Hari-hari menjelang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini kita diriuhkan oleh isu dan spekulasi
yang menyebut adanya kemungkinan Ma’ruf Amin digantikan di tengah jalan oleh
Ahok jika pasangan Jokowi – Ma’ruf memenangi Pilpres. Entah dari mana isu dan
spekulasi itu berasal tetapi faktanya isu itu ramai dibicarakan di tengah
masyarakat.
Munculnya
Spekulasi
Isu ini tentu tidak
mencuat begitu saja tanpa ada kondisi-kondisi yang mendahuluinya yang pada
akhirnya membentuk sebuah spekulasi tentang kemungkinan digantikannya Ma’ruf
Amin oleh Ahok jika pasangan Jokowi-Ma’ruf terpilih.
Ada prakondisi yang
digunakan oleh sebagian kelompok untuk membentuk spekulasi yang demikian itu,
di antaranya: (i) bebasnya Ahok dari penjara setelah selesai menjalani masa
pidananya; (ii) usia Ma’ruf Amin yang sudah cukup sepuh (75 tahun); (iii)
bergabungnya Ahok menjadi kader/anggota PDI; dan (iv) kedekatan personal dan
ideologis baik antara Jokowi dengan Ahok maupun antara Ahok dengan PDI selaku
partai utama pengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Prakondisi yang demikian
itulah yang kemudian melahirkan isu dan spekulasi bahwa jika Pasangan
Jokowi-Ma’ruf memenangi Pilpres maka di tengah masa jabatannya nanti, baik
karena sebab-sebab alamiah (seperti meninggal dunia atau sakit) maupun sebab
politis/hukum, sangat mungkin posisi Ma’ruf Amin sebagai Wapres akan digantikan
oleh Ahok.
Rangkaian
Proses yang Harus Dilalui
Untuk sampai pada
kemungkinan itu, orang harus terlebih dahulu menyadari bahwa ada serangkaian
kondisi yang harus terjadi. Pertama, Pasangan
Jokowi-Ma’ruf harus memenangi Pilpres terlebih dahulu. Kedua, adanya alasan atau kondisi yang menyebabkan perlunya posisi
Ma’ruf Amin sebagai Wapres digantikan, baik karena sebab-sebab alamiah maupun
alasan-alasan politis/hukum seperti telah dijelaskan di atas. Ketiga, adanya kehendak Presiden Jokowi dan
partai pengusungnya untuk mengusulkan Ahok sebagai satu dari dua (2) Cawapres
yang akan diajukan Presiden kepada MPR untuk dipilih salah satunya oleh MPR. Keempat, kesediaan Ahok untuk dicalonkan
sebagai Wapres oleh Presiden Jokowi. Kelima
dan yang paling menentukan, terpilihnya Ahok sebagai Wapres hasil pilihan
MPR.
Itulah sekurang-kurangnya
lima (5) kondisi yang harus terjadi agar Ahok bisa duduk di kursi Wakil
Presiden menggantikan Ma’ruf Amin. Suatu rangkaian kondisi yang dalam bayangan
kita saja cukup rumit dan sulit, apalagi dalam kenyataannya. Akan tetapi, sulit
bukan berarti tidak mungkin (mustahil) bukan?
Sanggahan
terhadap Spekulasi
Mengenai isu dan
spekulasi Ahok yang akan menggantikan Ma’ruf Amin, Mahfud M.D (Mantan Ketua MK)
berpendapat bahwa isu tersebut tidak lebih dari sekedar hoax dan ilusi yang
sengaja dibangun untuk merugikan Pasangan nomor urut 01. Sebab menurutnya,
secara hukum tidak ada peluang bagi Ahok untuk menggantikan posisi Ma’ruf Amin
sebagai Wapres seandainya pasangan Jokowi – Ma’ruf terpilih nanti. Sebab ada
salah satu persyaratan untuk Cawapres yang tidak mungkin dipenuhi oleh Ahok,
yakni tidak pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 tahun atau lebih (Pasal
227 Huruf k UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu). Sedangkan Ahok pernah
dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
tahun, yaitu tindak pidana penodaan agama (Pasal
156a KUHP).
Atas dasar itu Mahfud M.D
berkesimpulan di dalam wawancaranya dengan stasiun televisi Kompas TV pada
tanggal 16 Februari 2019 bahwa secara hukum Ahok tidak bisa menjadi Wapres,
karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh UU Pemilu (UU No. 7 Tahun
2017) dan UU yang mengatur tata cara pemilihan Wapres dalam hal terjadi
kekosongan Wapres, yaitu UU tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU No. 17 Tahun
2014).
Menakar
Spekulasi Ahok Gantikan Ma’ruf
Terhadap pendapat Mahfud M.D
yang mengatakan tidak adanya peluang secara hukum bagi Ahok untuk menjadi
Wapres (pengganti Ma’ruf Amin jika seandainya pasangan 01 terpilih) seperti
telah diuraikan di atas, saya justru memiliki pandangan yang sebaliknya. Saya
justru menilai tidak ada satu pun pasal pun yang menghalangi Ahok untuk bisa dicalonkan
dan menggantikan Ma’ruf Amin sebagai Wapres jika semua prakondisi yang saya
sebutkan sebelumnya berhasil dipenuhi dan dilalui Ahok. Singkatnya, tidak ada
hambatan dari segi aturan hukum bagi Ahok untuk menjadi Wapres pengganti Ma’ruf
Amin.
Pasal atau dasar hukum
yang dirujuk oleh Mahfud M.D yang mengantarkannya pada kesimpulan bahwa Ahok
tidak memenuhi syarat untuk dapat dicalonkan menjadi Wapres pengganti Ma’ruf
Amin menurut hemat saya tidak berlaku dan tidak bisa digunakan dalam kasus ini.
