Selamat Datang di Blog Arief Ainul Yaqin

Sebuah referensi bacaan untuk memperkaya khazanah keilmuwan

Senin, 06 Maret 2017

Polemik Pemberhentian Sementara Ahok



Pada dasarnya tulisan ini bukan soal Ahok atau personal lain yang sejenisnya. Ini adalah soal kekhawatiran adanya penggiringan NKRI dari negara hukum menjadi negara kekuasaan.
Biang keroknya tentu saja adalah kontroversi pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang kembali memanas setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo memberi isyarat untuk kembali menunda proses pemberhentian sementara terhadap Ahok.
Mendagri mengatakan bahwa pemberhentian sementara terhadap Ahok masih harus menunggu pembacaan tuntutan (requisitoir) dari Jaksa.
Jika Jaksa menuntut Ahok dengan tuntutan pidana penjara lima (5) tahun maka baru lah yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara. Sedangkan apabila tuntutan Jaksa kurang dari 5 (lima) tahun maka menurut Mendagri, Ahok tidak dapat dikenakan pemberhentian sementara (Tjahyo Kumolo, CNN Indonesia 6 Februari 2017).
Pernyataan Mendagri yang dikemukakan beberapa hari lalu itu lah yang saat ini menjadi bahan perdebatan dan kritik yang luas dari masyarakat, khususnya dari kalangan ahli hukum.
Pernyataan tersebut dianggap oleh sebagian besar kalangan sebagai “akrobat” dari pemerintah yang sedang berusaha menarik ulur ketentuan pemberhentian sementara yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) agar sebisa mungkin menguntungkan Ahok.
Sebab apa yang dilontarkan oleh Mendagri itu jelas-jelas menyimpang dari ketentuan pemberhentian sementara Kepala Daerah yang diatur dalam UU Pemda.
Tampak nyata bahwa penguasa yang berada di balik Ahok sedang berusaha mengulur waktu (buying time) untuk melaksanakan pemberhentian sementara terhadap Ahok mengingat Pilkada akan digelar hanya dalam beberapa hari ke depan.
Ketentuan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah                                         
Peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan ini sesungguhnya sangatlah jelas: tidak multitafsir dan tidak ada ketentuan perundang-undangan lain yang dapat dipertentangkan dengannya.
Menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara dari jabatannya manakala yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam kasus pidana yang diancam dengan hukuman (paling kurang/minimal) 5 tahun penjara.
Sementara itu, ayat (2)-nya menyatakan bahwa pemberhentian sementara itu didasarkan pada bukti register perkara di pengadilan. Sedangkan ayat berikutnya mengatur bahwa pemberhentian sementara terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Presiden.
Sementara kita tahu bahwa Ahok telah berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penistaan Al-Qur’an yang didakwa dengan Pasal 156a KUHP yang ancaman pidananya 5 tahun penjara.
Jadi secara materiil, dugaan tindak pidana yang didakwakan kepada Ahok sudah memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana yang berkonsekuensi pemberhentian sementara karena ancaman pidananya telah memenuhi ketentuan Pasal 83 UU Pemda, yakni pidana 5 tahun penjara.
Sesuai ketentuan Pasal 83 UU Pemda diatas, maka semestinya Presiden sudah harus memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) segera setelah yang bersangkutan menjadi terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan oleh Jaksa dan teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016 yang lalu.
Sikap Pemerintah
Sikap Pemerintah yang menunjukan keengganan atau setidak-tidaknya sedang berupaya mengulur-ulur proses pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta ini sebetulnya tidak hanya terjadi kali ini saja, melainkan sudah berkali-kali.
Mula-mula, ketika Ahok telah resmi menjadi terdakwa pada awal Desember 2016 yang lalu dimana seharusnya Presiden sudah mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara terhadap Ahok, Pemerintah mangkir dari keharusan tersebut dengan berdalih bahwa pemberhentian sementara terhadap Ahok belum perlu dilakukan karena yang bersangkutan masih sedang cuti kampanye, sehingga keputusan pemberhentian sementara baru akan ditandatangani oleh Presiden setelah yang bersangkutan selesai menjani masa cutinya (yang berakhir pada tanggal 11 Februari 2017).
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dimana masa cuti Gubernur DKI Jakarta akan berakhir pada 11 Februari 2017, Pemerintah melalui Mendagri ternyata kembali membuat pernyataan yang nampaknya ingin sekali lagi mengulur-ulur proses pemberhentian Sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok).
Pemerintah melalui Mendagri mencoba mengarang penafsiran terhadap ketentuan pembehentian sementara yang diatur dalam Pasal 83 UU Pemda dengan mengatakan bahwa pemberhentian sementara terhadap Gubernur DKI Jakarta (Ahok) belum dapat dilakukan karena masih harus menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa.

Padahal yang menjadi ukuran untuk menilai apakah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Kepala Daerah itu memenuhi ketentuan Pasal 83 UU Pemda sehingga berkosekuensi pemberhentian sementara atau tidak ialah dilihat dari jumlah atau ancaman pidana yang tertera dalam undang-undang, bukan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa ! Lagipula ayat (2) dari Pasal 83 UU Pemda itu telah menegaskan bahwa yang menjadi dasar pemberhentian sementara itu adalah adanya registrasi perkara pidana di pengadilan. Jadi manakala perkaranya sudah dilipahkan oleh Jaksa di pengadilan dan telah teregistrasi di Pengadilan maka sejak saat itu Presiden dapat mengeluarkan Kepres Pemberhentian Sementara atas Kepala Daerah yang dimaksud. Sebab bukti registrasi perkara itulah yang akan ditulis dan menjadi dasar dikeluarkannya Kepres yang dimaksud.
Lagipula, didalam prakteknya selama ini, Kepala Daerah yang terjerat kasus pidana pasti diberhentikan sementara segera setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa, tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitoir) yang diajukan Jaksa di dalam persidangan.
Sebab yang ditentukan oleh UU Pemda sebagai syarat untuk memberhentikan sementara Kepala Daerah adalah apabila perkaranya sudah dilimpahkan dan telah teregistrasi di pengadilan.
Pernyataan Mendagri yang pada intinya berisi “penolakan” untuk memberhentikan sementara Ahok dengan dalih masih menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa dapat dipastikan merupakan tindakan subjektif dan spesifik hanya berlaku bagi Ahok.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa dalam kasus-kasus lain, Mendagri yang sama dan Presiden yang sama selalu tanpa bimbang-ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara Kepala Daerah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh UU Pemda, yakni memberhentikan sementara Kepala Daerah yang terjerat kasus pidana segera setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa, tanpa menunggu dan bergantung pada tuntutan Jaksa sebagaimana yang berlaku dalam kasus ini.
Sebagai contoh misalnya pemberhentian sementara Wakil Walikota Probolinggo H. M. Suhadak yang Keputusan Pemberhentian Sementaranya ditandatangani pada tanggal 22 November 2016 oleh Mendagri, tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa.
Contoh lain misalnya Keputusan Pemberhentian Sementara Bupati Subang yang ditandatangani oleh Mendagri tanggal 3 Oktober 2016, juga tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa.
Baru dalam kasus Ahok ini saja, Presiden dan Mendagri telah dengan sengaja mengesampingkan hukum dan mengedepankan kekuasaan yang ada dalam genggamannya dengan menggunakan standar ganda dan tafsir yang mengada-ada dalam melaksanakan ketentuan Pasal 83 UU Pemda tersebut.
Jalan yang Harus Ditempuh
Meski berkilah seribu satu alasan namun fakta-fakta dan petunjuk tentang keberpihakan dan subjektifitas Pemerintah dalam menyikapi kasus pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) ini terlalu jelas dan nyata adanya.
Tidak ada pilihan lain bagi Pemerintahan ini jika benar-benar hendak menunjukkan keberpihakannya pada penegakan hukum dan keadilan kecuali dengan segera memenuhi perintah Pasal 83 UU Pemda untuk memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) yang telah bertatus sebagai terdakwa. Pengabaian terhadap keharusan tersebut merupakan pelanggaran konsitutsional yang sangat serius bagi seorang kepala pemerintahan.
Apabila hal itu terjadi maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene memiliki fungsi pengawasan terhadap Pemerintah harus mengambil tindakan. Salah satu instrumen atau mekanisme yang dapat ditempuh oleh DPR dalam rangka merespon pengabaian dan pelanggaran terhadap ketentuan Pemberhentian Sementara yang diatur dalam UU Pemda oleh Pemerintah itu ialah dengan menggunakan Hak Angket yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Hak angket menurut UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 79 ayat 3).
Mekanisme hak angket sebagaimana dimaksud diatas sangat penting untuk ditempuh oleh DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasannya terhadap Pemerintah.
Sebab seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Pemerintah nyata-nyata telah mengabaikan dan menyimpangi ketentuan pemberhentian sementara Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemda.
Jangan Hancurkan Republik ini
Sebagai penutup, penulis ingin kembali menekankan bahwa NKRI ini adalah negara hukum. Mohon kiranya pihak-pihak yang sekarang sedang merasa punya kendali atas negeri ini, baik dengan kekuasaan ataupun uang, dapat menahan diri dan bisa melihat bahaya besar yang sedang mengancam Republik ini.
Bahaya itu datang bukan dari demonstrasi di jalanan yang menuntut penegakan hukum atas Ahok, tetapi justru dari sikap penguasa sendiri yang menganggap sepele atas pentingnya penegakan hukum karena keyakinan yang berlebih atas kekuasaan yang sedang digenggamnya, dan akhirnya tuntutan keadilan dari rakyat di bawah diabaikan.
Kalau penguasa melihat ini, atau berusaha dengan segala cara membangun opini, bahwa seakan-akan ini adalah sekedar teriakan kelompok garis keras yang mendedah sikap anti-kebhinekaan, maka sungguh pemerintah telah meminjam kacamata dan pena yang salah dari tangan orang yang salah juga. Ini sungguh-sungguh rintihan hati rakyat untuk ditegakkannya hukum dan keadilan.
Maka, alangkah baiknya jika Pemerintah tidak menutup pendengaran dan penglihatan mata dan hatinya dan mau kembali membaca sejarah. Lihatlah bagaimana kekuasaan yang paling adidaya sekalipun, tumbang oleh kepongahan dan ketidak-peduliannya pada jeritan keadilan dari rakyatnya sendiri.
Penulis: Dr. Hamid Chalid, S.H LL.M (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia)
*Tulisan ini dimuat di kolom Opini Republika edisi Senin, 13 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar