Isu
pengangkatan dua Staf Khusus baru Presiden telah menjadi viral di media-media
pemberitaan beberapa hari terakhir ini. Dua Staf Khusus Presiden yang baru itu
adalah Gories Mere dan Diaz Hendropriyono.
Gories Mere
dikenal sebagai Mantan Kepala Densus 88 dan Kepala Badan Narkotika Nasional
yang pertama. Sementara Diaz Hendropriyono lebih dikenal sebagai anak ketiga
dari A. M Hendropriyono dan merupakan pendiri “Kawan Jokowi,” sebuah kelompok
pendukung Jokowi pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang lalu.
Masalah di Seputar Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Sebagaimana
kita ketahui, pegangkatan dua Staf Khusus Presiden yang baru ini menuai reaksi
dan kontroversi dari masyarakat luas. Jika diringkas, setidaknya terdapat tiga
masalah pokok yang dipersoalkan oleh publik terkait pengangkatan Staf Khusus
Presiden ini.
Pertama, proses pengangkatannya yang terkesan tertutup dan tidak disertai
penjelasan tentang latar belakang penunjukan dan kompetensi dua Staf Khusus
Presiden yang dimaksud. Akibatnya masyarakat merasa kaget dan bertanya-tanya
mengenai pengangkatan Staf Khusus Presiden yang sebetulnya akan menjadi hal
biasa jika proses itu dilaksanakan secara terbuka. Apalagi jika misalnya orang
yang diangkat menjadi Staf Khusus Presiden itu memiliki rekam jejak yang baik
dan kompeten di bidang yang akan menjadi tanggung jawabnya.
Terhadap
persoalan tersebut, seharusnya Presiden, atau setidak-tidaknya para pembantunya
memberikan penjelasan yang cukup kepada publik terkait alasan penunjukan dua
Staf Khusus baru itu berikut kompetensinya masing-masing. Dengan begitu publik
dapat mengetahui secara jelas alasan penunjukan dan kompetensi dari dua orang
Staf Khusus tersebut. Sebab Staf Khusus Presiden adalah jabatan publik yang
sepenuhnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga
sangat wajar dan bahkan sudah seharusnya apabila proses pengangkatannya
dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
Kedua, pengangkatan dua Staf Khusus baru itu tidak disertai dengan
penetapan job desk atau bidang tugas yang akan menjadi tanggung jawab
masing-masing. Alasan yang dikemukakan oleh Istana, sebagaimana dikatakan oleh
Mensesneg Pratikno, ialah agar dua Staf Khusus Presiden itu dapat berkeja
secara fleksibel sesuai tugas yang diberikan Presiden tanpa terbatas pada
bidang-bidang tertentu (Kompas, 11 Juli 2016). Akibatnya publik bertanya-tanya
apa sebenarnya bidang tugas dari dua Staf Khusus Presiden tersebut.
Terhadap
persoalan diatas, penulis sendiri termasuk salah seorang yang bertanya-tanya
dan keberatan dengan pola kerja Staf Khusus Presiden yang seperti itu, yakni
tanpa job desk atau pembidangan yang jelas. Padahal job desk itu
adalah hal yang sangat dasar dan prinsip yang akan menentukan batas-batas atau
area tanggung jawab dari masing-masing Staf Khusus Presiden. Dengan kata lain,
adanya job desk itu akan menentukan “siapa bertanggung jawab apa ?”
Kondisi semacam
ini, yakni penyelengaaraan negara tanpa job desk yang jelas, sejak
berabad-abad yang lalu sudah dikritisi habis-habisan oleh para ahli. Salah
seorang diantaranya adalah Max Weber. Sejak akhir abad ke 19 Weber telah
mengkritik postur dan pola pemerintahan tanpa pembidangan tugas atau
spesialisasi fungsi yang jelas. Menurutnya, kondisi tersebut telah menghasilkan
penyelenggaraan negara yang serba tidak menentu dan kurang memuaskan. Untuk
mengatasi ketidakpastian itu Weber mengemukakan beberapa poin tentang
ciri-ciri/syarat birokrasi ideal yang salah satunya adalah adanya pembidangan
kerja yang jelas berdasarkan keahlian orang yang menduduki pekerjaan tersebut
(Weber dalam Tony Waters dan Dagmar Waters, 2015: 76-77). Prinsip itulah yang
kemudian melahirkan adagium “the right man in the right place.”
Berdasarkan
uraian diatas penulis meyakini bahwa penentuan job desk atau bidang
tugas dari dua Staf Khusus baru itu sangat lah penting. Sementara untuk
menyiasati adanya kebutuhan penugasan di luar bidang yang telah ditentukan,
bisa saja ditegaskan dalam Keputusan Presiden tentang pengangkatan Staf Khusus
yang dimaksud bahwa tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan diberi
tugas-tugas khusus oleh Presiden di
luar bidang tugas yang telah ditentukan, dalam hal terdapat kebutuhan atau
tuntutan untuk itu.
Dengan begitu
kejelasan tugas dari Staf Khusus Presiden tetap dapat diperoleh tanpa
mengurangi fleksibilitasnya untuk mengerjakan tugas-tugas di luar bidangnya itu
manakala ada kebutuhan untuk itu.
Ketiga, pengangkatan Staf Khusus Presiden ini disinyalir oleh publik
sebagai tindakan nepotisme atau politik balas budi, terutama yang menyangkut
nama Diaz Hendropriyono. Sebab sebagaimana telah diketahui secara luas, Diaz
adalah anak dari A. M. Hendropriyono. Sementara kita tahu, A. M. Hendropriyono
adalah salah satu tokoh kunci pendukung Jokowi sejak masa Pilpres 2014 yang
lalu.
Mengenai hal
ini perlu diketahui bahwa memang sudah menjadi kelaziman dan kebiasaan yang
berlaku di mana-mana bahwa jabatan penasehat presiden seperti Staf Khusus
Presiden ini selalu diisi oleh orang-orang dekat dan kepercayaan Presiden.
Fenomena ini
terjadi juga di Amerika. Jabatan yang serupa atau dapat disamakan dengan Staf
Khusus Presiden disana adalah Senior Advisor to the U.S President (Senior Advisor). Di
Amerika, jabatan Senior Advisor ini pun selalu diisi oleh orang-orang dekat
Presiden (president’s man). Seperti Senior Advisor Presiden Obama saat
ini misalnya, ada 3 orang dan semuanya berasal dar Partai Demokrat.
Jadi tidak
perlu heran kalau situasi ini terjadi juga di Indonesia, dimana Presiden Jokowi
menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi Staf Khusus-nya dalam
rangka membantu tugas-tugas kepresidenannya, sepanjang orang itu memang
kompeten dengan jabatan dan tugasnya itu. Sebab hal itu merupakan
kewenangan/hak prerogratif Presiden. Jadi sepanjang orang itu kompeten dan
dipandang cakap untuk mengemban tugas sebagai Staf Khusus Presiden, maka faktor
kedekatan dan ikatan-ikatan persolan dengan Presiden seyogianya dapat kita
maklumi. Sebab memang begitu lah konvensi (kebiasaan tidak tertulis) yang
berlaku di mana-mana dalam soal pengisian jabatan penasehat Presiden atau Staf
Khusus Presiden ini.
Namun demikian, meski pengangkatan Staf Khusus Presiden ini
sepenuhnya adalah hak prerogratif Presiden, bukan berarti bahwa Presiden dapat
menggunakan haknya ini dengan sembarangan dan sesuka hatinya. Tetap diperlukan
pertimbangan yang matang dan kecermatan dalam memilih siapa-siapa yang akan
menjadi Staf Khusus Presiden. Sebab
hasil daripada pilihan itu akan berpulang kepada Presiden sendiri selaku penerima
manfaat atau user daripada Staf Khusus tersebut.
Tanggung
Jawab Moral di Balik Pengangkatan Staf Khusus Presiden
Seperti
yang telah dikatakan diatas, meskipun pengangkatan Staf Khusus Presiden ini
adalah hak prerogratif Presiden, akan tetapi penulis meyakini bahwa Presiden
tetap terikat, setidak-tidaknya secara moral, untuk mempertanggungjawabkan
pilihannya itu kepada rakyat.
Sebagai
bahan refleksi, perlu diketahui bahwa menurut Peraturan Presiden No. 144 Tahun
2015 tentang Hak Keuangan Staf Khusus Presiden,
hak keuangan yang diterima Staf Khusus Presiden setiap bulannya adalah
sebesar Rp. 51 juta.
Dengan
jumlah nominal yang sebesar itu, disamping juga besarnya tanggung jawab yang
diemban oleh seorang Staf Khusus Presiden, maka sudah seharusnya Presiden
benar-benar mempertimbangkan dengan cermat siapa-siapa yang akan dipilihnya
untuk menerima hak sekaligus tanggung jawab yang besar itu.
*Tulisan ini pernah dimuat di kolom opini Analisa Daily, edisi Jumat 22 Juli 2016.