Mengapa demikian? Sebab
itu adalah syarat pencalonan Wapres yang dituangkan dalam UU No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilu yang mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui
pemilihan umum. Dengan kata lain, pasal yang dikutip oleh Mahfud M.D itu adalah
pasal tentang syarat-syarat pencalonan Presiden dan Wapres yang diatur dalam
rezim hukum Pemilu, bukan rezim hukum yang mengatur tata cara pemilihan atau
pengisian kekosongan Presiden dan/atau Wapres di tengah masa jabatannya yang
saat ini pengaturannya terdapat dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR DPR DPD
dan DPRD (UU MD3, Pasal 41 – Pasal 56).
Sedangkan UU MD3 sama
sekali tidak menyebutkan atau menetapkan persyaratan apa pun bagi Cawapres yang
akan diusulkan oleh Presiden kepada MPR. Undang-Undang MD3 melalui Pasal 46
ayat (2) hanya menyatakan “Presiden
mengusulkan 2 (dua) calon Wakil Presiden beserta kelengkapan persyaratan
kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum penyelenggaraan
sidang paripurna MPR.” Sedang apa yang dimaksud dengan “kelengkapan
persyaratan” menurut pasal tersebut tidak dijelaskan/dirinci lebih lanjut.
Tidak diaturnya
syarat-syarat pencalonan Cawapres dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wapres di
dalam UU MD3 jelas menimbulkan masalah besar. Sebab UU MD3 (hingga saat ini) adalah
satu-satunya undang-undang yang memuat aturan tentang tata cara pengisian kekosongan
jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berhenti/diberhentikan/mangkat di
tengah masa jabatannya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 UUD 1945. Undang-undang
itulah yang akan menjadi penuntun bangsa ini jika sewaktu-waktu terjadi
kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Akan tetapi ternyata
aturan hukum tentang syarat-syarat pencalonan Cawapres pengganti itu tidak
diatur dalam undang-undang tersebut.
Mengenai kekosongan
aturan hukum tersebut saya sendiri bertanya-tanya apa sebab pengaturan mengenai
syarat-syarat Wapres ini tidak diatur di dalam UU tersebut sehingga akhirnya
menimbulkan kekosongan hukum mengenai hal ini. Mengapa aturan yang sedemikian
penting itu tidak dimasukan dalam UU tersebut. Sementara aturan mengenai syarat-syarat
untuk menjadi Wapres yang sudah dirumuskan dalam UU Pemilu tentu tidak mutatis mutandis (serta merta) berlaku
dalam proses pemilihan Wapres oleh MPR.
Padahal persyaratan bagi
pasangan calon Presiden dan Wapres dalam hal pengisian kekosongan Presiden dan Wapres
yang berhenti/mangkat secara bersamaan telah diatur dalam UU MD3, yakni Pasal
51 ayat (5) yang menyatakan bahwa Calon Presiden dan Wapres yang diajukan untuk
mengisi kekosongan Presiden dan Wapres harus memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Aturan tentang
persyaratan itu sayangnya tidak disebutkan pada bagian UU MD3 yang mengatur
mengenai pengisian kekosongan jabatan Wapres sehingga persis menimbulkan
masalah besar tentang siapa dan apa saja syarat-syarat agar seseorang bisa
diajukan sebagai Cawapres oleh Presiden kepada MPR sesuai ketentuan Pasal 8
ayat (2) UUD 1945.
Simpulan
Atas fakta-fakta hukum di
atas maka saya berpendapat bahwa secara hukum tidak ada halangan bagi Ahok
untuk diajukan sebagai Cawapres oleh Presiden kepada MPR jika memang suatu saat
nanti terjadi kekosongan jabatan wakil presiden. Sebab UU yang mengatur tata
cara pemilihan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil
Presiden, yakni UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 tidak menetapkan persyaratan
apa pun bagi Cawapres yang akan diajukan oleh Presiden kepada MPR.
Sedangkan aturan hukum
yang mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh Cawapres yang ada saat ini
hanya berlaku bagi pemilihan Calon Wakil Presiden (dalam satu pasangan bersama
Calon Presiden) melalui Pemilu. Karenanya, persyaratan tersebut tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam proses pemilihan Cawapres melalui MPR sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 8 ayat (2) UUD 1945.
Kekosongan
Hukum dan Saran untuk Mengatasinya
Sehubungan dengan uraian
di atas, ternyata tulisan ini secara ‘tidak sengaja’ menemukan dan menyadarkan
kita akan adanya kekosongan hukum tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh Cawapres
yang akan diajukan oleh Presiden kepada MPR dalam hal terjadi kekosongan
Wapres, karena pengaturan mengenai hal tersebut ternyata luput dari UU MD3.
Padahal pengaturan itu sangat penting dan akan menjadi bom waktu jika pada
saatnya nanti kita benar-benar sampai pada momentum di mana terjadi kekosongan Wapres
sementara aturan hukumnya tidak cukup lengkap mengatur proses konstitusional
tersebut.
Oleh karenanya melalui
tulisan ini saya mengusulkan agar pembentuk undang-undang segera mengatasi
masalah kekosongan hukum ini dengan merevisi UU MD3 agar pada bagiannya yang
mengatur soal Pemilihan Wakil Presiden, ditetapkan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh Cawapres yang akan mengisi kekosongan kursi Wakil Presiden. Sehingga
proses konstitusional tersebut dapat berjalan secara tertib dan berkepastian
hukum.