Politik
Hukum Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 asli (sebelum perubahan)
Oleh karena UUD 1945 merupakan produk para founding father yang sudah mulai disusun
sejak masa pra kemerdekaan atau masa persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai), lebih khusus
lagi oleh sebuah Tim Perancan UUD yang diketuai Ir. Soekarno, maka untuk
mengetahui politik hukum HAM yang terkandung dalam UUD 1945, tentu kita harus
mengadakan peninjauan/penelusuran risalah-risalah pembahasannya ketika itu.
Melaui berbagai literatur dan referensi yang
mengangkat sejarah perumusan dan pembahasan UUD 1945 khususnya yang menyangkut
hak asasi maunusia maka dapat dikatakan bahwa pada waktu itu terdapat dua kutub
pemikiran mengenai perumusan HAM di dalam UUD 1945 yang asli. Sicara singkat
dapat dikemukakan perbedaan mendasar diantara dua kutub pemikiran itu ialah
sebagai berikut: Kutub pemikiran yang pertama ialah mereka (anggota BPUPKI;
panitia perancang UUD) yang berpaham tidak perlunya HAM dimasukan dan
dirumuskan dalam UUD, yang berada dalam kutub ini ialah Soekarno dan Soepomo.
Sedangkan Kutub pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpandangan perlunya
ada jaminan dan perlindungan HAM di dalam UUD, tokoh yang ada pada posisi ini
ialah Moh. Hatta dan M. Yamin.[1]
Para penyusun UUD ketika itu sependapat bahwa UUD
yang hendak mereka susun harus didasarkan pada asas kekeluargaan dan gotong
royong, yaitu suatu asas yang sama sekali bertentangan dengan faham liberalisme
dan individualisme.[2] Oleh
sebab itulah dalam naskah Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh
panitia kecil (panitia perancang UUD) itu sema sekali tidak terdapat pengaturan
mengenai hak asasi manusia. Dalam pada itu Soekarno mengatakan:
“Saya minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan
njonja, buanglah sama sekali faham individualisme itu. Djanganlah dimasukan
dalam Undang-Undang Dasar kita jang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai
jang dihanjurkan oleh Republik Perancis itu adanja. Kita menghendaki keadilan
sosial. ......... maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham
gotong royong dan keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham
individualisme dan liberalisme dari padanja.[3]
Senada dengan
pandangan Soekarno, Soepomo kemudian menambahkan:
“Tadi
dengan pandjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam
pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima
akan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang
Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistem kekeluargaan. Tidak bisa
kita memasukan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal tentang bentuk menurut
aliran-aliran jang bertentangan ....”[4]
Berdasarkan
padangan diatas maka model yang dianut oleh UUD 1945 adalah model
integralistik, yaitu suatu model dimana kehidupan antarmanusia dan individu
dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak berdiri sendiri-sendiri
sebagaimana paham individualistik dan liberalistik seperti yang ada dalam
masyarakat eropa dan Amerika.
Berbeda
pandangan dengan Soekarno dan Seopomo yang tidak menghendaki dimasukannya
aturan-aturan menganai HAM dalam UUD, M. Hatta yang walaupun menyetujui prinsip
kekeluargaan dan menentang individualisme liberalisme, berpandangan bahwa
pengaturan HAM dalam UUD tetap diperlukan. Berikut pandangannya mengenai hal
tersebut:
“Ada
baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal jang mengenai warganegara,
disebutkan juga disebelah hak jang sudah diberikan kepada misalnja tiap-tiap
warganegara djangan takut mengeluarkan suaranja. Jang perlu disebutkan disini
hak untuk berkumpul dan bersidang atau menjurat dan lain-lain. Formuleringnja
atau redaksinja boleh kita serahkan kepada panitia kecil. Tetapi tanggungan ini
perlu untuk mendjaga, supaja negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab
kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakjat.”[5]
Senada dengan pandangan M. Hatta, M. Yamin pun mengemukakan padangannya
yang pada pokoknya menolak paham yang menghubungkan jaminan HAM dengan paham
individualisme dan leberalisme dan oleh karena menghendaki dimasukannya
pasal-pasal tentang HAM.
Pada akhirnya, hingga UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945,
UUD tersebut cenderung menganut aliran yang tidak menghendaki masuknya
pengaturan tentang HAM. Namun sebagai hasil kompromi memang muncul beberapa
ketentuan/pasal yang dapat dikategorikan mengandung nilai-nilai dan
perlindungan hak asasi manusia. Jumlah dan substansinya sangat terbatas, hanya
ada 7 pasal saja, pasal-pasal tersebut adalah:
1)
Pasal
27 ayat (1);
2)
Pasal
27 ayat (2);
3)
Pasal
28;
4)
Pasal
29 ayat (2);
5)
Pasal
30 ayat (1);
6)
Pasal
31 ayat (1); dan
7)
Pasal
34.[6]
Politik Hukum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda
pada 27 Desember 1949 dan berubahnya bentuk Negara Indenesia dari kesatuan
menjadi Republik Indonesia Serikat, hingga diberlakukannya UUDS 1950 pada 17
Agustus 1950, konstitusi atau UUD yang berlaku pada saat itu adalah Konstitusi
RIS 1949. Sementara sejak periode 17 Agustus 1950, ketika Indonesia secara
resmi kembali kepada bentuk negara kesatuan dan mengakhiri rezim “RIS” hingga
terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, konstitusi atau UUD yang berlaku pada
saat itu adalah UUDS 1950.
Baik Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950, kedua
UUD tersebut ternyata memuat materi HAM yang jauh lebih banyak (signifikan)
daripada yang dimuat oleh UUD 1945 yang asli. Oleh beberapa ahli kenyataan
tersebut dikaitkan dengan asumsi bahwa karena pada saat itu telah lahir Universal Declaration of Human Right (1948)
yang memiliki pengaruh luar biasa pada masa itu. Pengaturan mengenai HAM dimuat
dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 35 dan dilihat dari substansinya banyak
mengadopsi atau setidak-tidaknya terpengaruh oleh ketentuan HAM yang tercantum
dalam UNDHR (1948).[7] Atas
dasar itulah kemudian M. Yamin mengatakan bahwa Konstitusi RIS 1949 dan UUDS
1950 adalah contoh dua konstitusi dari beberapa konstitusi negara-negara di
dunia yang berhasil memasukan aturan-aturan mengenai HAM seperti yang tercantum
dalam keputusan PBB (maksudnya UNDHR 1948).[8]
Politik Hukum Hak Asasi Manusia Pasca Orde Baru
(Amandemen UUD 1945 dan Setelahnya)
Politik Hukum dibidang Hak Asasi Manusia pada masa orde baru tidak
begitu menggembirakan dan seperti berjalan ditempat. Tidak banyak perkembangan
yang bisa dicatat kecuali ada beberapa ratifikasi instrumen HAM internasional
seperti ratifikasi Convention on the Elemination of All Forms of Discrimination
against Women (CEDAW 1979) melalui UU No. 7 Tahun 1984 dan Pembentukan Komnas
HAM melalui Keppres No. 50 Tahun 1993.
Itu pun hanya dilihat dari segi formilnya saja atau dari dilihat dari
adanya produk hukum saja, sedang dalam aktualisasinya masih sangat terbatas,
karena kita tahu bahwa orde baru sangat menekankan stabilitas politik dan
keamanan, sebagai konsekuensinya perkembangan dan pemajuan HAM kurang mendapat
perhatian, kalau bukan malah ditekan.[9]
Perkembangan dan kemajuan di bidang HAM baru mulai nampak setelah
jatuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Setelah periode orde baru berlalu
dan berganti menjadi orde reformasi atau dalam bahasa Satya Arinanto disebut
“Masa Transisi Politik” barulah hak asasi manusia perlahan-lahan tampil dengan
wajah dan harapan baru. Politik hukum HAM pasca orde baru mulai ditata dan
menunjukan kemajuan yang cukup signifikan yang ditandai dengan munculnya
berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi
dan berpresktif HAM.
Salah satu dari perkembangan penting di bidang HAM pada masa transisi
itu ialah diterbitkannya Ketetapan MPR (Tap MPR) No. XVII tentang Hak Asasi
Manusia.[10]
Kehadiran Tap MPR yang berisi jaminan dan perlindungan terhadap beberapa aspek
dalam HAM tentu saja membawa angin segar dan harapan akan pemajuan HAM.
Ketetapan MPR No. XVII Tahu 1998 ini adalah yang pertama dalam sejarah
Indonesia, dimana ada sebuah Tap MPR yang mengatur mengenai HAM dan mencoba
mengisi ruang-ruang kosong yang terdapat dalam UUD 1945 asli yang memang sangat
terbatas dalam memberikan porsi bagi jaminan dan pemajuan HAM.[11]
Setelah Tap MPR No. XVII Tahun 1998, pada tahun 1999 terbit UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang secara substansial/materil banyak
menyerap atau mengadopsi materi muatan Tap MPR No. XVII Tahun 1998.[12]
Setelah UU No. 39 Tahun 1999 berhasil dibentuk, maka sebagai konsekuensi
diaturnya jaminan perlindungan HAM dan kebutuhan akan adanya pengadilan yang
akan mengadili pelanggaran-pelanggaran berat terhadap HAM, maka kemudian
(sesuai amanat Pasal 104 UU 39/1999) diterbitkanlah UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut pada pokoknya mengatur mengenai
yurisdiksi (ratione materiele), cara
kerja atau hukum acara, serta hal-hal lain yang menyangkut Pengadilan HAM.[13]
Momentum paling penting dan membahagiakan dalam dunia penegakan dan
pemajuan HAM di Indonesia muncul pada saat dilakukannya amandemen kedua UUD
1945 pada tahun 2000. Amandemen tersebut menyentuh dimensi dan materi materi HAM dalam UUD 1945.
Setelah melalui proses perubahan di MPR pada tahun 2000 dan hasilnya
ditetapkan dalam sidang tahunan MPR pada tanggal 7-18 Agustus 2000, lahirlah
UUD 1945 hasil perubahan kedua. Bagian yang paling banyak berubah (bertambah)
ialah yang menyangkut mengenai HAM. Materi muatan yang berisi
ketentuan-ketentuan HAM diletakan pada bab khusus, yaitu “Bab X (Hak Asasi
Manusia)”. Materi muatan tentang HAM tersebar dalam Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28J dan berada di dalam bab khusus yang mengatur mengenai HAM (Bab X).[14]
Dengan UUD 1945 hasil perubahan kedua (tahun 2000), jaminan,
perlindungan serta pemajuan HAM di Indonesia lebih berkepastian dan memiliki
landasan hukum yang kokoh karena telah dimuat dan dijabarkan dalam UUD.
Dengan disahkannya perubahan kedua UUD
1945 yang di dalamnya memuat jaminan-jaminan perlindungan HAM sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28A – Pasal 28J, maka denyut nadi kehidupan dan kemajuan
HAM di Indonesia lebih menguat.
[1] Mengenai
hal ini dapat dibaca dan ditelusuri melalui buku M. Yamin yang berjudul “Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” yang didalamnya berisi potret dan rekaman
pembahasan-pembahasan atau perdebatan-perdebatan dalam perumusan UUD 1945.
[2]
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.
Cit., hlm. 313.
[3]
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Prapantja, Djakarta, 1959, hlm. 296-297.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6] Lihat
Jimly Asshiddie, Op. Cit., hlm. 352-353.
Dari 7 Pasal itu pun menurut analisa Jimly yang sungguh-sungguh berisi jaminan
perlindungan HAM hany satu pasal, yaitu Pasal 29 ayat (2) mengenai kemerdekaan
memeluk agama dan beribah menurut agamanya, sedangkan satu pasal yang lain
yaitu Pasal 28 belum memberikan jaminan secara langsung dan tegas karena
ketentuan itu masih akan dan harus dengan undang-undang, sementara 5 pasal
lainnya belum dapat dikategorikan sebagai jaminan perlindungan HAM melainkan
sekedar jaminan konstitusional hak warga negara (citizen’s constitutional rights.
[7]
Vide Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950.
[8]
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi
Republik Indonesia¸ Djambatan, Jakarta, 1951, hlm. 92.
[9]
Untuk mengetahui kondisi dan perkembangan HAM di Indonesia, termasuk dalam
periode orde baru dapat dilihat karya Satya Arinanto dalam bukunya (yang
diangkat dari Disertasi) Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.
Selain itu dapat juga dilihat Karya Daniel S. Lev dalam Bukunya Hukum dan
Politik di Indonesia, khususnya pada Bab XII (Gerakan Sosial,
Konstitusionalisme, dan Hak Asasi).
[10]
Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI,
Cet. Ketiga, Jakarta, 2011.
[11] Penting
untuk diketahui bahwa Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia ini
kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Tap MPR No. 1 Tahun 2003
tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Tap MPRS/MPR Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002 (Pasal 1 angka 8) karena materinya sudah di carry over oleh UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan juga karena telah dilakukannya Perubahan (kedua;
tahun 2000) UUD 1945 dimana ketentuan HAM diatur secara lebih rinci dan detail
pada UUD 1945 hasil perubahan sehingga secara logis dan legal, Tap MPR tersebut
sudah tidak diperlukan lagi.
[12] Lihat
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 361.
[13]
Vide Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[14]
Lihat Satya Arinanto, Op. Cit., hlm.
20; lihat pula Jimly Asshiddiqie, Op.
Cit., hlm. 361.