Keberhasilan
TNI dalam Operasi Tinombala yang sukses menembak mati Santoso belum lama ini
ternyata menyemarakan lagi ruang-ruang perdebatan tentang perlu tidaknya
keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, khususnya dalam pembahasan RUU
Terorisme yang saat ini sedang digiatkan oleh DPR dan Pemerintah.
Rancangan
Undang-Undang itu sendiri adalah rancangan perubahan terhadap UU No. 15 Tahun
2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Oleh karena berawal dari sebuah Perppu yang dibuat dalam
keadaan mendesak pasca tragedi Bom Bali 1 pada tahun 2002 silam, maka sudah
tentu UU No. 15 Tahun 2003 ini memiliki banyak kekurangan disana sini. Itulah
sebabnya pembentuk UU saat ini sedang berusaha menyusun perubahannya.
Salah satu
materi perubahan yang diusung oleh RUU ini adalah soal pelibatan TNI dalam
pemberantasan terorisme. Materi inilah yang sekarang menjadi titik perdebatan.
Sebagaimana lazimnya suatu perdebatan tentu saja ada yang pro dan ada juga yang
kontra dengan ide pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme ini.
Materi muatan
RUU yang berisi klausul keterlibatan TNI itu sendiri tercantum dalam Pasal 43B.
Pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa TNI termasuk sebagai salah satu
institusi yang diperkenankan terlibat dalam kebijakan dan strategi nasional
penanggulangan tindak pidana terorisme.
Keberatan atas Pelibatan TNI
Mereka yang
menolak pelibatan TNI pada prinsipnya berdalih bahwa terorisme adalah tindak
pidana dan oleh karenanya harus diselesaikan melalui pendekatan penegakan hukum
dibawah rezim hukum pidana (criminal justice system). Pendekatan
penegakan hukum inilah yang menurut kelompok ini membawa konsekuensi bahwa
hanya Polri-lah yang dapat diberi tugas oleh negara atau undang-undang untuk
memberantas tindak pidana terorisme. Sementara keterlibatan TNI yang fungsi
pokoknya di bidang pertahanan, bukan penegakan hukum, lebih dianggap sebagai
ancaman dan “intervensi” yang tidak diperlukan dari pihak militer dalam
soal-soal yang semestinya cukup ditangani Polri.
Terhadap
pendapat dan pandangan diatas, penulis mempunyai beberapa catatan dan koreksi.
Sanggahan terhadap Keberatan atas Pelibatan TNI
Pertama, harus dipahami terlebih dahulu bahwa keterlibatan TNI dalam
pemberantasan terorisme menurut RUU ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menganeksasi wilayah penegakan hukum yang menjadi porsi dan ranah Polri.
Wilayah
penegakan hukum seperti penyelidikan dan penyidikan atas kegiatan/peristiwa
terorisme akan tetap selamanya menjadi wewenang Polri. Sedangkan keterlibatan
TNI dalam pemberantasan terorisme hanya dapat dilakukan di luar dua area
penegakan hukum tersebut.
Dengan
demikian, keterlibatan TNI harus dibatasi hanya pada ruang lingkup kegiatan
pemberantasan terorisme yang sesuai dengan kapasitas dan fungsi TNI. Sebagai
contoh misalnya pemberian bantuan informasi intelejen, operasi penangggulangan
teror, baik dalam kerangka pembantuan terhadap Polri (back up) maupun
dalam kerangka operasi yang mandiri dan langsung dilaksanakan oleh TNI dalam
keadaan darurat yang berada di luar kemampuan Polri untuk menanggulanginya.
Sementara tindakan penegakan hukum yang akan dilakukan setelah aksi teror
tersebut ditanggulangi, tetap akan menjadi tugas Polri.
Kedua, ada ruang-ruang atau peristiwa-peristiwa teror tertentu yang memang
membutuhkan kehadiran TNI, yakni peristiwa-peristiwa teror yang berada di luar
jangkauan dan kemampuan Polri untuk menanggulanginya. Seperti misalnya aksi
teror terhadap objek vital yang bernilai strategis, aksi teror terhadap
Presiden dan Wakil Presiden atau tamu negara yang setingkat dengannya, serta
aksi teror terhadap WNI, aset, atau kepentingan nasional yang berada di luar
negeri.
Terhadap
peristiwa-peristiwa teror semacam itu tentu saja TNI yang harus
menanggulanginya. Sebab memang TNI yang mempunyai sumber daya dan kemampuan
untuk melakukannya.
Hal-hal semacam
ini tentu saja perlu diatur dan diberi payung hukum, salah satunya melalui RUU
Terorisme ini. Sebab selain mengatur proses penegakan hukum terhadap tindak
pidana terorisme, umumnya UU Terorisme di berbagai negara lain juga mengatur
soal-soal strategi penanggulangannya, termasuk di dalamnya mengenai
pelibatan/penggunaan militer bilamana eskalasi teror sudah sedemikian gawatnya.
Namun demikian,
penting untuk dicatat bahwa keterlibatan TNI itu sendiri harus tetap tunduk
pada prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil sebagaimana sudah umum
berlaku di semua negara demokratis, yakni menempatkan Polri sebagai leading
sector-nya, sementara TNI sebagai kekuatan pendukungnya. Artinya, secara
umum Polri lah yang berperan sebagai leading sector atau trigger
dalam pemberantasan terorisme, sedangkan posisi TNI berada di lapis kedua atau
menjadi pilihan terakhir.
Lagipula jika
kita melakukan studi perbandingan mengenai model-model pemberantasan terorisme
di negara-negara lain, kita akan menjumpai banyak UU Terorisme dari
negara-negara lain yang mengatur dan memungkinkan pelibatan militer dalam pemberantasan
terorisme pada situasi-situasi tertentu.
Sekilas Perbandingan dengan Amerika
Salah satu
negara yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS).
Undang-Undang Terorisme AS yang dibuat tidak lama setelah peristiwa 11
September 2001 dapat disebut sebagai UU Terorisme modern yang pertama di dunia
(William Michaels, 2005). Jika dicermati, UU Terorisme AS yang populer disebut
“USA Patriot Act 2001” itu pun memuat klausul tentang bantuan dan pelibatan
militer dalam pemberantasan terorisme, khususnya terhadap peristiwa teror yang
terjadi di luar teritorial AS. Sedangkan dalam arena domestik, berdasarkan UU
yang mengatur batasan penggunaan militer oleh pemerintah federal (Posse
Comitatus Act 1878), militer tidak diperkenankan terlibat dalam operasi
penanganan terorisme di dalam negeri, kecuali ada permintaan bantuan dari
Polisi dalam keadaan darurat.
Mengenai
bantuan dan pelibatan militer dalam UU Terorisme AS ini dapat dilihat antara
lain pada section 104 tentang permintaan bantuan dari Polisi
kepada Militer; section 1010 tentang penggunaan/pengerahan
militer untuk pemberantasan terorisme di luar negeri.
Undang-Undang
Terorisme AS itu tentu saja bukan satu-satunya UU Terorisme yang memungkinkan
dan mengatur pelibatan militer dalam memberantas terorisme. Masih banyak UU
Terorisme dari negara-negara lain yang juga mengadopsi model yang sama,
yaitu menempatkan upaya pemberantasan
terorisme dalam kerangka penegakan hukum dibawah rezim hukum pidana (criminal
justice system) akan tetapi pada saat yang bersamaan tetap memungkinkan dan
mengatur pelibatan militer dalam keadaan-keadaan tertentu.
Simpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa pelibatan militer dalam
pemberantasan terorisme di bawah UU Terorisme bukan lah sesuatu yang
diharamkan. Bahkan kenyataan menunjukan, negara-negara maju dan demokratis
seperti AS sekali pun memungkinkan dan mengatur hal itu dalam UU Terorisme-nya.
Dengan demikian
sekali lagi penulis tegaskan bahwa pelibatan TNI dalam RUU Terorisme tidak
mesti ditanggapi secara sinis dan a priori. Perumusan keterlibatan TNI secara
terukur dan proporsional seperti yang telah dijelaskan diatas itu justru adalah
suatu suatu kebutuhan demi kemajuan pemberantasan terorisme di Indonesia.
*Tulisan ini pernah di muat di Harian Radar Banten edisi Selasa, 2 Agustus 2016.
*Tulisan ini pernah di muat di Harian Radar Banten edisi Selasa, 2 Agustus 2016.