Latar Belakang Pembentukan
Setelah terjadinya transisi politik di
Indonesia yang dimulai sejak tahun 1998 dengan tumbangnya rezim orde baru dan
dimulainya era reformasi, isu mengenai hak asasi manusia menjadi salah satu isu
sentral pada hari-hari itu. Salah satu kepingan isu tersebut ialah tuntutan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di masa
lalu.
Akan tetapi pada kenyataanya, antara
tuntutan dan respon dari pemerintah dalam menjawab tuntutan itu menunjukan
hasil yang kurang menggembirakan. Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak
Asasi Manusia masih terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas sementara
praktek-praktek pelanggaran HAM tetap berlangsung bahkan seringkali terjadi
penyalahgunaan upaya penegakan hak asasi manusia.[1]
Sehubungan dengan penilaian tersebut
maka kemudian MPR menugaskan Presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia secara serius dan adil.[2]
Menindaklanjuti amanat MPR tersebut
kemudian dibentuklah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Melalui
Pasal 104-nya, UU No. 39 Tahun 1999 itu mengamanatkan Pembentukan UU tentang
Pengadilan HAM sebagai tempat mengadili kejahatan-kejahatan serius terhadap
HAM.[3]
Menindaklanjuti amanat Pasal 104 UU No.
39 Tahun 1999 dan dalam rangka menjawab tuntutuan akan penyelesaian sejumlah
kasus pelangagran berat HAM yang terjadi ketika itu, khususnya kasus Timor
Timur, maka Presiden ketika itu mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM. Namun sayangnya Perpu tersebut tidak sempat dilaksanakan karena
ditolak oleh DPR dengan alasan isinya dianggap tidak memadai.[4] Sebagai
penggantinya, ditengah-tengah desakan yang luar biasa kencangnya, baik dari
dalam negeri maupun dunia internasional untuk mengadili dugaan pelanggaran
berat terhadap HAM yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat, Presiden
dan DPR akhirnya berhasil mengesahkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang
tersebut secara resmi menggantikan dan mencabut Perpu No.1 Tahun 1999 yang
telah ditolak oleh DPR.[5]
Sebagai pengejawantahan ketentuan Pasal
43 UU No. 26 Tahun 2000 yang “memerintahkan” pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
untuk mengadili kejahatan berat terhadap HAM yang terjadi di masa lalu (sebelum
diundanglannya UU No. 26 Tahun 2000), pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menerbitkan Keppres No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Pengadilan Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Isi daripada Keppres
tersebut ialah mengenai kewenangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat untuk
memeriksa dan mengadili kasus pelanggaran berat terhadap HAM yang terjadi di
Timor Timur pasca jajak pendapat 1999 dan kasus Tanjung Priok tahun 1984.
Ketika terjadi pergantian Presiden dari
Gus Dur ke Megawati Soekarno Putri, Keppres No. 53 Tahun 2001 yang belum sempat
dioperasionalkan itu di revisi dengan
diterbitkannya Keppres No. 96 tahun 2001. Pada prinsipnya Keppres yang
baru tersebut hanya menegaskan dan menyempurnakan perihal locus dan tempus delicti pelanggaran berat HAM yang akan diadili
oleh Pengadilan Ad Hoc Jakarta Pusat.[6]
Dengan perangkat hukum seperti yang
telah disebutkan diatas maka kemudian dimulailah proses peradilan atas
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999
oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat.
Secara
umum, proses atau latar belakang pembentukan Pengadilan Ad Hoc Jakarta Pusat
untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor Timur pada 1999 dapat
dirunutkan sebagai berikut:
1. Keppres No. 770/TUA/IX/99 juncto Keppres No. 797/TUA/X/99 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (disingkat KPP-HAM
Timtim);[7]
2. Perpu 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang kemudian ditolak oleh DPR dan dicabut serta diganti dengan UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
3. Keppres No. 53 Tahun 2001 juncto Keppres No. 96
Tahun 2001 (Perubahan) tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
4. Kepress No. 6/M/2002 Tahun 2002 tentang
Pengangkatan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hak Asasi Manusia.[8]
Berdasarkan
hasil penyelidikan yang dilakukan KPP-HAM Timtim yang dilaporkan pada tanggal
31 Januari 2000, disimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia
yang berat di Timtim yang meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran,
dan pemindahan paksa serta tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap penduduk
sipil. Dalam laporan tersebut juga ditemukan fakta bahwa menurut KPP-HAM
Timtim, selain Jenderal Wiranto, terdapat pula sejumlah nama yang berjumlah 33
orang yang diduga keras terlibat dalam berbagai aksi pelanggaran berat HAM yang
terjadi di Timtim pada periode tahun 1999.[9]
Berdasarkan
laporan KPP-HAM Timtim itu maka dibentuklah Pengadilan HAM ad. hoc untuk Kasus Timor Timur Pasca Jajak
Pendapat melalui Keppres No. 53 Tahun 2001 juncto
Keppres No. 96 Tahun 2001 (Perubahan) tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[10]
Yurisdiksinya
Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kasus Timor Timur
Sesuai
dengan UU No. 26 Tahun 2000 dan Keppres No. 53 Tahun 2001 jo Keppres No. 96 Tahun 2001, Yurisdiksi Pengadilan HAM ad hoc ini
hanya meliputi pelanggaran berat HAM yang mencakup genosida (genocide) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity)
yang locus dan tempus delictinya dibatasi hanya pada kejahatan yang terjadi di
Timor Timur (Liquica, Dili, dan Suai,) pada bulan April dan September 1999.[11]
Persidangan dan Putusan
Dari 34 nama yang direkomendasikan oleh
KPP-HAM Timtim untum disidik oleh Jaksa Agung, hanya 18 orang yang kemudian
dibawa dan diadili di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat tahun 2002.
Dari nama-nama yang diadili tersebut ternyata nama Jenderal Wiranto tidak
termasuk diantaranya.
Dari 18
orang yang diadili di Pengadilan HAM itu pada akhirnya, baik di tingkat
pertama, banding, kasasi, maupun PK, mendapat vonis bebas.[12]
Untuk
lebih jelasnya, berikut ini disajikan tabel yang berisi: (1) nama-nama yang
direkomendasikan oleh KPP-HAM Timtim untuk disidik oleh Jaksa Agung; dan (2)
nama-nama terdakwa dan kapasitas/jabatannya (ketika itu), serta putusan
terhadap kasusnya:
Tabel 1
Nama-Nama yang Direkomendasikan oleh
KPP-HAM Timtim kepada Jaksa Agung untuk Disidik[13]
No.
|
Nama
|
Jabatan
|
1.
|
Jenderal Wiranto
|
Panglima TNI
|
2.
|
Abilio Jose Osorio Soare
|
Gubernur Timor Timur
|
3.
|
Brigjen Pol. Timbul Silaen
|
Kapolda Timor Timur (1998-1999)
|
4.
|
Letkol TNI Endar Priyanto
|
Dandim 1627 Dili (1997- Agustus 1999)
|
5.
|
Letkol. Soedjarwo
|
Dandim 1627 Dili (Agustus 2000-Maret
2000
|
6.
|
Eurico Gueterres
|
Komandan Milisi Aitarak dan Wakil Komandan
Pasukan Pejuang Integrasi
|
7.
|
Mayjen TNI Adam Rachmat Damiri
|
Pangdam Udayana
|
8.
|
Brigjen TNI Suhartono Suratman
|
Danrem 164 Wiradarma Dili
(1998-Agustus 1999)
|
9.
|
Kolonel TNI M. Nur Muis
|
Danrem 164 Wiradarma Dili (Agustus
1999-Maret 2000)
|
10.
|
Letkol TNI Yayat Sudrajat
|
Komandan Satgab Intelejen, BKO Korem
dan Satgas Kopassus Tribuana VIII Dili
|
11.
|
Letkol Pol. Hulman Gultom
|
Kapolres Dili
|
12.
|
Kolonel TNI Herman Sedyono
|
Bupati Covalima (1992-1999)
|
13.
|
Kolonel TNI Lilik Koesherdiyanto
|
Dandim 1635 Suai
|
14.
|
Letkol Pol. Gatot Subiaktoro
|
Kapolres Suai
|
15.
|
Kapten TNI Achmad Syamsudin
|
Kasdim 1635 Suai
|
16.
|
Lettu TNI Sugito
|
Danramil 1635 Covalima, Suai
|
17.
|
Letkol TNI Asep Kusnawi
|
Dandim 1636 Liquica
|
18.
|
Letkol Pol. Adios Salova
|
Kapolres Liquica
|
19.
|
Leoneto Martins
|
Bupati Liquica (1994-1999)
|
20.
|
Dominggus Soares
|
Bupati Dili
|
21.
|
Guileherme dos Santos
|
Bupati Bobonaro
|
22.
|
Edmundo Conceicao SIlva
|
Bupati Los Palos
|
23.
|
Mayjen TNI Zaki Makarim
|
Penasehat Keamanan
|
24.
|
Letkol TNI Burhanudin Siagian
|
Dandim Bobonaro
|
25.
|
Letkol TNI Sudrajat
|
Dandim Los Palos
|
26.
|
Kapten TNI Tatang
|
Komandan Kompi B Batalyon Infanteri 744
|
27.
|
Mayor Yakraman Yagus
|
Komandan Batalyon Infanteri 744-Dili
|
28.
|
Mayor Jacob Sarosa
|
Komandan Batalyon Infanteri 745-Los
Palos
|
29.
|
Lettu Sutrisno
|
Kasi Intel Kodim Bobonaro
|
30.
|
Lettu Jacob
|
Staf Kodim Liquica
|
31.
|
Olivio Moruk
|
Komandan Milisi Laksaur
|
32.
|
Martinus
|
Komandan Kompi Milisi Laksaur
|
33.
|
Manuel Sousa
|
Komandan Milisi Besi Merah Putih
|
34.
|
Joni Marquez
|
Komandan Milisi Tim Alfa
|
Tabel 2
Nama-Nama Terdakwa, Jabatan, dan
Putusan Kasus Pelanggaran Berat HAM Timor Timur Pasca Jajak Pendapat[14]
No.
|
Nama
|
Jabatan
|
Putusan
|
|||
Tingkat I
|
Tingkat Banding
|
Kasasi
|
PK
|
|||
1.
|
Abilio Jose Osorio Soare
|
Gubernur Timor Timur
|
3 tahun
|
3 tahun
|
3 tahun
|
bebas
|
2.
|
Brigjen Pol. Timbul Silaen
|
Kapolda Timor Timur (1998-1999)
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
3.
|
Letkol TNI Endar Priyanto
|
Dandim 1627 Dili (1997- Agustus 1999)
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
4.
|
Letkol. Soedjarwo
|
Dandim 1627 Dili (Agustus 2000-Maret
2000
|
5 tahun
|
bebas
|
bebas
|
-
|
5.
|
Eurico Gueterres
|
Komandan Milisi Aitarak dan Wakil
Komandan Pasukan Pejuang Integrasi
|
10 tahun
|
5 tahun
|
5 tahun
|
bebas
|
6.
|
Mayjen TNI Adam Rachmat Damiri
|
Pangdam Udayana
|
3 tahun
|
Bebas
|
-
|
-
|
7.
|
Brigjen TNI Suhartono Suratman
|
Danrem 164 Wiradarma Dili (1998-Agustus
1999)
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
8.
|
Kolonel TNI M. Nur Muis
|
Danrem 164 Wiradarma Dili (Agustus
1999-Maret 2000)
|
5 tahun
|
bebas
|
bebas
|
-
|
9.
|
Letkol TNI Yayat Sudrajat
|
Komandan Satgab Intelejen, BKO Korem
dan Satgas Kopassus Tribuana VIII Dili
|
bebas
|
bebas
|
Bebas
|
-
|
10.
|
Letkol Pol. Hulman Gultom
|
Kapolres Dili
|
3 tahun
|
bebas
|
bebas
|
-
|
11.
|
Kolonel TNI Herman Sedyono
|
Bupati Covalima (1992-1999)
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
12.
|
Kolone; TNI Lilik Koesherdiyanto
|
Dandim 1635 Suai
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
13.
|
Letkol Pol. Gatot Subiaktoro
|
Kapolres Suai
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
14.
|
Kapten TNI Achmad Syamsudin
|
Kasdim 1635 Suai
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
15.
|
Lettu TNI Sugito
|
Danramil 1635 Covalima, Suai
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
16.
|
Letkol TNI Asep Kusnawi
|
Dandim 1636 Liquica
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
17.
|
Letkol Pol. Adios Salova
|
Kapolres Liquica
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
18.
|
Leoneto Martins
|
Bupati Liquica
|
bebas
|
bebas
|
bebas
|
-
|
Diantara kedelapan belas terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc
itu terdapat dua kasus yang (menurut peneliti) paling menarik perhatian, yaitu
kasus dengan terdakwa Mayjen Adam Rahmat Damiri dan Euricco Guterres.
Kasus
Mayjen Adam Rachmat Damiri
Adam
Rahmat Damiri adalah Panglima Daerah Militer (Pangdam) Udayana yang wilayah
teritorialnya meliputi Timor Timor ketika
terjadi kekerasan pasca referendum di wilayah itu pada tahun 1999.
Kasus
Mayjen Adam Rahmat Damiri (selanjutnya disebut Rahmat Damiri) merupakan kasus
yang dapat dikatakan paling kontroversial diantara kasus yang lain dalam
Pengadilan HAM Ad Hoc. Hal itu disebabkan karena Jaksa Penuntut Umum (JPU)
menuntut (requisitoir) Rahmat Damiri
dengan tuntutan bebas setelah JPU merasa dakwaannya kepada Rahmat Damiri tidak
dapat dibuktikan. Namun Majelis Hakim yang mengadili Rahmat Damiri menjatuhkan
pidana 3 tahun penjara terhadap Damiri. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi
HAM Ad Hoc kemudian mengabulkan permohonan Damiri dan membatalkan putusan
pengadilan tingkat pertama, sehingga Rahmat Damiri divonis bebas dari segala
dakwaan JPU.[15]
Kasus
Eurico Guterres
Kasus
Eurico Guterres menarik perhatian karena setidak-tidaknya dilihat dari dua
aspek. Pertama, Eurico Guterres
memegang peranan penting dalam sejarah pergolakan/kekerasan di Timor Timur,
khususnya menjelang dan setelah referendum terkait posisinya sebagai Komandam
Milisi Aitarak dan sekaligus Wakil Panglima Pejuang Pro Integrasi. Kedua, Eurico Guterres adalah terdakwa
dengan vonis terberat diantara 17 terdakwa lainnya dan harus berjuang hingga PK
ke Mahkamah Agung baru kemudia ia mendapat vonis bebas dari MA pada tahun 2008.
Vonis bebasnya pada tahun 2008 oleh MA di tingkat PK menyempurnakan daftar
vonis bebas seluruh terdakwa yang diadili di Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pada
Pengadilan HAM Ad Hoc tingkat pertama, Guterres dijatuhi pidana 10 tahun.
Putusan Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc kemudian membatalkan putusan tingkat
pertama dan meringankan hukuman Guterres dari 10 tahun penjara menjadi 5 tahun.
Menariknya, Putusan kasasi atas kasusnya kembali menguatkan putusan tingkat
pertama dan membatalkan putusan tingkat banding sehingga Guterres dijatuhi
hukum 10 tahun penjara oleh MA pada 13 Maret 2006. Tidak menyerah sampai
kasasi, Guterres kemudian mengajukan PK kepada MA pada tahun 2007 dan akhirnya
setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang MA kemudian menjatuhkan
vonis bebas atas Eurico Guterres pada 14 Maret 2008.[16]
Refleksi Kritis
Catatan
kritis yang dapat Penulis berikan terhadap Pengadilan HAM ad.hoc untuk Kasus
Timor Timur pasca Jajak Pendapat antara lain:
Pertama, dilihat dari latar historis pembentukannya, Pengadilan HAM a.d hoc untuk Kasus
Timtim lahir atas desakan dan tuntutan baik yang datang dari dalam negeri
maupun dari dunia internasional atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Timtim
menjelang dan setelah diadakannya jajak pendapat di Timtim pada tanggal 30
Agustus 1999.[17]
Desakan yang datang dari dunia internasional itu antara lain dapat
dilihat dari dikeluarkannya Resolusi DK PBB No. 1264 tanggal 15 September 1999.
Resolusi DK PBB terseut pada pokoknya berisi desakan kepada Pemerintah RI untuk
mengadili mereka yang bertanggung jawab atas serangkaian kasus kekerasan yang
terjadi di Timor Timur tahun 1999 melalui Pengadilan HAM.[18]
Namun begitu langkah yang diambil pemerintah ini, terepas dari segala
kekurangannya, patut diapresiasi. Inilah Pengadilan HAM (walaupun bersifat ad.
hoc) yang dalam sejarah perkembangan HAM di Indonesia tercatat sebagai yang
pertama. Upaya untuk membawa dugaan kasus pelanggaran berat terhadap HAM
melalui Pengadilan HAM ini sekurang-kurangnya menunjukan itikad dari bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk mengutuk dan tidak
membiarkan (impunity) terjadinya
kejahatan serius yang mengancam hak asasi manusia.
Kedua, Pengadilan HAM ad. hoc ini di dalam
perjalanannya ternyata banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan. Salah
satu kritik tajam itu antara lain berkenaan dengan tidak tersentuhnya level
tertinggi di jajaran ABRI, yaitu Panglima ABRI yang ketika itu dijabat oleh
Wiranto. Banyak kalangan, termasuk hasil penyelidikan dan kesimpulan KPP-HAM
Timtim yang menyebut nama Wiranto sebagai salah satu tokoh yang harus dimintai
pertanggungjawaban dihadapan Pengadilan HAM. Namun yang perlu dijelaskan disini
ialah, memang secara normatif berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Jaksa Agung
yang memegang kekuasaan penyidikan dan penuntutan dalam kasus pelanggaran berat
terhadap HAM, tidak terikat oleh hasil penyelidikan atau kesimpulan dari
penyelidik yang dalam hal ini KPP-HAM Timtim. Sehingga secara normatif memang
Jaksa Agung dalam tahap penyidikan maupun penuntutan dapat saja tidak
melaksanakan/menerima semua hasil penyeledidikan tim penyelidik.[19]
Mekanisme inilah yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai salah satu kelemahan
dalam hukum acara Pengadilan HAM.[20]
Ketiga, perihal bebasnya semua terdakwa yang
diadili dihadapan Pengadilan HAM, baik sejak di tingkat pertama, tingkat,
banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (PK). Dalam menyoroti fakta ini
penulis berdiri pada posisi yang tidak akan mengomentari apalagi mengkritik
putusan bebas terhadap para terdakwa. Sebab apa pun vonnis yang dijatuhkan
hakim pada Pengadilan HAM ad. hoc terhadap para terdakwa, itu sepenuhnya
merupakan kemerdekaan hakim untuk menentukannya berdasarkan bukti-bukti dan
keyakinannya.
Jadi menurut pendapat penlus, tidak lah perlu mempersoalkan putusan
bebas yang diperoleh para terdakwa selama proses persidangannya dijalankan
diatas mekanisme hukum yang benar, fair, dan terbuka, bukan. Apalagi jika
kritik itu ditujukan seolah-olah bahwa siapa pun yang menjadi terdakwa dalam
kasus dugaan pelanggaran berat terhadap HAM yang diadili di muka Pengadilan HAM
“harus” dinyatakan bersalah dan “harus” di hukum. Jika paradigma berfikirnya
seperti itu maka jelas pemikiran itu sudah tidak dapat disebut sebagai pemikiran
kritis lagi melainkan pemikiran yang kebablasan dan tidak dapat diterima dalam
logika hukum.
Jika kita mencermati pengalaman dari praktek pengadilan-pengadilan
internasional yang mengadili kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap
HAM, di dalam praktek pengadilan-pengadilan itu pun tetap saja ada diantara
terdakwanya yang diputus bebas jika memang menurut penilaian hakim yang
bersangkutan tidak bersalah atau tidak cukup bukti untuk menghukumnya.
Jadi kembali penulis tegaskan bahwa tidak lah perlu memperdebatkan
apalagi memaksakan bahwa semua terdakwa yang diadili dihadapan Pengadilan HAM
harus selalu divonnis bersalah dan dijatuhi hukuman. Yang terpenting adalah
semua proses peradilannya harus dilaksanakan berdasar atas hukum yang berlaku, terbuka,
dan adil. Apa pun putusan yang akan dihasilkan atau dijatuhkan, jika proses
peradilannya telah dilakukan diatas prinsip-prinsip dasar itu maka niscahya
publik akan dapat menerima dan menghormatinya.
[1] Vide Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2000 Laporan Tahunan
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 2000.
[2] Idem.
[3] Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 berbunyi:
(1) Untuk
mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.
(2)
Pengadilan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang- undang
dalam jangka waktu paling lama 4 ( empat) tahun.
[4] Vide Konsiderans Menimbang Huruf C Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; lihat juga Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 18.
[5] Meskipun Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan
HAM telah ditolak oleh DPR, namun DPR sendiri tidak langsung mencabut Perpu
tersebut dengan alasan untuk mengisi kekosongan hukum sampai terbentuknya
undang-undang yang akan menggangtikannya. Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di
Indonesia, Cet. Ketiga, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 19.
[6] Berdasarkan Pasal 2 Keppres No. 96 Tahun 2001,
Pengadilan Ham Ad Hoc Jakarta Pusat memiliki yurisdikasi terhadap
pelanggaran-pelanggaran berat HAM di Timor Timur yang terjadi diwilayah hukum
Liquica, Dili, Suai, yang terjadi pada bulan April 1999 dan di Tanjung Priok pada bulan September
1984.
[7] Keppres ini sendiri lahir karena ada desakan yang kuat
baik dari dalam negeri maupun dunia internasional kepada Pemerintah RI ketika
untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor Timur
sekitar tahun 1999 dan mengadili pelakunya di hadapan sebuah pengadilan HAM
(yang ketika itu; 1999, belum terbentuk atau masih dalam usaha kearah
pembentukan). Hal tersebut dapat dilihat misalnya dari adanya Resolusi DK PBB
No. 1264 tanggal 15 September 1999 yang pada intinya mengutuk keras aksi
kekerasan di Timtim pada tahun 1999 dan mendesak agar Pemerintah RI mengadili
para pelakunya melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
[8] Lihat Eddy O. S. Hiariej, Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap
HAM, Erlangga, Jakarta, 2010,
hlm. 85.
[9] Ibid., hlm.
85-86.
[10] Keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM
ad. Hoc di PN Jakarta Pusat itu sebetulnya meliputi juga kasus Tanjung Priok
tahun 1984. Lihat juga Rhona K. M. Smith et.
all., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet.
Kedua, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm.
309.
[11] Untuk Yurisdiksi Materiil Pengadilan HAM ad. hoc ini
lihat Pasal 4 dan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, untuk Yurisdiksi tempat dan
waktu terjadinya kejahatan lihat Pasal 2 Keputusan Presiden No. 96
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001
tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
[12] Lihat pada tabel nama-nama terdakwa pelanggaran berat
HAM pada Eddy O. S. Hiariej, Op. Cit., hlm.
88-94;
[13] Eddy O. S., Hariej, Op. Cit., hlm 86-87.
[14] Eddy O. S., Hariej, Op. Cit., hlm. 94.
[15] Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 94-101.
[16] Vide Putusan PK No. 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007 atas
nama Pemohon PK Eurico Guterres.
[17] Lihat Wikipedia, Sejarah
Timor Leste, http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Timor_Leste, Diakses pada tanggal 5 April 2015.
[18] Lihat Andrey Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor
Leste, dan lainnya, Grasindo, Jakarta, 2005, hlm. 96-115.
[19] Vide Bab IV (Hukum Acara) Undang-Undang No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[20] Lihat Rhona K. M Smith, Op. Cit., hlm. 315.