Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Sabtu, 13 Desember 2014

Purifikasi Istilah dan Pengertian Toetsingsrecht, Judicial Review, dan Constitutional Review



Hingga saat ini masih banyak diantara para ahli hukum kita yang masih juga keliru dalam menggunakan istilah toetsingsrecht, judicial review, dan constitutional review, baik dalam percakapan-percakapan lisan maupun di dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.
Ketiga istilah itu jelas memiliki perbedaan  dan oleh karenanya tidak dapat disamakan atau dipertukarkan begitu saja. Ketiganya memiliki pengertian dan ruang lingkupnya masing-masing.
Adapun satu titik persamaan (konvergensi) yang mungkin mempertautkan ketiga istilah tersebut ialah ketiganya sama-sama berbicara mengenai hak uji (pengujian) terhadap suatu produk hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Jimly bahwa ketiga konsepsi itu (constitutional review, judicial review, maupun toetsingsrecht) sama-sama merupakan suatu upaya atau mekanisme yang bertujuan untuk menguji suatu norma hukum.”[1]
Persamaan pokok bahasan dari ketiga konsepsi itulah yang kemudian menimbulkan kekeliruan pemahaman diantara ketiga istilah tersebut.
Istilah toetsingsrecht berasal dari bahasa Belanda yang jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia secara gramatikal berarti “hak uji atau hak menguji.” Istilah toetsingsrecht tersebut kemudian sering diterjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Ingris dengan sebutan judicial review. Disinilah letak kekeliruan pemahaman dan penggunaan istilah toetsingsrecht dan judicial review. Keduanya diartikan sama, padahal berbeda.
Istilah toetsingsrecht yang berarti “hak uji/hak menguji” merupakan suatu istilah yang bermakna umum dalam kerangka konsep pengujian sebuah produk hukum. Toetsingsrecht bermakna dan menunjukan adanya hak menguji atau hak uji atas suatu produk hukum. Hak menguji dalam konteks toetsingsrecht mempunyai arti dan ruang lingkup yang luas, baik dari segi objek yang diuji maupun subjek yang melakukan pengujiannya. Ditinjau dari ruang lingkup objek pengujiannya, toetsingsrecht memiliki ruang lingkup yang luas karena mencakup hak uji terhadap berbagai norma hukum, yakni peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan administrasi atau tata usaha negara (beschikiing), dan bahkan meliputi juga hak menguji putusan hakim (vonnis).[2] Sementara ditinjau dari ruang lingkup subjek yang melakukan pengujian, toetsingsrecht juga mencakup pengertian yang luas meliputi hak uji yang dimiliki oleh hakim (judicial), eksekutif, ataupun legislatif.[3] Jadi istilah toetsingsrecht memiliki arti dan ruang lingkup yang luas, baik dari segi objek  maupun subjek yang melakukan pengujiannya. Objeknya meliputi semua produk/norma hukum dan subjeknya meliputi semua cabang kekuasaan negara atau lembaga negara sepanjang lembaga tersebut diberikan hak untuk menguji norma hukum.
Manakala hak menguji itu diberikan kepada hakim, maka itulah yang bisa disebut judicial review. Jadi istilah judicial review merupakan suatu konsepsi pengujian yang sudah secara spesifik menunjuk/menetapkan lembaga yang berwenang melakukannya, yaitu hakim/pengadilan.[4]
Sesuai dengan pengertiannya, judicial review berarti pengujian (norma hukum) yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan (review by the judicial). Judicial review apabila ditinjau dari segi objek pengujiannya maka ia memiliki makna dan ruang lingkup yang luas, yakni meliputi pengujian terhadap keseluruhan norma hukum, baik yang bersifat abstrak dan umum (regeling) yang biasa disebut peraturan perundang-undangan,[5] belum lagi peraturan perundang-undangan itu sendiri terbagi-bagi kedalam beberapa jenis dan hierarki seperti UUD, undang-undang, peraturan pemerintah, peratudan daerah, dan sebagainya, ataupun norma hukum yang bersifat konkret dan individual, baik yang berbentuk keputusan/penetapan (beschikking) maupun putusan hakim (vonnis). Sedangkan apabila ditinjau dari segi subjek yang berwenang melakukan pengujian, maka ruang lingkup judicial review sangat terbatas, karena sudah secara spesifik hanya menunjuk pada pengujian yang dilakukan oleh hakim. Jadi dapat dikatakan bahwa judicial review adalah pengujian norma hukum dalam arti luas (meliputi semua jenis norma hukum sebagaimana telah disebutkan diatas) yang dilakukan oleh hakim.
 Namun demikian diakui bahwa di Indonesia sendiri istilah judicial review ini dikenal atau diidentikan hanya dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD yang pengujiannya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu istilah judicial review hanya sedikit digunakan untuk menyebut/mengistilahkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang terhadap undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Padahal kedua-duanya sama-sama bisa disebut dan masuk dalam kategori judicial review. Menurut hemat penulis fenomena tersebut sekurangnya disebabkan oleh dua (3) hal berikut ini:
1.    Pengujian norma hukum yang familiar di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan judicial review dapat dikatakan memang lebih banyak merujuk pada konteks pengujian UU terhadap UUD dengan aktor pengujinya adalah MK. Hal tersebut  dikarenakan pengujian undang-undang yang dilakukan oleh MK-lah yang selama ini lebih mendominasi pemberitaan dan diskusi-diskusi serta kegiatan ilmiah ketimbang pengujian peraturan dibawah UU terhadap UU yang dilakukan oleh MA;
2.   Dalam konteks pengujian terhadap norma hukum di bidang administrasi yang bersifat individual dan konkret yang disebut keputusan tata usaha negara, ia lebih sering disebut dan diterima dengan sebutan sengketa tata usaha negara atau pengujian KTUN di PTUN, bukan dengan istilah judicial review, lebih-lebih nomenklatur tersebut merupakan istilah-istilah resmi (yuridis) yang memang disebut dalam UU PTUN (UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; berserta perubahannya);[6] dan
3.   Pengujian putusan hakim atau putusan pengadilan dalam kenyataan sehari-hari (social wirlkelijkeheid) di tengah-tengah masyarakat Indonesia memang terasing dari pengertian dan sebutan judicial review. Pengujian atas putusan pengadilan dari semua lingkungan peradilan lebih sering disebut dan diterima dengan sebutan-sebutan yang digunakan dalam konteks upaya hukumnya, seperti banding – kasasi – peninjauan kembali (PK), bukan judicial review.
Demikian itulah beberapa uraian mengenai pengertian, ruang lingkup, dan perbedaan antara toetsingsrecht dan judicial review yang memang masih kerap tertukar atau keliru penggunaannya satu sama lain. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya praktek pengujian konstitusional (constitutional review) di Indonesia dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi yang memang salah satu kewenangannya ialah menguji undang-undang terhadap UUD, maka muncul pula kekeliruan dalam memahami dan membedakan judicial review dan constitutional review.[7]
Istilah dan konespsi constitutional review memang memiliki kedekatan makna dengan istilah judicial review sebagaimana digambarkan diawal oleh penulis sebagai kedekatan yang diikat oleh kesamaan pokok kajian diantara keduanya, yakni sama-sama berbicara mengenai pengujian terhadap suatu norma hukum. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan diantara keduanya. Perbedaan diantara keduanya tetap ada, khususnya menyangkut cakupan pengertian dan ruang lingkup masing-masing jenis pengujian tersebut.
Jika  judicial review merupakan satu jenis pengujian norma hukum yang menekankan dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada pengujian-pengujian yang dilakukan oleh hakim, maka constitutional review (pengujian konstitusional) adalah jenis pengujian yang menekankan dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada pengujian konstitusionalitas atas suatu norma hukum. Yang menjadi batasan atau ciri daripada pengujian konstitusional (constitutional review) adalah batu uji yang digunakan dalam pengujian tersebut, yakni konstitusi atau dalam arti yang tertulis disebut Undang-Undang Dasar.[8]
Constitutional review atau pengujian konstitusional ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: (i) batu uji atau dasar pengujiannya; (ii) lembaga yang berwenang melakukannya.
Apabila dilihat dari segi batu uji/dasar pengujiannya, maka cakupan constitutional review terbatas hanya pada pengujian-pengujian yang dilakukan untuk menilai dan menguji konstitusionalitas suatu norma hukum dengan menggunakan konstitusi sebagai batu ujinya. Sedangkan apabila ditinjau dari segi lembaga yang berwenang melakukannya, constitutional review memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada judicial review karena tidak saja dapat dilakukan oleh hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman (judiciary) melainkan dapat juga dilakukan oleh eksekutif, legislatif, atau lembaga negara lain sepanjang oleh UUD diberikan wewenang untuk itu.[9]
Dilihat dari sudut pandang batu uji/dasar pengujiannya, pengertian constitutional review lebih sempit dari judicial review. Tetapi apabila dilihat dari lembaga yang berwenang melakukannya, pengertian constitutional review lebih luas dari judicial review.
Perlu juga diperhatikan mengenai pengertian dan ruang lingkup constitutional review ini secara umum (global) dan dalam eksistensinya di Indonesia. Constitutional review secara umum (global) dapat meliputi pengujian konstitusionalitas atas berbagai peraturan, tidak hanya terbatas pada undang-undang sebagaimana yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai contoh di Amerika Serikat, yang dapat dinilai konstitusionalitasnya terhadap Konstitusi Federal Amerika Serikat tidak saja undang-undang federal, melainkan juga berbagai peraturan lainnya seperti undang-undang negara bagian, peraturan dibawah undang-undang yang tergolong ke dalam kategori executive act (peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif), dan bahkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diuji konstitusionalitas penerapan hukumnya oleh Supreme Court .[10]
Sedangkan menurut sistem hukum di Indonesia sebagaimana dikonstruksikan melalui Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, ruang lingkup objek constitutional review terbatas hanya pada undang-undang, yang dinilai konstitusionalitasnya terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tidak masuk dalam kategori constitutional review karena metode pengujiannya adalah pengujian legalitas (legality review), yakni pengujian peraturan dibawah undang-undang yang batu ujinya adalah undang-undang, bukan UUD, dan dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga yang melakukan constitutional review, yakni oleh Mahkamah Agung.[11]


[1] Jumly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 5-6.
[2] Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Sinar Grafika, 2010, hlm. 1-3; Sementara perihal Pengujian terhadap putusan hakim (vonnis) hanya dapat dilakukan oleh hakim melalui sistem/mekanisme upaya hukum yang ada di masing-masing negara seperti pengujian putusan pengadilan tingkat pertama ditinjau/diuji oleh pengadilan banding, putusan pengadilan banding ditinjau/diuji oleh pengadilan tertinggi atau pengadilan kasasi (Mahakamah Agung).
[3]Ibid.
[4] Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sisitem Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm., 5.
[5] Dalam sistem hukum Indonesia sesuai UUD NRI Tahun 1945 (Pasal 24A ayat [1] dan Pasal 24C ayat [1]) Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini dibagi dalam dua rezim pengujian; Pertama, pengujian undang-undang terhadap UUD yang kewenangan pengujiannya ada di Mahakamah Konstitusi. Kedua, pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang kewenangan pengujiannya ada di Mahkamah Agung.
[6] Vide Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[7] Lihat Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Op.Cit., hlm. 3-7.
[8]Ibid., hlm. 6.
[9] Ibid.
[10] Lihat lebih lanjut mengenai kekuasaan Supreme Court dalam melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi AS (judicial review) dalam Tim Koopmans, Court and Political Institutions; A Comparative View, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, hlm. 35-37; Sedangkan terkait putusan pengadilan yang juga termasuk dalam objek constitutional review dalam sisitem Amerika dapat dilihat pada kasus Cohens versus Virginia yang diputus oleh Chief Justice John Marshall dan kawan-kawannya pada tahun 1921. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 33.
[11] Pembedaan dan Pengklasifikasian dua metode review yang didasarkan pada perbedaa batu uji yang digunakan ini oleh Jimly masing-masing disebut constitutional review dan legality review. Penjelasan tersebut diberikan olehnya dalam rangka menggambarkan dua rezim pengujian peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945  yang berbeda dari negara lain yang biasanya menjadi satu kesatuan rezim pengujian, yaitu dalam kerangka pengujian konstitsionalitas, baik yang dilakukan oleh negara-negara dengan sistem pengujian terpusat maupun oleh negara-negara dengan distem pengujian yang tersebar (Austrian and American Model). Pemikirannya ini dijumpai dalam berbagai bukunya, terutama dalam buku “Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar