I. Pengenalan dan Pengertian Omnibus Law
Istilah Omnibus Law atau Omnibus Bill (Undang-Undang Omnibus) diambil dari bahasa latin “Omnis” yang berarti “untuk semua” atau “banyak
hal.” Adapun dalam dunia hukum, kata “Omnibus”
tersebut disandingkan dengan kata Law
atau Bill sehingga secara harfiah
dapat dimaknai sebagai satu undang-undang untuk semua atau satu undang-undang
yang mengatur banyak hal yang berbeda-beda.
Harus diakui bahwa
istilah Omnibus Law adalah istilah
yang masih cukup asing dan jarang dimengerti oleh khalayak umum, sebab apa yang
disebut dengan Omnibus Law itu memang
adalah konsep hukum asing yang berasal dari sistem hukum Anglo Saxon/Common Law dan belum lagi diterapkan di Indonesia.
Ramainya istilah tersebut di Indonesia boleh dikatakan baru mengemuka setelah
disampaikan oleh Presiden Jokowi pada saat pidato pelantikannya sebagai
Presiden RI untuk msa jabatannya yang kedua di hadapan sidang MPR tanggal 20
Oktober 2019. Dalam pidato tersebut Presiden memaparkan rencananya untuk
membuat dua undang-undang besar, yakni Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dan
Undang-Undang Pemberdayaan UMKM yang mana kedua undang-undang tersebut akan
menjadi Omnibus Law, yaitu suatu
undang-undang yang mewadahi berbagai subjek pengaturan yang bersifat lintas sektor
dan komprehensif.[1]
Dalam Black Law Dictionary, Omnibus Bill berarti
“relating to or dealing with numerous
object at once; including many thing or having various purpose.”[2] Sedangkan dalam Duhaime Legal Dictionary, Omnibus Bill didefinisikan
sebagai “A draft law before a legislature
which contains more than one substantive matter, or several minor matters which
have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience.”[3]
Berdasarkan uraian
pengenalan di atas maka dapat ditarik suatu garis pemahaman bahwa apa yang
disebut dengan Omnibus Law atau Omnibus Bill itu adalah satu
undang-undang yang berisi berbagai materi pengaturan dari berbagai bidang/sektor
yang muatannya lebih banyak dan komprehensif daripada undang-undang biasa.
Dalam praktik di
negara-negara yang telah menerapkannya, undang-undang yang termasuk dalam
kategori Omnibus Law ini ada yang dinamai
secara spesifik dengan menggunakan kata-kata Omnibus seperti misalnya Omnibus
Trade and Competitiveness Act of 1988 (US) atau bisa juga dinamai tanpa menggunakan kata-kata Omnibus,
tetapi cukup dilihat dari struktur dan materinya publik akan mengenalnya
sebagai salah satu Omnibus Law, contohnya The
Criminal Law Amendment Act 1968 (Canada).
II. Sejarah dan Perbandingan Penerapan Omnibus
Law di Negara Lain
Omnibus Law lahir dan dipraktekan selama lebih dari satu abad di
lingkungan negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon/Common Law. Negara yang terbilang pertama sekali mengembangkan
Omnibus Law ini adalah Amerika
Serikat (AS) dan Kanada. Dua negara tersebut mempunyai sejarah yang panjang
dalam melahirkan dan memproduksi Undang-Undang Omnibus.
A. Amerika
Serikat
Gagasan awal Omnibus Law pertama kali mengemuka pada
tahun 1850 di Amerika Serikat yang kala itu sedang berada di ambang perang
saudara (civil war) antara
negara-negara bagian di Utara (northern
states) yang menghendaki kemerdekaan budak versus negara-negara bagian di
Selatan (southern states) yang
bersikeras mempertahankan sistem perbudakan.[4]
Ide awal tentang
pembentukan sebuah paket undang-undang yang mengatur berbagai hal sekaligus
atau yang disebut Omnibus Law ini
muncul dalam peristiwa bersejarah Compromise
of 1850 yang diinisiasi oleh Senator Senior Henry Clay dari Kentucky dalam
rangka menghindari perang saudara antara negara-negara bagian Utara dan Selatan
atas sengketa hukum perbudakan di AS kala itu.
