Meskipun peristiwa abad kedua puluh
membawa barat secara keseluruhan melihat nilai judicial review terhadap undang-undang, perbedaan historis dan
filosofis antara negara-negara Barat telah mencegah sistem identik mereka
mengadopsi sistem pengujian tersebut. Dari sudut pandang perbandingan, salah
satu fitur yang paling instruktif dari setiap sistem judicial review adalah pilihan negara, baik sistem terpusat atau
sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi (atau Amerika) adalah sistem yang
memberikan semua organ peradilan di dalamnya kekuasaan untuk menentukan
konstitusionalitas sebuah undang-undang. Sebaliknya, Sistem terpusat (atau
Austria) sistem yang membatasi kekuasaan ini ke satu organ peradilan. Kedua
sistem ini telah diperkenalkan, bahkan baru-baru ini, di beberapa negara dan
dengan demikian telah melayani (sebagai model) di luar negara asalnya (Autria).
A. Decentralized
Judicial Review (Judicial Review yang
Tersebar)
Model desentralisasi memiliki
asal-usulnya di Amerika Serikat, di mana judicial
review tetap menjadi lembaga yang paling khas dan unik. Hal ini ditemukan
terutama di beberapa bekas koloni Inggris, termasuk Kanada, Australia, dan
India. Sistem Amerika juga telah diperkenalkan di Jepang di bawah Konstitusi
1947.
Seperti juga di Eropa, sistem Amerika
telah memiliki dan masih memiliki padanannya. Sebuah kemiripan tertentu dapat
ditemukan dalam hukum Swiss, di mana di samping tindakan langsung dihadapan
Pengadilan Federal, terdapat hak umum untuk me-review (menguji) di pengadilan
biasa. Meskipun judicial review ini
dibatasi pada hukum kanton (hukum negara bagian), namun hakim Swiss memiliki
kekuasaan umum untuk mengabaikan hukum kanton (hukum negara bagian) yang
bertentangan dengan Konstitusi Federal. Kekuasaan ini telah diderivasi dari
prinsip bahwa hukum federal "meruntuhkan/mengalahkan" hukum
wilayah/negara bagian. Namun, tidak ada kontrol peradilan atas konstitusionalitas
undang-undang federal.
Hukum Norwegia, sejak akhir abad lalu
dan Hukum Denmark, juga menegaskan kekuasaan pengadilan untuk meninjau
kesesuaian undang-undang dengan konstitusi dan mengabaikan, dalam kasus konkret
undang-undang yang inkonstitusional.
Jerman dan Italia, di mana hari ini kita
menemukan sistem terpusat daripada sistem desentralisasi, juga sempat
bereksperimen dengan tipe judicial review
Amerika: Jerman di bawah Konstitusi Weimar dan Italia dari 1948 sampai 1956 –
artinya, dari penerapan konstitusi kaku yang pertama sampai mahkamah konstitusi
mulai berfungsi.
Alasan di balik pemberian tugas pengujian
konstitusional kepada seluruh peradilan adalah, salah satunya, baik secara
logis maupun sederhana, seperti terlihat dari pendapat Ketua Mahkamah Marshall
dalam kasus Marbury vs Madison dan sebelumnya dari tulisan Alexander Hamilton.
Ketika dua hukum tersebut bertentangan,
maka hakim yang harus menentukan hukum mana yang berlaku dan kemudian
menerapkannya. Ketika konflik tersebut terjadi antara norma hukum yang berbeda
(tingkatannya), kriteria yang jelas akan diterapkan adalah bahwa hukum yang
lebih tinggi yang berlaku: lex superior
derogat legi inferior.
B. Judicial Review yang Terpusat (Centralized Judicial Review)
Meskipun ada logika yang
menarik dari argumen judicial review
yang tersebar, judicial review yang
terpusat bukan tanpa pengikut – kesemuanya merupakan negara-negara civil law. Pola dasar dari sistem ini
terkandung di dalam Konstitusi Austria tanggal 1 Oktober 1920, yang juga disebut
Oktoberverfassung (Konstitusi
Oktober).
Pada tahun-tahun belakangan ini, sistem
tersentralisir diadopsi oleh Konstitusi Italia tahun 1948 dan Konstitusi Bonn
tahun 1949. Keduanya masih berlaku. Yang lebih mutakhir lagi, sistem ini
diperkenalkan juga di Cyprus tahun 1960, Turki pada tahun 1961, dan Yugoslavia
pada tahun 1963. Di Yugoslavia, ia adalah satu-satunya negara Komunis yang
mengadopsi sistem judicial review,
kontrol konstitusi dilaksanakan pada tingkat nasional oleh Pengadilan
Konstitusi Federal dan pada tingkat regional oleh pengadilan-pengadilan
konstitusi di enam republik.
Tiga alasan utama pentingnya
pengadopsian sistem judicial review terpusat di sejumlah negara-negara civil
law yang sedang berkembang. Pertama, konsepsi kontinental mengenai
pemisahaan kekuasaan. Kedua,
tidak adanya prinsip yang
sebanding dengan stare decisis di dalam
yurisprudensi civil law; dan Ketiga,
ketidakcocokan peradilan (biasa; umum) civil law (untuk melakukan judicial
review).
1.
Teori Pemisahan Kekuasaan
Sistem terpusat merefleksikan konsepsi pemisahan
kekuasaan yang berbeda dan berdasarkan sistem yang sangat berbeda dengan dari
sistem judicial review yang tersebar.
Negara-negara civil law cenderung
mengikuti doktrin pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum perundang-undangan
(undang-undang) secara lebih kaku. Mula-mula doktrin-doktrin ini dimaksudkan
Montesquieu, Rousseau dan lain-lain yang dihantui rasa takut terhadap kekuasaan
yang dipegang oleh satu orang, peradilan
yang anti demokrasi, dimana setiap
penafsiran hukum pengadilan atau fortiori
(alasan yang lebih kuat), pembatalan
undang-undang yang merupakan tindakan politik, dan oleh karenanya perambahan
(pelanggaran batas) terhadap wewenang eksklusif cabang legislatif untuk membuat
hukum. Oleh karenanya sistem
(judicial review) terpusat menolak memberikan wewenang ini kepada pengadilan
(yudisial) pada umumnya. Hakim biasa harus menerima dan menerapkan hukum
sebagaimana dia menemukannya (dalam teks tertulis; undang-undang). Satu-satunya
penyangkalan terhadap pemikiran-pemikiran tersebut terletak pada wewenang para
hakim biasa untuk menunda litigasi (persidangan) yang sedang diperiksa olehnya
guna menantikan petunjuk/acuan (putusan) Mahkamah Konstitusi atas permasalahan
konstitusional yang telah diajukannya.
Pengakuan/pengenalan
karakter politik judicial review ini
direfleksikan dari cara penunjukan para anggota (hakim) Mahkamah Konstitusi dan
bagaimana sejumlah pertanyaan-pertanyaan (permasalahan) dijawab oleh pengadilan
tersebut. Lembaga-lembaga yang berwenang menunjuk/mengangkat para hakim
biasanya ditentukan oleh konstitusi itu sendiri dan menjamin bahwa keanggotaan
pengadilan-pengadilan mencerminkan semua kelompok-kelompok politik utama. Mahkamah
konstitusi di sistem yang terpusat tidak menjauhkan diri dari pertimbangan
terhadap permasalahan-permasalahan yang oleh Mahkamah Agung AS akan ditolak
sebagai sesuatu yang pada dasarnya bersifat politis. Seringkali Pengadilan
Amerika menghindari persoalan-persoalan yang berbau politik, misalnya mengenai
tindakan atau kebijakan eksekutif dalam hubungan-hubungan luar negeri atau
apakah legislatif telah sungguh-sungguh memperhatikan prosedur-prosedurnya
sendiri di dalam mengajukan perubahan undang-undang atau konstitusi.
Sebaliknya, Pengadilan-Pengadilan Konstitusi Eropa yang terpusat, konsisten
dengan peranan kuasi-politik mereka yang diakui, terkadang dapat
menjawab/melayani persoalan-persoalan yang berbahaya (politis) tersebut.
2. Tidak
Adanya “Stare Decisis” (Asas Preseden)
Terlepas dari teori, di
negara-negara civil law, judicial review terpusat memberikan
cara-cara praktis untuk melembagakan konsistensi hukum konsitusi, dengan tidak
menganut doktrin ‘stare decisis’ common
law. Di dalam sistem Amerika, setiap pengadilan, tinggi atau rendah,
keduanya mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menentukan konstitusionalitas
undang-undang yang terbit sebelumnya. Ini mungkin akan mengakibatkan perbedaan
diantara para hakim untuk mecapai hasil-hasil yang tidak konsisten terhadap
persoalan-persoalan yang mirip/serupa yang mana hal tersebut bukanlah stare decisis (asas preseden).
Berdasarkan doktrin ini, pengadilan-pengadilan
terikat untuk mengikuti keputusan-keputusan hakim sebelumnya. Keberadaan
satu-satunya pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), digabungkan dengan kewajiban
pengadilan-pengadilan dibawahnya untuk mengikuti keputusan-keputusan sebelumnya
(preseden) yang lebih tinggi, untuk menjamin keseragaman penyelesaian kasus-kasus
konstitusional. Namun, stare decisis
menjadikan hukum itu mati karena stare
decisis (asas preseden) mencegah penerapan hukum di masa depan oleh pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.
Pertimbangan hukum dan pemikiran John Marshall dalam
Kasus Marbury vs Madison kemudian berkembang dan berpandangan bahwa Konstitusi
adalah hukum yang tertinggi (superior), hakim harus memutus kasus ketika
menurutnya hukum yang berlaku tidak konstitusional, harus memberikan preseden
kepada Konstitusi. Hakim tidak melanggar ranah legislasi, dia tidak mencoba
untuk membuat undang-undang. Dia semata-mata
hanya mengabaikan (tidak menerapkan) hukum yang lebih rendah di dalam
kasus konkret.
Dengan demikian, walapun sistem Amerika telah
diperkenalkan di beberapa negara civil law, hal tersebut belum merupakan
keberhasilan yang total. Konstitusi Weimar Jerman dan Itali pasca perang
sebelum adanya institusi Mahkamah Konstitusional secara penuh mengungkapkan
ketidakcocokan metode judicial review
yang tersebar untuk negara-negara civil law dan hal yang sama mungkin terjadi
di Jepang.
Dengan demikian, di dalam mengadopsi sistem judicial review, negara-negara yang mempunyai pemikiran bahwa stare decisis adalah sesuatu yang asing,
harus bekerja dengan instrumen hukum yang sangat berbeda dari Negara AS dan
negara-negara common law lainnya.
3.
Ketidcocokan Peradilan Biasa
Mahkamah Agung AS dan sebagai contoh Jepang
berdasarkan Konstitusi tahun 1947, masih
jauh dari kata setara dengan pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa. yurisdiksi Mahkamah Agung AS tidak begitu dibatasi,
karena hampir semua kasus masuk ke Mahkamah Agung melalui sistem banding yang
normal dan tidak melalui prosedur khusus. Begitu juga untuk
pertanyaan-pertanyaan konstitusional, tidak ada prosedur luar biasa yang
digunakan.
Dalam hal ini, orang dapat mempertanyakan mengapa
negara-negara yang memilih sistem judicial
review terpusat tersebut ingin mendirikan pengadilan-pengadilan
konstitusional yang khusus dan tidak memberikan yurisdiksi atas
persoalan-persoalan konstitusional kepada pengadilan-pengadilan banding
tertinggi yang sudah ada.
Akhirnya, sebagian besar peradilan Eropa nampak
secara psikologis tidak mampu berorientasi pada nilai, fungsi-fungsi kuasi
politik yang terlibat dalam judicial
review. Hakim-hakim kontinental biasanya adalah ‘para hakim karir’ yang
memasuki dunia peradilan pada usia yang masih muda dan dipromosikan ke
pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi sebagian besar berdasarkan sistem
senioritas. Latihan professional mereka
lebih banyak mengembangkan keterampilan di dalam teknik penerapan
undang-undang ketimbang di dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan kebijakan.
Bagaimanapun pelaksanaan judicial review
sangat berbeda dengan fungsi pengadilan biasa di dalam menerapkan
undang-undang. Oleh karenanya tugas
untuk melaksanakan konstitusi sering
menuntut diskresi yang lebih tinggi ketimbang tugas menafsirkan undang-undang biasa.
Di AS, Mahkamah Agung itu sendiri pertama-pertama
melakukan tugas judicial review,
tetapi untuk menekankan fungsi ini di pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi
Eropa, yang mana kegiatan tersebut tidak akan dikenal dan asing bagi tradisi
mereka, dirasa tidak cocok. Konstitusi Weimar Jerman dan Konstitusi Italia dari
tahun 1948 sampai 1956 telah mengadakan percobaan dengan sistem judicial review yang terdesentralisasi
(tersebar), namun hasilnya menunjukan bahwa sistem tersebut lebih banyak
menimbulkan masalah daripada memberi manfaat.
Mahkamah Agung AS dengan mengingat dua abad
pengalamannya telah memperlihatkan kecocokan mereka dengan tugas mereka yang
sulit dan dengan sistem judicial review yang
tersebar.
C. Konvergensi (Titik Temu)
Demi kejelasan, telah
ditarik sebuah dikotomi antara bentuk-bentuk judicial review yang terpusat (centralized)
dan tersebar (dicentralized),
dikotomi yang dalam kenyataannya membesar-besarkan perbedaan diantara kedua
sistem tersebut. Demi keseimbangan, beberapa poin konvergensi (titik pertemuan;
persamaan) diantara dua pendekatan ini kini harus ditekankan/digarisbawahi.
Abad kedua puluh telah menyamarkan perbedaan-perbedaan yang sudah lama ada
antara hukum alam dan hukum positif, diantara pengadilan-pengadilan yang
berorientasi pada preseden dan yang berorientasi pada perundang-undangan, dan
diantara macam-macam teori-teori pemisahan kekuasaan – perbedaan-perbedaan yang
terletak dibawah perbedaan asumsi dalam menyikapi judicial review.
Pengukuhan
pengadilan-pengadilan konstitusi yang khusus dengan wewenang untuk melakukan judicial review dan membatalkan
undang-undang yang tidak sesuai dengan
konstitusi, tentu saja merupakan hasil kompromi yang layak dengan
konsepsi pemisahan kekuasaan yang menolak wewenang tersebut untuk semua badan
peradilan. Sesungguhnya, pengadilan-pengadilan biasa di negara-negara dengan
sistem judicial review yang terpusat
tetap dilarang melakukan judical review.
Melalui penggunaan certiorari, secara berangsur-angsur Mahkamah
Agung AS membatasi dirinya hanya untuk (menjawab; menyelesaikan) pertanyaan
konstitusional yang paling penting dan mendasar. Tentu hal tersebut merupakan
peranan pasti (yurisdiksi) dari pengadilan-pengadilan konstitusi Eropa yang
sama sekali tidak mempunyai yurisdiksi terhadap kasus-kasus biasa.
Banyak negara lainnya
mencari bentuk-bentuk yang sesuai dengan filosofinya masing-masing dan meskipun
demikian mampu menjawab tuntuntan-tuntutan masa kini, memberikan bukti terbaik
bahwa judicial review bukan hanya layak dipertahankan atau digiatkan
tetapi juga merupakan institusi yang sangat fleksibel.
*Notes:
Tulisan
ini merupakan hasil terjemahan dan resume dari buku Mauro Cappelleti yang
sangat fenomenal dalam barisan literatur tentang judicial review atau constitutional
review yang berjudul “The
Judicial Process Comperative Perspective,”
tepatnya Bab III tentang Judicial Review In Comparative Perspective.