Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Sabtu, 13 Desember 2014

Sejarah Judicial Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia



Maksud daripada judul diatas “Sejarah Judicial Review (Dalam Arti Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang terhadap UUD) di Indonesia” yaitu bahwa yang menjadi pokok bahasan pada bagian ini ialah mengenai sejarah judicial review dalam konteks pengujian konstitusional atau dalam sistem hukum kita dikenal dengan istilah pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Selain mengemukakan sejarah judicial review dalam tataran global sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini penulis merasa perlu untuk menguraikan sejarah judicial review (dalam arti Pengujian Undang-undang terhadap UUD) di Indonesia sendiri. Sejarah judicial review yang lahir melalui putusan Kasus Marbury versus Madison 1803 di AS memiliki pengaruh yang sangat luas dan akhirnya diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Bagian ini bermaksud untuk menjelaskan sejarah judicial review di Indonesia, yaitu untuk mengetahui bagaimana dan seperti apa perjalanan ketatanegaraan Indonesia dalam menerima dan mengdopsi sistem tersebut. Untuk tujuan tersebut pembahasan pada bagian ini akan dibagi berdasarkan kategori periodeisasi tertentu, yaitu sebagai berikut:

1.         Periode UUD 1945 (1945-1949)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat mekanisme pengujian undang-undang. Di dalam pasal-pasalnya tidak ada satu pun yang membicarakan mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang oleh badan peradilan. Jadi pada masa ini tidak dikenal mekanisme judicial review dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Memang pada waktu penyusunan Rancangan UUD oleh BPUPKI ketika itu muncul usulan dari Muhammad Yamin yang pada prinsipnya menghendaki adanya mekanisme pengujian undang-undang oleh sebuah badan yang disebutnya sebagai ‘Balai Agung’ yang disamping melaksanakan kekuasaan kehakiman badan itu juga diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD, hukum adat, dan syariat Islam. Namun usulan ini ditolak oleh Soepomo dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Tidak semua negara memiliki MA yang berwenang menguji UU terhadap UUD;
2.  Pengujian undang-undang merupakan masalah politis bukan yuridis bila terdapat perselisihan tentang apakah suatu UU bertentangan dengan UUD atau tidak;
3.  Para ahli hukum Indonesia sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam melaksanakan hak uji material.[1]

2.    Periode Konstitusi RIS      
Konstitusi RIS merupakan konstitusi yang menggantikan UUD 1945 yang diberlakukan sejak diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar dan sekaligus menandai beralihnya bentuk negara kesatuan menjadi negara federal Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS itu sendiri hanya berlaku singkat, sebab pada 17 Agustus 1950 Pemerintah secara resmi membubarkan RIS dan kembali ke bentuk negara kesatuan dan sekaligus mengganti Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950.
Berdasarkan Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949, ditegaskan asas bahwa undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat.[2] Suatu asas yang tidak lain diadopsi dari sistem hukum Belanda yang memang tidak mengizinkan gugatan atau pengujian terhadap undang-undang. Namun demikian berdasarkan Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949, dikatakan bahwa MA berwenang menguji peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi RIS 1949.[3]
Dengan demikian pada periode ini pun tidak ada kewenangan pengujian undang-undang oleh lembaga peradilan, yang ada hanya pengujian peraturan ketatanegaraan atau UU daerah bagian. 

3.    Periode UUDS 1950
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang diberlakukan mulai tanggal 17 Agustus 1950 menggantikan Konstitusi RIS 1949 tidak memuat ketentuan mengenai adanya kewenangan pengujian undang-undang. Bahkan dalam Pasal 95 ayat (2) dinyatakan dengan tegas bahwa “Undang-undang tidak dapat di ganggu gugat.[4]


4.    Periode Berlakunya Kembali UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan Sebelum Perubahan UUD 1945
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUD 1945 tidak mengatur mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD. Namun demikian bagian ini akan membahas perkembangan ketatanegaraan dimana pada periode ini muncul adanya kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. demikian juga, pada perkembangan selanjutnya telah terbit Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang salah satu materi muatannya mengatur perihal kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD dan Tap MPR yang kewenangannya dimiliki oleh MPR.
Dengan perasaan yang setengah hati dan mau tak mau, mekanisme judicial review atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang akhirnya dilembagakan dalam UU No. 14 Tahun 1970,[5] tepatnya pada Pasal 26, yang menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun celakanya, ayat (2) dari Pasal 26 tersebut menyatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada tingkat kasasi.
Ketentuan itu menurut Mahfud M.D mengandung kekacauan teoritis dan kekacauan prosedural karena pada Pasal 26 ayat (1) dikatakan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang adalah wewenang (absolut) MA, namun pada ayat (2)-nya dikatakan bahwa pengujian tersebut dilakukan pada pemeriksaan tingkat kasasi. Ketentuan ini mengandung kekacauan karena di satu sisi menyatakan bahwa pengujian itu adalah wewenang MA namun di sisi lain dikatakan bahwa pengujian itu dilakukan pada tingkat kasasi yang artinya harus dilakukan secara berjenjang dari mulai tingkat pertama, tingkat banding, barulah kemudian sampai di tingkat kasasi, padahal menurut Pasal 26 ayat (1) jelas-jelas kewenangan itu ada pada MA dan tidak didistribusikan pada pengadilan dibawahnya. Lalu bagaimana caranya pengadilan ditingkat pertama dan banding memeriksa perkara yang jelas-jelas merupakan kewenangan absolut MA.
Konstruksi hukum yang demikianlah yang oleh Mahfud M.D disebut sebagai kekacauan, karena secara teoritis dan praktis memang mengandung kekacauan dan akibatnya ketentuan tersebut tidak bisa dioperasionalkan.[6] Norma hukumnya ada tapi pelaksanaannya tidak dapat dijalankan sehubungan dengan kekacauan konstruksi yang terdapat pada Pasal 26 tersebut. Akhirnya norma tersebut menjadi norma mati (doedel regels).
Selanjutnya ketentuan mengenai judicial review peraturan dibawah UU ini diatur juga di dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Akan tetapi, belum lagi persoalan kekacauan konstruksi hukum yang dikandung oleh Pasal 26 UU 14/1970 itu terselesaikan, UU 14/1985 tentang MA (Pasal 31) justru semakin mempersempit ruang lingkup judicial review tersebut dengan menyatakan bahwa pengujian peraturan dibawah undang-undang hanya mencakup pengujian materiil.[7]
Usaha untuk mengurai “benang kusut” dan kekacauan normatif yang disebabkan oleh rumusan Pasal 26 UU 14/1970 pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan menerbitkan Perma No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Melalui Perma tersebut MA berupaya mengatasi kebuntuan dalam pengujian peraturan dibawah UU dengan mengatur bahwa upaya pengujian tersebut dapat diajukan secara langsung kepada MA tanpa melalui proses berjenjang dari mulai pengujian di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Bahkan Perma tersebut juga memungkinkan pengadilan dibawah MA, baik ditingkat pertama maupun di tingkat banding, untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dalam kaitannya dengan perkara yang sedang berjalan (include dengan perkara pidana, perdata, atau TUN yang sedang diperiksa) yang putusannya hanya mengikat para pihak yang bersengketa (interpartes).[8]
Meskipun upaya untuk memecah kebuntuan itu telah dilakukan dengan menerbitkan Perma 1 Tahun 1993, kenyataan menunjukan bahwa hingga berakhirnya orde baru, tak ada satu pun permohonan pengujian peraturan dibawah undang-undang diajukan kepada MA dan dengan demikian tak ada satu pun produk hukum yang di review oleh MA berdasarkan mekanisme tersebut.[9]
Perkembangan yang selanjutnya muncul sehubungan dengan diterbitkannya Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan Pasal 5 Tap MPR tersebut dibuka keran constitutional review[10] untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD oleh MPR, bahkan meliputi juga pengujian UU terhadap Tap MPR.[11] Selain itu TAP MPR tersebut menegaskan kembali adanya mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang oleh Mahkamah Agung.[12]
Dengan semangat memperbaiki sistem pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan belajar dari pengalaman masa lalu dimana mekanisme itu tidak berjalan (deadlock) akibat kekacauan konstruksi yang dibangun oleh UU 14 Tahun 1970, maka melalui Tap MPR No. III Tahun 2000 ini, tepatnya pada Pasal 5 ayat (3) dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh MA bersifat aktif dan tanpa melalui prosedur kasasi.[13]

