Rentetan peristiwa teror yang mengguncang Indonesia beberapa waktu
yang lalu telah menimbulkan keprihatinan dan duka yang mendalam bagi segenap
bangsa Indonesia. Betapa tidak, aksi teror tersebut terjadi susul menyusul dan mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa maupun luka-luka.
Rentetan aksi teror tersebut diawali dengan tragedi kerusuhan dan
penyanderaan anggota Densus 88 di Markas Komando (Mako) Brimob pada tanggal 8-9
Mei 2018, pengeboman tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018, serangan bom di
pos penjagaan Polrestabes Surabaya tanggal 14 Mei 2018, dan disusul dengan aksi
penyerangan di Mapolda Riau pada tanggal 16 Mei 2018.
Selain menimbulkan keprihatinan dan duka yang mendalam, banyaknya
aksi teror yang terjadi dalam waktu yang berdekatan itu telah memunculkan
sejumlah pertanyaan bahkan keraguan terhadap institusi yang dianggap
bertanggung jawab untuk mencegah aksi teror tersebut. Institusi yang paling
banyak “dipersalahkan” karena dianggap “kecolongan” dalam hal ini antara lain
adalah Badan Intelejen Negara (BIN), BNPT, dan Polri sendiri.[1]
Akibatnya, muncul opini-opini yang menghendaki dilibatkannya TNI
dalam upaya pemberantasan terorisme bersama-sama dengan Polri sebagai unsur
pendukung (back up). Arah dan kehendak untuk melibatkan TNI ini bahkan
telah pula dibicarakan dan dikonfirmasi oleh Pemerintah sendiri.
Dalam berbagai pernyataan pers kita bisa melihat dengan jelas
adanya intend atau ketertarikan Pemerintah untuk melibatkan TNI dalam
upaya pengejaran sel-sel teroris yang masih hidup dan berkembang di Indonesia.
Keinginan untuk melibatkan TNI ini disampaikan baik oleh Presiden sendiri
maupun oleh pembantu-pembantunya seperti Menkopolhukam Wiranto. Bahkan Kaporli
Jendral Tito Karnavian sendiri secara terbuka telah meminta kepada Panglima TNI
agar TNI ikut “turun gunung” membantu Polri dalam memberantas sel-sel teroris
yang masih ada.[2]
Sehubungan dengan itu, Kepala Kantor Staf Kepresidenen (KSP)
Moeldoko muncul ke publik dengan melontarkan idenya untuk (kembali)
menghidupkan apa yang disebut dengan “Komando Operasi Khusus Gabungan TNI” (Kopsusgab
TNI).[3]
Tujuannya ialah guna membantu Polri dalam mengejar dan menindak sel-sel teroris
yang masih ada di Indonesia sesuai dengan keputusan politik Presiden sendiri
yang mengizinkan pelibatan TNI untuk memback up Polri dalam upaya
penanggulangan terorisme.[4]
Bak gayung bersambut, ide pembentukan Kopsusgab yang dicetuskan
oleh Moeldoko itu ternyata direstui oleh Presiden Jokowi, meskipun disertai
dengan catatan penting “Tetapi dengan catatan, itu dilakukan apabila situasi
di luar kapasitas polri.”[5]
Lantas bagaimana seluk beluk dari Kopsusgab TN iniI?
Itulah kira-kira pertanyaan yang muncul dibenak masyarakat yang
masih awam atau belum begitu paham dengan Kopsusgab TNI. Untuk itu simak
penjelasannya berikut ini.
Ø Kopsusgab
TNI; Siapa, Apa, dan Bagaimana Mereka?
Komando Operasi Khusus Gabungan TNI atau disingkat Kopsusgab
merupakan komando gabungan yang berisi 90 prajurit yang diambil dari satuan
pasukan khusus kelas satu (dalam istilah bahasa Inggris disebut Tier One) dari
masing-masing-masing matra TNI.[6]
Dari ke 90 anggota Kopsusgab tersebut, masing-masing 30 anggotanya
diambil dari Sat-81 Kopassus[7]
AD, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka)[8]
AL, dan Detasemen Bravo 90 (Den Bravo 90)[9]
AU.
Mereka yang semula berasal dari 3 satuan yang berbeda itu kemudian
disatukan dan dilebur ke dalam satuan baru atau satuan gabungan yang disebut
Kopsusgab. Mereka akan ditempatkan dan dikarantina di Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Misi Pasukan PBB (Indonesia Peace and Security Center), Sentul Bogor.
Itu artinya, anggota Kopsusgab yang berasal dari 3 satuan pasukan khusus yang
berbeda itu akan ditempatkan ditempat baru dan terpisah dari induk pasukannya.
Contoh, anggota Kopsusgab yang berasal dari Sat-81 Kopassus yang semula
berkedudukan di Mako Kopassus Cijantung akan ditempatkan ditempat baru di
Sentul.
Untuk menunjang mobilitas pasukan yang memang dipersiapkan untuk
dapat digerarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ini, mereka dibekali
dengan sarana mobil udara berupa 2 Heli MI-35 AD, 6 Heli Bell AD, 2 Heli Bell
AL, dan 2 Heli Puma dan Super Puma AU. Tidak ada informasi yang jelas dan pasti
apakah kesemua dukungan Heli itu benar-benar dalam keadaan stand by on
possition and anytime di tempat kedudukan Kopsusgab di Sentul dan bisa
dipakai oleh Kopsusgab kapanpun, ataukah Heli itu tetap berada di tempat
kedudukan squadronnya masing-masing dan harus ada request dulu
baru kemudian bisa dikirim dan digunakan oleh Kopsusgab.
Sedangkan untuk urusan kendaraan tempur di darat, Kopsusgab masih
harus memboyong kendaraan tempur dari masing-masing satuan asal (Sat-81
Kopassus, Denjaka, dan Denbravo). Sebab Kopsusgab yang berkedudukan di Sentul
itu tidak memiliki sumber daya dan alutsista tersendiri.
Selanjutnya, Komandan yang memegang kendali atau tongkat komando
atas Kopsusgab ini jika merujuk pada pembentukan Kopsusgab pada tahun 2015
silam maka jabatannya dijabat secara bergiliran dan ex officio oleh
Komandan Jenderal Kopassus AD, Komandan Korps Marinir AL, dan Komandan Paskhas
AU. Masa waktu jabatannya masing-masing 6 bulan.[10]
Berbicara mengenai Kopsusgab TNI ini maka seketika saja saya
langsung teringat dengan “Joint Special Operations Command” atau JSOC
Amerika Serikat yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memang
memiliki arti “Komando Operasi Khusus Gabungan.”
Oleh karena kemiripan istilahnya, saya menduga keras istilah dan
ide tentang Kopsusgab ini merupakan "copy paste" dari istilah
yang serupa (tapi tidak sama) dengan yang ada ditubuh militer Amerika Serikat tersebut.
Sayangnya, kalau benar Kopsusgab ini meniru JSOC-nya Amerika maka
harus saya katakan, proses copy paste ini dilakukan dengan pendalaman yang
kurang memadai dan mengandung sejumlah kekeliruan yang cukup prinsip sehingga
bisa berkontribusi pada kurang efektifnya Kopsusgab ini pada tataran
operasionalnya.
Orang bisa saja berdalih bahwa Kopsusgab TNI tidak perlu meniru
mentah-mentah JSOC-nya Amerika meskipun JSOC Amerika itu memang menjadi sumber inspirasi
pembentukan Kopsusgab. Alasannya kita bisa mengembangkan model tersendiri sesuai
dengan kebutuhan, skala ancaman, dan dinamika keamanaan negara kita.
Jawaban itu memang terlihat make sense, selain diplomatis
tentunya. Akan tetapi harus digarisbawahi juga bahwa tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk membanding-bandingkan Kopsusgab dan JSOC agar Kopsusgab kita
sama persis dengan JSOC. Sebab saya kira semua orang tau, institusi militer
Amerika, termasuk JSOC adalah institusi yang sangat maju, komplek, dan rumit.
Sebaliknya, tujuan tulisan ini ialah untuk mencari dan mengukur
seberapa perlu dan seberapa tepat kita membentuk suatu institusi ala JSOC-nya
Amerika itu? Dan konsekuensi apa saja yang mungkin timbul dengan dibentuknya
Kopsusgab TNI ini dilihat dari berbagai sudut pandang?
Untuk itu mernarik kiranya jika kita menelisik tentang JSOC yang
menjadi inspirasi dibentuknya Kopsusgab yang sekarang sedang menjadi trending
topic ini.
Ø Joint
Special Operations Command, Siapa, Apa, dan Bagaimana Mereka?
Sebelum membahas lebih jauh tentang JSOC, perlu diketahui bahwa
JSOC adalah bagian/subordinat dari Komando Operasi Khusus Amerika Serikat (United
States Special Operations Command).[11]
§ Sekilas
tentang US Special Operations Command (USSOCOM) sebagai Induk dari JSOC
Komando Operasi Khusus Amerika Serikat atau USSOCOM adalah
pusat atau induk komando operasi khusus yang ada ditubuh militer Amerika. USSOCOM
membawahi dan mengawasi semua unit pasukan khusus yang dimiliki oleh
militer Amerika Serikat, baik dari US Army, US Navy, US Air Force, maupun US
Marine Corps.[12]
Dengan kata lain, semua unit pasukan khusus yang ada ditubuh
militer Amerika, baik milik AD, AL, AU, maupun Korps Marinir, kesemuanya berada
dibawah pengawasan dan pengendalian USSOCOM. Tidak ada pasukan khusus
Amerika yang berada diluar organisasi dari USSOCOM ini.
Secara organisatoris, USSOCOM membawahi 5 komando operasi
khusus yang berada di bawahnya:[13]
1. Joint
Special Operations Command (JSOC); adalah komando operasi khusus gabungan yang
membawahi pembinaan dan operasional dari satuan-satuan pasukan khusus kelas 1 (Tier
One) dalam rangka melaksanakan misi yang paling tinggi nilai target dan skala
ancamannya;
2. U.S
Army Special Operations Command (USASOC); adalah komando operasi khusus
yang membawahi pembinaan dan operasional dari satuan-satuan pasukan khusus
milik angkatan darat;
3. U.S
Naval Special Warfare Command (NAVSOC/NSWC); adalah komando operasi khusus
yang membawahi pembinaan dan operasional dari satuan-satuan pasukan khusus
milik angkatan laut;
4. Air
Force Special Operations Command (AFSOC); adalah komando operasi khusus
yang membawahi pembinaan dan operasional dari satuan-satuan pasukan khusus
milik angkatan udara; dan
5. U.S Marine Corps Forces Special
Operations Command (MARSOC); adalah komando operasi khusus yang membawahi
pembinaan dan operasional dari satuan-satuan pasukan khusus milik korps marinir.
Dari uraian diatas nampak sekali bahwa pengorganisasian pasukan
khusus di Amerika sangat rapih dan teratur. Pada level pusat, terdapat satu
komando induk yang membawahi cabang-cabang/subordinat komando operasi khusus
dari empat (4) angkatan dan satu (1) komando operasi khusus gabungan. Dengan
pengorganisasian seperti ini, maka satuan-satuan pasukan khusus Amerika yang
banyak sekali jumlahnya dari masing-masing angkatan dapat dikoordinasikan
dengan baik.
Kembali kepada pembicaraan mengenai JSOC.
Ø Apa
itu JSOC?
Joint Special Operations Command adalah bagian dari USSOCOM yang
tupoksinya adalah mempelajari tehnik operasi khusus, standarisasi peralatan,
perencanaan dan pelaksanakan latihan, pengembangan taktik operasi gabungan, dan
melaksanakan operasi khusus dengan mengerahkan satuan pasukan khusus Tier
One dalam rangka melaksanakan misi dengan target yang bernilai tinggi (high
value target) beresiko tinggi.[14]
Ø Latar
Belakang Pembentukan
JSOC dibentuk pada Desember 1980, segera setelah gagalnya operasi
pembebesan sandera di Kedutaan Besar AS di Teheran pada April 1980 oleh pasukan
khusus angkatan darat AS yang baru saja terbentuk setahun sebelumnya (1979),
Delta Force. Operasi pembebasan sandera yang bersandikan “operation eagle
claw” itu gagal total akibat kegagalan teknis sebelum pasukan berhasil menyerbu
dan membebaskan Kedutaan Besar AS yang disandera oleh rakyat dan milisi pro
revolusi Iran yang baru saja berhasil menumbangkan Diktator Syah Pahlevi yang dianggap
sebagai boneka AS.
Rencana penyerbuan ke Kedubes AS oleh Delta Force tersebut dibatalkan
akibat rusaknya 3 dari 8 helikopter yang akan digunakan untuk mengangkut
pasukan akibat badai pasir yang sangat dahsyat (habbob). Nahasnya, operasi
yang telah gagal itu pun masih dilanda sial karena 1 Heli yang sedang mencoba
tes terbang setelah proses perbaikan jatuh menghantam Pesawat Tanker jenis
Hercules yang sedang terparkir sehingga menyebabkan ledakan hebat dan
menewaskan beberapa anggota militer AS.[15]
Kegagalan “operation eagle claw” tersebut mencoreng
reputasi militer Amerika sebagai negara dengan militer paling adidaya di dunia.
Segera setelah itu militer Amerika melakukan investigasi untuk memastikan
sebab-sebab kegalalan operasi tersebut untuk memastikan agar kejadian yang
serupa tidak akan pernah terulang lagi di masa depan.
Hasil investigasi menunjukan adanya sejumlah masalah krusial yang
menjadi penyebab gagalnya operasi tersebut, antara lain perencanaan yang buruk,
struktur komando operasi yang kacau, kurangnya pelatihan yang memadai bagi
pilot untuk beroperasi di wilayah
operasi, dan kondisi cuaca buruk yang gagal diantisipasi.[16]
Peristiwa gagalnya operasi pembebasan sandera di Kedubes AS di
Teheran itulah yang menjadi alasan dibentuknya JSOC seperti yang kita bicarakan
disini. Dengan dibentuknya JSOC, petinggi militer AS pada waktu itu berharap
agar operasi khusus yang dilakukan oleh pasukan AS dikemudian hari dapat direncanakan
dan dikoordinasikan secara lebih baik. Pejabat militer yang mengusulkan dibentuknya
JSOC adalah Kolonel Charlie Beckwith, orang yang sama yang memimpin operasi
cakar elang yang gagal itu yang tidak lain adalah komandan Delta Force sendiri.[17]
Ø
Organisasi dan Struktur JSOC
Perlu digarisbawahi disini bahwa JSOC bukanlah satuan semacam
Kopsusgab TNI yang mengambil anggota dari satuan-satuan pasukan khusus tier
one dari masing-masing angkatan yang kemudian disatukan dan dilebur menjadi
semacam satuan baru yang bernama Kopsusgab. Organisasi JSOC tidak seperti itu.
JSOC hanya sebuah komando atau wadah yang tugasnya melakukan
pembinaan operasional dan penyelenggaraan operasi khusus. Unsur atau elemen
dari JSOC adalah satuan-satuan pasukan khusus tier one Amerika, yakni:
1.
1st Special Forces Operational
Detachment-Delta (Delta Force), US Army;
2.
Naval Special Warfare Development
Group (Devgru/Seal Tim 6), US Navy:
3.
24th Special Tactics Squadron
(24th STS), US Air Force;
4.
Regimental Reconnaissance Company
(RRC) 75th Ranger Regiments, US Army.[18]
Diluar keempat unit khusus diatas, ada juga unsur JSOC yang
berperan sebagai support unit (unit pendukung) seperti Army Intelligence Support Activity yang
bertugas menyediakan dukungan intelejen dan 160th Special Operations
Aviation Regiment (SOAR; disebut juga Nightstalker) yang bertugas
menyediakan dukungan mobilitas udara bagi keempat unit khusus JSOC diatas.[19]
Jadi dalam struktur organisasi dan komando JSOC, yang menjadi
komponen atau anggota JSOC bukanlah personel, melainkan satuannya, yaitu
satuan-satuan pasukan khusus kelas wahid seperti yang disebut diatas.
Dengan demikian, jika JSOC melaksanakan misi operasi khusus
seperti misalnya penangkapan atau pembunuhan target bernilai tinggi (high
value target), maka pemegang komando JSOC akan menugaskan satuan tier
one tertentu yang menjadi elemen JSOC untuk melaksanakannya. Contoh
konkrit misalnya, operasi pembunuhan Osama Bin Laden pada 2 Mei 2011 di rumah persembunyiannya
Abotabad Pakistan, satuan yang dipilih dan ditugaskan untuk menjalankan misi
tersebut adalah Devgru (Seal Tim 6).
JSOC tidak pernah merekrut dan mengambil anggota dari satuan
pasukan khusus tier one untuk kemudian disatukan dan dibentuk menjadi
semacam satuan baru seperti yang berlaku dalam struktur Kopsusgab TNI.
Adapun jika pada suatu operasi, dengan didasarkan pada sepktrum
ancaman dan medan operasi yang mengharuskan dilaksanakannya operasi gabungan
yang melibatkan lebih dari 1 satuan tier one, maka JSOC akan
melakukannya secara kasuistis/insidental saja dan biasanya dilakukan dalam
bentuk satuan tugas (task force). Apabila misinya sudah selesai maka
personel yang terlibat di dalamnya akan kembali ke satuannya masing-masing.
Oleh sebab itu di dalam JSOC tidak ada istilah pengisian anggota
yang diambil misalnya masing-masing 30 orang/40 orang/50 orang dst dari satuan
pasukan khusus tier one yang sudah ada untuk dikumpulkan dan dibentuk
menjadi anggota JSOC. Sebaliknya, setiap
anggota satuan tier one yang mana satuanya tersebut telah menjadi elemen
JSOC seperti Delta Force, Seal Tim 6, RRC 75th Ranger Regiment, dan 24th STS,
maka ia otomatis adalah anggota/bagian dari JSOC.
Dengan demikian, di dalam JSOC tidak dikenal pula konsep karantina
atau pemisahan anggota JSOC dari satuan asalnya seperti yang berlaku dalam
Kopsusgab TNI yang anggotanya ditempatkan dan dikarantina di IPSC Sentul. Sebab
tidak ada hubungan langsung yang bersifat personal antara operator (prajurit)
dengan JSOC, yang ada adalah hubungan kelembagaan melalui satuan yang menjadi
komponen JSOC. Jadi perintah yang dikeluarkan JSOC tidak ditujukan langsung
kepada individu operator melainkan melalui satuannya, yakni satuan yang
ditunjuk untuk menyiapkan sejumlah personel guna melaksanakan misi.
Markas Komando JSOC berada di Fort Bragg (rumahnya pasukan khusus
Amerika), North Carolina. Akan tetapi pasukan dari masing-masing satuan tier
one yang berada dibawah naungan JSOC tetap berada di markas satuannya
masing-masing. Contoh: Seal Tim 6 yang markasnya berada di Virginia Beach,
Virgina maka mereka tetap berada di satuannya, tidak diboyong ke Fort Bragg.
Ini berbeda 100% dengan Kopsusgab TNI yang anggotanya “diboyong” keluar dari
satuan asalnya dan ditempatkan ditempat kedudukan yang baru, yakni di IPSC
Sentul.
JSOC adalah institusi yang bersifat permanen, oleh karenanya
jabatan komandannya pun bersifat definitif, bukan dijabat secara ex officio atau
rangkap jabatan seperti halnya Kopsusgab TNI. Komandan JSOC adalah mereka
perwira tinggi bintang tiga yang memiliki background/kualifikasi sebagai
operator pasukan khusus, utamanya pasukan khusus tier one.[20]
Ø Kemampuan
Melaksanakan Operasi Secara Mandiri
Oleh karena struktur dan perangkat JSOC sudah sedemikian
lengkapnya karena telah memiliki baik striking force units yang terdiri
dari 4 satuan pasukan khusus (Delta Force, Seal Tim 6, RRC, dan 24th STS)
maupun supporting units seperti Army Intelligence Support Activity dan 160th
SOAR (nightstalker), maka di dalam pelaksanaan setiap operasinya
JSOC mempu melaksanakannya secara mandiri, dari mulai tahap perencanaan sampai
eksekusi target.
Dengan kata lain, setiap penugasan operasi khusus yang
dipercayakan kepada JSOC maka JSOC akan melakukannya secara mandiri dengan
mengerahkan sumber daya atau komponen milik JSOC sendiri, tanpa bergantung pada
bantuan unit militer diluar JSOC.[21]
Namun demikian, dalam kanyataan di lapangan, khususnya dalam suatu
operasi yang berskala besar, JSOC seringkali berkolaborasi dengan unit-unit
militer atau agensi-agensi federal lain, seperti CIA, unit-unit pasukan khusus tier
2 seperti 75th Ranger Regiment untuk membantu memberikan dukungan perimeter
selama JSOC beroperasi dan mengeleminasi target di wilayah musuh.[22]
Kemampuan beroperasi secara mandiri yang dimiliki oleh JSOC jelas
tidak dimiliki oleh Kopsusgab TNI. Sebab berdasarkan informasi yang selama ini
dipublikasi, Kopsusgab TNI hanya berisikan personel yang diambil dari pasukan
khusus tier 1 dari masing-masing matra. Kopsusgab TNI belum memiliki supporting
units seperti layaknya JSOC. Kekurangan ini sangat bisa dimaklumi, karena
tentu kita tahu bahwa Kopsusgab TNI, diluar perdebatan apakah ia diperlukan
atau tidak, merupakan institusi yang baru saja dibentuk. Sedangkan JSOC adalah
institusi yang telah berdiri sejak tahun 1980 dari suatu angkatan bersenjata
paling digdaya di dunia dan telah malang melintang melaksanakan operasi khusus
di seluruh penjuru dunia.
Ø Larangan
Operasi di Dalam Negeri
Meskipun
hingga hari ini Amerika masih menjadi negara dengan militer terkuat di dunia,[23]
akan tetapi Amerika adalah negara yang menganut tradisi supremasi sipil yang
sangat kuat (kalau tidak boleh dikatakan “kolot”). Ruang gerak militer di dalam
negeri sangat dibatasi.
Di Amerika,
berlaku apa dinamakan dengan Posse Commitatus Act,[24]
yakni sebuah UU Federal yang berisi sejumlah pembatasan kekuasaan pemerintah
federal, khususnya dalam hal penggunaan dan pengerahan militer di dalam negeri.
Jadi berdasarkan UU ini, secara umum, penggunaan/pengerahan militer di dalam
negeri tidak diizinkan.
Oleh karena
itu, meskipun reputasi JSOC sangat disegani di luar negeri, akan tetapi di
dalam negeri JSOC tidak bisa berbuat banyak karena adanya larangan umum
pelibatan militer sebagaimana ditetapkan dalam Posse Comitatus Act 1878 seperti
telah dijelaskan sekilas diatas.
Dengan
demikian, pelibatan militer (termasuk JSOC) dalam operasi di dalam negeri
secara umum dilarang, kecuali dalam beberapa situasi khusus yang diizinkan oleh
undang-undang, seperti:
a. dalam hal
terjadi pemberontakan atau huru hara yang sudah tidak bisa lagi ditangani oleh
negara bagian dan garda nasionalnya;
b. adanya
serangan nuklir, biologi, dan kimia;
c. tugas yang
bersifat mem-back up/perbantuan kepada aparat penegak hukum oleh JSOC
dalam peristiwa-peristiwa khusus yang membutuhkan proteksi tingkat tinggi,
seperti konvensi partai dalam rangka pencalon presiden, pelantikan Presiden,
dan konferensi tingkat tinggi yang dihadiri oleh pemimpin negara-negara di
dunia; dan
d.
sebatas melakukan operasi
pengintaian, pengumpulan data intelejen, pengamatan, dan bantuan peralatan
kepada aparat penegak hukum dalam rangka pemberantasan narkoba dan terorisme.[25]
Ø Catatan
Kritis terkait Pembentukan Kopsusgab TNI
Meskipun Kopsusgab TNI nampak sekali terinspirasi dan mengambil
contoh dari JSOC Amerika, akan tetapi dalam pembentukannya ternyata Kopsusgab
TNI mengembangkan struktur dan komando yang sama sekali berbeda dengan JSOC
Amerika.
Berikut adalah catatan-catatan kritis terhadap upaya pembentukan Kopsusgab
TNI yang kabarnya saat ini telah diaktifkan oleh Presiden dan Panglima TNI:
1. Dari segi
elemen atau keanggotaannya, Kopsusgab TNI mengambil anggota dari dari Sat-81
Kopassus (AD), Denjaka (AL), dan Den Bravo 90 (AU), masing-masing 30 personel.
Model
keanggotan Kopsusgab yang semacam itu terasa aneh dan janggal, karena mengambil
prajurit dari satuan-satuan pasukan khusus kelas 1 dari masing-masing matra
untuk dilebur dan disatukan menjadi satuan baru bernama Kopsusgab. Padahal
tanpa disatukan dan dibentuk dalam satu komando baru pun sebetulnya satuan
pasukan khusus TNI, apalagi pasukan khusus tier one-nya, sudah sangat
kapabel dan kredibel untuk melaksanakan operasi khusus.
Meskipun
kekuatan militer kita secara umum belum menjadi kekuatan militer kelas atas
dunia,[26]
akan tetapi khusus untuk pasukan khususnya, kita begitu dihormati dan disegani
di dunia. Sebagai contoh misalnya pengakuan dari Discovery Channel Military
pada tahun 2008 yang menempatkan Kopassus sebagai pasukan khusus terbaik dunia
nomor 3, setelah SAS British yang ada di urutan 1, dan Sayaret Matkal 13 Israel
yang menempati posisi ke 2.[27]
Kalau
kita melihat JSOC sebagai model yang menginspirasi atau bahkan hendak ditiru
oleh Kopsusgab TNI, model keanggotannya tidak seperti itu. Seperti yang telah
dijelaskan panjang lebar diatas, JSOC adalah komando atau organisasi yang
membawahi satuan-satuan pasukan khusus tier one milik militer AS. JSOC
bukan satuan baru yang menarik anggota dari satuan-satuan pasukan khusus yang
telah ada layaknya Kopsusgab TNI, melainkan hanya sebagai wadah yang
mengorganisasikan dan mengerahkan satuan-satuan pasukan khusus tier one yang
ada dibawah pembinaannya. Prajurit-Prajurit yang ada di dalam komunitas JSOC
tetap berada dan dibawah satuannya masing-masing, tidak ditarik keluar oleh
JSOC untuk dilebur dan dibentuk menjadi satuan baru seperti Kopsusgab.
Model
keaggotaan Kopsusgab TNI ini menurut saya mengandung banyak kelemahan, antara
lain:
a. Prajurit
yang ditarik menjadi anggota Kopsusgab TNI akan ditempatkan ditempat kedudukan
yang baru, yakni di tempat kedudukan Kopsusgab TNI di Sentul.
Itu artinya mereka
akan dipisahkan dari induk pasukan serta fasilitas dan lingkungan latihannya
masing-masing. Sebagai contoh, anggota Kopsusgab yang berasal dari Denjaka AL
tidak seharusnya dipisahkan dari fasilitas dan lingkungan latihannya yang
beraspek laut atau perairan. Sebab spesialisasi mereka ialah melaksanakan
operasi penanggulangan teror aspek laut yang tentu saja untuk memenuhinya
mereka harus ditempatkan, dididik, dilatih, dan dipersiapkan di lingkungan dan
dengan fasilitas yang sesuai dengan tupoksinya, yaitu lingkungan yang beraspek
laut. Begitu juga halnya dengan anggota Kopsusgab yang berasal dari Den Bravo
AU yang tidak seharusnya dipisahkan dari fasilitas dan lingkungan latihannya yang
beraspek udara.
b. Kopsusgab
TNI berisikan anggota pasukan khusus campuran dari 3 matra yang tentu memiliki core
business atau spesialisasinya masing-masing, seperti Denjaka yang
spesialisasinya adalah penanggulangan teror aspek laut, Den Bravo 90 yang
spesialisasinya adalah penanggulangan teror aspek udara.
Dalam satu
kasus misalnya, terjadi aksi teror yang beraspek laut dan sangat serius seperti
sabotase pelabuhan atau pangkalan AL, maka apakah tepat dan pada tempatnya jika
Kopsusgab TNI yang diterjunkan untuk menanggulanginya, sementara dari 90
anggota Kopsusgab itu hanya 30 anggota yang berasal dari Denjaka sehingga menguasai
tehnik penanggulangan teror aspek laut, sementara 60 anggota lainnya tidak
memiliki spesialisasi di bidang itu (kecuali ada unsur dari Sat-81 Kopassus
yang berkualifikasi Pasukan Katak). Hal-hal teknis dan taktis semacam ini tentu
harus dipikirkan oleh para pengambil kebijakan agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari.
2. Keputusan
politik pemerintah untuk membentuk Kopsusgab TNI ini sedikit banyaknya telah
mengecilkan peran, reputasi, dan kapabilitas dari satuan-satuan pasukan khusus
TNI yang telah ada, khususnya pasukan khusus TNI nomor wahid seperti Sat-81
Kopassus (AD), Denjaka (AL), dan Den Bravo 90 (AU). Kesan itu tidak
terbantahkan. Sebab jika kita memberikan kepercayaan kepada satuan-satuan
pasukan khusus yang sudah ada itu maka untuk apa lagi Kopsusgab TNI dibentuk?
Padahal satuan-satuan itu sangat profesional dan selalu siap kapan pun negara
memanggil dan membutuhkan mereka.
Kalaupun
alasannya ialah untuk menggabungkan unsur kekuatan dari pasukan khusus 3 matra,
maka:
Pertama, tidak
setiap lingkungan atau target operasi membutuhkan operasi gabungan dari unsur
AD, AL, dan AU. Seperti yang dicontohkan diatas, apabila ada teror yang
beraspek laut maka yang paling tepat diterjunkan adalah pasukan-pasukan khusus
AL.