Dalam pada itu, Clay menawarkan sejumlah resolusi agar bisa mendamaikan
“Utara” dan “Selatan.” Selanjutnya Senator Henry Foote dari Mississippi menyarankan
agar resolusi-resolusi itu digabungkan dalam satu undang-undang saja. Saran
Henry Foote itu diterima oleh Clay dan sejumlah resolusi yang sebelumnya
terpisah-pisah itu akhirnya dikemas ke dalam satu Rancangan Undang-Undang yang
oleh Clay dinamakan sebagai “Omnibus
Bill.”[5]
Akan tetapi sayangnya,
RUU Omnibus yang digagas oleh Senator Henry Clay tersebut gagal mendapat
persetujuan Senat sehingga urung menjadi undang-undang. Sebaliknya, RUU
tersebut kemudian dipecah menjadi 5 (lima)
undang-undang yang merupakan hasil puncak dari peristiwa Compromise of 1850 yang berhasil
mendamaikan dan “menunda” perang saudara antara Utara dan Selatan (setidaknya
untuk satu dekade ke depan).[6]
Meskipun gagasan Omnibus Bill mengenai penyelesaian permasalahan
perbudakan pada tahun 1850 itu gagal
disahkan menjadi undang-undang, akan tetapi peristiwa tersebut menjadi tonggak
bagi lahirnya Omnibus Bill pada
tahun-tahun berikutnya di Amerika yang praktiknya masih terus dipertahankan
hingga kini. Omnibus Bill yang lahir
di tahun-tahun awal itu antara lain The
Omnibus Act of June 1868 yang mengakui berdirinya 7 (tujuh) negara bagian
di Selatan[7] dan The Omnibus Act of February 22, 1889 yang mengakui berdirinya 4
(empat) negara bagian yang baru yakni North Dakota, South Dakota, Montana dan Washington.
Hingga saat ini, praktik pembentukan Undang-Undang Omnibus masih terus dilakukan oleh Kongres AS, salah satu contohnya
adalah undang-undang di bidang anggaran atau keuangan negara yang secara periodik dibuat dalam bentuk Omnibus Bill seperti Omnibus
Budget Reconciliation Act of 1993. Contoh lain misalnya The Omnibus Public
Land Management Act of 2009[8]
dan USA PATRIOT Act 2001
(UU Anti Terorisme) yang meskipun tidak secara spesifik menggunakan nama “omnibus”
tetapi masuk dalam kategori Undang-Undang Omnibus karena berisikan subjek
pengaturan yang beragam secara komprehensif dari berbagai sektor.[9]
Omnibus Law cocok diterapkan dan diproduksi di AS karena memang sistem hukum dan
perundang-undangan disana memungkinkan dibuatnya satu undang-undang yang
berisikan banyak subjek/sektor pengaturan tanpa harus membuatnya dalam
undang-undang yang terpisah-pisah sesuai domain/bidangnya. Bahkan 1
undang-undang di AS bisa digunakan untuk merubah banyak ketentuan dari banyak
undang-undang yang lain. Hal ini dimungkinkan karena negara-negara Common
Law umumnya tidak mengenal dan memiliki aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang tertulis dan baku seperti halnya di Indonesia dengan UU
No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Karenanya, struktur dan teknik
pembentukan undang-undang di negara-negara Common Law relatif lebih
fleksibel, sepanjang lembaga dan prosedur pembuatannya tidak menyimpangi
konsitusi.
B.
Kanada
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh O’Brien dan Bosch, sejarah awal Omnibus Bill di Kanada diketahui bermula
pada tahun 1888 dari adanya Private Bill yang mengkonfirmasi perjanjian
pemisahan 2 rel kerata api di Kanada. Dalam undang-undang tersebut diatur
berbagai macam persoalan yang tidak semata-mata terbatas pada sektor
transportasi kereta api melainkan juga menganai hak-hak keuangan, perpajakan,
sumber daya manusia dan lain sebagainya.[10]
Omnibus Bill lain yang
cukup popular sekaligus kontroversial yang dapat disebut disini adalah Criminal Law Amandement of 1967-1968 yang
diintrodusir oleh Menteri Hukum Kanada saat itu, Pierre Trudeau.[11]
Undang-undang tersebut memuat beberapa perubahan pada UU Kriminal sebelumnya
secara sekaligus dalam satu undang-undang. Materi-matri yang diubah dalam UU
tersebut antara lain, homoseks, aborsi, kontrasepsi, perjudian, kepemilikan
senjata api, alkohol, penyadapan telepon, hingga penyiksaan binatang. Kesemua
materi perubahan tersebut dituangkan dalam satu undang-undang.[12]
Salah satu Omnibus Bill yang
terbaru yang diproduksi Parlemen Kanada adalah Jobs, Growth and Long-term Prosperity Act 2012. Undang-undang ini ditujukan untuk
mengimplementasikan kebijakan anggaran pemerintah untuk tahun 2012. Sebetulnya
oposisi sangat menentang RUU ini sehingga memaksa pemungutan suara di Parlemen secara
marathon selama 22 jam untuk mengesahkannya. Meskipun demikian, RUU ini pada akhirnya disahkan oleh Parlemen dua bulan setelah diperkenalkan.[13]
Berbeda dengan praktik pembentukan Omnibus
Law di Amerika Serikat yang relatif tidak mendapat penentangan yang tajam
dan berarti, pembentukan Omnibus Law di
Kanada selalu diiringi dengan penolakan dan kontroversi yang cukup tajam.
Meskipun sudah sangat lama diadopsi (menurut O’Brien dan Bosch sejak tahun
1888), pembentukan Omnibus Law di
Kanada masih dianggap oleh banyak orang disana sebagai wujud undang-undang yang
tidak lazim dan tidak ideal karena mencakup begitu banyak subjek dari berbagai
bidang dalam satu undang-undang yang besar dan gemuk.[14]
Salah satu alasan penolakan terhadap Omnibus
Law di Kanada ialah adanya kecenderungan Omnibus Bill digunakan oleh Pemerintahan yang anti demokrasi untuk
menyelinapkan begitu banyak materi/ketentuan ke dalam satu undang-undang yang
gemuk sehingga menyulitkan kontrol publik sekaligus memperkecil kesempatan
perdebatan atas pasal demi pasal dari undang-undang tersebut karena materinya
yang terlalu banyak sehingga sulit diamati secara teliti pasal per pasal.[15]
III. Wacana
Pembentukan Omnibus Law di Indonesia
Meskipun pada mulanya Pemerintah merencanakan pembentukan 2 (dua) Omnibus Law yang terdiri dari UU Cipta
Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM sebagaimana disampaikan oleh Presiden
dalam pidato pelantikannya di hadapan sidang paripurna MPR (20 Oktober 2019),
akan tetapi pada perkembangannya saat ini Pemerintah menyiapkan 2 draf RUU Omnibus, masing-masing RUU Cipta
Lapangan Kerja dan RUU Fasilitasi Perpajakan. Sedangkan untuk RUU Pemberdayaan
UMKM, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly materi muatannya akan
dimasukan ke dalam RUU Cipta Lapangan Kerja (tidak dituangkan dalam
undang-undang tersendiri).[16]
Hingga tulisan ini dibuat,[17]
posisi kedua RUU Omnibus inisiatif
Pemerintah tersebut masih dalam proses penyusunan dan penyempurnaan draf RUU di
Kementerian Hukum dan HAM. Menurut rencana, kedua RUU Omnibus tersebut akan dimajukan/disampaikan oleh Pemerintah kepada
DPR untuk masuk ke tahap Pembahasan setelah terlebih dahulu dimasukan dalam
Prolegnas Prioritas Tahun 2020 pada bulan Januari tahun ini.[18]
Tujuan dan sasaran utama yang hendak dicapai oleh Pemerintah melalui 2
Undang-Undang Omnibus tersebut tidak
lain adalah penyederhaan kendala regulasi dan iklim investasi yang berbelit dan
panjang. Melalui 2 Omnibus Law tersebut,
aturan hukum di bidang ekonomi yang begitu banyak dan tumpang tindih satu sama
lain akan dipangkas dan disederhanakan di dalam suatu undang-undang yang akan
mengatur banyak hal secara komprehensif.[19]
Tujuan akhirnya tentu saja adalah untuk meningkatkan perekonomian bangsa
melalui stimulans 2 Undang-Undang Omnibus
yang akan memudahkan dan merangsang iklim investasi yang kondusif.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai arah pengaturan dan cakupan materi
muatan dari 2 RUU Omnibus di atas,
berikut uraiannya:
Tabel
Cluster/Cakupan Materi Muatan RUU Cipta
Lapangan Kerja dan RUU Fasilitasi Perpajakan[20]
No.
|
RUU
Cipta Lapangan Kerja
|
RUU
Fasilitasi Perpajakan
|
1.
|
Penyederhanaan
perizinan tanah
|
Tarif PPh
|
2.
|
Persyaratan
investasi
|
Penghapusan PPh dividen dari perusahaan dalam dan luar negeri
|
3.
|
Ketenagakerjaan
|
Perubahan rezim perpajakan dari world wide menjadi teritorial
|
4.
|
Kemudahan
dan perlindungan UMKM
|
Mengurangi keringanan dari sanksi
|
5.
|
Kemudahan
berusaha
|
Merelaksaksi hak untuk mengkreditkan pajak masukan
|
6.
|
Dukungan
riset dan invoasi
|
Pajak bagi perusahaan digital seperti Google, Netflix, Facebook dan
sebagainya
|
7.
|
Administrasi
pemerintahan
|
Mengubah definisi bentuk usaha tetap sehingga tidak lagi berdasarkan
kehadiran fisik
|
8.
|
Pengenaan
sanksi
|
Rasionalisasi Pajak Daerah
|
9.
|
Pengendalian
lahan
|
|
10.
|
Kemudahan
proyek pemerintah
|
|
11.
|
Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK)
|
Khusus untuk RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU tersebut menurut Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan merevisi tidak kurang
dari 82 undang-undang dan 1.194 pasal.[21]
Begitu pula dengan RUU Fasilitasi Perpajakan yang akan merevisi sejumlah
undang-undang di sektor perpajakan. Semua aturan tersebut akan diperbarui dan
disusun dalam satu undang-undang Omnibus yang
komprehensif.
IV.
Isu dan
Konsekuensi Terkait Penerapan Omnibus Law
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Omnibus Law merupakan produk peradaban hukum dari negara-negara Anglo Saxon atau Common Law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Artinya,
Omnibus Law adalah produk hukum asing
yang berasal dari tradisi dan sistem hukum yang bisa dikatakan sangat berbeda
dengan tradisi dan sistem hukum yang kita anut selama ini.
Oleh sebab itu dibutuhkan kecermatan dan pendalaman yang sungguh-sungguh
sebelum bangsa ini benar-benar mengambil pilihan politik hukumnya untuk
mengadopsi pembentukan sebuah undang-undang dengan model Omnibus (satu undang-undang memuat banyak subjek pengaturan dari
lintas sektor, termasuk menggabungkan materi pengaturan baru, perubahan dan
pencabutan beberapa undang-undang lain). Sebab pembentukan sebuah undang-undang
dengan menggunakan model/teknik Omnibus ini
bukan lah pekerjaan yang sederhana, melainkan pekerjaan yang rumit dan kompleks
karena Pemerintah dan DPR harus menyusun sebuah undang-undang yang “gemuk dan
besar” yang mencakup berbagai hal dari berbagai sector.
Untuk itu ada beberapa hal atau catatan yang penting kiranya untuk
diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR dalam rangka pembentukan Omnibus Law ini, antara lain:
A.
Legalitas
atau Kesesuaian Omnibus
Law terhadap Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku
di Indonesia
Isu ini menjadi sangat penting dan bahkan menurut hemat penulis
merupakan isu pertama yang harus diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR dalam
upayanya membentuk 2 (dua) undang-undang Omnibus
(UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Fasilitasi Perpajakan).
