Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 12 Oktober 2015

Ikhtisar (Ringkasan) Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 mengenai Pasangan Calon Tunggal dalam Pilkada



Ø  Pemohon: Effendi Gazali 
Ø  Pasal-Pasal yang Menjadi Objek Pengujian (Objectum Litis)
    1.  Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9)
                   Ayat 8
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.

                   Ayat 9
KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
    2. Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9)
                   Ayat 8
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menghasilkan pasangan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari 2 (dua) pasangan calon, tahapan pelaksanaan pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh) hari.
                   Ayat 9
KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
     3.   Pasal 51 ayat (2)
Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi.
     4.   Pasal 52 ayat (2)
Berdasarkan Berita Acara Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling sedikit 2 (dua) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan Keputusan KPU Kabupaten/Kota.
     5.   Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
                   Ayat 4
Dalam hal pasangan berhalangan tetap sejak penetapan pasangan calon sampai pada saat dimulainya hari Kampanye sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) orang, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari.
                   Ayat 5
Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.
                   Ayat 6
Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara pasangan calon kurang dari 2 (dua) orang, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 14 (empat belas) hari.
Ø  Batu Uji
1.      Pasal 28D ayat 1 UUD 1945
2.      Pasal 28I ayat 2 UUD 1945
3.      Pasal 27 ayat (1)
Ø  Pokok Permohonan
Pada pokoknya Pemohon mempersoalkan masalah terganggu atau bahkan tidak dapat diselenggarakannya Pilkada di daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon akibat berlakunya pasal-pasal yang diuji.
Pasal-pasal tersebut mempersyaratkan bahwa Pilkada hanya dapat dilangsungkan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua pasangan calon peserta Pilkada. Jika kurang dari jumlah itu maka penyelenggaraan Pilkada di daerah yang bersangkutan akan ditunda hingga Pilkada serentak berikutnya, yaitu tahun 2017. Padahal pada tahun 2017 itu sendiri tidak ada jaminan juga bahwa syarat dua pasangan calon itu akan terpenuhi.
Hal ini menurut Pemohon adalah permasalahan dan pelanggaran yang serius terhadap hak konstitusional warga negara, yaitu hak untuk memilih (rights to vote) kepala daerah yang mereka kehendaki.
Ø  Alasan-Alasan Permohonan (Posita)
           Pasal-pasal yang diuji mempersyaratkan adanya sekurang-kurangnya dua pasangan calon peserta Pilkada untuk dapat diselenggarakannya Pilkada di suatu daerah.
Pasal-pasal yang diuji itu kemudian diturunkan menjadi (bagian “Mengingat”) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12/2015, yang antara lain berisi:
§  Pasal 89 ayat (1)
Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran Pasangan Calon hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari.
§  Pasal 89 ayat (4)
Dalam hal sampai dengan berakhirnya perpanjangan masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya.
§  Pasal 89 A ayat (1)
Dalam hal berdasarkan hasil penelitian perbaikan persyaratan pencalonan dan persyaratan calon tidak ada atau hanya 1 (satu) Pasangan Calon yang memenuhi persyaratan, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota membuka kembali pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari.
§  Pasal 89 A ayat (3)
Dalam hal sampai dengan berakhirnya pembukaan kembali masa pendaftaran hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan dan Pemilihan diselenggarakan pada Pemilihan serentak berikutnya.

Akibat berlakunya pasal-pasal yang diuji itu maka masyarakat di daerah tertentu yang hanya memiliki satu pasangan calon terancam tidak dapat menikmati penyelenggaraan Pilkada, karena menurut aturan, Pilkada didaerah yang dimaksud akan ditunda hingga gelombang Pilkada berikutnya (Februari 2017). Padahal dimana-mana pemilihan umum, dalam hal ini ialah Pilkada, merupakan perwujudan dan pengejawantahan dari prinsip kedaulatan rakyat yang tidak boleh dikesampingkan karena alasan-alasan prosedural;
          Fakta empiris saat ini menunjukan adanya 3 daerah yang ditunda pelaksanaan Pilkada-nya hingga Februari 2017 oleh KPU akibat tidak terpenuhinya syarat minimal 2 pasangan calon peserta Pilkada. Ketiganya adalah Kab. Blitar (Jatim); Kab. Tasikmalaya (Jabar); dan Kab. Timor Tengah Utara (NTT); 
  
           Penundaan penyelenggaraan Pilkada bagi daerah yang tidak memenuhi syarat tersebut sama sekali tidak berkepastian hukum dan menciderai hak konstitusional masyarakat untuk dapat menyalurkan hak pilih mereka. Padahal sekali pun ditunda untuk kembali diselenggarakan pada tahun 2017, tidak ada jaminan bahwa di tahun itu syarat adanya dua pasangan calon peserta Pilkada dapat terpenuhi. Jika syarat itu kembali tidak dipenuhi apakah Pilkada di daerah itu akan ditunda lagi ? Bagaimana jika keadaan itu terjadi terus menerus ? Artinya, selama syarat itu tidak terpenuhi maka selama itu pula lah Pilkada di daerah yang bersangkutan tidak akan pernah terlaksana. Ketentuan ini jelas membawa ketidakpastian hukum bagi pelaksanaan Pilkada yang dapat bermuara pada terabaikannya hak konstitusional masyarakat untuk dapat menyalurkan hak pilihnya dalam Pilkada.
         Warga negara yang tinggal di daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah jelas tidak mendapat pengakuan, jaminan perlindungan yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD, dibandingkan dengan warga negara yang tinggal di daerah yang memiliki lebih dari satu pasangan calon kepala daerah sehingga Pilkada di daerah tersebut dapat dilangsungkan.
        Ketika Pilkada di suatu daerah harus ditunda hingga Pemilihan Serentak selanjutnya yang antara lain bisa berjarak sampai 14 bulan (antara Desember 2015 sampai Februari 2017), maka warga negara di daerah tersebut akan dipimpin oleh seorang pelaksana tugas, yang secara umum tidak dapat atau tidak mau membuat keputusan strategis dan penting dalam pembangunan daerah.
Hal ini jelas merugikan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di saat masyarakat dari daerah lain diberi kesempatan untuk turut menentukan kepala daerah pilihan mereka dan dipimpin oleh kepala daerah yang definitif, maka masyarakat di daerah yang Pilkadanya ditunda harus menerima kenyataan pahit dimana mereka tidak diberi kesempatan untuk memilih kepala daerah pilihan mereka dan dipimpin oleh seorang Plt. kepala daerah, bukan kepala daerah hasil pilihan rakyat. 

         Perbandingan di negara lain seperti Amerika, Kanada, Skotlandia, dan Singapura, menunjukan bahwa fenomena calon tunggal tidak menghalangi pelaksanaan Pemilu. Mekanisme pemilihan calon tunggal itu umumnya terbagi menjadi dua model: (i) dinyatakan terpilih secara aklamasi (otomatis); dan (ii) harus tetap melalui proses pemilihan, yaitu disandingkan dengan kolom kosong. Apabila suara yang memilih calon tunggal lebih banyak daripada yang memilih kolom kosong maka calon tunggal tersebut akan dinyatakan terpilih.
Sehubungan dengan dua model pemilihan calon tunggal diatas, Pemohon lebih setuju dengan model yang terakhir. Artinya rakyat tetap diberikan hak untuk memilih, apakah ia akan memilih calon tunggal atau memilih kolom kosong. Apa pun hasilnya nanti maka itulah keputusan rakyat. Sedangkan model yang pertama menurut Pemohon tidaklah demokratis karena tidak memberikan kesempatan pada rakyat untuk menggunakan hak pilihnya.
         Pemohon mengusulkan metode/model yang dipakai dalam Pilkada dengan pasangan calon tunggal yaitu dengan menyediakan dua kolom pilihan dalam surat suara. Kolom pertama berisi pasangan calon tunggal dan kolom kedua berisi kotak/kolom kosong (calon kotak kosong). Dua kolom itulah yang akan dipilih salah satunya oleh pemilih, apakah ia akan memilih pasangan calon tunggal atau memilih kotak kosong disebelahnya yang berarti tidak menghendaki terpilihnya pasangan calon tunggal.
    Jika pada hari pemungutan dan penghitungan suara ternyata pasangan calon tunggal menang terhadap pasangan calon kotak kosong, maka pasangan calon tunggal akan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih; sebaliknya, apabila pasangan calon tunggal kalah terhadap pasangan calon kotak kosong maka pemilihan kepala daerah diulang atau ditunda sampai pada pemilihan serentak berikutnya.
Apapun hasilnya, itu merupakan hasil pelaksanaan Hak Memilih dari Rakyat. Artinya, kalaupun pasangan calon tunggal kalah terhadap pasangan calon kotak kosong, itu karena rakyat telah melaksanakan hak memilihnya, dan dengan sadar berarti meminta pemilihan kepala daerahnya diulang atau ditunda hingga pemilihan serentak berikutnya.
Ø  Petitum
Menyatakan pasal-pasal dan ayat-ayat yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau dinyatakan konstitusional bersyarat sejauh seluruh frasa yang bermakna “setidaknya dua pasangan calon” atau “paling sedikit dua pasangan calon” dapat diterima dalam bentuk atau pengertian: Pasangan Calon Tunggal dengan Pasangan Calon Kotak Kosong yang ditampilkan pada kertas suara. Dengan demikian seluruh tahapan Pemilukada tetap dapat dilanjutkan. Jika pada hari pemungutan dan penghitungan suara ternyata Pasangan Calon Tunggal Menang terhadap Pasangan Calon Kotak Kosong, maka Pasangan Calon Tunggal akan ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih sebaliknya apabila Pasangan Calon Tunggal kalah terhadap Pasangan Calon Kotak Kosong maka Pemilihan Kepala  Daerah diulang atau ditunda sampai pada pemilihan selanjutnya.
Ø      Keterangan KPU (Pihak Terkait)
·         Berdasarkan Pasal-Pasal UU No. 8 Tahun 2015 yang sedang diuji, jelas logika hukumnya bahwa daerah yang tidak memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) pasangan calon tidak dapat menyelenggarakan pemilihan pada tahun yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, dalam hal ini adalah tahun 2015;
·         Bahwa dari 269 daerah yang melaksanakan pemilihan pada tahun 2015 dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota, ada 3 (tiga) daerah yang penyelenggaraannya ditunda sampai dengan tahun 2017, yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, dikarenakan tidak memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) pasangan calon. Berdasarkan hal tersebut, maka jumlah daerah yang harus mengalami penundaan akibat tidak memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) pasangan calon hanya sebagian kecil saja;
·         Jika Mahkamah memutuskan menerima permohonan ini maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah terkait logistik Pilkada yang tentu saja harus mengalami penyesuaian. Sebagai informasi tambahan, bahwa untuk pengadaan logistik sekurang-kurangnya diperlukan waktu 48 (empat puluh delapan) hari. Oleh karena itu, perlu kiranya Makamah Konstitusi mempertimbangkan rentang waktu untuk pengadaan logistik. Dalam jadwal KPU, batas akhir pengadaan logistik pemilihan sudah harus dimulai setidaknya tanggal 23 Oktober 2015. Selain itu juga diperlukan pengaturan mengenai sistem pemilihan yang memuat cara pemberian suara dan penghitungan perolehan suara untuk penetapan pasangan calon terpilih. Sekalipun pasangan calon hanya satu, kampanye tetap dilaksanakan agar hak rakyat untuk mengenal calon kepala daerahnya tetap dipenuhi.
Ø  Pertimbangan Mahkamah
·         Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh KPU sebagai pihak terkait dalam perkara ini diperoleh suatu fakta hukum bahwa bagi daerah yang tidak memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) pasangan calon tidak dapat menyelenggarakan pemilihan pada tahun 2015 sebagaimana ditetapkan UU 8/2015;
·         Makna kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi tersebut, menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat maka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (yang selanjutnya disebut Pemilihan Kepala Daerah) haruslah menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat itu. Oleh karena itu, UU 8/2015, sebagai Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah, harus menjamin terlaksana atau terselenggaranya kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat itu sesuai dengan amanat UUD 1945;
·         Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Karenanya Pilkada tersebut harus terselenggaran secara demokratis dimana hak rakyat selaku pemegang kedaulatan, baik hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih, tidak boleh dikesampingkan atau diabaikan, lebih-lebih ditiadakan;
·         Setelah memperhatikan secara saksama rumusan norma UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian, maka tampak nyata kalau pembentuk Undang-Undang, di satu pihak, menginginkan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah diikuti setidak-tidaknya oleh dua pasangan calon, tetapi di lain pihak, sama sekali tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi. Dengan demikian, akan ada kekosongan hukum manakala syarat paling kurang dua pasangan calon tersebut tidak terpenuhi dimana kekosongan hukum demikian akan berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah;
·         Meskipun KPU telah berusaha mengatasi kebuntuan dan kekosongan hukum akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohokan pengujiannya ini dengan mengeluarkan Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015, namun Mahkamah menilai upaya tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada;
Dikatakan tidak menyelesaikan persoalan karena dua alasan. Pertama, penundaan ke Pemilihan serentak berikutnya sesungguhnya telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada Pemilihan serentak saat itu. Kedua, andaikatapun penundaan demikian dapat dibenarkan, quod non, tetap tidak ada jaminan bahwa pada Pemilihan serentak berikutnya itu, hak rakyat untuk dipilih dan memilih akan dapat dipenuhi karena pasal yang mempersyaratkan sekurang-kuranya dua pasangan calon itu sendiri masih berlaku;
·         berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, adalah bertentangan dengan semangat UUD 1945 jika Pemilihan Kepala Daerah tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya sebab hal itu merugikan hak konstitusional warga negara, dalam hal ini hak untuk dipilih dan memilih, hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Dengan kata lain, demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pemilihan Kepala Daerah harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah walaupun sebelumnya telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paling sedikit dua pasangan calon;
·         Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon;
·         Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “Setuju” atau “Tidak Setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan Pasangan Calon Kotak Kosong, sebagaimana dikonstruksikan oleh Pemohon.
Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Setuju” maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “Tidak Setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “Tidak Setuju” tersebut.
Mekanisme demikian, menurut Mahkamah, lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing, sebagaimana ditunjukkan dalam hasil studi Pemohon yang terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota House dan Senat), di Inggris, Kanada, Skotlandia (untuk pemilihan anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan Presiden), dan Singapura (untuk pemilihan Presiden dan parlemen). Penekanan terhadap sifat “demokratis” ini menjadi substansial karena telah diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
·         Guna mencegah terjadinya kesimpangsiuran penafsiran dan implementasi di lapangan, Mahkamah memandang penting untuk menjelaskan maksud pendapat Mahkamah diatas:
o   Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah baru dapat dilaksanakan apabila telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Yang dimaksud dengan “telah diusahakan dengan sungguh-sungguh” adalah telah dilaksanakannya seluruh ketentuan mengenai pendaftaran, verifikasi, dan perpanjangan masa pendaftaran untuk terpenuhinya syarat minimal dua pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 8 Tahun 2015;
o   Pemilihan Kepala Daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat (pemilih) untuk menyatakan “Setuju” atau “Tidak Setuju” dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat (pemilih) untuk menyatakan pilihan “Setuju” atau “Tidak Setuju”. Apabila pilihan “Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, sedangkan apabila pilihan “Tidak Setuju” memperoleh suara terbanyak maka pemilihan ditunda sampai Pemilihan Kepala Daerah serentak berikutnya;
o   Ketentuan Pasal 49 ayat (9) UU 8/2015 yang menyatakan, “KPU Provinsi membuka kembali pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)” harus dimaknai “termasuk menetapkan satu pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud telah terlampaui namun tetap hanya ada satu pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”. Begitu juga terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (9) UU No. 8/2015 yang mengenai Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

Ø  Amar Putusan
Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian:
1.      Menyatakan Pasal 49 ayat (9) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian “menetapkan satu (1) pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur peserta pemilihan dalam hal setelah jangka waktu tiga (3) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada satu (1) pasangan calon gubernur dan wakil gubernur;
2.      Menyatakan Pasal 50 ayat (9) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian“menetapkan satu (1) pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta satu (1) pasangan calon walikota dan calon wakil walikota peserta pemilihan dalam hal setelah jangka waktu tiga (3) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada satu (1) pasangan calon bupati dan wakil bupati serta satu (1) pasangan calon walikota dan calon wakil walikota;
3.      Menyatakan Pasal 51 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan 1 (satu) pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur dalam hal hanya terdapat satu (1) pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur;
4.      Menyatakan Pasal 52 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai mencakup “menetapkan satu (1) pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta satu (1) pasangan calon walikota dan calon wakil walikota dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta satu (1) pasangan calon walikota dan calon wakil walikota;
5.      Menolak Permohonan untuk selain dan selebihnya.

Ø  Dissenting Opinion Hakim Konstitusi Patrialis Akbar
Makna Pemilihan dalam berbagai undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah serta menurut Kamus Black’s Law Dictionary[1] pada intinya ialah pemilihan terhadap individu-individu yang berlandaskan pada prinsip dasar Pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta demokratis. 

Apabila ditinjau dari rumusan makna pemilihan tersebut maka pada dasarnya rumusan Undang-Undang a quo sudah tepat, yaitu pasangan calon dalam Pilkada paling sedikit 2 (dua) pasangan calon, dengan demikian pasal tersebut konstitusional.
Yang dapat dipilih dalam suatu pemilihan haruslah subjek hukum, yaitu orang-orang yang memenuhi syarat menurut peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu calon kepala daerah sebagai subjek hukum yang disandingkan dengan non-subjek hukum (pernyataan setuju atau tidak setuju/referendum) adalah tidak tepat. Pilkada bukan merupakan referendum, akan tetapi pemilihan dari beberapa  pilihan (lebih dari satu) untuk dipilih.
Apabila dibenarkan adanya calon tunggal, saya berpendapat bahwa MK terlalu jauh masuk pada kewenangan pembentuk Undang-Undang. Padahal sebagaimana disampaikan oleh Ketua KPU dalam persidangan, dari 269 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak pada Desember 2015 ini, hanya 3 daerah saja yang ditunda pelaksanaan Pilkadanya sampai tahun 2017, yaitu Kab. Blitar, Kab. Tasikmalaya, dan Kab. Timor Tengah Utara.
Berkaitan dengan tidak adanya jalan keluar dalam hal tidak terpenuhinya syarat paling sedikit 2 (dua) pasangan calon tersebut, pada dasarnya UU a quo telah mengakomodir apabila pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah kurang dari 2 (dua) pasangan calon yaitu dengan adanya penundaan. Seyogyanya bagi daerah yang calonnya kurang dari 2 (dua) pasangan calon, maka pemilihan tersebut ditunda sesuai tenggang waktu yang ditentukan oleh pembuat Undang- Undang.

Undang-undang telah mengatur adanya tahapan-tahapan Pilkada yang harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap pasangan calon kepala daerah. Tahapan-tahapan tersebut tentu saja tidak dapat dijalankan oleh peserta Pilkada non-subjek hukum (pernyataan setuju tidak setuju). Demikian pula dengan pelaksanaan kampanye misalnya, pasangan calon non-subjek hukum tentu tidak dapat melaksanakannya. Dari aspek tahapan, sudah terlihat unsur ketimpangan dan ketidakseimbangan apabila pasangan calon yang merupakan subjek hukum harus disandingkan dengan peserta Pilkada non-subjek hukum.

Apabila ditelusuri dari risalah rapat perubahan UUD 1945, justru teks konstitusi yang tertulis maupun semangat yang ada dibalik teks konstitusi tersebut menghendaki adanya pemilihan terhadap lebih dari satu pasangan calon. Sebaliknya, belum ada sedikitpun dalam sejarah perubahan UUD 1945 bahwa Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan dengan model uncontested election.

Keberadaan Calon tunggal pada dasarnya meniadakan kontestasi. Pemilu tanpa kontestasi hakikatnya bukan Pemilu yang senafas dengan asas Luber dan Jurdil. Hak-hak untuk memilih dan hak untuk dipilih akan terkurangi dengan adanya calon tunggal karena pemilih dihadapkan pada pilihan artifisial (semu).

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga permohonan Pemohon seharusnya ditolak.


[1] Dalam Black’s Law Dictionary kata “election” dimaknai sebagai pemilihan terhadap individu yang dipilih berdasarkan asas-asas pemilu dalam ruang lingkup suatu pemilihan yang dilakukan oleh pemilih yang memenuhi persyaratan untuk memilih. (Election means that the person is chosen by a principle of selection in the nature of a vote, participated in by the public generally or by the entire class of persons qualified to express their choice in this manner).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar