Pada dasarnya tulisan
ini bukan soal Ahok atau personal lain yang sejenisnya. Ini adalah soal
kekhawatiran adanya penggiringan NKRI dari negara hukum menjadi negara
kekuasaan.
Biang keroknya tentu
saja adalah kontroversi pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) yang kembali memanas setelah Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahyo Kumolo memberi isyarat untuk kembali menunda proses
pemberhentian sementara terhadap Ahok.
Mendagri mengatakan
bahwa pemberhentian sementara terhadap Ahok masih harus menunggu pembacaan
tuntutan (requisitoir) dari Jaksa.
Jika Jaksa menuntut Ahok
dengan tuntutan pidana penjara lima (5) tahun maka baru lah yang bersangkutan
dapat diberhentikan sementara. Sedangkan apabila tuntutan Jaksa kurang dari 5
(lima) tahun maka menurut Mendagri, Ahok tidak dapat dikenakan pemberhentian
sementara (Tjahyo Kumolo, CNN Indonesia 6 Februari 2017).
Pernyataan Mendagri yang
dikemukakan beberapa hari lalu itu lah yang saat ini menjadi bahan perdebatan
dan kritik yang luas dari masyarakat, khususnya dari kalangan ahli hukum.
Pernyataan tersebut
dianggap oleh sebagian besar kalangan sebagai “akrobat” dari pemerintah yang
sedang berusaha menarik ulur ketentuan pemberhentian sementara yang diatur
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) agar sebisa
mungkin menguntungkan Ahok.
Sebab apa yang
dilontarkan oleh Mendagri itu jelas-jelas menyimpang dari ketentuan
pemberhentian sementara Kepala Daerah yang diatur dalam UU Pemda.
Tampak nyata bahwa
penguasa yang berada di balik Ahok sedang berusaha mengulur waktu (buying time) untuk melaksanakan pemberhentian sementara terhadap Ahok mengingat Pilkada akan digelar
hanya dalam beberapa hari ke depan.
Ketentuan
Pemberhentian Sementara Kepala Daerah
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur urusan ini sesungguhnya sangatlah jelas:
tidak multitafsir dan tidak ada ketentuan perundang-undangan lain yang dapat
dipertentangkan dengannya.
Menurut ketentuan Pasal
83 ayat (1) UU Pemda, Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan
sementara dari jabatannya manakala yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam
kasus pidana yang diancam dengan hukuman (paling kurang/minimal) 5 tahun
penjara.
Sementara itu, ayat
(2)-nya menyatakan bahwa pemberhentian sementara itu didasarkan pada bukti
register perkara di pengadilan. Sedangkan ayat berikutnya mengatur bahwa
pemberhentian sementara terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh
Presiden.
Sementara kita tahu
bahwa Ahok telah berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penistaan Al-Qur’an yang
didakwa dengan Pasal 156a KUHP yang ancaman pidananya 5 tahun penjara.
Jadi secara materiil,
dugaan tindak pidana yang didakwakan kepada Ahok sudah memenuhi kualifikasi
sebagai tindak pidana yang berkonsekuensi pemberhentian sementara karena
ancaman pidananya telah memenuhi ketentuan Pasal 83 UU Pemda, yakni pidana 5
tahun penjara.
Sesuai ketentuan Pasal
83 UU Pemda diatas, maka semestinya Presiden sudah harus memberhentikan
sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) segera setelah yang bersangkutan menjadi
terdakwa, yakni sejak berkas perkaranya dilimpahkan oleh Jaksa dan teregistrasi
di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Desember 2016 yang lalu.
Sikap Pemerintah
Sikap Pemerintah yang
menunjukan keengganan atau setidak-tidaknya sedang berupaya mengulur-ulur proses
pemberhentian sementara Gubernur DKI Jakarta ini sebetulnya tidak hanya terjadi
kali ini saja, melainkan sudah berkali-kali.
Mula-mula, ketika Ahok
telah resmi menjadi terdakwa pada awal Desember 2016 yang lalu dimana
seharusnya Presiden sudah mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara
terhadap Ahok, Pemerintah mangkir dari keharusan tersebut dengan berdalih bahwa
pemberhentian sementara terhadap Ahok belum perlu dilakukan karena yang
bersangkutan masih sedang cuti kampanye, sehingga keputusan pemberhentian
sementara baru akan ditandatangani oleh Presiden setelah yang bersangkutan
selesai menjani masa cutinya (yang berakhir pada tanggal 11 Februari 2017).
Akan tetapi seiring
dengan berjalannya waktu dimana masa cuti Gubernur DKI Jakarta akan berakhir
pada 11 Februari 2017, Pemerintah melalui Mendagri ternyata kembali membuat
pernyataan yang nampaknya ingin sekali lagi mengulur-ulur proses pemberhentian
Sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok).
Pemerintah melalui
Mendagri mencoba mengarang penafsiran terhadap ketentuan pembehentian sementara
yang diatur dalam Pasal 83 UU Pemda dengan mengatakan bahwa pemberhentian
sementara terhadap Gubernur DKI Jakarta (Ahok) belum dapat dilakukan karena
masih harus menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa.
Padahal yang menjadi ukuran untuk
menilai apakah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Kepala Daerah itu
memenuhi ketentuan Pasal 83 UU Pemda sehingga berkosekuensi pemberhentian
sementara atau tidak ialah dilihat dari jumlah atau ancaman pidana yang tertera
dalam undang-undang, bukan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa ! Lagipula
ayat (2) dari Pasal 83 UU Pemda itu telah menegaskan bahwa yang menjadi dasar
pemberhentian sementara itu adalah adanya registrasi perkara pidana di
pengadilan. Jadi manakala perkaranya sudah dilipahkan oleh Jaksa di pengadilan
dan telah teregistrasi di Pengadilan maka sejak saat itu Presiden dapat
mengeluarkan Kepres Pemberhentian Sementara atas Kepala Daerah yang dimaksud.
Sebab bukti registrasi perkara itulah yang akan ditulis dan menjadi dasar
dikeluarkannya Kepres yang dimaksud.
Lagipula, didalam
prakteknya selama ini, Kepala Daerah yang terjerat kasus pidana pasti
diberhentikan sementara segera setelah yang bersangkutan berstatus sebagai
terdakwa, tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitoir) yang
diajukan Jaksa di dalam persidangan.
Sebab yang ditentukan
oleh UU Pemda sebagai syarat untuk memberhentikan sementara Kepala Daerah
adalah apabila perkaranya sudah dilimpahkan dan telah teregistrasi di
pengadilan.
Pernyataan Mendagri yang
pada intinya berisi “penolakan” untuk memberhentikan sementara Ahok dengan
dalih masih menunggu tuntutan (requisitoir) Jaksa dapat dipastikan merupakan
tindakan subjektif dan spesifik hanya berlaku bagi Ahok.
Padahal, kenyataan
menunjukan bahwa dalam kasus-kasus lain, Mendagri yang sama dan Presiden yang
sama selalu tanpa bimbang-ragu mengikuti prosedur pemberhentian sementara
Kepala Daerah sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh UU Pemda, yakni
memberhentikan sementara Kepala Daerah yang terjerat kasus pidana segera
setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa, tanpa menunggu dan
bergantung pada tuntutan Jaksa sebagaimana yang berlaku dalam kasus ini.
Sebagai contoh misalnya
pemberhentian sementara Wakil Walikota Probolinggo H. M. Suhadak yang Keputusan
Pemberhentian Sementaranya ditandatangani pada tanggal 22 November 2016 oleh
Mendagri, tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa.
Contoh lain misalnya
Keputusan Pemberhentian Sementara Bupati Subang yang ditandatangani oleh
Mendagri tanggal 3 Oktober 2016, juga tidak lama setelah yang bersangkutan
berstatus sebagai terdakwa.
Baru dalam kasus Ahok
ini saja, Presiden dan Mendagri telah dengan sengaja mengesampingkan
hukum dan mengedepankan kekuasaan yang ada dalam genggamannya dengan menggunakan
standar ganda dan tafsir yang mengada-ada dalam melaksanakan ketentuan Pasal 83
UU Pemda tersebut.
Jalan yang Harus Ditempuh
Meski berkilah seribu
satu alasan namun fakta-fakta dan petunjuk tentang keberpihakan dan
subjektifitas Pemerintah dalam menyikapi kasus pemberhentian sementara Gubernur
DKI Jakarta (Ahok) ini terlalu jelas dan nyata adanya.
Tidak ada pilihan lain
bagi Pemerintahan ini jika benar-benar hendak menunjukkan keberpihakannya pada
penegakan hukum dan keadilan kecuali dengan segera memenuhi perintah Pasal 83
UU Pemda untuk memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta (Ahok) yang telah
bertatus sebagai terdakwa. Pengabaian terhadap keharusan tersebut merupakan pelanggaran
konsitutsional yang sangat serius bagi seorang kepala pemerintahan.
Apabila hal itu terjadi
maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene memiliki fungsi pengawasan
terhadap Pemerintah harus mengambil tindakan. Salah satu instrumen atau mekanisme
yang dapat ditempuh oleh DPR dalam rangka merespon pengabaian dan pelanggaran
terhadap ketentuan Pemberhentian Sementara yang diatur dalam UU Pemda oleh
Pemerintah itu ialah dengan menggunakan Hak Angket yang dimilikinya sesuai
dengan ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Hak angket menurut UU
No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah hak DPR untuk
menyelidiki pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (Pasal 79 ayat 3).
Mekanisme hak angket
sebagaimana dimaksud diatas sangat penting untuk ditempuh oleh DPR dalam rangka
menjalankan fungsi pengawasannya terhadap Pemerintah.
Sebab seperti yang telah
dikatakan sebelumnya, Pemerintah nyata-nyata telah mengabaikan dan menyimpangi
ketentuan pemberhentian sementara Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam UU
Pemda.
Jangan Hancurkan Republik ini
Sebagai penutup, penulis
ingin kembali menekankan bahwa NKRI ini adalah negara hukum. Mohon kiranya
pihak-pihak yang sekarang sedang merasa punya kendali atas negeri ini, baik
dengan kekuasaan ataupun uang, dapat menahan diri dan bisa melihat bahaya besar
yang sedang mengancam Republik ini.
Bahaya itu datang bukan
dari demonstrasi di jalanan yang menuntut penegakan hukum atas Ahok, tetapi
justru dari sikap penguasa sendiri yang menganggap sepele atas pentingnya
penegakan hukum karena keyakinan yang berlebih atas kekuasaan yang sedang
digenggamnya, dan akhirnya tuntutan keadilan dari rakyat di bawah diabaikan.
Kalau penguasa melihat
ini, atau berusaha dengan segala cara membangun opini, bahwa seakan-akan ini
adalah sekedar teriakan kelompok garis keras yang mendedah sikap
anti-kebhinekaan, maka sungguh pemerintah telah meminjam kacamata dan pena yang
salah dari tangan orang yang salah juga. Ini sungguh-sungguh rintihan hati
rakyat untuk ditegakkannya hukum dan keadilan.
Maka, alangkah baiknya
jika Pemerintah tidak menutup pendengaran dan penglihatan mata dan hatinya dan
mau kembali membaca sejarah. Lihatlah bagaimana kekuasaan yang paling adidaya
sekalipun, tumbang oleh kepongahan dan ketidak-peduliannya pada jeritan
keadilan dari rakyatnya sendiri.
Penulis: Dr.
Hamid Chalid, S.H LL.M (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia)
*Tulisan ini dimuat
di kolom Opini Republika edisi Senin, 13 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar