Keberadaan positivisme hukum tidak dapat dilepaskan
dari kehadiran negara modern. Sebelum abad ke 18 pikiran itu telah hadir,
dan menjadi semakin kuat sejak lahrnya
negara modern
pada abab ke 18-20 M. Selain itu, pemikiran positivisme hukum adalah
bagian yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan positivisme (ilmu).[1] Berbeda
dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum
buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan
kepada permasalahan konkrit. Jawaban terhadap permasalahan konkrit tersebut,
berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam positivisme, yakni:[2]
- Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (Comte dan Spenser), bukan pula bersumber pada jiwa bangsa (Savigny) dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan mendapatkan bentuk postifnya dari instansi yang berwenang.
- Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
- Isi hukum (material) diakui, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak karakteristik ilmiah dari ilmu hukum itu sendiri.
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa positivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang
aspek metafisik dari hakekat
hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan dunia hukum dari
segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum tersebut. Aliran
pemikiran ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah
ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang didasarkan atas semua sistem normatif
yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem normatif yang berlaku itu
dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan
kelengkapannya, yaitu sanksi.[3]
Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua: Postivisme Klasik dengan tokohnya antara lain John Austin
dan Hans Kelsen dan Neo
Postivisme
dengan tokohnya antara lain adalah H. L. A Hart.
Berbicara tentang kritik Hart terhadap teori positivisme Austin maka tidak
bisa dilepaskan dari teori positivismenya Austin itu sendiri. Karena
pada dasarnya apa yang dikemukakan Hart merupakan koreksi terhadap teori Austin.
Menurut
Hart, dalam melihat hukum tidak mungkin mendefinisikannya secara menyeluruh dan dapat
diterima oleh semua
orang.[4] Dia
berargumentasi bahwa hukum dapat dimengerti dari persatuan antara peraturan-peraturan primer dan peraturan-peraturan sekunder.
Persatuan ini, menurut dia, akan menjadi peraturan-peraturan
sosial. Ketika melihat hukum, Hart memposisikan diri sebagai social observer of law. Dia mencoba
mengerti dan menerangkan hukum dari pandangan eksternal agar terbebas dari
moral. Namun dalam kenyataannya, pandangan eksternal ini hanya digunakan
sebagai pengantar terhadap persoalan intinya. Beangsur-angsur pandangan
eksternal itu menjadi lenyap dan digantikan sama sekali oleh pandangan
internal. Dia mengatakan bahwa hukum harus dilihat “essentially from internal point of view.” Dengan demikian dia tidak
konsisten. Ketika dia mengatakan internal
point of view, yang dimaksud pada dasarnya adalah officials. Sedangkan yang dimaksud officials adalah pejabat peradilan, dalam hal ini adalah hakim. Di sinilah telah terjadi
reduksi. Reduksi pertama mengenai sumber hukum. Hakim didudukkan sebagai
pembentuk hukum. Meskipun harus berakar pada gabungan antara peraturan-peraturan
primer dan sekunder, namun
pada akhirnya hakim lah yang menentukan apakah peraturan
primer itu valid atau tidak.
Seperti yang sudah
dikemukakan diatas, dalam banyak literatur hukum, khususnya yang “ber-genre”
filfasat hukum, Hart seringkali digolongkan ke dalam kelompok filsuf yang berhaluan positivis. Namun diakui bahwa
posivisme Hart sudah tidak seketat positivisme yang dianut oleh Austin dan Hans
Kelsen yang betul-betul mengkonsepsikan hukum sebagai aturan normatif yang lepas
dari unsur moralitas dan keadilan.[5] Dalam filsafat yang
dikembangkan Austin dan Hans Kelsen bahkan ada istilah yang menyebut bahwa
hukum adalah hukum, sepanjang ia dibuat oleh pihak yang berwenang, oleh
karenanya ia mengikat, tidak peduli apakah ia bermoral atau tidak bermoral bahkan
tidak teduli apakah ia adil atau tidak adil.
Dalam bukunya yang
terkenal “The Concept of Law” Hart
justru banyak mengkritik konsep hukum yang dikembangkan Austin. Salah satu
kritik tajam yang diarahkan Hart pada Austin ialah perihal pemaknaan hukum yang
hanya semata-mata dipersepsikan sebagai perintah (law as command) yang dilengkapi dengan ancaman sanksi. Konsep
tersebut seolah-olah memandang hukum hanya dari sifat imperatifnya saja berupa
keharusan-keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disertai
dengan ancaman sanksi bagi yang melanggarnya. Konsep tersebut dikritik oleh
Hart karena ia berpandangan bahwa hukum tidak hanya berupa perintah-perintah
yang disertai dengan ancaman-ancaman sanksi bagi pelanggarnya (imperatif),
hukum dapat juga berwujud peraturan yang memberikan kekuasaan pada seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau dengan kata lain dapat juga
bersifat fakultatif.[6]
Konsep dua segi
(imperatif dan fakultatif) dari aturan hukum yang bermula dari kritiknya
terhadap teori perintah Austin ini kemudian dikembangkan lebih lanjut olehnya
(Hart) menjadi teori peraturan primer dan peraturan sekunder. Peraturan primer
adalah tipe peraturan yang membebankan kewajiban (imperatif) sedangkan
Peraturan sekunder adalah tipe peraturan yang memberikan kekuasaan
(fakultatif).[7]
Salah satu teori yang
dikembangkan Hart melalui bukunya “The
Concept of Law” ialah mengenai sifat terbuka dari peraturan hukum atau yang
lebih dikenal dengan istilah “tekstur terbuka hukum (open texture)”. Menurutnya, peraturan hukum memiliki kelemahan
alamiah berupa keterbatasan bahasa serta keterbatasan jangkauannya akan
situasi-situasi yang muncul di masa depan. Peraturan seringkali terkendala oleh
masalah bahasa yang kurang lugas dan menimbulkan beragam interpretasi (multi
tafsir). Demikian juga peraturan seringkali tidak dapat mengantisipasi
situasi-situasi yang muncul kemudian, sehingga diperlukan ruang diskresi bagi
hakim untuk mencocokan peristiwa hukum dengan peraturan yang mengaturnya. Atas
dasar itulah kemudian Hart menyebut bahwa hukum memiliki dimensi yang terbuka
yang ia tuangkan dalam istilah “tektur terbuka hukum.” Apabila terjadi
persoalan hukum akibat sifat hukum yang terbuka itu maka terbuka pula ruang
bagi pengadilan untuk memerankan fungsi sebagai penghasil/pembuat hukum guna
menyelesaikan persoalan yang dimaksud.[8]
Dalam membangun
argumentasi kritisnya terhadap postivism terdahulu (Austin dan Hans Kelsen),
Hart ternyata juga tidak terlepas dari kritik filsuf hukum lainnya. Salah satu
diantara pengkritik itu ialah Ronald Dworkin. Objek perdebatan antara Hart dan
Dworkin itu ialah tentang diskresi hakim. Hart berada dalam pendirian yang
menyetujui diskresi yang kuat atau luas bagi hakim-hakim di pengadilan untuk
menciptakan/membuat hukum, sementara Dworkin berada dalam posisi yang kurang
setuju dengan konsep diskresi hakim yang dilontarkan olrh Hart. Perdebatan itu
bermula ketika Dworkin melontarkan ketidaksetujuannya kepada Hart perihal
diskresi yang luas bagi hakim, termasuk kewenangan hakim untuk membuat hukum
baru melalui putusannya. Selain itu, Dworkin juga mengemukakan pentingnya
prinsip-prinsip hukum. Menurutnya (Dworkin), prinsip-prinsip hukum lebih
berharga ketimbang peraturan karena dasar mengikatnya sebuah peraturan justru
terletak pada kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip hukum, hal mana tidak
ditemukan dalam filsafat pemikiran Hart. Masih menurutnya, prinsip-prinsip
hukum harus selalu diperhatikan oleh pengadilan sepanjang prinsip itu relevan.[9]
Hart, di dalam postscript-nya
yang berjudul “Postivisme dan Pemisahan Hukum dengan Moral” menceritakan
“hijrah pemikiran” salah seorang filsuf termashyur Jerman abad 20, yaitu Gustav
Radbruch. Sebelum Nazi berkuasa dan mengobarkan perang paling berdarah
sepanjang peradaban manusia, Radbruch adalah seorang positivis. Akan tetapi
berdasarkan penglaman buruk dan mengerikan selama periode kekuasaan Nazi yang
menggunakan positivisme sebagai legitimasi kekuasaannya, Radbruch kemudian
menjadi berfikir ulang akan hakekat positivisme yang selama ini ia anut karena
positivisme itu dianggapnya telah turut menyumbang kerusakan yang ditimbulkan
Nazi karena dengan mudahnya rezim diktatorial itu berlindung dibalik positivsme
hukum yang pada periode itu memang sedang mengemuka.
Pengalaman mengerikan
dibawah rezim Nazi yang dialami sendiri oleh Radbruch itulah yang kemudian
mendorong Radbruch untuk meninjau ulang pendiriannya dan akhirnya membawa
Radbruch pada kesimpulan untuk beranjak meninggalkan paham positivisme hukum
yang selama itu dianutnya.
Setelah tumbangnya
rezim Nazi yang ditandai dengan berakhirnya Perang Dunia II di Eropa dengan
kemenangan di pihak sekutu, Radbruch merubah total pendirian sebelumnya, bahkan
ia kemudian menjadi kritikus yang paling lantang menentang positivisme hukum
dan konsep pemisahan antara hukum dan moral. Radbruch melakukan perubahan besar
dalam pemikirannya pasca Perang Dunia II dan peristiwa inilah yang dipuji oleh
Hart sebagai pengakuan akan kesalahan yang luar biasa dari seorang Radbruch:
“..... his appeal to other men to discard the
doctrine of the separation of law and morals has the special poignancy of
recantation.”[10]
Pandangan-pandangan
post postivism Radbruch seolah menjadi angin segar bagi dunia hukum yang sudah
cukup lama terbelenggu oleh kekangan positivisme hukum sejak munculnya
negara-negara modern. Sejak saat itu, Radbruch mematrikan kembali nilai
keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum. Hukum tidak lagi teraleniasi
dari pertimbangan moral dan keadilan.[11]
Pandangan Radbruch yang
kembali menekankan pentingnya keadilan, dan hubungan diantara hukum dan moral
oleh Hart disebut sebagai pertanda kebangkitan kembali hukum alam sekligus
keruntuhan positivisme hukum. Lebih-lebih kejahatan dan kehancuran yang
ditimbulkan Nazi demikian hebatnya sehingga positivisme hukum dianggap tidak
cukup memadai untuk mengadili kejahatan Nazi karena pada kenyataanya tindakan
brutal Nazi itu adalah legal dibawah hukum Nazi yang berlaku pada saat tindakan
itu dilakukan. Jika tetap berpegangan pada paham positivis maka
kejahatan-kejahatan itu tidak akan bisa dituntut dan dijatuhi hukuman. Itulah
sebabnya Radbruch hadir menawarkan gagasan barunya akan prinsip keadilan
sebagai mahkota hukum.
Pendapat-pendapat
Radbruch yang mengkritisi habis dan merobohkan dinding-dinding positivisme guna
mengatasi “kemacetan hukum” yang disebabkan benturan antara kepastian hukum dan
keadilan telah menjadikan namanya membumbung tinggi melebihi siapa pun sesaat
setelah Perang Dunia II berakhir. Salah satu petikan pendapatnya yang terkenal
dalam soal itu ialah:
“Preference
should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enacment
and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general
welfare, unless the violation of justice reaches so intolerable a degree that
the rule become in effect “lawless law” and must therefore yield to justice.”[12]
Dari petikan kalimat
diatas, pada pokoknya Radbruch menyatakan bahwa jika pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan sudah sedemikian besar dan tidak dapat ditolelir
maka kepastian hukum itu harus dilepaskan dan keadilanlah yang harus
didahulukan. Doktrin ini kemudian dengan segera menjadi populer, dikarenakan
adanya kebutuhan legitimasi doktrin yang dapat memberi jalan untuk mengadili
para penjahat Nazi yang berlindung di balik positivisme hukum.
Doktrin Radbruch ini
kemudian diadopsi dan “berbicara” dalam persidangan-persidangan yang mengadili
para pelaku kejahatan di masa Nazi berkuasa. Bahkan doktrin ini telah pula
diadopsi oleh International Military
Tribunal terhadap penjahat Perang Dunia II, baik dalam Peradilan Nuremberg
(1945-1946) yang mengadili penjahat perang Nazi maupun dalam Peradilan Tokyo
(1946-1948) yang mengadili penjahat perang Jepang.[13]
Diakhir postscript-nya, Hart mengakui bahwa
doktrin Gustav Radbruch yang menentang positivisme hukum dan pemisahan hukum
dan moral telah banyak diikuti dan diadopsi oleh pengadilan-pengadilan, tidak
hanya di Jerman melainkan di banyak penjuru dunia. Postscript yang ditulis Hart ini dalam pandangan penulis menunjukan
semacam “pengakuan diam-diam” dari Hart terhadap perkembangan pemikiran hukum
yang bergerak ke arah post positivism dan keniscahyaan hubungan antara hukum
dan moral.
Hal tersebut sebenarnya
juga sudah dapat dibaca dalam bagian-bagian akhir dari buku Hart yang berjudul “The Concept of Law” dimana Hart yang
meskipun disatu sisi hendak mempertahankan pemisahan antara hukum dan moral
namun dalam keadaan tertentu ia juga dapat tidak menafikan hubungan antara
hukum dan moral. Sebagai contoh, Hart mengatakan bahwa:
“Hukum di semua negara modern dalam berbagai seginya
memperlihatkan adanya pengaruh dari moralitas sosial yang diterima maupun
cita-cita moral yang lebih luas........ dalam sebagian sistem, seperti di
Amerika Serikat, kriteria terakhir validitas hukum meliputi secara eksplisit
prinsip-prinsip keadilan atau nilai-nilai moral substantif ..... tidak ada
seorang pun “penganut posivisme hukum” yang bisa menyangkal bahwa stabilitas
sistem hukum untuk sebagian bergantung pada kesesuaiannya dengan moral. Jika
yang dimaksud dengan hubungan perlu antara hukum dan moral adalah seperti ini,
tentu saja keberadaannya akan bisa diterima.”[14]
Meskipun secara prinsip
pemikiran Hart masih dikategorikan atau bercorak positivis namun Hart sudah
mulai kritis terhadap teori positivisme itu sendiri. Itulah sebabnya ia kemudian disebut-sebut
sebagai pelopor aliran pemikiran Ilmu Hukum Normatif Dan Modern Analitis atau
sebagian kalangan menyebutnya sebagai aliran “Neo Positivism,” maksudnya adalah aliran positivis yang
terbarukan, yang sudah mulai kritis terhadap pemikiran-pemikiran positivism
konservatif sebagaimana dahulu dibawakan oleh John Austin dan Hans Kelsen.
[1] Arief Shidarta, Postivisme Hukum, Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2007, hlm. 2-3.
[2] Lili Rasydi dan I.B. Wyasa
Putera, .Hukum
Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 119.
[3] E Sumaryono, Etika Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat
Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 183.
[4] H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Diterjemahkan oleh
M. Khozim, Nusa Media, Cet. Ke-V, Bandung, 2013, hlm. 1-3.
[5] Untuk mengetahui pandangan-pandangan John
Austin ini lihat selengkapnya dalam bukunya “The
Province of Jurisprudence Determined”; sementara untuk mengetaui pandangan-pandangan
Hans Kelsen lihat selengkapnya dalam bukunya “General Theory of Law and State” dan “Pure Theory of Law.”
[6] Lihat dalam H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Diterjemahkan oleh
M. Khozim, Cet. Ke-V, Nusa Media, Bandung,
2013, hlm. 28-48.
[7] Ibid.,
hlm. 127.
[8] Ibid.,
hlm. 192-210.
[9] Lihat kritik Dowrkin terhadap Hart ini lebih
lanjut dalam Ronald M. Dworkin, The Model
of Rules, Yale Law School, 1967.
[10] H. L. A. Hart, Positivism and the Separation of Law and Morals, Harvard Law
Review, 1958, hlm.1.
[11] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm. 116-117.
[12] Gustav Radbruch dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 169.
[13] Mengenai peristiwa Peradilan Nuremberg dan
Peradilan Tokyo ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius
terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 45-82.
[14] H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law),
Op Cit., hlm. 315-316.