5.    Perubahan UUD 1945
Setelah runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 yang telah berkuasa selama 32 tahun maka keinginan untuk melakukan perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat itu menemui momentum terbaiknya. Salah satu dimensi yang hendak diubah dan diperbaiki pada waktu itulah bidang hukum. Undang-Undang Dasar 1945 yang selama masa orde baru dianggap sakral dan sangat sulit untuk dirubah dengan diaturnya persyaratan refendum yang diatur dalam Tap MPR No. IV Tahun 1983 tentang Referendum dan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Refendum,[14] tidak luput dari sasaran perubahan.
Gagasan dan tuntutan perubahan UUD 1945 itu diterima oleh MPR dengan mengadakan perubahan terhadap UUD 1945. UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keemat pada tahun 2002.[15] Terkait rangkaian perubahan UUD 1945 ini, Mahfud M.D menyatakan bahwa sesungguhnya perubahan UUD 1945 itu dilakukan satu kali (satu rangkaian) dengan empat tahap perubahan yang masing-masing disahkan pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.[16]
Perubahan tersebut menyentuh banyak aspek dan materi UUD 1945 yang asli, sehingga UUD 1945[17] hasil perubahan mengalami perubahan yang sangat signifikan, baik dari segi jumlah pasal-pasal atau ayat maupun materi yang diatur di dalamnya. Oleh karena besarnya perubahan yang terjadi pada UUD 1945 (hasil perubahan), banyak ahli yang kemudian menyebutnya sebagai konstitusi yang sema sekali baru, meskipun masih menggunakan nama yang sama yaitu UUD 1945.[18] Dalam kesamaan pendapat seperti diatas, Bagir Manan bahkan menyebut UUD hasil perubahan sebagai UUD 1945-Baru.[19]
Dalam materi UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November tahun 2001, terdapat ketentuan yang sama sekali baru dalam sejarah konstitusi Indonesia, yaitu dimuat dan diaturnya mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan suatu lembaga kekuasaan kehakiman yang baru yang berdiri sendiri disamping Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai hal tersebut dituangkan di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang letaknya ada dalam Bab IX kekuasaan Kehakiman.[20]
Selain memuat ketentuan judicial review atas UU terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada MK, UUD hasil perubahan ketiga juga memuat dan mengatur ketentuan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang kewenangan pengujiannya dimiliki oleh Mahkamah Agung melalui Pasal 24A ayat (1).[21]
Melalui ketentuan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu maka resmi sudah mekanisme judicial review, baik mengenai pengujian UU terhadap UUD maupun mengenai pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU, memiliki landasan konstitusional yang jelas dan tegas. Bersamaan dengan itu pula diadopsi sebuah pengadilan khusus yang berdiri sendiri disamping MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan MA menurut Bab IX UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan pengaturan kewenanganya yang termaktub dalam Pasal 24C UUD 1945, MK mempunyai wewenang yang salah satunya ialah menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD.
Selanjutnya berdasarkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, diperintahkan bahwa MK sudah harus terbentuk selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK dijalankan oleh MA. Atas dasar amanat konstitusional tersebut maka pada tahun 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003. Berselang 3 hari, yaitu pada tanggal 16 Agustus 2003 dilantiklah 9 orang hakim konstitusi yang pertama kali dan tercatat mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus 2003.[22]
Berdasarkan uraian diatas nampak bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan dalam lapangan ketatanegaraan Republik Indonesia pasca perubahan UUD 1945, salah satunya ialah dengan diadopsinya sistem judicial review. Sistem Judicial review yang dianut di Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ialah sistem dikotomis (pemecahan), artinya memisahkan antara pengujian UU terhadap UUD dan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU, yang kewenangan pengujiannya pun diserahkan kepada aktor yang berbeda (meskipun keduanya sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman menurut Pasal 24 UUD 1945), yaitu MK untuk pengujian yang disebut pertama dan MA untuk pengujian yang disebut terakhir.



[1] Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei-22 Agustus 1945, Edisi III, Cet. 2, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hlm. 299 dan hlm. 305-306.
[2] Vide Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949.
[3] Vide Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS 1949.
[4] Vide Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950.
[5] Mahfud M. D., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 98.
[6] Ibid., hlm. 114-115.
[7] Vide Pasal 31 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung.

[8] Vide Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahakamah Agung No. 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil.
[9] Mahfud M.D., Op. Cit., hlm. 115.
[10] Istilah constitutional review adalah istilah yang tepat untuk menyebut atau menggambarkan kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MPR, karena lembaga MPR bukan merupakan lembaga kehakiman sehingga dengan sendirinya pengujian tersebut bukanlah pengujian oleh hakim dan oleh karenanya tidak tepat apabila disebut judicial review.
[11] Vide Pasal 5 ayat (1) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[12] Vide Pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[13] Vide Pasal 5 ayat (3) Tap MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.
[14] Berdasarkan kedua aturan tersebut ditetapkan adanya sebuah mekanisme Referendum apabila MPR akan melakukan perubahan UUD 1945, yaitu dengan syarat mengadakan Refendum atau Pemungutan Pendapat Rakyat untuk menentukan apakah UUD 1945 akan dirubah atau tidak. Syarat suara yang harus diperoleh dalam Refendum itu sendiri sangat berat, yaitu harus diikuti oleh 90% dari seluruh rakyat yang mempunyai hak memilih dan harus disetujui oleh 90% dari total suara yang diberikan oleh rakyat. Vide Pasal 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Refendum.
[15] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 47-48.
[16] Mahfud M.D., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 187.
[17] Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan disebut dan ditulis sebagai “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”  atau disingkat menjadi “UUD NRI Tahun 1945.”
[18] Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 48.
[19] Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945-Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.
[20] Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[21] Vide Pasal 23C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[22] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar