Hingga saat ini masih banyak diantara para ahli
hukum kita yang masih juga keliru dalam menggunakan istilah toetsingsrecht,
judicial review, dan constitutional review, baik dalam percakapan-percakapan
lisan maupun di dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.
Ketiga istilah itu jelas memiliki perbedaan dan oleh karenanya tidak dapat disamakan atau
dipertukarkan begitu saja. Ketiganya memiliki pengertian dan ruang lingkupnya
masing-masing.
Adapun satu titik persamaan (konvergensi) yang mungkin
mempertautkan ketiga istilah tersebut ialah ketiganya sama-sama berbicara
mengenai hak uji (pengujian) terhadap suatu produk hukum. Sebagaimana dikatakan
oleh Jimly bahwa ketiga konsepsi itu (constitutional review, judicial
review, maupun toetsingsrecht) sama-sama merupakan suatu upaya atau
mekanisme yang bertujuan untuk menguji suatu norma hukum.”[1]
Persamaan pokok bahasan dari ketiga konsepsi itulah
yang kemudian menimbulkan kekeliruan pemahaman diantara ketiga istilah
tersebut.
Istilah toetsingsrecht
berasal dari bahasa Belanda yang jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia
secara gramatikal berarti “hak uji atau hak menguji.” Istilah toetsingsrecht tersebut kemudian sering
diterjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Ingris dengan sebutan judicial review. Disinilah letak
kekeliruan pemahaman dan penggunaan istilah toetsingsrecht
dan judicial review. Keduanya
diartikan sama, padahal berbeda.
Istilah toetsingsrecht
yang berarti “hak uji/hak menguji” merupakan suatu istilah yang bermakna umum
dalam kerangka konsep pengujian sebuah produk hukum. Toetsingsrecht bermakna dan menunjukan adanya hak menguji atau hak
uji atas suatu produk hukum. Hak menguji dalam konteks toetsingsrecht mempunyai arti dan ruang lingkup yang luas, baik
dari segi objek yang diuji maupun subjek yang melakukan pengujiannya. Ditinjau
dari ruang lingkup objek pengujiannya, toetsingsrecht
memiliki ruang lingkup yang luas karena mencakup hak uji terhadap berbagai
norma hukum, yakni peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan administrasi atau tata usaha negara (beschikiing), dan bahkan meliputi juga
hak menguji putusan hakim (vonnis).[2]
Sementara ditinjau dari ruang lingkup subjek yang melakukan pengujian, toetsingsrecht juga mencakup pengertian
yang luas meliputi hak uji yang dimiliki oleh hakim (judicial), eksekutif, ataupun legislatif.[3]
Jadi istilah toetsingsrecht memiliki
arti dan ruang lingkup yang luas, baik dari segi objek maupun subjek yang melakukan pengujiannya.
Objeknya meliputi semua produk/norma hukum dan subjeknya meliputi semua cabang
kekuasaan negara atau lembaga negara sepanjang lembaga tersebut diberikan hak
untuk menguji norma hukum.
Manakala hak menguji itu diberikan kepada hakim,
maka itulah yang bisa disebut judicial
review. Jadi istilah judicial review merupakan
suatu konsepsi pengujian yang sudah secara spesifik menunjuk/menetapkan lembaga
yang berwenang melakukannya, yaitu hakim/pengadilan.[4]
Sesuai dengan pengertiannya, judicial review berarti pengujian (norma hukum) yang dilakukan oleh
hakim atau pengadilan (review by the
judicial). Judicial review apabila
ditinjau dari segi objek pengujiannya maka ia memiliki makna dan ruang lingkup
yang luas, yakni meliputi pengujian terhadap keseluruhan norma hukum, baik yang
bersifat abstrak dan umum (regeling) yang
biasa disebut peraturan perundang-undangan,[5]
belum lagi peraturan perundang-undangan itu sendiri terbagi-bagi kedalam
beberapa jenis dan hierarki seperti UUD, undang-undang, peraturan pemerintah,
peratudan daerah, dan sebagainya, ataupun norma hukum yang bersifat konkret dan
individual, baik yang berbentuk keputusan/penetapan (beschikking) maupun putusan hakim (vonnis). Sedangkan apabila ditinjau dari segi subjek yang
berwenang melakukan pengujian, maka ruang lingkup judicial review sangat terbatas, karena sudah secara spesifik hanya
menunjuk pada pengujian yang dilakukan oleh hakim. Jadi dapat dikatakan bahwa judicial review adalah pengujian norma
hukum dalam arti luas (meliputi semua jenis norma hukum sebagaimana telah
disebutkan diatas) yang dilakukan oleh hakim.
Namun
demikian diakui bahwa di Indonesia sendiri istilah judicial review ini dikenal atau diidentikan hanya dalam konteks
pengujian undang-undang terhadap UUD yang pengujiannya menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu istilah judicial review hanya sedikit digunakan untuk menyebut/mengistilahkan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang terhadap undang-undang
yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Padahal kedua-duanya sama-sama
bisa disebut dan masuk dalam kategori judicial
review. Menurut hemat penulis fenomena tersebut sekurangnya disebabkan oleh
dua (3) hal berikut ini:
1. Pengujian
norma hukum yang familiar di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan judicial review dapat dikatakan memang
lebih banyak merujuk pada konteks pengujian UU terhadap UUD dengan aktor
pengujinya adalah MK. Hal tersebut
dikarenakan pengujian undang-undang yang dilakukan oleh MK-lah yang
selama ini lebih mendominasi pemberitaan dan diskusi-diskusi serta kegiatan
ilmiah ketimbang pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU yang dilakukan oleh
MA;
2. Dalam
konteks pengujian terhadap norma hukum di bidang administrasi yang bersifat
individual dan konkret yang disebut keputusan tata usaha negara, ia lebih
sering disebut dan diterima dengan sebutan sengketa tata usaha negara atau
pengujian KTUN di PTUN, bukan dengan istilah judicial review, lebih-lebih nomenklatur tersebut merupakan
istilah-istilah resmi (yuridis) yang memang disebut dalam UU PTUN (UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; berserta perubahannya);[6]
dan
3. Pengujian
putusan hakim atau putusan pengadilan dalam kenyataan sehari-hari (social wirlkelijkeheid) di
tengah-tengah masyarakat Indonesia memang terasing dari pengertian dan sebutan judicial review. Pengujian atas putusan
pengadilan dari semua lingkungan peradilan lebih sering disebut dan diterima
dengan sebutan-sebutan yang digunakan dalam konteks upaya hukumnya, seperti
banding – kasasi – peninjauan kembali (PK), bukan judicial review.
Demikian itulah
beberapa uraian mengenai pengertian, ruang lingkup, dan perbedaan antara toetsingsrecht dan judicial review yang memang masih kerap tertukar atau keliru
penggunaannya satu sama lain. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya
praktek pengujian konstitusional (constitutional
review) di Indonesia dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi yang memang salah
satu kewenangannya ialah menguji undang-undang terhadap UUD, maka muncul pula
kekeliruan dalam memahami dan membedakan judicial
review dan constitutional review.[7]
Istilah dan konespsi constitutional review memang memiliki
kedekatan makna dengan istilah judicial
review sebagaimana digambarkan diawal oleh penulis sebagai kedekatan yang
diikat oleh kesamaan pokok kajian diantara keduanya, yakni sama-sama berbicara
mengenai pengujian terhadap suatu norma hukum. Akan tetapi itu tidak berarti
bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya. Perbedaan diantara keduanya tetap
ada, khususnya menyangkut cakupan pengertian dan ruang lingkup masing-masing jenis
pengujian tersebut.
Jika judicial
review merupakan satu jenis pengujian norma hukum yang menekankan dan
membatasi ruang lingkupnya hanya pada pengujian-pengujian yang dilakukan oleh
hakim, maka constitutional review
(pengujian konstitusional) adalah jenis pengujian yang menekankan dan membatasi
ruang lingkupnya hanya pada pengujian konstitusionalitas atas suatu norma
hukum. Yang menjadi batasan atau ciri daripada pengujian konstitusional (constitutional review) adalah batu uji
yang digunakan dalam pengujian tersebut, yakni konstitusi atau dalam arti yang
tertulis disebut Undang-Undang Dasar.[8]
Constitutional review atau pengujian konstitusional ini dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu: (i) batu uji atau dasar pengujiannya; (ii) lembaga
yang berwenang melakukannya.
