama sekali
baru dalam sejarah konstitusi Indonesia, yaitu dimuat dan diaturnya mekanisme
pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang
baru yang berdiri sendiri disamping Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai hal
tersebut dituangkan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang
letaknya ada dalam Bab IX kekuasaan Kehakiman.[20]
Selain
memuat ketentuan judicial review atas
UU terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada MK, UUD hasil perubahan
ketiga juga memuat dan mengatur ketentuan pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang yang kewenangan pengujiannya dimiliki
oleh Mahkamah Agung melalui Pasal 24A ayat (1).[21]
Melalui
ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu maka resmi
sudah mekanisme judicial review, baik
mengenai pengujian UU terhadap UUD maupun mengenai pengujian peraturan dibawah
UU terhadap UU, memiliki landasan konstitusional yang jelas dan tegas.
Bersamaan dengan itu pula diadopsi sebuah pengadilan khusus yang berdiri
sendiri disamping MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan MA
menurut Bab IX UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan pengaturan
kewenanganya yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945, MK mempunyai wewenang
yang salah satunya ialah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD.
Selanjutnya berdasarkan
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, diperintahkan bahwa MK sudah harus
terbentuk selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala
kewenangan MK dijalankan oleh MA. Atas dasar amanat konstitusional tersebut
maka pada tahun 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi dengan disahkannya UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003.
Berselang 3 hari, yaitu pada tanggal 16 Agustus 2003 dilantiklah 9 orang hakim
konstitusi yang pertama kali dan tercatat mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus
2003.[22]
Berdasarkan uraian
diatas nampak bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan dalam lapangan
ketatanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD 1945, salah satunya ialah
dengan diadopsinya sistem judicial review.
Sistem Judicial review yang dianut di
Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ialah
sistem dikotomis (pemecahan), artinya memisahkan antara pengujian UU terhadap
UUD dan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU, yang
kewenangan pengujiannya pun diserahkan kepada aktor yang berbeda (meskipun
keduanya sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945), yaitu
MK untuk pengujian yang disebut pertama dan MA untuk pengujian yang disebut
terakhir.
[1]
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang
Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei-22 Agustus 1945, Edisi III,
Cet. 2, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hlm. 299 dan hlm. 305-306.
[2]
Vide Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949.
[3]
Vide Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949.
[4]
Vide Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950.
[5] Mahfud
M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 98.
[6]
Ibid., hlm. 114-115.
[7]
Vide Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung.
[8]
Vide Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahakamah Agung No. 1
Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.
[9]
Mahfud M.D., Op. Cit., hlm. 115.
[10] Istilah
constitutional review adalah istilah
yang tepat untuk menyebut atau menggambarkan kewenangan pengujian undang-undang
yang dimiliki oleh MPR, karena lembaga MPR bukan merupakan lembaga kehakiman
sehingga dengan sendirinya pengujian tersebut bukanlah pengujian oleh hakim dan
oleh karenanya tidak tepat apabila disebut judicial
review.
[11]
Vide Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[12]
Vide Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[13]
Vide Pasal 5 ayat (3) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[14]
Berdasarkan kedua aturan tersebut ditetapkan adanya sebuah mekanisme Referendum
apabila MPR akan melakukan perubahan UUD 1945, yaitu dengan syarat mengadakan
Refendum atau Pemungutan Pendapat Rakyat untuk menentukan apakah UUD 1945 akan
dirubah atau tidak. Syarat suara yang harus diperoleh dalam Refendum itu
sendiri sangat berat, yaitu harus diikuti oleh 90% dari seluruh rakyat yang
mempunyai hak memilih dan harus disetujui oleh 90% dari total suara yang
diberikan oleh rakyat. Vide Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang
Refendum.
[15] Lihat
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 47-48.
[16]
Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam
Kontroversi Isu, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 187.
[17]
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan disebut dan ditulis sebagai “Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
atau disingkat menjadi “UUD NRI Tahun 1945.”
[18]
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 48.
[19]
Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR
dalam UUD 1945-Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
[20]
Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[21]
Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
[22]
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar