Pilihan
dan Tafsir Konstitusional atas Penyelenggaran Pemilihan Umum
Undang-Undang
Dasar Negara Republik 1945 (UUD NRI 1945) yang merupakan supreme law of the land telah membingkai sistem ketatanegaraan
republik ini sedemikian rupa, termasuk Pemilihan Umum (Pemilu). Dewasa ini
Pemilu didaulat sebagai sarana utama pengejawantahan kedaulatan rakyat oleh
negara-negara demokrasi di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pemilihan umum
dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur demokrasi di suatu negara.[2]
Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Pemilu merupakan syarat mutlak bagi negara
demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.[3]
Demikian pentingnya pranata Pemilihan Umum dalam sebuah negara demokrasi, Konstitusi
kita pun turut mengatur mekanisme “hajatan demokrasi” tersebut.
Pemilihan
Umum diatur dalam Pasal 22E (Bab VIIB) UUD. Khusus mengenai Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), selain diatur dalam Pasal 22E, diatur
juga dalam Pasal 6A.
Berikut
bunyi Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (2)[4]:
Pasal
22E
Ayat
(1)
Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali.***)[5]
Ayat
(2)
Pemilihan
umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.***)
Ayat
(6)
Ketentuan
lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 6A
Ayat
(2)
Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
Sebagaimana
lazimnya dalam teori konstitusi, UUD hanya mengatur secara umum/pokok-pokoknya
saja, sedangkan pengaturan yang lebih jelas dan rinci diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. Begitu pun halnya dengan persoalan Pemilu, Pasal 22E ayat
(6) mendelegasikan kewenangan kepada Pembentuk UU (delegatie van wetgevingbevogheid) untuk mengaturnya lebih lanjut.
Sesuai
perintah Pasal 22E ayat (6) UUD diatas, maka kemudian Pembentuk UU (DPR bersama
Presiden) membentuk undang-undang yang mengatur Pemilihan Umum. Melalui
pembentukan undang-undang tersebut, Pembentuk UU menuangkan dan menetapkan
politik hukum penyelenggaraan Pemilu di Indonesia sebagai pelaksanaan amanat
UUD.
Politik
hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang dalam rangka menerjemahkan dan
mengelaborasi Pasal 22E dan Pasal 6A UUD ternyata ialah membagi dan memisahkan
penyelenggaraan Pemilu menjadi dua, yaitu Pemilu untuk memilih Anggota DPR,
DPD, dan DPRD (Pilleg) dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Politik
hukum tersebut tercermin dan terbukti
dengan (selalu) dibentuknya dua undang-undang Pemilu (UU Pilleg dan UU Pilpres)
yang memisahkan penyelenggaraan Pilleg dan Pilpres.
Potret
politik hukum itulah yang kemudian banyak dipersoalkan. Polemik penyelenggaran
Pilleg dan Pilpres yang terpisah itu tidak hanya bergulir deras dalam
forum-forum sosial dan ilmiah, melainkan juga dipersoalkan secara hukum melalui
uji konstitusionalitas UU No. 42 Tahun 2008 (UU Pilpres), khususnya terhadap
pasal-pasal yang menetapkan penyelenggaraan Pilpres setelah penyelenggaran
Pilleg (terpisah).
Sejak
Desember 2008, tercatat sudah ada 3 permohonan pengujian atas pasal-pasal UU
Pilpres yang mengatur penyelenggaraan Pemilu secara terpisah (termasuk soal presidential thereshold)[6] yang
diajukan oleh 3 pemohon. Permohonan-permohonan tersebut kemudian digabungkan
perkaranya dan telah diputus oleh MK dengan Putusan No.51-52-59/PUU-VI/2008
tertanggal 18 Februari 2009 yang pada pokoknya adalah menolak permohonan
pemohon.[7]
Dalam
putusan tersebut MK menolak permohonan pemohon yang mempersoalkan Pemilu yang
tidak serentak antara Pilleg dan Pilpres serta ketentuan ambang batas perolehan
suara bagi Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusulkan Calon Presiden
dan Wakil Presiden (presidential
thereshold).[8]
Amar
putusan yang menolak permohonan tersebut didasarkan atas pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada pokoknya ialah sebagai berikut:
1. Mahkamah
berpendapat bahwa pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden
dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pengalaman tersebut telah
menjadi kebiasan (konvensi) dimana kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Selain
itu, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh MPR [Pasal 3 ayat
(2) UUD 1945], maka Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR.
Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh
karenanya harus dibentuk terlebih dahulu.
2. Mahkamah
dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang
atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan
terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal
policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang
dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential
threshold, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai
buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas
melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Putusan
MK atas pengujian UU Pilpres yang hanya berjarak 2 bulan sebelum hari
pemungutan suara Pilleg 2009 tentu saja melegakan. Jadwal dan tahapan
penyelenggaraan Pemilu 2009 yang sudah dan sedang berjalan tidak kacau balau
karena MK menyatakan Pemilu terpisah tetap konstitusional.
Pemilhan
Umum Tahun 2009 telah berjalan dan dilaksanan terpisah. Namun demikian Putusan
MK No.51-52-59/PUU-VI/2008 ternyata tidak begitu saja dapat memuaskan semua
pihak. Menjelang gelaran Pemilu 2014, UU Pilpres kembali dimohonkan
pengujiannya, yakni mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu yang terpisah
dan ketentuan presidential threshold,
namun dengan batu uji dan dalil-dalil yang berbeda, sehingga mahkamah tidak
menganggapnya sebagai ne bis in idem.
Permohonan
tersebut dimohonkan oleh Efendi Gazali dan diregistrasi di MK tanggal 22
Januari 2013 dengan No. 14/PUU-XI/2013. Pasal-pasal yang diuji yaitu Pasal 3
ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112
UU 42 Tahun 2008 terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1),
dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam
permohonannya, Pemohon mengemukakan dalil-dalil (funamentum petendi) yang secara garis besarnya ialah sebagai
berikut:
a. Sistem
Pemerintahan yang dianut UUD adalah sistem presidensial. Dalam sistem
presidensial jabatan Presiden tidak bergantung pada dukungan legislatif.
Karenanya tidak relevan mengaitkan dukungan Parpol kepada Presiden. Oleh sebab
itu sebetulnya secara teoritis sistem presidensial tidak mengenal Pemilu yang
terpisah antara Pilleg dan Pilpres, lebih-lebih mempersyaratkan presidential thereshold yang begitu
tinggi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres;
b. Menurut
Teori Presidential Coattail Effect;
dalam Pemilu serentak, pemilih cenderung memilih partai atau gabungan partai
yang mengusung Capres pilihannya. Dengan demikian akan tercipta keselerasan
antara kekuatan eksekutif dan kekuatan legislatif sehingga Pemilu serentak pun
dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat.
c. Pemilu
serentak lebih memungkinkan tercapainya political
efficacy, yaitu kemampuan menentukan hasil politik, dimana Pemilih dapat
menentukan akan memilih partai mana dan Capres mana, baik yang sama antara
Capres dan partai pengusungnya (straight
ticket) maupun beda antara Capres dan partai politik yang dipilihnya (split ticket). Hal mana sulit terjadi
dalam Pemilu terpisah karena belum tentu Capres pilihannya dapat menjadi
peserta Pilpres karena mungkin partainya tidak memenuhi presedential thereshold;
d. Bahwa
dalam pelbagai penelitian telah terbukti bahwa Pemilu serentak dapat lebih
menjamin efisiensi dan efektivitas, baik dari segi anggaran maupun persentase
penggunaan hak pilih serta konstelasi politik yang terbangun setelahnya;
e. Pemilu
serentak dapat menghemat anggaran negara, karena semakin banyak penyelenggaraan
Pemilu maka semakin banyak biaya yang dikeluarkan, utamanya gaji/honor
penyelenggara Pemilu yang porsinya lebih dari 65% dari seluruh anggaran Pemilu;
f. Berdasarkan
perhitungan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah, jika Pilpres dan Pilleg
dilakukan serentak maka terjadi efisiensi dan efektivitas setidaknya dalam 7
hal;
1)
Pemutakhiran data pemilih (tidak perlu
dua kali kecuali terjadi Pilpres putaran kedua);
2)
Sosialisasi;
3)
Perlengkapan TPS;
4)
Distribusi logistik;
5)
Perjalanan dinas;
6)
Honararium (65% dari total anggaran
Pemilu); dan
7)
Uang lembur.
Dengan penyelenggaraan
Pilleg dan Pilpres yang serentak, anggaran untuk Pemilu dapat dihemat antara
Rp. 5-10 Triliun.
g. Melalui
penelusuran sejarah perubahan ketiga UUD 1945 dalam upaya menggali maksud ketentuan
Penyelenggaraan Pemilu dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 23E ayat (1) dan (2),
ditemukan fakta bahwa memang kehendak perumus amandemen UUD melalui PAH I BP
MPR ialah agar Pemilu dilaksanakan secara serentak (Pilleg dan Pilpres). Bahkan
dalam risalah sidang PAH I tersebut muncul kata-kata “Pemilu serentak” dan
“Pemilu 5 kotak (kotak DPR, DPD, Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota).
Dalam permohonannya, Pemohon meminta prioritas kepada MK untuk memeriksa dan
mengadili perkara tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama agar pelaksanaan
Pemilu 2014 mendapat kepastian hukum.
Setelah
melalui pemeriksaan persidangan dari tanggal 6 Februari 2013 – 20 Maret 2013,
seluruh proses persidangan dinyatakan selesai. Selanjutnya hakim konstitusi
mengadakan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) guna memutus perkara tersebut.
Dalam
Putusannya No. 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan Kamis tanggal 23 Januari 2014, MK
mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagaian. Yang dikabulkan ialah terkait
permohonan untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Sedangkan yang tidak
dikabulkan ialah permohonan pengujian Pasal 9 yang mengatur presidential threshold, dengan alasan
bahwa hal tersebut merupakan legal policy
yang diberikan/didelegasikan oleh UUD (Pasal 22E ayat [6]) kepada pembentuk
undang-undang untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, oleh karenanya MK
tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili legal
policy tersebut.
Sebelum
sampai pada amar atau diktum putusan, tentu saja ada pertimbangan hukum yang
merupakan ratio decidendi (latar
belakang lahirnya suatu putusan) atas lahirnya suatu amar putusan. Dalam
pertimbangan hukum yang kemudian menjadi dasar dikabulkannya permohonan pemohon
mengenai Pemilu serentak, MK mendasarkannya pada tiga pertimbangan pokok, yaitu:
1. kaitan
antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial;
2. original
intent dari pembentuk UUD 1945; dan
3. efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk
memilih secara cerdas.
Terhadap
pertimbangan pertama, pada pokoknya MK menyatakan bahwa tidak
terdapat kaitan/relevansi antara Pemilu yang diadakan terpisah dengan sistem
presidensial. Dalam sistem Presidensial, jabatan dan keberlangsungan pemerintahan
yang dipimpin Presiden tidak tergantung dari dukungan parlemen sebagaimana
halnya dalam sistem parlementer. Oleh karena itu, norma hukum yang memisahkan pelaksanaan
Pileg dan Pilpres telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh
UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD
1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Terhadap
pertimbangan kedua, pada pokoknya MK menyatakan bahwa makna asli yang
dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945 ialah penyelenggaraan Pilpres yang
dilakukan serentak dengan Pilleg. Hal tersebut dapat diketahui melalui
penelusuran risalah sidang dan keterangan PAH I BP MPR pada sidang tahunan MPR
tahun 2001. Pada saat itu muncul gambaran teknis dari para perumus bahwa
penyelenggaraan Pemilu akan dilakukan “serentak”, “Pemilu 5 kotak (DPR, DPD,
Presiden dan Wapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota).”[9] Dengan demikian, berdasarkan penelusuran terhadap
original intent dari perumus
perubahan UUD, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme
penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pilleg.
Terhadap
pertimbangan ketiga, pada prinsipnya
MK menegaskan bahwa Pemilu serantak memang akan lebih efisien sehingga akan
menghemat uang negara sebagaimana yang didalilkan Pemohon.
Melalui
pertimbangan hukum diatas, sampailah MK pada amar putusan yang mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagaian, yang pada intinya mengabulkan Permohonan
Pemilu Serentak dan Menolak menghapus Presidential
Thereshold. Namun demikian ada yang menarik sekaligus kontroversial dalam
amar putusan tersebut, dimana putusan mengenai Pemilu serentak sebagaimana
dimaksud diatas diberlakukan untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan
Pemilu-Pemilu seterusnya. Artinya, walaupun permohonan Pemilu Serentak
dikabulkan oleh MK, namun penyelenggaraannya baru dapat dilakukan pada Pemilu
2019 mendatang.
Penangguhan
Berlakunya Putusan MK
Dalam
putusan a quo, MK menangguhkan
berlakunya akibat hukum putusannya sendiri, yaitu menunda berlakunya Putusan
Pemilu Serentak.
Sebelum
sampai pada amar yang menyatakan menunda berlakunya Putusan Pemilu Serentak,
tentu saja MK menguraikan ratio legis
dibalik amar tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, pada pokoknya MK
berpendapat bahwa:
a. Tahapan
Penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan, apabila putusan Pemlu
Serentak diberlakukan segera setelah diucapkan, maka tahapan Pemilu 2014
menjadi terganggu dan terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukumnya.
Sehingga dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum yang justru tidak
dikehendaki oleh UUD;
b. Pemilu
Serentak membutuhkan aturan baru sebagai dasar hukum, maka menurut penalaran
yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau
sekurang-kurangnya tidak memadai untuk pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik dan komprehensif;
c. Langkah
membatasi akibat hukum (rechtsgevolg)
dari putusan MK yang menyatakan inkonstitusional suatu norma UU pernah
dilakukan MK sebelumnya, yakni dalam putusan:
1)
No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yaitu
mengenai pembatalan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 (pembentukan Pengadilan
Tipikor). Dalam putusan tersebut MK membatalkan Pasal 53 karena pengaturan
pembentukan Pengadilan Tipikor harus dituangkan dengan undang-undang
tersendiri, tidak menginduk (include)
pada UU KPK. Namun salah satu amar dalam putusan tersebut menyatakan menunda mengikatnya putusan a quo sampai 3 tahun sejak diucapkannya
putusan a quo. Hal tersebut
dilakukan oleh MK untuk memberikan waktu kepada pembentuk UU guna membentuk UU
yang baru dan menata instrumen hukum yang diperlukan serta mencegah kevakuman
penegakan hukum dibidang pemberantasan korupsi;
2)
No. 026/PUU-III/2005, putusan atas
pengujian UU 13/2005 tentang APBN Tahun 2006 mengenai batas minimal anggaran
pendidikan. Dalam putusan a quo, MK
membatasi putusannya hanya sepanjang jumlah anggaran pendidikan dalam UU
tersebut sebesar 9,1% sebagai batas yang tertinggi dalam APBN 2006, tidak
membatalkan UU a quo secara
keseluruhan sebagaimana yang diminta pemohon. Hal tersebut dilakukan MK demi
kelangsungan penyelenggaraan negara yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN
yang dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2005.[10]
d. Diperlukan
waktu juga untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran hukum dalam rangka
penyelenggaraan Pemilu Serentak; dan
e. Pilpres
dan Pilleg Tahun 2004 dan 2009 yang dilaksanakan secara tidak serentak dengan
segala akibat hukumnya harus dinyatakan sah dan konstitusional.
Demikian
itulah pertimbangan-pertimbangan hukum dibalik penangguhan berlakunya putusan
Pemilu Serentak. Namun begitu, putusan tersebut nyatanya tidak begitu saja
diterima oleh masyarakat luas, ada pro kontra dan diskursus yang demikian hebatnya
mengenai putusan MK yang menangguhkan berlakunya Pemilu Serentak.
Sebagian
kalangan menilai MK telah melakukan kekeliruan dengan menangguhkan putusannya
sendiri, sebab apabila merujuk pada Pasal 47 UU 24/2003 tentang MK, dinyatakan
bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno
terbuka untuk umum.” Atas dasar itulah beberapa ahli menyatakan MK telah
salah karena menangguhkan putusannya sendiri. Putusan tersebut dinilai melangkahi
Pasal 47 UU MK yang seharusnya sudah inkracht
(berkekuatan hukum tetap) sejak selesai diucapkan dalam silang pleno.
Tanpa
berpretensi untuk masuk dalam perdebatan pro kontra diatas, penulis tertarik
untuk melakukan kajian/telaah akademis terhadap pilihan MK menangguhkan
pelaksanaan Putusan Pemilu Serentak. Hal mana sangat penting dilakukan guna
menjaga purifikasi kajian ini dari nuansa dan kepentingan politis yang memang
kental dalam permasalahan ini. Untuk maksud tersebut, Penulis akan menelaah
dasar penangguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sebagaimana dimaksud
diatas.
Langkah
membatasi akibat hukum dari suatu putusan atau lebih tegasnya; penangguhan
berlakunya akibat hukum suatu putusan, bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik
peradilan, dalam hal ini peradilan konstitusi, baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Manakala akibat hukum dari suatu pembatalan norma dirasa akan
menimbulkan keguncangan atau chaostic
apabila diberlakukan seketika itu juga, maka pada saat itulah muncul terobosan
dari para hakim untuk menangguhkan berlakunya akibat hukum (rechtsgevolg) guna menghindari keguncangan yang tidak dikehendaki.
Penangguhan tersebut sekaligus juga dimaksudkan untuk memberi waktu bagi
pembuat undang-undang untuk memperbaiki dan membentuk norma baru sesuai tafsir
MK. Sehingga keguncangan akibat pembatalan suatu norma dapat diatasi atau
setidak-tidaknya dapat dikendalikan melalui penangguhan tersebut.
Dalam
pada itulah Mahkamah Konstitusi RI juga melakukan penangguhan berlakunya akibat
hukum dari putusannya. Sepanjang sejarah MK, sudah ada 3 putusan MK yang
menangguhkan berlakunya akibat hukum dari suatu putusan, termasuk Putusan
Pemilu serentak ini.
Setidak-tidaknya
terdapat dua tujuan utama mengapa MK menangguhkan akibat hukum putusannya
sendiri; Pertama, untuk menghindari
kekacauan karena sesuatu hal telah kehilangan dasar hukumnya akibat pembatalan
suatu norma oleh MK. Kedua, memberikan
kesempatan (waktu) kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti putusan MK,
sehingga kekosongan hukum akibat pembatalan tersebut dapat diisi dan ketika akibat
hukum putusan tersebut mulai berlaku, baik aturan hukumnya maupun teknis
pelaksanaannya sudah siap. Itulah kurang lebih ratio legis dibalik putusan penangguhan berlakunya akibat hukum
Putusan MK.
Selain
praktik yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi RI, penangguhan berlakunya akibat
hukum suatu putusan juga dikenal dan lazim dipraktekan oleh constitutional court negara-negara lain
di dunia. Salah satu yang sejak lama mempraktekannya ialah Mahkamah Konstitusi
Austria (Verfassungsgerichtshof). Salah
satu ciri MK Austria organ ini dapat menunda akibat hukum dari suatu pembatalan
hingga jangka waktu melebihi 18 bulan. Penundaan tersebut pada prinsipnya juga
dimaksudkan untuk menghindari kekacauan akibat pembatalan norma (kekosongan
hukum) dan memberi kesempatan kepada pembentuk UU untuk menindaklanjuti
pembatalan tersebut.[11] Singkatnya,
di Austria diterapkan margin of tolerance,
setidaknya dalam bentuk waktu, kepada pembentuk UU untuk menyesuaikannya dengan
putusan MK Austria.
Berdasarkan
penjelasan serta alasan-alasan diatas, menurut hemat penulis, penangguhan
berlakunya akibat hukum Putusan MK bukanlah sesuatu yang haram dilakukan. Landasan
empiris (faktual), teoritis, maupun perbandingan menunjukan pada satu persamaan
bahwa penangguhan tersebut dapat saja dilakukan manakala ada alasan dan kebutuhan
yang urgen untuk itu.
Apabila
dikaitkan dengan Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum” maka penagguhan berlakunya akibat hukum Putusan MK sama sekali tidak
melanggar atau bertentangan dengan bunyi Pasal 47 tersebut, sebagaimana yang
dikemukakan oleh sebagian kalangan.
Makna
frasa “..... memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan ....” jika ditafsirkan menggunakan metode
gramatikal dan sistematis ialah bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum
tetap atau inkracht van gewijsde,
dalam arti mengikat dan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD,
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
Berisi
penangguhan berlakunya atau tidak, putusan tersebut tetap memperoleh kekuatan
hukum mengikat (inkracht) sejak
selesai diucapkan dalam sidang pleno. Jadi apa pun amar putusannya, baik yang
langsung berlaku seketika itu juga maupun yang ditangguhkan hingga jangka waktu
tertentu, putusan tersebut tetap inkracht
atau memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga tidak dimungkinkan upaya
perlawanan terhadapnya.
Frasa
“..... memperoleh kekeuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan” tidak berarti bahwa putusan itu harus berlaku dan
dilaksanakan seketika itu juga. Bukan itu maksud dan makna Pasal 47 UU MK. Maksud
dan makna rumusan Pasal 47 itu ialah untuk mempertegas sifat dan kekuatan hukum
Putusan MK sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD, yaitu final dan
terakhir. Hal mana merupakan suatu penegasan bahwa tidak ada upaya hukum apa pun
yang dapat membatalkan Putusan MK karena sifatnya final and binding. Sedangkan soal kapan amar putusan itu akan
diberlakukan dan dilaksanakan, Pasal 47 tidak membatasinya.
Berdasarkan
logika yang paling sederhana pun pendapat yang mengatakan penangguhan
berlakunya putusan MK sebagai pengingkaran Pasal 47 UU MK, sulit diterima dan
tentu saja mudah dipatahkan, karena toh putusan tersebut tetap inkracht sejak selesai diucapkan. Artinya,
apa pun yang diputuskan MK dalam amar putusannya tetap saja mengikat dan harus
dipatuhi. Sebagai ilustrasi: bukankah putusan yang berisi pananggguhan
penyelenggaraan Pemilu Serentak tetap memperoleh kekuatan hukum tetap? bukankah
putusan yang berisi penangguhan Pemilu Serentak itu harus dipatuhi, yaitu tetap
dilakukan secara terpisah pada Pemilu 2014 dan baru akan berlaku pada Pemilu
2019?
Demikian
itulah sekelumit bukti dan penjelasan bahwa pembatasan berlakunya akibat hukum
dari suatu putusan bukanlah pelanggaran terhadap Pasal 47 UU MK. Bukan untuk
itu dan tidak pada tempatnya meletakan Pasal 47 UU MK dalam perdebatan boleh
tidaknya MK menangguhkan berlakunya putusannya sendiri. Karena Pasal 47 UU MK
dimaksudkan untuk mempertegas sifat putusan MK yang final and binding sebagaimana dimaksud oleh UUD.
Dalam
pandangan penulis, kelemahan atau kekurangan yang mendasar dari putusan
tersebut justru bukan karena penangguhan pelaksanaan Pemilu serentak, melainkan
pada pertimbangan hukum dibaliknya. Terdapat kekurangan yang mendasar dalam persidangan MK untuk memutuskan Permohonan Pemilu
Serentak, dimana KPU sebagai Penyelenggara Pemilu yang mengetahui persis
kesiapan Penyelenggaran Pemilu justru tidak pernah dihadirkan dan didengar
keterangannya. Dalam keadaan yang demikian tidak mengherankan jika MK dicibir
dan terkesan “sok tahu” karena memutuskan penangguhan Pemilu Serentak pada 2019
tanpa mendengar dan mempertimbangkan keterangan KPU. Seandainya MK menghadirkan
KPU untuk didengar keterangannya terkiat kesiapannya menyelenggarakan Pemilu
Serentak, maka Putusan MK akan terlihat lebih utuh dan legitimate karena sudah mempertimbangkan keterangan sekaligus kesiapan
KPU selaku Penyelenggara Pemilu.
[1]
Dibuat oleh Arief Ainul Yaqin pada tanggal 11 Februari 2014.
[2]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Edisi Revisi Cet. Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,
hlm. 461.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 417.
[4]
Pasal-pasal dan ayat itulah yang menjadi batu uji atas pokok persoalan dalam
permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.
[5]
***) Menunjukan Hasil Perubahan UUD 1945 yang ketiga (Tahun 2001).
[6]
Presidential Thereshold adalah ambang
batas suara Parpol atau gabungan Parpol untuk dapat mengusung Capres dan
Cawapres dalam Pilpres. Berdasarkan Pasal 9 UU Pilpres, ambang batas tersebut
ialah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
[7]
Lihat dalam register perkara dan putusan MK di situs http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/,
diakses tanggal 28 Januari 2014.
[8]
Terdapat Dissenting Opinion (pendapat
berbeda) dalam Putusan 51-52-59/PUU-VI/2008 dari 3 hakim konstitusi; Abdul
Mukhtie Fajar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar.
[9]
Vide Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku V Pemilihan Umum (2010),
halaman 602 yang mengutip Risalah Komisi A ke-2 Sidang Majelis pada Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 5 November 2001.
[10]
Putusan MK mengenai batas minimal anggaran pendidikan yang mengharuskan
Pemerintah mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN sebagaimana
diperintahkan Pasal 31 ayat (4) UUD, dalam kenyataannya baru dapat dipenuhi
Pemerintah pada APBN 2009.
[11]
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 21.