Apabila dilihat dari
segi batu uji/dasar pengujiannya, maka cakupan constitutional review terbatas hanya pada pengujian-pengujian yang
dilakukan untuk menilai dan menguji konstitusionalitas suatu norma hukum dengan
menggunakan konstitusi sebagai batu ujinya. Sedangkan apabila ditinjau dari
segi lembaga yang berwenang melakukannya, constitutional
review memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada judicial review karena tidak saja dapat dilakukan oleh hakim atau
lembaga kekuasaan kehakiman (judiciary)
melainkan dapat juga dilakukan oleh eksekutif, legislatif, atau lembaga negara
lain sepanjang oleh UUD diberikan wewenang untuk itu.[9]
Dilihat dari sudut
pandang batu uji/dasar pengujiannya, pengertian constitutional review lebih sempit dari judicial review. Tetapi apabila dilihat dari lembaga yang berwenang
melakukannya, pengertian constitutional review lebih luas dari judicial review.
Perlu juga diperhatikan
mengenai pengertian dan ruang lingkup constitutional
review ini secara umum (global) dan dalam eksistensinya di Indonesia. Constitutional review secara umum (global) dapat meliputi pengujian
konstitusionalitas atas berbagai peraturan, tidak hanya terbatas pada
undang-undang sebagaimana yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai
contoh di Amerika Serikat, yang dapat dinilai konstitusionalitasnya terhadap
Konstitusi Federal Amerika Serikat tidak saja undang-undang federal, melainkan
juga berbagai peraturan lainnya seperti undang-undang negara bagian, peraturan
dibawah undang-undang yang tergolong ke dalam kategori executive act (peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif), dan
bahkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diuji konstitusionalitas penerapan hukumnya oleh Supreme Court .[10]
Sedangkan menurut
sistem hukum di Indonesia sebagaimana dikonstruksikan melalui Pasal 24A ayat
(1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, ruang lingkup objek constitutional review terbatas hanya
pada undang-undang, yang dinilai konstitusionalitasnya terhadap UUD oleh
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang tidak masuk dalam kategori constitutional
review karena metode pengujiannya adalah pengujian legalitas (legality review), yakni pengujian
peraturan dibawah undang-undang yang batu ujinya adalah undang-undang, bukan
UUD, dan dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga yang melakukan constitutional review, yakni oleh
Mahkamah Agung.[11]
[1]
Jumly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 5-6.
[2] Lihat
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, 2010, hlm. 1-3;
Sementara perihal Pengujian terhadap putusan hakim (vonnis) hanya dapat dilakukan oleh hakim melalui sistem/mekanisme
upaya hukum yang ada di masing-masing negara seperti pengujian putusan
pengadilan tingkat pertama ditinjau/diuji oleh pengadilan banding, putusan
pengadilan banding ditinjau/diuji oleh pengadilan tertinggi atau pengadilan
kasasi (Mahakamah Agung).
[3]Ibid.
[4]
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht)
yang Dimiliki Hakim dalam Sisitem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm., 5.
[5] Dalam
sistem hukum Indonesia sesuai UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 24A ayat [1] dan Pasal
24C ayat [1]) Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini dibagi dalam dua rezim
pengujian; Pertama, pengujian
undang-undang terhadap UUD yang kewenangan pengujiannya ada di Mahakamah
Konstitusi. Kedua, pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang
kewenangan pengujiannya ada di Mahkamah Agung.
[6] Vide
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
[7]
Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op.Cit., hlm. 3-7.
[8]Ibid., hlm. 6.
[9]
Ibid.
[10] Lihat
lebih lanjut mengenai kekuasaan Supreme
Court dalam melaksanakan pengujian
peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi AS (judicial review) dalam Tim Koopmans, Court and Political Institutions; A Comparative View, Cambridge
University Press, Cambridge, 2003, hlm. 35-37; Sedangkan terkait putusan
pengadilan yang juga termasuk dalam objek constitutional
review dalam sisitem Amerika dapat dilihat pada kasus Cohens versus
Virginia yang diputus oleh Chief Justice John
Marshall dan kawan-kawannya pada tahun 1921. Lihat juga dalam Jimly
Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 33.
[11]
Pembedaan dan Pengklasifikasian dua metode review
yang didasarkan pada perbedaa batu uji yang digunakan ini oleh Jimly
masing-masing disebut constitutional
review dan legality review.
Penjelasan tersebut diberikan olehnya dalam rangka menggambarkan dua rezim
pengujian peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia berdasarkan Pasal
24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbeda dari negara lain yang biasanya
menjadi satu kesatuan rezim pengujian, yaitu dalam kerangka pengujian
konstitsionalitas, baik yang dilakukan oleh negara-negara dengan sistem
pengujian terpusat maupun oleh negara-negara dengan distem pengujian yang
tersebar (Austrian and American Model).
Pemikirannya ini dijumpai dalam berbagai bukunya, terutama dalam buku “Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar