Beberapa hari
belakangan ini, terhitung sejak dijatuhkannya vonis bersalah terhadap terdakwa
kasus penodaan agama atas nama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, UU No. 1
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (blasphemy
law) kembali mendapat serangan disana-sini, khususnya oleh mereka para
pendukung terdakwa penodaan agama (Ahok).
Bahkan tak
kurang dari badan-badan internasional seperti PBB, Delegasi Uni Eropa, dan
negara-negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda dan masih masih
lainnya ikut juga mengomentari dan mengkritik keberadaan UU Anti Penodaan Agama
yang telah dipakai untuk menjerat dan menghukum Ahok (Kompas, 10 Mei
2017).
Mereka yang berkeberatan/menolak
keberadaan UU Anti Penodaan Agama ini menghendaki agar undang-undang tersebut
dicabut/dihapus dari sistem hukum di Indonesia. Alasannya, jika boleh
disimpulkan dalam kata-kata sederhana ialah karena keberadaan undang-undang itu
(menurut alam pikiran mereka) telah nyata-nyata mengancam kebebasan berpendapat
dan kebebasan beragama yang dilindungi oleh konstitusi, disamping juga penerapannya
yang seringkali dianggap terlalu subjektif dan cenderung menguntungkan kelompok
penganut agama mayoritas (Islam). Begitulah kira-kira alasan umum yang diajukan
oleh mereka para pengkritik UU Anti Penodaan Agama ini.
Namun apakah
semua serangan dan tuduhan-tuduhan atas UU Anti Penodaan Agama sebagaimana
digambarkan diatas benar adanya?
Sanggahan terhadap Penolakan UU Anti Penodaan Agama
Untuk
diketahui, UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama ini pada intinya mengatur
tentang dua hal pokok. Pertama, larangan penyebaran paham atau ajaran
dari satu agama yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama yang
bersangkutan. Tindakan itu oleh undang-undang yang dimaksud dikualifikasikan
sebagai penistaan terhadap agama karena dianggap merugikan sekaligus
membahayakan agama yang bersangkutan (Lihat Pasal 1 – Pasal 3). Kedua, jaminan
perlindungan terhadap agama dan penganutnya dari tindakan pelecehan/penghinaan
dengan memberikan ancaman pidana penjara bagi siapa saja yang melakukannya (Lihat
Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1965 juncto Pasal 156a KUHP).
Jika dicermati
dan dihayati secara seksama dengan menggunakan akal pikiran yang sehat niscahya
kita akan mendapati bahwa dua hal prinsip yang diatur dalam UU Anti Penodaan
Agama sebagaimana disebut diatas tentu dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman
bagi setiap pemeluk agama, yakni bahwa negara melindungi agama mereka masing-masing
dari ancaman penodaan dan pelecehan, agama apa pun itu.
Sebagai sebuah
bangsa yang berdiri diatas dasar filosofis Pancasila yang sila pertamanya
memberi tempat dan pengakuan yang istimewa terhadap prinsip-prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka tentu saja apa yang diatur oleh UU Anti Penodaan Agama itu sama
sekali tidak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan apa yang diatur oleh UU Anti
Penodaan Agama itu justru sejiwa dan merupakan konsekuensi atas pilihan bangsa
ini untuk menempatkan Tuhan dan Agama pada posisi yang mulia. Larangan untuk
melecehkan agama yang berarti juga larangan untuk melecehkan ajaran-ajaran
Tuhan tentu saja tidak dapat dikatakan sebagai bertentangan dengan Pancasila.
Apabila ada sekelompok orang yang mendalilkan bahwa UU Anti Penodaan Agama itu
bertentangan dengan Pancasila maka patut lah kita bertanya mengenai pemahaman
dan penghayatannya terhadap sila-sila Pancasila itu sendiri.
Pengakuan dan
jaminan perlindungan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan Agama itu semakin kuat
dengan adanya ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang pada prinsipnya berisi penegasan
sila pertama Pancasila, yakni menempatkan Tuhan dan Agama pada posisi yang sangat
fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini (Yusril
Ihza Mahendra dalam Sindonews.com, 17 Mei 2017).
Oleh karenanya
tidak lah keliru jika pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap nilai-nilai
Ketuhanan dan Agama yang bersumber dari sila pertama Pancasila dan UUD 1945 itu
dituangkan lebih lanjut dalam sebuah undang-undang isinya mencegah dan melarang
siapa saja yang hendak menistakan nilai-nilai yang sangat fundamental itu.
Namun demikian,
terlepas dari maksud baik dan cita-cita luhur yang dibawa oleh UU Anti Penodaan
Agama itu untuk melindungi semua agama yang ada di Indonesia dari kemungkinan
penistaan dan penyimpangan, undang-undang tersebut terus mendapat kritik dan
sangat tidak disukai oleh sebagian pihak lantaran dianggap melanggar hak
kebebasan beragama.
Bukti
ketidaksenangan atas undang-undang tersebut dapat dilihat salah satunya dari
adanya permohonan pengujian (uji materil) UU Anti Pendoaan Agama kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2009 silam. Akan tetapi di dalam putusannya
No. 140/PUU-VII/2009, MK ternyata menolak permohonan tersebut dan menyatakan
bahwa UU Anti Penodaan Agama tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam salah
satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa pasal-pasal UU Anti Penodaan
Agama sejalan dengan jiwa dan semangat Pancasila (khususnya sila pertama) serta
UUD 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan Agama. Oleh karenanya
lebih lanjut MK berpendapat bahwa setiap bentuk penodaan/penistaan agama wajib
diberi sanksi pidana (Lihat Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009).
Saya termasuk
salah seorang yang setuju dengan keberadaan UU ini dan oleh karenanya setuju pula
dengan putusan MK sebagaimana diulas diatas. Setidaknya ada dua alasan penting
yang menjadi dasar mengapa saya mendukung undang-undang ini.
Pertama, keberadaan UU ini justru penting untuk melindungi agama dari
kemungkinan penyimpangan dan penistaan ajarannya, sehingga tercipta rasa aman
dan tentram bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua, tidak ada agama yang secara
eksklusif diuntungkan oleh UU ini karena UU ini berlaku bagi semua agama.
Demikian juga sebaliknya, tidak ada agama yang dirugikan oleh berlakunya UU ini
(Hamid Chalid, 2016: 12-13).
Kekeliruan Menilai Arti Penting UU Anti Penodaan Agama
Orang
seringkali menilai UU ini dengan menggunakan kacamata atau sudut pandang Barat
dengan penafsiran liberalnya dan melupakan nilai-nilai ketimuran Indonesia yang
tidak mungkin mengizinkan adanya kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa
mengindahkan aturan dan batasan-batasan, termasuk batasan yang didasarkan pada
nilai-nilai agama.
Menurut hemat
saya, orang tidak bisa serta merta mengklaim atau menuntut kebebasannya (dalam
hal ini adalah kebebasan beragama) sementara kebebasannya itu sendiri berdiri
di atas penyimpangan dan penistaan terhadap nilai-nilai Ketuhanan dan ajaran Agama.
Apalagi jika kita merujuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang sangat
kental dengan nuansa Ketuhanan dan bersifat religius itu (Jimly Asshiddiqie, 2015:
23-25). Kebebasan yang tanpa batas dan tidak lagi mengindahkan penghargaan
terhadap agama mungkin saja pantas berlaku di negara Barat yang memang liberal
dan sekuler, tetapi tentu tidak bagi Indonesia.
Pembatasan
kebebasan beragama dengan tujuan melindungi agama itu sendiri dari penistaan
dan penyimpangan sangat dimungkinkan menurut Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Sebagaimana dikatakan oleh Hazairin (1973:69), di Indonesia tidak boleh
dibiarkan adanya hukum dan aktifitas-aktifitas yang bertentangan dengan
norma-norma ketuhanan dan norma-norma agama; agama apapun itu.
Namun demikian,
di balik semua diskursus dan perdebatan tentang keberadaan UU Penodaan Agama,
tidak lah dibenarkan bagi siapa pun untuk mengambil jalan kekerasan dan main
hakim sendiri terhadap kelompok atau komunitas yang paham keagamannya dianggap
“sesat,” termasuk terhadap mereka yang diduga telah melakukan tindakan
pelecehan/penghinaan terhadap agama tertentu.
Disinilah letak
pentingnya keberadaan UU Anti Penodaan Agama ini. Jalan kekerasan dan budaya
“main hakim sendiri” itulah yang sesungguhnya hendak dihilangkan dengan adanya UU
ini. Penghapusan undang-undang itu justru akan menghapuskan upaya hukum formal
yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk membela kepentingan agamanya dari
kemungkinan penodaan dan penistaan oleh pihak lain. Oleh karenanya, UU tentang
Penodaan Agama sesungguhnya sangat solutif dalam menyelesaikan persoalan penodaan
agama di Indonesia (Hamid Chalid, 2016: 12-13).
UU Anti Penodaan Agama Harus Dipertahankan
Berdasarkan
keseluruhan uraian diatas maka saya berkesimpulan bahwa UU Anti Penodaan Agama
ini masih diperlukan dan harus dipertahankan keberadaannya di republik ini,
republik yang menjadi rumah bersama bagi banyak agama dan aliran kepercayaan
yang bukan tidak mungkin di dalam kehidupan interaksi para penganutnya, baik inter
maupun intra agama, muncul pergesekan-pergesekan yang menyentuh dimensi
kebatinan/keagamaan mereka sehingga memerlukan kehadiran negara melalui
perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.
Sebaliknya, mencabut/menghapus
UU Anti Penodaan Agama yang berarti menghapus mekanisme hukum untuk
menyelesaikan persoalan penodaan agama itu sama artinya dengan menyerahkan
persoalan yang sangat sensitif itu untuk diselesaikan secara bebas dan ekstra
yusidial kepada masyarakat. Jika hal ini terjadi, tunggu lah saatnya kehancuran
meluluhlantahkan negeri yang besar dan damai ini karena tiap-tiap orang akan
merasa berhak menghukum tindakan penyimpangan dan/atau penodaan terhadap agama
atau kepercayaannya. Suatu keadaan yang digambarkan oleh Thomas Hobbes
(Inggris) yang hidup pada abad ke-16 silam sebagai “homo homini lupus,” manusia
yang hidup tanpa aturan laksana serigala yang akan saling memangsa satu sama
lain.
Oleh: Arief Ainul Yaqin, S.H., M.H
(Asisten Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan Staf Khusus Wakil Rektor IV Universitas Indonesia)