Sumber
hukum formil adalah sumber yang dilihat dari segi bentuk dan cara
pembentukannya. Disebut sumber hukum formil karena yang dilihat/diperhatikan
adalah bentuk dan cara pembentukannya dengan tidak lagi memperhatikan materi peraturan
tersebut.
Dalam
ilmu hukum, sumber hukum formil lazimnya dibagi menjadi lima jenis, yaitu:
1.
Undang-undang
2.
Kebiasaan
3.
Yurisprudensi
4.
Traktat
5.
Doktrin
1.
Undang-Undang
Masih
banyak orang yang menganggap hukum adalah undang-undang. Persepsi yang demikian
mengingatkan kita pada tulisan Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandsce
Recht” (terjemahan Oetarid Sadino: Pengantar Ilmu Hukum).
Van
Apeldoorn menggambarkan golongan orang dalam memandang hukum. Salah satu
golongan itu disebutnya dengan istilah “De
Ontwikkelde Leek” yang berarti orang terpelajar tetapi awam. Bagi ontwikkelde leek, hukum dilihat dari
rentetan pasal-pasal yang tidak ada habisnya, seperti yang tercantum dalam
undang-undang. Golongan ontwikkelde leek
melihat hukum dari undang-undang. Oleh karenya ontwikkelde leek itu
menyamaratakan pengertian hukum dengan undang-undang. Bagi mereka, hukum adalah
undang-undang, karena di dalam undang-undanglah mereka menemukan hukum.
Kiranya
pandangan yang seperti itu sudah sepatutnya ditinggalkan, karena merupakan
kekeliruan persepsi. Menyamakan hukum dengan undang-undang berarti mempersempit
ruang lingkup/makna hukum itu sendiri karena hukum tidak hanya terdiri dari
undang-undang, melainkan lebih luas dari undang-undang. Undang-undang itu
sendiri adalah bagian dari hukum, yaitu bagian dari sumber hukum formil dan
merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
undang-undang maka akan dibahas secara jelas dibawah ini.
Undang-undang menurut Prof. Buys dapat
dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) dan undang-undang
dalam arti formil (wet in formele zin).
a.
Undang-undang dalam arti materiil :
Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa
yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum. Undang-undang dalam arti
materiil ditinjau dari segi isinya, yaitu isinya mengikat setiap orang secara
umum. Pengertian/rumusan undang-undang dalam arti materiil lebih luas dari
pengertian/rumusan undang-undang dalam arti formil. Karena undang-undang dalam arti materiil
hanya dilihat dari segi isinya yang mengikat secara umum, maka semua aturan
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah/penguasa yang menurut isinya mengikat
secara umum, dapat disebut sebagai undang-undang.
Dalam arti materiil, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan menteri dan peraturan-peraturan
lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat disebut sebagai undang-undang.
Berbeda dengan undang-undang dalam arti formil yang memberikan sebutan undang-undang
hanya pada peraturan yang dibuat oleh DPR bersama-sama dengan Presiden
(pemerintah).[1]
b.
Undang-undang dalam arti formil:
Adalah setiap keputusan pemerintah/penguasa
yang berdasarkan bentuk dan cara pembentukannya disebut sebagai undang-undang.
Jadi undang-undang dalam arti formil tidak lain adalah keputusan
pemerintah/penguasa yang memperoleh sebutan undang-undang karena bentuk dan
cara pembentukannya.
Pada umumnya ketika orang menyebut atau
menggunakan kata “undang-undang” maka yang dimaksud adalah undang-undang dalam
arti formil. Lantas peraturan yang mana yang disebut undang-undang dalam arti
formil? Peraturan yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil adalah
peraturan yang memiliki bentuk dan cara pembentukannya yang tersendiri.
Di setiap negara, berbeda-beda cara
pembentukannya. Di Belanda, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti
formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Raja bersama Staten General (Parlemen) berdasarkan
pasal 112 Grondwet (UUD) Negeri
Belanda. Di Amerika Serikat, yang disebut sebagai undang-undang dalam arti
formil adalah peraturan hukum yang dibuat oleh Congress (Parlemen) AS. Di Indonesia, yang disebut sebagai
undang-undang adalah peraturan hukum yang dibuat oleh DPR bersama Presiden
berdasarkan pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang teknis proseduralnya
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang lahir/muncul karena dibentuk
oleh badan resmi yang berwenang. Badan yang berwenang membentuk undang-undang
di suatu negara berbeda dengan negara lain. Umumnya, mengenai kekuasaan
membentuk undang-undang (legislative
power) diatur di dalam konstitusi/UUD suatu negara. Sedangkan
konstitusi/UUD di setiap negara pastilah berbeda-beda. Oleh sebab itu
pembentukan undang-undang disetiap negara berbeda dengan negara lain, andaikata
ada persamaan paling hanya dalam beberapa segi, misalnya dari segi badan yang
berwenang membentuknya. Contoh, kekuasaan membentuk undang-undang di Indonesia
dan Puerto Rico adalah sama, yaitu Parlemen (DPR) bersama dengan Presiden.
Namun masih tetap ada perbedaan dalam
pembentukannya, di Indonesia dikenal dan digunakan sistem Prolegnas (Program
Legislasi Nasional) sedangkan di Puerto Rico tidak dikenal sistem Prolegnas
seperti yang diterapkan di Indonesia.[2]
Melihat uraian diatas, maka pembahasan mengenai pembentukan undang-undang pada
bagian ini akan ditinjau dari segi badan yang berwenang membentuknya. Berikut
ini adalah beberapa cara pembentukan undang-undang ditinjau dari badan yang
berwenang membentuknya dibeberapa negara, antara lain :
1)
Belanda
Di Negeri Belanda, badan yang berwenang
membentuk undang-undang adalah Raja (Kroon)
bersama dengan Staten General (Parlemen)
berdasarkan pasal 112 Grondwet (UUD)
Belanda.
2)
Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, badan yang diserahi
kewenangan membentuk undang-undang hanya badan legislatif, yaitu Kongres.
Kongres sendiri merupakan badan legislatif Amerika Serikat yang terdiri dari
dua majelis (bikameral), yaitu Senate
dan House of Representative.
Presiden tidak berwenang membentuk
undang-undang, namun presiden dapat memveto (menolak menandatangani) suatu
undang-undang yang telah diterima baik oleh Kongres. Jika veto Presiden
diterima oleh Kongres maka undang-undang tersebut tidak diberlakukan.
Sebaliknya, Kongres dapat menolak veto Presiden dengan mengirimkan
undang-undang yang di veto kepada sidang Kongres. Jika undang-undang itu
diterima/disetujui untuk berlaku dengan kuorum 2/3 dari setiap majelis (Senat
dan House of Representative) maka veto presiden dianggap batal dan
undang-undang yang bersangkutan tetap diberlakukan.[3]
3)
Indonesia
Di Indonesia, badan yang berwenang membentuk
undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Kekuasaan
membentuk undang-undang menurut pasal 20 ayat (1) UUD 1945 sebenarnya berada
ditangan DPR. Namun pada ayat-ayat selanjutnya (ayat 2, 3, 4, dan 5) dalam
pasal yang sama (pasal 20 UUD 1945) disebutkan bahwa DPR menjalankan kekuasaan
membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Jadi berbeda dengan di Amerika
yang pembentukan undang-undangnya di monopoli oleh Kongres (legislatif). Di
Indonesia, Presiden (eksekutif) masih juga dilibatkan dalam pembentukan
undang-undang. Pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur soal
kekuasaan membentuk undang-undang, dapatlah disimpulkan bahwa badan yang
berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama dengan Presiden. Dapat
dikatakan bahwa kedua badan tersebut mempunyai kedudukan yang sama kuat dalam
membentuk undang-undang. Undang-undang yang dibahas oleh DPR bersama Presiden
(eksekutif) harus mendapatkan persetujuan bersama.[4]
Jika tidak mendapat persetujuan bersama maka RUU tersebut tidak dapat dimajukan
dalam persidangan DPR masa (periode) itu. Jadi teranglah bahwa badan yang
berwenang membentuk undang-undang adalah DPR bersama dengan Presiden dan
keduanya mempunyai kedudukan yang sama kuatnya.
2.
Kebiasaan
Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum
tertua di dunia, sumber hukum dimana dikenal/dapat digali sebagian dari hukum
diluar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau mengenali hukumnya.[5] Sumber
hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang tidak tertulis. Namun walaupun
bentuknya tidak tertulis (non scripta),
kebiasaan tetap memiliki daya mengikat dan ditaati oleh masyarakat.
Kebiasaan merupakan tatanan norma yang dekat
dengan kenyataan masyarakat (werkelikjheid)
karena timbul dari pergaulan hidup yang dilakukan secara berulang-ulang dan
berkesinambungan. Sebelum lebih
lanjut membahas mengenai kebiasaan maka ada baiknya mengetahui lebih dulu
pengertian kebiasaan menurut para ahli antara lain :
a. C.S.T. Kansil
Kebisaaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu
di terima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan
sedemikian rupa sehingga tindakan yang berlawanan dengan dengan kebiasaan itu
dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum maka dengan demikian timbulah
suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
b. Sudikno Mertokusumo
Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah
laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan
hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg berarti merupakan perilaku
manusia yang diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai kekuataan normatif,
mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk
melakukan hal yang sama, karena menimbulkan keyakinan dan kesadaran bahwa hal
itu memang patut dilakukan (die
normatieve kraft des faktischen).
c. R. Soeroso
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang
dilakukan berulang-ulang mengenai hal tingkah laku kebiasaan yang diterima oleh
suatu masyarakat yang selalu dilakukan orang lain sedemikian rupa, sehingga
masyarakat beranggapan bahwa memang harus berlaku demikian . Jika tidak berbuat
demikian merasa berlawanan dengan kebiasaan dan merasa melakukan pelannggaran
terhadap hukum. Masyarakat yakin bahwa kebiasaan yang mereka lakukan itu
mengandung hukum, maka jika anggota masyarakat itu tidak mentaatinya, dia
merasa melakukan pelanggaran perasaan hukum yang hidup ditengah-tengah
masyarakat.
Dari beberapa pengertian kebiasaan yang
diberikan oleh para ahli diatas sebenarnya masing-masing pengertian itu
memiliki unsur-unsur persamaan. Dari berbagai pengertian kebiasaan diatas dapat
diketahui unsur-unsur kebiasaan. Agar lebih mudah memahami pengertian
kebiasaan, ada baiknya diuraikan unsur-unsur kebiasaan yang terkandung dalam
pengertian kebiasaan tersebut. unsur-unsurnya antara lain:
1.
Perbuatan/tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang
2.
Kebiasaan itu diyakini sebagai pola/tata cara berperilaku yang harus
diikuti
3.
Adanya keyakinan dan kesadaran masyarakat untuk mengikuti kebiasaan
4.
Perbuatan yang berlawanan dengan kebiasaan dirasakan sebagai
pelanggaran perasaan hukum
Dari uraian mengenai pengertian dan
unsur-unsur kebiasaan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebiasaan adalah pola
perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang dan diterima sebagai kelaziman
dalam pergaulan hidup masyarakat. Karena kebiasaan itu sudah menjadi pola yang
ajeg/dilakukan secara berulang-ulang maka timbulah keyakinan dan kesadaran dari
masyarakat bahwa memang demikianlah seharusnya mereka berperilaku. Sebaliknya,
perilaku yang bertentangan dengan kebiasaan dirasakan sebagai pelanggaran
perasaan hukum.
Yang terakhir ini, kebiasaan telah memiliki
kekuatan normatif karena dilakukan berulang-ulang (die normatieve kraft des faktischen) artinya, perbuatan yang
dilakukan secara berulang-ulang memiliki kekuatan normatif untuk diikuti pula
oleh orang lain. Menurut Van Apeldoorn, suatu kebiasaan dirasakan sebagai
kelaziman dan kepatutan berdasarkan pendapat masyarakat, bukan pendapat
seseorang.[6]
Karena kebiasaan
adalah pola perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan aturan
tidak tertulis pada suatu masyarakat maka kebiasaan itu berbeda diantara satu
tempat dengan tempat yang lainnya. Sumber kebiasaan adalah masyarakat itu sendiri,
kebiasaan lahir dari masyarakat, bukan diterapkan secara paksa oleh penguasa.
Oleh karena itu telah dikemukakan sejak awal bahwa kendati pun kebiasaan itu
tidak tertulis namun kebiasaan tetap ditaati oleh masyarakat. Apa yang menuntun
masyarakat untuk mengikuti pola yang telah ada dan dilakukan secara
berulang-ulang adalah keyakinan dan kesadaran mereka sendiri bahwa memang
demikianlah seharusnya mereka berperilaku.
3.
Yurisprudensi
Yurisprudensi
berasal dari bahasa latin “Jurisprudentia”
yang berarti pengetahuan hukum/ilmu hukum. Kata ilmu hukum itu sendiri semakna
dengan kata ”Jurisprudence.” Jusrisprudence berasal dari kata ”Jus” atau “Juris” yang artinya hukum atau hak. ”Prudence” berarti melihat kedepan, atau mempunyai keahlian. Jadi
secara harfiah dan singkat, Jurisprudence
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum.
Biasanya
para ahli mengemukakan definisi suatu istilah/kata dengan bertolak dari kajian
etimologis. Dengan memperhatikan pengertian yurisprudensi secara etimologis
seperti diuraikan diatas, para ahli mencoba memberikan batasan
pengertian/definisi mengenai apa yang dimaksud dengan yurisprudensi.
C.S.T Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia mencoba memberikan definisi tentang
yurisprudensi. Menurutnya, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang
sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai
masalah yang sama.
Sementara itu, R. Soeroso dalam bukunya
Pengantar Ilmu Hukum mengatakan bahwa yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus
yang sama.
Dengan melihat berbagai definisi yurisprudensi
diatas, dapat dirumuskan bahwa yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu
yang diikuti/digunakan oleh hakim lain sebagai dasar dalam menjatuhkan putusan
terhadap perkara yang sejenis.
a. Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon dan sistem eropa kontinental
1)
Yurisprudensi dalam Sistem Anglo Saxon
Yurisprudensi dalam sistem anglo saxon yang dianut oleh Negara Inggris
beserta negara persemakmurannya (bekas jajahannya) dan Negara Amerika Serikat,
mempunyai kedudukan terpenting sebagai sumber hukum yang paling utama. Dalam
sistem anglo saxon, tujuan hukum yang utama adalah untuk mencapai keadilan.
Dalam hal ini kepastian hukum dengan selalu mengedepankan aturan hukum
yang tertulis yaitu undang-undang bukanlah tujuan hukum yang utama. Sebaliknya
untuk mencapai keadilan maka harus diterapkan aturan hukum yang paling dekat
dengan cita hukum masyarakat dan nilai-nilai keadilan yang hidup
ditengah-tengah masyarakat. Keadaan yang demikian menyebabkan kebutuhan akan
sumber hukum selain undang-undang adalah urgen sifatnya. Karena di
negara-negara anglo saxon berkembang baik anggapan yang menilai bahwa
undang-undang sering tertinggal oleh peristiwa yang seharusnya diatur olehnya (het recht hinkt achter de feiten aan),
maka yurisprudensi sebagai hukum yang lahir melalui proses peradilan mempunyai
peran yang penting.
Yurisprudensi diharapkan mampu mengatasi kelemahan yang ada pada
undang-undang sehingga jalannya peradilan tidak terganggu oleh masalah
tersebut. Oleh karena itu, di negara-negara anglo saxon berlaku asas preseden “The binding force of precedent”. Artinya
hakim terikat dan wajib mengikuti putusan hakim terdahulu yang mengatur masalah
yang sama. Lebih-lebih jika yurisprudensi itu berasal dari pengadilan tertinggi
negara (MA), tentu akan mempunyai kedudukan tersendiri bagi hakim bawahan. Oleh
sebab itu R. Soeroso menyebutkan bahwa di negara anglo saxon, mempelajari
yurisprudensi adalah primer. Sedangkan mengetahui undang-undang adalah
sekunder.[7]
2)
Yurisprudensi dalam Sistem Eropa Kontinental
Yurisprudensi di negara-negara eropa kontinental (eropa daratan) serta
negara jajahan yang menerima pengaruhnya, mempunyai kedudukan yang penting
sebagai sumber hukum setelah undang-undang. Umumnya Yurisprudensi digunakan
dalam peradilan/hakim manakala undang-undang tidak mengatur/tidak secara jelas
mengatur masalah yang dihadapi oleh hakim. Jadi selama undang-undang mengatur
masalah yang dihadapai/diadili oleh hakim undang-undang itulah yang lebih
diutamakan.
b.
Yurisprudensi sebagai sumber hukum formil
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Namun di lain
sisi, undang-undang dengan bentuknya yang tertulis seringkali tertinggal oleh
perkembangan masyarakat atau sering juga undang-undang tidak mengatur suatu
persoalan secara jelas.
Mengenai sejumlah kelemahan undang-undang ini, Bagir Manan menyebutkan
bahwa hukum tertulis (undang-undang) tidak lain sebagai “moment opname” dari kekuatan/kondisi politik, ekonomi,
sosial-budaya, hankam dan lain-lain. Oleh karena itu undang-undang seringkali
aus (out of date) dan tertinggal dari
perkembangan masyarakat yang cepat atau dipercepat.[8]
Kebutuhan akan penerapan hukum di pengadilan dan sifat undang-undang
yang banyak memiliki kelemahan seperti yang diterangkan oleh Bagir Manan
diatas, akhirnya membuka jalan bagi hakim untuk menggunakan yurisprudensi guna
mengatasi kekurangan dan ketidaklengkapan undang-undang. Sudikno Mertokusumo
mengutarakan pendapatnya mengenai sejumlah permasalahan yang terdapat dalam
undang-undang. Menurutnya, makin tua usia undang-undang makin banyaklah timbul
yurisprudensi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut karena undang-undang
yang sudah tua itu perlu ditafsirkan untuk disesuaikan dengan keadaan baru
dengan putusan pengadilan.[9]
Kewajiban hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang dihadapkan pada ketidaksempurnaan undang-undang inilah yang membuat
yurisprudensi memiliki peran dan
kedudukan yang penting sebagai salah satu sumber hukum formil disamping
undang-undang. Pada tahap ini yurisprudensi memberi sumbangan berarti dalam
sistem peradilan dimana hakim dapat mengkonstantir/menggunakan yurisprudensi
sebagai dasar dalam memutus suatu perkara.
Berlakunya yurisprudensi sebagai sumber hukum berbeda dengan
undang-undang. Undang-undang mengikat setiap orang secara umum, sedangkan
yurisprudensi hanya mengikat pihak-pihak dalam perkara yang bersangkutan saja.
Di luar perkara tersebut yurisprudensi tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Perbedaan lain antara yurisprudensi dengan undang-undang adalah bahwa
yurisprudensi merupakan produk yudikatif yang melakukan penerapan hukum dari
yang semula masih bersifat abstrak berubah menjadi putusan pengadilan yang
bersifat konkret. Putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja
dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang.[10]
Mengenai sifat putusan pengadilan yang hanya mengikat/berlaku bagi
para pihak yang berperkara, perlu diketengahkan
pasal 21 AB yang pada intinya melarang hakim membuat putusan yang
sifatnya mengatur umum.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah sumber
hukum formil. Disebut sumber hukum formil
karena yurisprudensi memiliki bentuk tertentu yaitu berupa putusan hakim dan
dibentuk dengan cara tertentu pula,
yaitu dibentuk oleh hakim dalam persidangan pengadilan.
c.
Alasan-alasan hakim mengikuti/menggunakan
putusan hakim lain
1)
Alasan psikologis
Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena keputusan hakim
tersebut mempunyai kekuatan/kekuasaan hukum. Lebih-lebih jika putusan itu
adalah putusan pengadilan/hakim tertinggi negara (MA/Hakim MA) maka putusannya
mempunyai kedudukan yang terhormat di lingkungan peradilan. Hakim lain segan
untuk menyimpanginya.
2)
Alasan Praktis
Hakim mengikuti/menggunakan putusan hakim lain karena pada perkara
yang sama sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu. Apalagi putusan
itu adalah putusan pengadilan tertinggi negara (MA) atau telah
dibenarkan/diperkuat olah pengadilan tertinggi negara. Jadi alasannya adalah
alasan praktis, dengan mengikuti putusan yang telah ada. Untuk apa hakim susah
payah membuat putusan yang berlainan dengan putusan yang telah ada apalagi jika
putusan itu telah dibernarkan/diperkuat oleh pengadilan tingkat atas.
Alasan praktis ini juga berfungsi untuk menjaga konsisteni putusan
pengadilan. Jangan sampai terjadi bahwa terhadap perkara yang sama diputus
dengan putusan yang berlainan atau bertentangan. Dalam hal ini dikenal asas “similia similibus” yang berarti terhadap
perkara yang sama diputuskan dengan putusan yang sama pula.
3)
Alasan kesamaan pendapat
Hakim mengkuti putusan hakim lain karena hakim
tersebut merasa sependapat terhadap putusan hakim yang telah ada/terdahulu.
4.
Traktat
Beberapa definisi mengenai perjanjian
internasional atau disebut dengan
Traktat antara lain :
1. Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Pasal 2)
Perjanjian Internasional adalah suatu
persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama
yang diberikannya.
2.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional adalah perjanjian,
dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang
dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik.
3. Oppenheim
Perjanjian
Internasional adalah suatu pesetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan
kewajiban di antara pihak yang mengadakannya.
Dalam banyak literatur, masih banyak para ahli
yang memberikan definisi traktat/perjanjian internasional hanya sebatas
perjanjian antar negara. Pandangan/definisi yang demikian sudah tidak relevan
lagi dengan zaman dan dinamika Internasional dewasa ini, sebab terlalu sempit
ruang lingkupnya; hanya negara-dengan negara atau goverment to goverment (G to
G). Padahal jika merujuk kepada buku hukum internasional karya para ahli hukum
internasional maupun dinamika internasional yang terjadi secara faktual,
perjanjian internasional tidak hanya sebatas perjanjian antara dengan negara
saja, melainkan juga dapat melibatkan subjek hukum internasional lainnya
seperti Organisasi Internasional, Perusahaan mutinasional (multi national coorporation), Palang Merah Internasional, Tahta
Suci Vatikan, Pemberontak (belligerent),
atau pun Gerakan Pembebasan Nasional misalnya PLO (Palestine Liberation Organization).
Bertolak dari pandangan diatas maka penulis
merumuskan pengertian perjanjian internasional dengan tidak hanya mengartikan
perjanjian internasional sebagai perjanjian antar negara. Kesimpulannya,
traktat/perjanjian internasional adalah perjanjian antara negara dengan negara
atau negara dengan subjek hukum internasional lainnya yang melahirkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik.
a. Macam-macam traktat
Dalam kepustakaan ilmu hukum, dikenal beberapa macam traktat. Traktat dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
1. Traktat bilateral: adalah
perjanjian antara dua negara atau antara negara dengan subjek hukum
internasional bukan negara. Contoh, Perjanjian antara dua negara; Perjanjian
RI-Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang diratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973. Sedangkan contoh perjanjian antara
negara dengan subjek hukum internasional adalah Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
ASEAN Relating to the Privileges and Immunities of the ASEAN Secretariat (Persetujuan
antara Pemerintah Repubik Indonesia dengan ASEAN tentang Hak Istimewa dan Hak
Imunitas Sekretariat ASEA) 20 Januari
1979.
2. Traktat mutilateral: adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua
negara atau subjek hukum internasional bukan negara. Contoh, Perjanjian antara
5 Negara; Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Philipina tentang
Kerjasama Regional (ASEAN) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor6 Tahun
1976.
3. Traktat kolektif/terbuka: adalah traktat yang dibuat oleh banyak
negara dan memungkinkan negara lain yang semula tidak ikut dalam perjanjian
untuk masuk menjadi anggota/pihak dalam perjanjian tersebut. Contoh: Piagam PBB
(United Nations Charter).
b. Jenis-jenis kaidah hukum yang terkandung dalam traktat
1. Treaty Contract: Perjanjian Internasional yang hanya
mengadung kaidah hukum berupa hak dan kewajiban serta akibat hukum bagi pihak
yang mengadakan perjanjian. Contoh, perjanjian keewarganegaraan antara dua
negara, perjanjian penetapan batas wilayah antara dua negara, dan
perjanjian-perjanjian internasional lain yang hanya menimbulkan akibat hukum
bagi para pihak dalam perjanjian.
2. Law Making Contract: Perjanjian Internasional yang
menghasilkan/meletakan kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara umum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan. Contoh, Piagam PBB 1945, Konvensi
Wina Tahun 1969 yang mengatur mengenai Perjanjian Internasional, Konvensi Hukum
Laut Internasional Tahun 1982, dan
perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang menghasilkan kaidah-kaidah
hukum yang berlaku umum bagi masyarakat internasional.
5.
Doktrin
Undang-undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, dan
Traktat adalah sumber hukum formil. Sumber yang menunjukan dimana kita dapat
menemukan hukumnya atau sumber darimana kita dapat mengenal hukumnya. Namun
bukan hal yang tidak mungkin keempat sumber hukum formil diatas masih juga
belum dapat memberikan jawaban mengenai hukumnya. Dalam hal yang demikian
doktrin mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum, yaitu untuk
mengatasi masalah seperti yang dikemukakan diatas. Hakim dapat menemukan
hukumnya atau hakim dapat berpegang pada doktrin dalam memutus suatu perkara.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
doktrin, ada baiknya kita mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan
doktrin. Doktrin secara
etimologis berasal dari bahasa latin “doctor”
yang berarti guru atau “doctrina”
yang berarti apa yang telah diajarkan guru atas dasar ilmu. Di Romawi kuno, doctrina disebut juga dengan istilah Jusprodentibus constitutum. “jus” berarti hukum, “prudentes” berarti orang cerdik pandai,
dan “constitum” memiliki arti
diciptakan. Jadi dari pengertian secara etimologis itu doktrin dapat diartikan
sebagai hukum yang diciptakan oleh orang cerdik pandai/ahli.[11]
Sedangkan doktrin menurut penulis adalah ajaran
atau pendapat para ahli hukum yang telah diakui kepakarannya dan besar
pengaruhnya dalam dunia hukum. Namun ajaran para ahli atau ilmu hukum bukan
merupakan hukum karena tidak memiliki kekuatan mengikat (binding force). Seorang ahli hukum dapat dikatakan mengeluarkan
doktrin apabila pendapat ahli hukum tersebut dijadikan dasar pertimbangan oleh
hakim dalam memutus perkara.
Doktrin selain berwibawa juga bersifat
objektif, sama halnya dengan pengadilan yang harus berlaku objektif. Oleh
karenanya doktrin seringkali digunakan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan
dalam putusannya. Lebih-lebih jika doktrin itu mengatur secara eksplisit
mengenai perkara yang sedang diperiksa dan diadili hakim, tentu akan mempunyai
kedudukan yang tersendiri dalam peradilan.
Doktrin sebagai sumber hukum formil berarti
doktrin menjadi tempat bagi hakim dalam mencari dan menemukan hukumnya.
Kemudian doktrin itu digunakan hakim sebagai dasar putusannya. Kalimat diatas
memberikan pengertian bahwa doktrin yang menjadi sumber hukum formil adalah
doktrin yang telah digunakan oleh hakim sebagai dasar putusannya, atau dengan
kata lain doktrin yang telah menjelma menjadi putusan hakim. Sedangkan doktrin
yang hanya sekedar ajaran atau ilmu pengetahuan dan belum digunakan oleh hakim
dalam putusannyam bukan merupakan sumber hukum formil.
Doktrin dalam sumber hukum formil nampak jelas
terlihat pada pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice)
tentang sumber-sumber Hukum Internasional. Pasal tersebut menyebutkan
sumber-sumber hukum internasional, yaitu sebagai berikut:
1. Perjanjian Internasional (treaty);
2. Kebiasaan Internasional (international customary);
3. Prinsip-prinsip umum hukum (the general principles of law) yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; dan
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para
ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching
of the most highly qualified publicist).
[1] Lihat pasal 20 jo pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Produk
hukum yang dihasilkan melalui prosedur seperti yang diatur dalam kedua pasal
UUD 1945 itulah yang disebut sebagai undang-undang dalam arti formil.
[2] Moh. Mahfud M.D., Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2010, hlm.XV.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmi Politik, Edisi Revisi, Cet. Pertama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hlm. 304.
[4] Dalam prakteknya (teknis pelaksanaannya), Presiden
selalu menunjuk menteri yang membidangi masalah yang diatur dalam RUU untuk
membahsanya bersama DPR. Jadi bukan Presiden yang langsung mengikuti
rapat-rapat pembahasan RUU di DPR.
[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 137.
[6] Van Apeldoorn, Inleiding
Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht (Terjemahan oleh Oetarid Sadino:
Pengantar Ilmu Hukum), Pradnya Paramita, Jakarta,
1990, hlm.113.
[8] Bagir Manan dalam Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hlm.63.
[9] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm148.
[10] Ibid.,
hlm.146.