Kedua,
jika pun
memang diperlukan operasi gabungan dari unsur AD, AL, dan AU maka pasti itu
insidentil saja sifatnya sehingga langkah yang perlu diambil cukup dengan
membentuk satuan tugas (task force) tanpa perlu membentuk satuan semacam
Kopsusgab yang sifatnya aktif secara terus menerus atau permanen.
Dibentuknya
Kopsusgab TNI yang digadang-gadang akan menjadi andalan TNI dalam menanggulangi
terorisme yang anggota-anggotanya diambil dari satuan pasukan khusus dari 3
matra TNI justru akan mengaburkan peran dan job dari satuan pasukan khusus
tersebut. Sebab kalau yang diterjunkan untuk menanggulangi terorisme adalah
Kopsusgab maka pertanyaan krusial yang muncul adalah: apalagi gunanya satuan
pasukan khusus kelas wahid seperti Sat-81 Kopassus, Denjaka, dan Den Bravo 90
itu?
Dengan
adanya Kopsusgab maka satuan-satuan pasukan khusus itu seolah-olah hanya
menjadi lembaga pengkaderan yang tugasnya mencetak prajurit berkualifikasi
tinggi untuk kemudian diserap dan diberdayakan oleh Kopsusgab.
3. Alutista
yang digunakan dan disiagakan untuk Kopsusgab TNI tidak lain adalah alutsisa
“pinjaman” yang diboyong dari satuan asal (baik Sat 81 Kopassus, Denjaka,
maupun Denbravo 90) karena Kopsusgab belum memiliki sumber daya alutsista
sendiri. Padahal tanpa digeser/dipinjamkan ke Kopsusgab pun, satuan-satuan
pasukan khusus kita sudah lama kita tahu kekurangan kendaraan tempur untuk
digunakan baik dalam latihan maupun dalam operasi sungguhan.
4. Kopsusgab
TNI hanya berisikan 90 prajurit yang berstatus sebagai pasukan pemukul (striking
force) tanpa memiliki unit-unit pendukung (supporting units) seperti
layaknya JSOC. Konsekuensinya tentu saja Kopsusgab tidak akan bisa melaksanakan
operasi dari mulai tahap perencanaan sampai eksekusi secara mandiri layaknya
JSOC. Padahal satuan Kopassus TNI AD sendiri misalnya, organisasi atau
elemennya sudah lebih lengkap dan ready for attack daripada Kopsusgab,
dimana Kopassus terdiri dari elemen Grup Para Komando, Grup Intelejen Tempur,
dan Grup Penanggulangan Teror. Bilamana dibutuhkan, Kopassus bisa saja
melaksanakan operasi secara mandiri.
5.
Pelibatan TNI, lebih-lebih
pelibatan satuan-satuannya yang berkualifikasi tier one seperti Sat-81
Kopassus, Denjaka, dan Den Bravo yang anggota-anggotanya tergabung dalam
Kopsusgab TNI harus dibatasi hanya pada situasi dan kondisi tertentu saja, seperti:
situasi dengan skala ancaman dan nilai target yang bernilai tinggi, target berada
di luar wilayah teritorial Indonesia, situasi yang sudah berada diluar
kemampuan Polri untuk menanggulanginya, atau atas dasar permintaan Polri.
Ø Simpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian yang telah dipaparkan diatas maka
pada bagian akhir tulisan ini saya berkesimpulan bahwa Kopsusgab TNI tidak
diperlukan untuk saat-saat ini.
Saya menilai dan meyakini bahwa apa yang akan dilakukan oleh
Kopsusgab TNI sesungguhnya bisa dilakukan oleh satuan-satuan pasukan khusus
milik TNI yang telah ada, lebih-lebih oleh pasukan khusus tier one dari
ketiga matra TNI seperti Sat-81 Kopassus dari AD, Denjaka dari AL, dan Den
Bravo 90 dari AU.
Jika sudah begitu maka untuk apalagi kita repot-repot membentuk
satuan komando baru yang sekarang dinamakan Kopsusgab? Padahal tanpa kita
membentuk Kopsusgab pun, kita bisa memberdayakan satuan pasukan khusus yang
telah ada.
Adapun jika pada suatu ketika dibutuhkan operasi gabungan yang
melibatkan pasukan khusus dari berbagai matra TNI, seperti telah saya katakan
sebelumnya, hal itu pasti insidentil saja sifatnya, sehingga cara untuk
menanganinya pun cukup dengan membentuk satuan tugas (task force) yang
juga bersifat sementara saja, sampai misi berhasil diselesaikan. Kita pernah
punya pengalaman yang gilang gemilang dalam soal ini pada saat operasi
pembebasan sanderal kapal MV Sinar Kudus
di Somalia pada tahun 2011 yang lalu, dimana pada saat itu TNI membentuk Satuan
Tugas Merah Putih yang melibatkan pasukan khusus dari matra darat dan laut
untuk melaksanakan operasi tersebut. Hasilnya? Kita semua tahu bahwa operasi
tersebut berjalan dengan lancar dan sukses, padahal operasi tersebut
dilaksanakan ribuan mil jauhnya dari tanah air.[28]
Ø Rekomendasi
Membentuk unit militer seperti Kopsusgab ini tentu membutuhkan
biaya yang tidak murah. Sementara urgensi keberadaannya tidak begitu signifikan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah saya sebut diatas.
Oleh sebab itu daripada kita mengeluarkan anggaran yang tidak
sedikit untuk membentuk dan mengoperasikan satuan komando baru seperti
Kopsusgab ini maka akan lebih bijaksana menurut hemat saya apabila kita
menggunakan anggaran tersebut untuk memperkuat dan memberdayakan satuan-satuan
pasukan khusus TNI yang sudah ada, khususnya satuan tier one TNI seperti
Sat-81 Kopassus, Denjaka, dan Den Bravo. Tujuannya untuk membuat satuan-satuan
khusus tersebut lebih lengkap peralatan dan alutsistanya, lebih profesional,
dan lebih siap untuk digerakan, kapan pun dan kemana pun.
Bukankah itu semua yang menjadi tujuan dibentuknya Kopsusgab,
yaitu tersedianya pasukan pemukul (striking force) yang berkualifikasi
tinggi, serta siap dan mampu digerakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
kapan pun dan kemana pun negara memerintahkannya? Jika semua syarat itu sudah
bisa dipenuhi oleh satuan pasukan khusus TNI yang sudah ada maka untuk apalagi
kita membentuk komando baru seperti Kopsusgab?
Jadi rekomendasi yang pertama ialah, cukup saja kita memperkuat
dan mempersiapkan satuan pasukan khusus TNI yang telah ada dengan mencurahkan
lebih banyak perhatian dan dukungan anggaran kepada mereka, agar mereka lebih
profesional, lebih siap, dan lebih kuat.
Sebagai contoh misalnya kita perlu membuat resimen penerbangan
atau squadron operasi khusus seperti 160th SOAR Amerika yang akan menyediakan
dukungan mobilitas udara khusus hanya untuk satuan-satuan pasukan khusus kita,
sehingga kapan pun mereka membutuhkan angkutan udara baik untuk kepentingan
latihan maupun operasi sungguhan, mereka bisa diakut dengan Heli-Heli dan
kru-nya yang selalu siap dan stand by 24 jam di markas-markas pasukan khusus
kita. Sehingga jika ada situasi darurat, operator pasukan khusus kita tidak
perlu menunggu datangnya jemputan udara yang akan mengangkut mereka karena Heli
dan krunya selalu siap di markas-markas mereka. Hal ini amat sangat penting
untuk kita benahi dan kita persiapkan guna mengoptimalkan kesiapsiagaan dan
kecepatan pengerahan pasukan khusus kita.
Jika ide diatas bisa terwujud maka semakin terang bahwa Kopsusgab
tidak diperlukan lagi. Sebab satuan pasukan khusus yang telah ada pun (dengan
dukungan resimen penerbangan khusus seperti layaknya 160th SOAR Amerika) dapat
digerakan secepat kilat, kapan pun dan kemana pun.
Sedangkan rekomendasi yang kedua, bilamana pengambil kebijakan
yang kompeten di bidang ini masih juga bersikeras ingin mempertahankan adanya
suatu Komando Operasi Khusus Gabungan, maka sebaiknya kita mencontoh model
JSOC-nya Amerika, ketimbang mempertahankan model Kopsusgab TNI yang sekarang yangg
ternyata memiliki banyak kelemahan.
Rekomendasi diatas tentu jangan diartikan bahwa kita harus meniru
100% JSOC-nya Amerika karena pada tataran yang umum saja ada banyak perbedaan
prinsip antara militer kita dengan militer Amerika. Maksudnya, yang ditiru dari
model JSOC itu minimal adalah dari segi organisasi atau struktur komandonya,
dimana kita tidak perlu mengambil dan mengeluarkan prajurit pasukan khusus tier
one dari satuan asalnya untuk dibentuk menjadi satuan baru semacam
Kopsusgab TNI yang sekarang, melainkan yang kita bentuk adalah Komando Operasi
Khusus Gabungan sebagai organisasi atau wadah yang akan membawahi, mengawasi,
dan membina satuan pasukan khusus tier one kita, sehingga nantinya
elemen/unsur dari Komando Operasi Khusus Gabungan itu bukanlah orang perorang
(personil) melainkan satuan-satuannya, layaknya organ dan struktur JSOC-nya
Amerika. Sistem yang seperti itu terlihat lebih masuk akal, simpel, dan
efektif.
Selain itu, hal-hal lain dari JSOC Amerika yang baik dan cocok untuk
kita adopsi seperti melengkapi Komando Operasi Khusus Gabungan dengan unit
pendukung seperti unit intelejen, unit penerbangan khusus, dan lain sebagainya,
hal itu bisa saja kita terapkan di Kopsusgab TNI model baru nanti.
[1] Lihat mengenai hal ini misalnya dalam rmol.co, “Polri,
BIN, BNPT Kecolongan, Kenapa Kerukunan Umat Beragama Dipertanyakan,” 16 Mei
2018.
[2][2] Tempo.co, “Operasi Berantas Terorisme, Kapolri
Minta Bantuan Panglima TNI,” Senin 14 Mei 2018.
[3] Untuk diketahui, sebetulnya Kopsusgab TNI ini sudah
pernah dibentuk pada tahun 2015 di masa kepemimpinan Panglima TNI Moeldoko. Tapi
seiring dengan terjadinya pergantian Panglima TNI dari Jendral Moeldoko ke
Jendral Gatot Nurmantyo, Kopsusgab ini kemudian “mati” (dibubarkan) begitu
saja.
[4] CNN Indonesia, “Moeldoko: Koopssusgab Diaktifkan
Karena Teror di Depan Mata,” Sabtu 19 Mei 2018.
[5] JPNN.com, “Jokowi: Koopssusgab TNI Diterjunkan
dengan Catatan,” Jumat 18 Mei 2018.
[6] Yang dimaksud dengan Tier One ini adalah satuan
pasukan khusus yang paling tinggi derajat dan kualifikasinya, anggotanya
berasal dari prajurit-prajurit terbaik dari satuan pasukan khusus yang ada atau
satuan pasukan khusus derajat kedua (Tier
Two). Misal, Kopassus merupakan pasukan khusus yang berisikan
prajurit-prajurit terbaik dari TNI AD, namun di dalam Kopassus itu sendiri
masih diadakan pembagian/klasifikasi dimana ada satuan yang berisi
prajurit-prajurit terbaik diantara prajurit Kopassus lainnya, satuan ini
bernama Sat-81 Kopassus, maka satuan inilah yang disebut dengan Tier One. Ciri
dari satuan Tier One adalah, tidak ada lagi satuan pasukan khusus dari matranya
(misal Angkatan Darat) yang lebih tinggi derajat/kualifikasinya dari satuan
tersebut. Seperti contohnya Sat 81 Kopassus dari TNI AD, ia adalah satuan yang
paling tinggi derajat/kuliaifkasinya di AD, berisikan orang-orang terbaik
diantara yang terbaik, tidak ada lagi satuan di TNI AD yang
derajat/kualifikasinya lebih tinggi dari Sat-81 Kopassus. Itulah yang dinamakan
atau dikategorikan sebagai Tier One.
[7] Seperti telah dijelaskan diatas, Anggota Sat-81
Kopassus dipilih dan direkrut dari prajurit-prajurit terbaik yang ada di
Kopassus. Untuk diketahui, secara organisasi Kopassus terdiri dari 5 Grup; Grup
1 dan Grup 2 merupakan Grup Para Komando dimana semua anggota Kopassus yang
baru selesai lolos pendidikan Kopassus akan ditempatkan di Grup Para Komando ini.
Selanjutnya Grup 3 Sandhi Yudha yang merupakan Grup Intelejen Tempur,
anggotanya berasal dari prajurit-prajurit pilihan dari Grup 1 dan Grup 2 yang
memiliki potensi di bidang intelejen. Selanjutnya Grup 4 yang merupakan Grup
Pendidikan bagi pembentukan anggota Kopassus, disebut juga dengan nama Pusat
Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus). Yang terakhir adalah Grup 5 atau
Satuan 81 Kopassus, anggotanya berasal/direkrut dari prajurit-prajurit terbaik
Grup 1 dan Grup 2 yang kemudian dididik dan dilatih lebih lanjut agar menguasai
keterampilan penanggulangan teror dan keterampilan lain yang tidak dimiliki
oleh Grup-Grup lain.
[8] Anggota Denjaka berasal/direkrut dari
prajurit-prajurit terbaik yang dimiliki oleh Komando Pasukan Katak (Kopaska)
dan Intai Amfibi (Taifib) Marinir. Mereka yang terpilih dari Kopaska dan Taifib
tersebut kemudian dididik dan dilatih lebih lanjut agar mengusai keterampilan
penanggulangan teror aspek laut dan keterampilan lain yang tidak dimiliki oleh
Kopaska dan taifib.
[9] Anggota Den Bravo 90 berasal/direkrut dari
prajurit-prajurit terbaik yang dimiliki oleh Paskhas AU, khususnya mereka yang
berasal dari Batalyon Komando (Yonko) Paskhas. Mereka yang terpilih dari Paskhas itu kemudian dididik dan dilatih lebih
lanjut agar mengusai keterampilan penanggulangan teror aspek udara dan
keterampilan lain yang tidak dimiliki oleh Paskhas.
[10] CNN Indonesia, “Mengenal Koopssusgab, Satuan Elit
Antiteror Indonesia,” Minggu 20 Mei 2018.
[11] U.S
Department of Defense, “Joint Special Opeartion Command,” https://www.socom.mil/ussocom-enterprise/components/joint-special-operations-command,
Diakses pada tangggal 22 Mei 2018.
[12] U.S
Department of Defense, “USSOCOM,” https://www.socom.mil/,
Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
[13] Ibid.
[14] S
Department of Defense, “Joint Special Opeartion Command,” Loc. Cit.
[15] Richard
A. Radvanyi, Operation Eagle Claw – Lesson Learned, Tesis untuk meraih
gelar Master of Military Studies, United States Marine Corps Command and
Staff College Marine Corps University, Virginia, 2002, hlm. 1-4.
[16] Ibid.,
hlm. 7-8.
[17]
Wikipedia, “Operation Eagle Claw,” https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Eagle_Claw,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
[18]
Masuknya Regimental Reconnaissance Company (RRC) ini kedalam JSOC diperkirakan
baru terjadi sekitar satu (1) tahun belakangan ini, sejak tahun 2017.
Sebelumnya, elemen pasukan khusus yang tergabung dalam JSOC hanya tiga (3),
yakni yang disebut pada urutan nomor 1 sampai nomor 3 diatas. Lihat mengenai
hal ini dalam American Special Ops, “Regimental Reconnaissance Company,”
http://www.americanspecialops.com/rangers/rrc/,
Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
[19] Lihat
Michael J. Sahadi, “Keeping JSOC a Secreet:The Exposure of Special Warfare
and its Adverse Effect on National Security and Defense to the United States,”
Paper tersedia dan dapat diunduh pada laman: http://militarylegitimacyreview.com/wp-content/uploads/2013/05/KEEPING-JSOC-A-SECRET.pdf,
Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
[20]
Wikipedia, “Joint Special Operations Command,” https://en.wikipedia.org/wiki/Joint_Special_Operations_Command,
Diakses pada tangal 23 Mei 2018.
[21] Kecuali
operasi yang membutuhkan dukungan serangan atau bombardemen udara. Dalam hal
seperti itu maka JSOC harus berkoaborasi dengan unit yang mampu menyediakan
dukungan serangan udara, karena itu merupakan domain unit militer yang tugas
utamanya melakukan serang udara ke darat.
[22] Contoh
dari kolaborasi semacam ini bisa kita lihat dalam peristiwa “Black Hawk
Down” yang sudah di film-kan. Dalam kasus tersebut, sejumlah pasukan dari
Resimen Ranger ke 75 memberikan bantuan perlindungan perimeter di jalan-jalan
kota Mogadishu selagi operator Delta Force melaksanakan operasi penyergapan dan
penangkapan terhadap kaki tangan Jenderal Moh. Farah Aidid (tokoh milisi
Somalia penentang Amerika) di sebuah hotel di pusat kota Mogadishu.
[23] Lihat
Global Fire Power, “2018 Military Strength Ranking,” https://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
[24]
Undang-Undang ini disahkan pada 18 Juni 1878 oleh Presiden Rutherford B. Heyes.
[25]
Wikipedia, “Posse Comitatus Act,” https://en.wikipedia.org/wiki/Posse_Comitatus_Act,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
[26]
Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis oleh Global Fire Power (lembaga yang
bergerak di bidang survey-survey pertahanan dan militer), pada tahun 2018
Indonesia menempati peringkat 15 sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat
di dunia. Lihat Global Fire Power, “2018 Military Strength Ranking,” https://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
[27]
JakartaGreater, “Andai Peralatannya Canggih, Kopassus Bisa Nomor Satu
Terbaik Dunia,” https://jakartagreater.com/andai-peralatannya-canggih-kopassus-bisa-nomor-satu-terbaik-dunia/,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
[28]
JakartaGreater, “Historia: Operasi Pembebasan Sandera Somalia,” https://jakartagreater.com/operasi-pembebasan-sandera-somalia/,
Diakses pada tanggal 23 Mei 2018.