Sebelum
adanya Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 mengenai kewenangan DPD dalam pembentukan
UU, wewenang dan keterlibatan DPD dalam
pembentukan undang-undang sangat terbatas
dan sumir. Persoalan tersebut terjadi oleh karena
pengaturan fungsi legislasi DPD dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dinilai mereduksi fungsi legislasi DPD
sebagaimana diberikan oleh Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945.
Jika
dibandingkan dengan DPR sebagai mitranya dalam melaksanakan dan mengemban
fungsi legislasi, fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPD amatlah terbatas.
Fungsli legislasi DPD hanya terbatas pada empat hal, yaitu:
2. Ikut membahas RUU
tertentu;
3. Memberikan pertimbangan
atas RUU tentang APBN serta RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama; dan
4. Melakukan pengawasan
atas pelaksanaan UU yang menjadi lingkup kewenangannya sebagaimana dimaksud
diatas.
Dalam
pada itu Saldi Isra mengomentari bahwa hak legislasi DPD begitu terbatas dan
sangat tergantung kepada DPR, sehingga fungsi legislasi hanya menjadi monopoli
DPR. Dalam pandangan yang serupa dalam menyoroti fungi dan wewenang “mini” DPD, HAS
Natabaya menyebut DPD dengan istilah pembentuk undang-undang serta mini (kleine mede wetgever).
Kewenangan
konstitusional yang terbatas itu diperparah karena pada pelaksanaannya, peran
dan keterlibatan DPD dalam menjalankan fungsi legislasinya “dikebiri”
sedemikian rupa oleh ketentuan UU No.
27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU No. 12 Tahun tentang P3, dimana dalam
pembentukan undang-undang tertentu yang menjadi wewenang DPD berdasarkan pasal
22D ayat (1) dan (2) UUD, DPD tidak dilibatkan sebagaimana yang seharusnya
menurut UUD NRI Tahun 1945.
Oleh
karenanya tidak mengherankan apabila kemudian Stephen Sherlock dalam
penelitiannya mengenai DPD menyatakan bahwa kewenangan konsitusional dan
praktik legislasi yang dimiliki DPD tidak lazim dalam praktik lembaga
perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari
lembaga yang kewenangannya terbatas dengan legitimasi yang tinggi (represent the odd combination of limited
powers and high legitimacy). Lebih lanjut Stephen Sherlock mengatakan bahwa
kombinasi tersebut tidak ditemukan dalam praktik sistem bikameral manapun di
dunia.
Kewenangan
konstitusional DPD yang terbatas itu ternyata pada tataran yuridis formalnya
(UU) masih juga direduksi oleh ketentuan UU MD3 dan UU P3 sehingga menyebabkan
DPD semakin terbatas ruang geraknya dalam melaksanakan fungsi legislasinya.
Oleh sebab itu pada Sidang Paripurna DPD tertanggal 5 April 2012, DPD
memutuskan untuk mengajukan uji materi (judicial
review) ke MK. Uji materi itu dilakukan terhadap sejumlah pasal UU MD3 dan
UU P3 yang dianggap mereduksi dan menjadi penyebab terhalangnya kesempatan DPD
untuk melaksanakan fungsi legislasinya sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
NRI Tahun 1945.
Dalam
uji materi tersebut, secara garis besarnya DPD memohon pengujian terhadap
sejumlah pasal UU MD3 dan UU P3 yang berkenaan dengan pengajuan RUU dan pembahasa
RUU yang dianggap oleh pemohon (DPD) mereduksi kewenangan DPD sebagaimana yang
diberikan oleh Pasal pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 20 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945.
Namun
perlu ditegaskan oleh penulis bahwa karena tulisan ini berfokus pada pembahasan
mengenai Prolegnas, maka yang akan menjadi domain pembahasan dan analisis
daripada permohonan judicial review dan
putusannya, dibatasi hanya yang menyangkut Prolegnas, yaitu sepanjang mengenai
hak DPD dalam mengajukan usul RUU prioritas tertentu dan keterlibatannya dalam
penyusunan Prolegnas.
Putusan MK No.
92/PUU-X/2012
Kesepakatan
untuk mengajukan permohonan judicial
review atas sejumlah pasal UU MD3 dan UU P3 sepanjang yang menyangkut
wewenang DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU tertentu diputuskan dalam Rapat
Paripurna DPD 5 April 2012.
Dalam
keputusannya tersebut, DPD menunjuk pimpinan DPD untuk mewakili DPD dalam permohonan
judicial review kepada Mahkamah
Konstitusi. Kemudian pada tanggal 14 Mei 2012 pimpinan DPD menyerahkan kuasanya
kepada kuasa hukum DR. Todung Mulya Lubis dkk, untuk mengajukan permohonan judicial review kepada MK. Berselang
empat bulan, yaitu pada tanggal 14 September 2012, kuasa hukum DPD mengajukan
berkas permohonan pengujian undang-undang secara resmi kepada kepaniteraan MK
dan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi dengan nomor
92/PUU-X/2012.
Di
dalam Posita, pada pokoknya pemohon (DPD) mendalilkan bahwa berlakunya
pasal-pasal UU P3 yang menyangkut penyusunan Prolegnas telah meniadakan
kewenangan pemohon untuk dapat mengajukan RUU, baik di dalam Prolegnas maupun
di luar Prolegnas. Berikut ini adalah pasal-pasal UU No. 12 Tahun 2012 yang
dimaksud:
Pasal
18 huruf g:
“Dalam
penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar
Rancangan Undang- Undang didasarkan atas:
g.
Rencana kerja Pemerintah dan rencana strategis DPR.”
Pasal
20 ayat (1):
“Penyusunan Prolegnas
dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.”
Pasal 21 ayat (1):
“Penyusunan Prolegnas
antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi.”
Pasal
22 ayat (1):
“Hasil penyusunan
Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.”
Pasal
23 ayat (2):
“Dalam keadaan
tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
mencakup: …”
Akibatnya berlakunya
pasal-pasal tersebut, DPD tidak dapat mengajukan RUU baik melalui penyusunan
Prolegnas di awal masa keanggotaan DPR untuk Prolegnas jangka menengah dan di setiap
akhir tahun untuk Prolegnas tahunan, maupun melalui pengajuan RUU diluar
Prolegnas sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 23 ayat (2) UU P3.
Semua
ketentuan pasal-pasal UU P3 yang mengatur mengenai penyusunan Prolegnas
sebagaimana disebutkan diatas, telah menutup akses dan wewenang DPD untuk dapat
mengajukan RUU yang menjadi kewenangannya untuk masuk dalam Prolegnas. Adapun
satu-satunya ruang yang bisa dimanfaatkan bagi DPD untuk mengusulkan RUU
prioritas dari DPD dalam Prolegnas ialah dengan mengajukan/mengusulkannya
kepada DPR sebagai bagian dari proses penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR.
Oleh karena sifatnya hanya berupa usulan dan itu pun dalam posisi yang sejajar
atau disamakan dengan alat perlengkapan DPR seperti fraksi, komisi, dan
anggota, maka nasib RUU usulan DPD itu sangat tergantung kepada “prerogratif”
DPR, apakah akan diteruskan menjadi RUU Prioritas dari DPR untuk dikoordinasikan
dengan Pemerintah atau tidak.
Begitu
pun dengan mekanisme pengajuan RUU di luar Prolegnas, DPD tidak diberikan
wewenang untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas. Karena berdasarkan pasal 23
ayat (2) UU P3, hanya DPR dan Pemerintah yang dapat mengajukan RUU di luar
Prolegnas. Demikian juga pembahasan dan persetujuan atas RUU di luar Prolegnas
tersebut, hanya dilaksanakan antara Baleg dan Menkum dan HAM.
Dengan
rumusan yang demikian itu, nyatalah kekacauan derivasi nilai-nilai konstitusi
dalam pasal-pasal tersebut karena telah secara sistematis mereduksi bahkan
meniadakan kewenangan DPD untuk menyusun Prolegnas sebagai bagian dari
kewenangan konstitusionalnya menurut pasal 22D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
yaitu wewenang untuk dapat mengajukan
RUU tertentu.
Implikasi
dari ketiadaan akses DPD dalam penyusunan Prolegnas tentu sangat fatal. Mengapa
? karena menurut UU No. 12 Tahun 2011 (UU P3), setiap pembentukan undang-undang
harus direncanakan terlebih dahulu di dalam Prolegnas. Hanya melalui
Prolegnas-lah suatu RUU dapat diproses menjadi undang-undang. Dengan perkataan
lain, Prolegnas menjadi satu-satunya pintu (syarat) bagi setiap RUU yang akan
dibahas bersama oleh pembentuk undang-undang (wetgever). Selama tidak termuat/terdaftar dalam Prolegnas maka RUU
tersebut tidak dapat diproses dan diwujudkan menjadi undang-undang.
Dengan
ketiadaan wewenang DPD untuk mengajukan usul RUU prioritas dan ikut menyusun
Prolegnas, maka adalah fakta yang tidak terbantahkan bahwa akan lumpuhlah hak
DPD untuk dapat mengajukan RUU tertentu dan membahas serta mengawalnya sampai
menjadi undang-undang.
Pemohon
mengemukakan bahwa DPD tidak mempunyai kekuatan untuk mengusulkan/merencanakan
pembentukan UU dalam Prolegnas. Faktanya, dari 247 RUU Prolegnas 2010-2014,
tidak satu pun yang berasal dari usul DPD. Begitupun untuk Prolegnas tahunan,
tidak ada satu pun RUU usul DPD. Padahal sejak tahun 2010, DPD selalu
mengajukan usul RUU untuk Prolegnas.
Namun
selama ini, tidak ada kejelasan terhadap RUU yang telah diajukan oleh Pemohon, baik
mengenai pembahasan maupun hasilnya. Ada beberapa RUU yang tiba-tiba berubah
judulnya, namun isinya sebagian besar berasal dari RUU yang disampaikan oleh Pemohon
tanpa disertai pembahasan dengan Pemohon. Sebagian besar RUU yang lainnya tidak
ada tindak lanjutnya.
Dengan
demikian, ketentuan-ketentuan dalam UU P3 tersebut jelas tidak sesuai dengan
semangat pembentukan Pemohon dalam UUD 1945 sehingga harus dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Pada
bagian Petitum, Pemohon memohon kepada MK untuk memberikan kepastian atas
kewenangan konstitusional Pemohon dalam bidang legislasi untuk terlibat penuh
dalam penyusunan Prolegnas seperti halnya Presiden dan DPR.
Isi
petitum (permohonan) dari pemohon kepada MK pada pokoknya ialah meminta MK
membatalkan seluruh ketentuan (pasal atau ayat atau bagian) UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 27
Tahun 2009 yang mengakut kewenangan DPD
dalam pembentukan undang-undang sepanjang
tidak dimaknai adanya keterlibatan dan kewenangan DPD di dalamnya.
Setelah
melalui proses pemeriksaan persidangan di MK, akhirnya pada tanggal 27 Maret
2013, MK menggelar Sidang Pleno Terbuka untuk umum dan membacakan putusannya.
Sebelum sampai pada amar
putusannya, MK mengemukakan pertimbangan hukum (legal opinion) atas permohonan pemohon dan fakta-fakta persidangan.
Dalam
pendapatnya (legal opinion) mengenai
keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, Mahkamah berpendapat:
“Bahwa
Pemohon mendalilkan, Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU 12/2011 telah meniadakan
kewenangan Pemohon untuk dapat mengajukan RUU, baik di dalam maupun di luar
Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
Terhadap dalil
Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam
penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Prolegnas
sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang- Undang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU
yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan
penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala
prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem
hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak
menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut
serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan
wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD
1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak
akan dibahas.”
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, norma undang-undang yang tidak melibatkan
DPD dalam penyusunan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan
oleh UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.”
Bertolak
dari pendapat (legal opinion)
tersebut maka kemudian sampailah mahkamah pada amar putusannya. Dalam amar
putusannya, mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yaitu mengabulkan
permohonan pemohon sepanjang mengenai wewenang pemohon untuk mengajukan RUU
tertentu dan ikut membahasnya sampai pada tahap sebelum pengambilan persetujuan
bersama.
Sedangkan yang tidak dikabulkan adalah permohonan pemohon untuk ikut dalam
persetujuan bersama atas RUU tertentu.
Namun
demikian, putusan mahkamah untuk permohonan pemohon yang menyangkut
keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, dikabulkan untuk seluruhnya. Hal
tersebut dapat dilihat dari Amar Putusan Mahkamah sebagai berikut:
Menyatakan:
“Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234), yaitu:
a. Pasal
18 huruf g bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “rencana kerja pemerintah, rencana strategis DPR, dan rencana strategis DPD”
b. Pasal
20 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai, “penyusunan Program Legislasi Nasional dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah”;
c. Pasal
21 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
“penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD,
dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi”;
d. Pasal
22 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “hasil
penyusunan Prolegnas antara DPR, DPD,
dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi
Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR”;
e. Pasal
23 ayat (2) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dalam
keadaan tertentu, DPR, DPD, atau
Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a)
untuk mengatasi keadaan
luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b) keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan
Undang-Undang yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum;”
Putusan
MK tersebut praktis menimbulkan implikasi yang luas dan mendasar dalam bidang
legislasi, tepatnya pembentukan undang-undang. Putusan tersebut pada prinsipnya
hendak mengembalikan wewenang DPD yang selama ini direduksi oleh berlakunya
pasal-pasal yang dibatalkan (secara bersyarat) agar sesuai dan tidak keluar
daripada ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Singkatnya Mahkamah Konstitusi sebagai the
sole intrepreter of the constitution hendak mengembalikan wewenang dan
kedudukan DPD kepada tempat yang seharusnya berdasarkan amanat pasal 22D ayat
(1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam
hubunganya dengan Prolegnas, putusan MK tersebut sudah pasti menimbulkan
implikasi dalam hal penyusunan dan penetapan Prolegnas karena salah satu materi
muatan pasal-pasal yang dibatalkan oleh MK adalah yang mengatur mengenai
Prolegnas.
Dalam
amar putusannya, MK menyatakan inkonstitusional bersyarat atas sejumlah pasal
yang menjadi dasar hukum penyusunan dan penetapan Prolegnas. Yang dimaksud inkonstitusional
bersyarat dalam putusan tersebut ialah menyatakan bertentangan dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (membatalkan) atas pasal-pasal yang mengatur
mengenai Prolegnas, sepanjang tidak
dimaknai adanya peran dan keterlibatan DPD dalam penyusunan dan penetapan
Prolegnas untuk RUU tertentu. Secara a contrario berarti putusan itu
menyatakan pasal-pasal tersebut tetap konstitusional apabila DPD dilibatkan
dalam penyusunan dan penetapan RUU tertentu.
Putusan
MK tersebut menimbulkan implikasi sekaligus konsekuensi bagi pembentuk
undang-undang (wetgever) untuk
menyesuaikan peraturan yang mengatur penyusunan Prolegnas agar sesuai dengan
putusan tersebut. Artinya, pembentuk undang-undang harus menata ulang (redesign) ketentuan penyusunan Prolegnas
sebagaimana yang telah dibatalkan oleh MK agar sesuai dengan UUD NRI Tahun
1945, dimana DPD harus dilibatkan dan diberikan wewenang untuk menyusun
Prolegnas bersama DPR dan Pemerintah dalam derajat kedudukan yang seimbang,
tidak lagi ditempatkan secara sub ordinat dibawah DPR.