Sebelum berbicara tentang isi (materi) dari undang-undang Omnibus yang tentu saja akan memancing
perdebatan yang tajam, Pemerintah terlebih dahulu harus memastikan legalitas
atau kesesuaian (dari aspek formil) Omnibus
Law dengan aturan hukum yang mengatur tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU P3) sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
memastikan apakah Omnibus Law tersebut
mempunyai tempat dalam sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Apa yang disebut dengan “Omnibus
Law” sesungguhnya adalah suatu teknik dan bentuk dari sebuah undang-undang
yang bersifat khas (berbeda dari undang-undang pada umumnya), yakni
undang-undang yang berisikan beragam bidang pengaturan dengan menggabungkan
antara materi pengaturan baru, perubahan, serta pencabutan berbagai
undang-undang secara sekaligus di dalam satu undang-undang.[22]
Karenanya gagasan pembentukan Omnibus Law
ini tidak akan bisa dilepaskan dari jangkauan pengaturan UU No. 12 Tahun
2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 (UU
P3), khususnya menyangkut pertanyaan “apakah secara formil (dilihat dari teknik
dan bentuknya) Omnibus Law ini
kompatibel dan legal untuk diadopsi di Indonesia menurut UU P3?”
Setiap peraturan perundang-undangan harus dibentuk melalui tata cara dan
teknik pembentukan yang telah ditetapkan secara baku dalam UU P3 untuk
memastikan legalitasnya dari segi formil. Jika tidak, maka peraturan yang
dimaksud bisa menjadi objek pembatalan melalui uji formil (formal judicial review) oleh lembaga kehakiman[23]
karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan UU P3.[24]
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2011:
Pasal 64
Ayat (1)
Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan dilakukan
sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Jika mengacu pada UU P3, khususnya mengenai teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut, lebih khusus
lagi mengenai teknik perubahan undang-undang, maka akan nampak dengan cukup
jelas bahwa Undang-Undang Omnibus yang
mengatur banyak materi dari banyak bidang, termasuk memuat pencabutan dan
perubahan terhadap berbagai undang-undang yang telah ada sebelumnya dengan
mengemasnya dalam satu undang-undang, tidak sesuai dan tidak dikenal dalam
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur di dalam UU No. 12
Tahun 2011, tepatnya pada Lampiran II tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundangan-Undangan, Bab II (Hal-Hal Khusus), Huruf D (Perubahan Peraturan
Perundang-undangan). Sebab menurut aturan tersebut, perubahan suatu
undang-undang harus dituangkan dalam satu undang-undang yang khusus mengatur
tentang perubahan undang-undang yang dimaksud.[25]
Contoh: UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.
Dengan kata lain, menurut teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
yang diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tersebut tidak bisa beberapa
undang-undang diubah secara sekaligus dengan satu undang-undang, terlebih dalam
undang-undang tersebut dimuat pula materi pegaturan yang baru dan ada juga
pencabutan berbagai undang-undang yang lain. Sedangkan dalam Omnibus Law, baik UU Cipta Lapangan
Kerja maupun UU Fasilitasi Perpajakan, keduanya menggabungkan secara bersamaan
materi-materi pengaturan baru, pencabutan serta perubahan beberapa
undang-undang di dalam satu undang-undang.
Keadaan tersebut jika ditinjau dengan menggunakan sudut pandang UU P3
sebagaimana telah dijelaskan di atas maka nampak jelas bahwa Omnibus Law ini tidak sesuai dengan
kaidah pembentukan undang-undang yang telah ditetapkan oleh undang-undang P3.[26]
Meskipun demikian, perlu penulis sampaikan bahwa persoalan tersebut
bukan lah persoalan yang serius dan tanpa jalan keluar, sebab hanya menyangkut soal
ketidaksesuaian teknik dan bentuk undang-undangnya saja. Sementara Pasal 64
ayat (3) dari UU No. 12 Tahun 2011[27]
sendiri telah memberikan semacam jalan keluar untuk persoalan semacam ini
dengan menyatakan bahwa Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana menjadi Lampiran II dari undang-undang tersebut bisa diubah (hanya)
dengan Peraturan Presiden.[28]
Dengan demikian maka masalah
ketidaksesuaian atau tidak dikenalnya Omnibus
Law dalam Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat
ini bisa dengan mudah diatasi, yakni cukup dangan cara Presiden menerbitkan
Perpres tentang Perubahan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 yang mana Perpres tersebut akan mengakomodasi
teknik penyusunan dan sistematika bagi Undang-Undang Omnibus yang mengatur banyak materi dari berbagai bidang sekaligus
memuat di dalamnya klausul-klausul pencabutan dan perubahan berbagai
undang-undang.
Pendapat penulis di atas sekaligus menjadi jembatan antara dua kutub
pemikiran dalam menimbang legalitas Undang-Undang Omnibus terhadap UU P3. Satu kelompok menyatakan bahwa UU Omnibus tidak memiliki pertentangan
apapun dengan UU P3 sehingga UU Omnibus bisa
serta merta dibentuk tanpa perlu merubah UU P3 terlebih dahulu[29]
sementara kelompok yang lain menilai ada ketidaksesuaian/pertentangan antara UU
Omnibus dengan UU P3 sehingga diperlukan
revisi terlebih dahulu terhadap UU P3 agar UU Omnibus bisa diterapkan di Indonesia.[30]
Sedangkan pendapat penulis tidak berpihak pada salah satu dari dua pemikiran di
atas, karena pada kenyataannya UU Omnibus
memang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku saat ini berdasarkan UU P3. Akan tetapi adanya
kendala/persoalan tersebut tidak mengharuskan revisi UU P3 agar UU Omnibus bisa diterapkan, melainkan cukup
dengan cara Presiden menerbitkan Perpres tentang Perubahan Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 seperti
yang telah dijelaskan di atas.
Selain persoalan di atas, penulis tidak menemukan adanya permasalahan
atau penyimpangan lainnya dari UU dengan model Omnibus ini terhadap UU
P3 sehingga tidak ada permasalahan dari aspek formil apapun yang patut
dikhawatirkan terkait legalitas pembentukan UU Omnibus ini.
B.
Harmonisasi
dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain
Salah satu hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh Pemerintah
dalam pembentukan UU Omnibus, baik UU
Cipta Lapangan Kerja maupun UU Fasilitasi Perpajakan ialah melakukan
harmonisasi kedua RUU tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan
yang memiliki keterkaitan isu dan materi muatan dengannya.
Hal tersebut dimaksudkan agar jangan sampai terjadi bahwa setelah UU Omnibus terbit dan berlaku masih saja
ada persoalan tumpang tindih (overlapping)
pengaturan atas suatu hal yang sama. Sebab untuk alasan mengatasi overlapping aturan itulah UU Omnibus ini dibentuk.[31]
Untuk itu diperlukan upaya harmonisasi yang komprehensif dan teliti agar
titik-titik overlapping aturan itu
bisa dideteksi dan dieleminasi dengan cara “take
over” aturan-aturan tersebut sehingga nantinya cukup di atur di dalam UU Omnibus itu saja.
C.
Memperhatikan
Aspirasi dan Prinsip Otonomi Daerah
Salah satu perubahan yang dihasilkan dari proses reformasi social dan
reformasi (amandemen) konstitusi pasca tumbangnya orde baru pada tahun 1998
ialah menguatnya peran serta dan kewenangan daerah dalam mengurus rumah
tangganya sendiri (dalam bingkai NKRI) yang lebih populer disebut dengan
istilah “Otonomi Daerah.”
Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 hasil amandemen telah meletakan landasan
konstitusional yang cukup kuat bagi tumbuh dan berkembangnya Otonomi Daerah di
bawah naungan bentuk negara kesatuan yang mengakhiri periode panjang era
sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat sepanjang Orde Lama dan Orde
Baru. Karenanya jangan sampai terjadi UU Omnibus
(dengan alasan penyederhanaan birokrasi, regulasi dan perizinan) menjadi
alat atau pendulum yang menarik bandul otonomi daerah kembali ke era
sentralisasi kekuasaan seperti di masa yang lalu.
Undang-Undang Omnibus tidak
boleh digunakan sebagai alat yang akan munjustifikasi penarikan/pengambilalihan
kekuasaan dari daerah kepada pusat. Pemerintah Pusat dengan agendanya untuk
menyederhanakan regulasi dan memudahkan investasi melalui pembentukan 2 UU Omnibus (Cipta Lapangan Kerja dan
Fasilitasi Perpajakan) harus tetap memperhatikan dan menghormati kewenangan
Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan oleh UUD dan Undang-Undang. Pemerintah
harus kosisten dan konsekuen bahwa pembentukan UU Omnibus ialah dalam rangka penyederhanaan regulasi, memangkas
rumitnya perizinan, dan memudahkan masuknya investasi, bukan untuk memangkas
dan mengambil alih kewenangan-kewenangan yang sah dan legal dari Pemerintah
Daerah.[32]
[1] Hukum Online, Menyoal Ide Omnibus Law dalam Pidato
Pelantikan Jokowi, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dadb8e0be9fc/menyoal-ide-omnibus-law-dalam-pidato-pelantikan-jokowi/, diakses pada tanggal
30 Desember 2019.
[2] Black Law Dictionary, 9th Edition.
[3] Duhaime Legal
Dictionary, “Omnibus Bill definition”,
website http://www.duhaime.org/LegalDictionary/O/ OmnibusBill.aspx, diakses
pada tanggal 30 Desember 2019.
[4] United States Senate, Clay's
Last Compromise, https://www.senate.gov/artandhistory/history/minute/Clays_Last_Compromise.htmhttps://www.senate.gov/artandhistory/history/minute/Clays_Last_Compromise.htm, Diakses pada tanggal 30
Desember 2019.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Tujuh negara bagian
yang dimaksud di atas adalah Arkansas, Alabama, Florida, Georgia, Louisiana,
North Carolina, South Carolina.
[8] Undang-Undang
ini menetapkan jutaan hektar lahan Amerika Serikat sebagai Kawasan lindung dan
sistem konservasi lanskap nasional, yang diawali karena keprihatinan terhadap
perubahan iklim yang dapat mempengaruhi akses terhadap sumber daya air.
Undang-Undang ini juga memuat recovery act yang diharapkan dapat
menghasilkan investasi yang bermanfaat bagi perlindungan dan pemulihan
ekosistem di Amerika Serikat
[9] Nama lengkap
undang-undang ini adalah Uniting and
Strengthening America by Providing Appropriate Tools to Restrict, Intercept and
Obstruct Terrorism Act of 2001, yang merupakan undnag-undang anti terorisme
yang mengatur berbagai materi terkait pemberantasan terorisme dalam satu
undang-undang yang terpadu dan komprehensif.
[10] Louis Massicotte, Omnibus Bills in Theory and Practice, Paper dipresentasikan dalam forum “The
Canadian Study of Parliament Group” 10 Oktober 2012, Quebec, Kanada, hlm.
2.
[11] Di kemudian hari,
Pierre Trudeau menjadi Perdana Menteri Kanada untuk periode 1968-1979 dan 1980-1984.
[12] Ibid.
[13] Government of Canada,
Justice Laws Website, Jobs,
Growth and Long-term Prosperity Act, https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/J-0.8/, Diakses pada tanggal
31 Desember 2019.
[14] Ibid.
[15] Toronto Sun, Omnibus
Bills In Hill History, https://torontosun.com/2012/06/18/omnibus-bills-in-hill-history/wcm/5b85232b-b8b4-4c9b-b5b7-9480b9821292, Diakses pada tanggal 30
Desember 2019.
[16] Kompas, Pemerintah Bakal Serahkan Draf RUU Omnibus
Law ke DPR Januari 2020, https://nasional.kompas.com/read/2019/12/05/12215041/pemerintah-bakal-serahkan-draf-ruu-omnibus-law-ke-dpr-januari-2020, Diakses pada tanggal 1
Januari 2020.
[17] 3 Januari 2020.
[18] Kompas, Loc. Cit.
[19] Lihat petikan pidato
pelantikan Presiden Joko Widodo di hadapan sidang Paripurna MPR RI, 20 Oktober
2019. Bisa dilihat pada Kompas, Naskah Lengkap Pidato Presiden Joko Widodo
dalam Pelantikan Periode 2019-2024, https://nasional.kompas.com/jeo/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024, Diakses pada tanggal 1
Januari 2020.
[20] Data ini disarikan dari
berbagai sumber, antara lain: Detiknews, Ini 11 Cluster Omnibus Law UU
Cipta Lapangan Kerja, https://news.detik.com/berita/d-4837745/ini-11-cluster-omnibus-law-uu-cipta-lapangan-kerja, Diakses
pada tanggal 1 Januari 2020; dan Bisnis.com, RUU Omnibus
Law Perpajakan, Ini 8 Poin Pentingnya, https://ekonomi.bisnis.com/read/20191122/9/1173480/ruu-omnibus-law-perpajakan-ini-8-poin-pentingnya, Diakses
pada tanggal 1 Januari 2020 .
[21] Airlangga Hartato dalam
Media Indonesia, 2 RUU Omnibus Law Siap Masuk DPR, https://mediaindonesia.com/read/detail/277455-2-ruu-omnibus-law-siap-masuk-dpr, Diakses pada tanggal 1
Januari 2020.
[22] Audrey O’Brien and
Robert Bosc, House of Commons Procedure and Practice, 2nd. Editions,
Yvon Blais, 2009, 724-725.
[23] Oleh
MK untuk level UU dan oleh MA untuk level peraturan di bawah UU.
[24] Ada dua jenis pengujian
peraturan perundang-undangan (judicial
review) yang dikenal secara universal di negara-negara yang menerapkan judicial review, termasuk Indonesia, yakni
uji materi (pengujian isi/subtansi suatu peraturan terhadap peraturan yang
lebih tinggi untuk memastikan tidak ada pertentangan norma) dan uji formil
(pengujian terhadap prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan untuk
memastikan tidak ada cacat formil dalam proses pembentukannya). Lihat lebih
lanjut dalam Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012, hlm. 1-2
[25] Lihat Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II
tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangan-Undangan, Bab II (Hal-Hal
Khusus), Huruf D (Perubahan Peraturan Perundang-undangan).
[26] Permasalahan tidak
sesuainya Omnibus Law dengan kaidah/teknik pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ini juga diakui oleh Maria Farida
Indrati (Ahli Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Maria
Farida Indrati secara umum merasa khawatir dan tidak setuju dengan rencana
pembentukan Omnibus Law yang akan
membawa dampak yang sangat besar bagi Indonesia, khususnya dalam kaitannya
dengan sistem perundangan-undangan yang berlaku saat ini. Simak selengkapnya
dalam Hukum Online, Kekhawatiran Maria
Farida Terkait Omnibus Law, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5de4f9c9216d0/kekhawatiran-maria-farida-terkait-omnibus-law/, Diakses pada tanggal 1
Januari 2019.
[27] Berikut bunyi lengkap
ketentuan Pasal 64 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan: Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Presiden.
[28] Ketentuan ini menurut
penulis sangat baik karena teknik penyusunan peraturan perundang-undangan bukan
lah suatu kaidah yang bersifat fundamental sehingga harus dipertahankan secara
kaku dan lagi pula teknik penyusunan peraturan perundang-undangan bisa berkembang
dari waktu ke waktu sesuai dengan best
pactice yang telah diterapkan selama ini sehingga memerlukan
kelonggaran/kepraktisan untuk merevisinya agar sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan terkini.
[29] Ahli hukum yang
termasuk dalam kelompok ini adalah Jimly Asshiddiqie. Lihat dalam Hukum Online,
Omnibus Law Tak Harus Merevisi UU
Pembentukan Peraturan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd6787f9f806/omnibus-law-tak-harus-merevisi-uu-pembentukan-peraturan/, Diakses pada tanggal 2
Januari 2020.
[30] Ahli hukum yang
termasuk dalam kelompok ini adalah Moh. Mahfud M.D. Lihat dalam Hukum Online,
Menkopolhukam: Omnibus Law Butuh Revisi UU Pembentukan Peraturan, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dcbd9a089d87/menkopolhukam--omnibus-law-butuh-revisi-uu-pembentukan-peraturan/, Diakses pada tanggal 2
Januari 2020.
[31] Tempo.Co, Ihwal Pembentukan Omnibus Law, https://kolom.tempo.co/read/1287292/ihwal-pembentukan-omnibus-law, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.
[32] Tempo.Co, Pemerintah Pusat Diminta Libatkan Pemda Bahas
Omnibus Law, https://nasional.tempo.co/read/1283986/pemerintah-pusat-diminta-libatkan-pemda-bahas-omnibus-law, Diakses pada tanggal 2 Januari 2020.