Dalam konteks internasional, berdasarkan
instrumen-instrumen hukum internasional yang ada dan telah menjadi kesepakatan
diantara para ahli (comminis opinio
docturum), yang dipandang sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat
terhadap HAM ialah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang.[1]
Pengaturan mengenai hal itu dapat ditemukan dalam
berbagai instrumen hukum internasional seperti:
a.
London
Charter 1945 (Piagam Pengadilan Nuremberg);
b.
Charter of
the International Military Tribunal for the Far East 1946 (Piagam
Pengadilan Tokyo);
c.
Convention
on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (1948);
d.
Statute of
the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia 1993;
e.
Statute of
the International Criminal Tribunal for Former Rwanda 1994; dan
f.
Statute
Rome of the International Criminal Court 1998.
Kejahatan-kejahatan tersebut dikualifikasikan
sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM sehingga menjadi
yurisdiksi Pengadilan HAM sejak era Pengadilan Nuremberg (1945-1946) dan
Pengadilan Tokyo (1946-1948).[2] Dasar-dasar
yang diletakan oleh kedua Pengadilan Militer Internasional tersebut kemudian
menjadi preseden yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan HAM internasional yang
dibentuk setelahnya, yakni International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia (1994), International Criminal Tribunal for Former Rwanda (1995),
dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court; ICC).
Pada mulanya, berdasarkan charter (piagam) Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan serius atau pelanggaran berat HAM yang
menjadi yurisdiksi materiil dari kedua pengadilan tersebut adalah kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tidak termasuknya kejahatan genosida sebagai kejahatan yang beridiri sendiri
dalam kedua piagam pengadilan itu dikarena rumusan/unsur-unsur kejahatan
genosida belum berhasil dirumuskan secara internasional ketika itu. Kejahatan
genosida baru berhasil diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun
1948 melalui Covention on the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide.[3]
Namun
demikian, tidak berarti unsur-unsur kejahatan yang tergolong sebagai “genosida”
sebagaimana yang dikenal dan dirumuskan pada saat tidak terakomodir atau “unpunishment” dalam Piagam Pengadilan
Nuremberg dan Pengadilan Tokyo. Tindakan-tindakan yang tergolong sebagai
genosida juga sebetulnya sudah diatur/terckaup dalam kedua piagam itu, hanya
saja tidak ditempatkan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri sebagai
“genosida” sebagaimana yang kita kenal saat ini[4]
Selanjutnya, di bawah ini akan dikemukakan perihal
tiga kejahatan serius atau pelanggaran berat terhadap HAM menurut hukum
Internasional.
1.
Genosida
Secara terminologis, genosida terdiri dari dua
kata, yaitu geno atau genos yang berasal dari bahasa Yunani
kuno yang berarti ras, bangsa, atau etnis dan cide atau cidium yang
berasal dari bahasa Latin yang artinya membunuh.[5] Jadi
secara harfiah genosida bermakna pembunuhan terhadap suatu ras, bangsa, atau
etnik.
Para ahli hukum internasional seperti William A.
Schabas, Roy Gutman dan Davied Rief satu suara dalam menyebut Raphael Lemkin
sebagai orang yang pertama kali mengintrodusir istilah “genocide.”[6] Istilah itu diperkenalkan oleh Raphael Lemkin
pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule
in Occupied Europe.[7]
Oleh karena terminologi “genosida” itu baru
diperkenalkan di tahun 1944 maka kejahatan genosida tidak termuat dalam Piagam
Pengadilan Nuremberg maupun Piagam Pengadilan Tokyo yang disusun pada tahun
1945 dan 1946 Pengertian dan unsur-unsur kejahatan genosida belum berhasil
dirumuskan secara yuridis dalam kedua piagam yang menjadi dasar lahir dan
bekerjanya dua pengadilan tersebut meskipun istilah “genosida” sempat mengemuka
di dalam sidang-sidang penyusunan kedua piagam tersebut. Akan tetapi sayangnya
istilah genosida dan unsur-unsurnya tidak muncul dalam kedua piagam itu, melainkan
hanya menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana
diterangkan oleh William A. Schabas bahwa:
The term “genocide” was first used by Raphael
Lemkin in his book Axis Rule in
Occupied Europe, published in late 1944. Although the word appears in
the drafting history of the Charter of the International Military Tribunal, the
final text of that instrument uses the cognate term “crimes against humanity”
to deal with the persecution and physical extermination of national, ethnic,
racial and religious minorities.[8]
Dalam bukunya yang berjudul Axis Rule in Occupied Europe, Raphael Lemkin mendefinisikan
Genosida sebagai:
“as intentional coordinated plan of different
actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of
national group with the aim of annihilating the groups themselves. The objectives
of such a plan would be disintegration of the political and social institutions
of culture, language, national feelings, religio, economic existence, of
national groups and the destruction of the personal security, liberty, health,
dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, .....
the actions involved are directed against individuals, not in their individual
capacity, but as member of the national group.”[9]
Sementara itu, Bryan A. Garner dalam Black’s Law
Dictionary mendefinisikan genosida secara lebih singkat, yaitu “an act committed with the intent to
destroy, in whole or part, a national, ethnic, racial, or religious group.[10]
Penting untuk dipahami bahwa penemuan istilah
“genosida” dan perumusannya dalam piagam-piagam ataupun konvensi-konvensi
internasional memang baru dimulai pada dekade 1940-an, namun tidak berarti
bahwa sebelum itu tidak pernah terjadi kejahatan genosida di dunia ini. Sejarah
panjang peradaban manusia menunjukan bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan yang saat
ini dikualifikasikan sebagai genosida telah terjadi dalam banyak kasus, tempat,
dan waktu. Hanya saja ketika itu belum ada istilah genosida untuk menyebut
kejahatan-kejahatan yang dimaskud.[11]
Demikian juga belum ada hukum internasional yang mengatur tentang apa itu
genosida, apa saja unsur-unsurnya, dan bagaimana tata cara mengadili pelakunya.
Diperkenalkannnya istilah genosida dan
pengaturannya dalam berbagai instrumen hukum internasional dilatarbelakangi
oleh banyaknya peristiwa kejahatan yang meliputi pembunuhan, pembantaian,
pemusnahan dan bentuk-bentuk-bentuk kejahatan lainnya terhadap suatu kelompok
ras, etnik, atau agama tertentu pada awal abad ke-20. Diantara peristiwa yang
dapat disebut sebagai genosida yang terjadi di paruh pertama abad ke 20 itu
antara lain adalah pembantaian suku bantu pada tahun 1904 oleh tentara Jerman
di Herero Namibia (Afrika), pembantaian suku Kurdi Turki di distrik Dersim
1937-1938, dan yang paling fenomenal ialah pembantaian dan pemusnahan secara
sistematis orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman menjelang dan selama Perang
Dunia II.[12]
Belajar dari pengalaman buruk di masa lalu itu maka
masyarakat bangsa-bangsa (internasional) memulai usaha untuk membentuk sebuah konvensi yang berskala internasional
yang akan merumuskan kejahatan genosida dan upaya untuk menghukum para
pelakunya. Usaha untuk itu mulai diprakarsai oleh Majelis Umum PBB sejak akhir
1946. Pada saat itu Majelis Umum PBB memulai usaha untuk menyusun sebuah
traktat yang akan mengatur mengenai kejahatan genosida.[13] Dua
tahun kemudian, tepatnya pada 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB menerima Convention on the Prevention and Punishment
of the Crime of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
Genosida; Kovensi Genosida) melalui Resolusi Majelis Umum PBB 260A (III).[14]
Konvensi tersebut berisi ketentuan-ketentuan
mengenai genosida seperti pengertian genosida, rumusan atau unsur-unsurnya,
ruang lingkup kejahatan genosida, dan keharusan untuk menghukum pelaku
kejahatan genosida, baik oleh Pengadilan Nasional maupun oleh suatu Pengadilan
Internasional.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)” pertama kali muncul dan digunakan pada
tahun 1915 dalam kasus pembantaian populasi Armenia di Turki oleh tentara Turki
(Massacres of Turkey’s Armenian
Population). Istilah itu digunakan dalam Deklarasi Bersama antara Perancis,
Inggris, dan Rusia pada tanggal 24 Mei 1915 yang mengutuk tindakan Turki dalam
kasus pembantaian tersebut. Namun upaya untuk menuntut kejahatan itu gagal
dengan asalan tidak dimungkinkannya pemberlakuan retroactive criminal legislation (hukum yang berlaku surut).[15]
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan ini mengemuka kembali, bahkan
lebih dahsyat dari sebelumnya, dengan dibentuknya International Military Tribunal atau yang lebih dikenal sebagai
Pengadilan Nuremberg pada tahun 1945. Pengadilan Nuremberg sendiri dibentuk
untuk mengadili “mantan kolaborator Nazi”[16]
yang salah satu yurisdiksi materinya ialah mengadili kejahatan terhadap
kemanusiaan (disamping kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang).
Dalam perkembangan selanjutnya, kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi
salah satu dari tiga jenis kejahatan yang dinyatakan sebagai kejahatan serius
atau pelanggaran berat terhadap HAM oleh masyarakat internasional. Hal itu
tercermin dalam berbagai piagam atau statuta internasional yang membentuk
Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan serius atau
pelanggaran berat terhadap HAM.
3. Kejahatan Perang
Kejahatan
perang bersama-sama dengan kejahatan piracy
atau bajak laut merupakan dua kejahatan internasional yang tertua di dunia.
Dalam catatan sejarah, khususnya di eropa, penuntutan secara internasional
terhadap kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach
di Breisach, Jerman, tahun 1474. Peradilan terhadap Hagenbach dilakukan di
Austria oleh persekutuan negara Kerajaan Suci Roma dimana Hagenbach didakwa
atas kasus pembunuhan, pemerkosaan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang
melanggar hukum kanonik (hukum Tuhan) dan hukum Negara Romawi pada saat ia
melakukan pendudukan militer. Dalam persidangan tersebut, Hagenbach dijatuhi
hukum mati.[17]
Setelah
peristiwa itu, seiring dengan kemajuan zaman dan tumbuhnya negara-negara
nasional, telah banyak terjadi peperangan di banyak tempat di hampir seluruh
penjuru dunia. Peristiwa yang paling terkenal dari sekian banyak cerita tentang
perang itu adalah meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914-198. Banyak negara
yang terlibat di dalamnya dan banyak pula korban yang berjatuhan dalam perang
yang dahsyat di awal abad ke 20 tersebut.[18]
Perang
Dunia I yang “berdarah-darah” dan menyimpan banyak cerita kejahatan perang di
dalamnya itu kemudian terulang lagi pada tahun 1939 dengan skala yang lebih
dahyat, yang kita kenal dengan Perang Dunia II.[19]
Dapat dikatakan bahwa sejarah peperangan sama tuanya dengan sejarah perdaban
manusia itu sendiri. Perang mewarnai sepanjang perjalanan perdaban manusia.
Hanya mungkin aktor dan tempatnya saja yang berganti-ganti.
Pengalaman-pengalaman
mengerikan sebagaimana tergambar diatas akhirnya menyadarkan masyarakat
internasional untuk tidak membiarkan perang berkobar sedemikian rupa tanpa
batasan. Itulah sebabnya kemudian masyarakat internasional berupaya merumuskan
pembatasan-pembatasan di dalam perang. Usaha untuk memberikan pembatasan
semacam itu sebetulnya sudah dimulai sejak dahulu. Hal itu dapat ditelusuri
misalnya dari mulai tulisan-tulisan Sun Tzu (ahli militer China Kuno) pada abad
ke-6 SM, hukum-hukum Yunani yang mengatur dan membatasi perang, serta tidak
terkecuali juga hukum agama yang mengatur dan membatasi peperangan agar jangan
sampai menimbulkan kerugian yang tidak diperlukan.[20]
Untuk
memahami apa dan bagaimana itu kejahatan perang maka perlu kiranya terlebih
dahulu dipahami hubungan antara perang, hukum yang mengatur mengenai perang
(hukum humaniter), dan kejahatan perang itu sendiri. Hubungan ketiganya itu
perlu dipahami karena ketiga hal tersebut saling bertautan dan bergandengan
satu sama lain. Adanya perang membutuhkan aturan-aturan dan pembatasan agar
tidak berkecamuk tanpa terkendali. Pada titik itu maka diciptakanlah hukum
humaniter. Jika terjadi perang dan perang itu melanggar hukum humaniter
sehingga menimbulkan korban dan kerugian yang tidak dibenarkan menurut hukum
humaniter maka pada saat itulah terjadi kejahatan perang. Seperti itulah
kira-kira ilustrasi interelasi diantara ketiganya.
Pertama; perihal perang. Telah banyak ahli yang mendifinisikan apa itu perang,
namun dalam tulisan ini hanya akan diangkat beberapa diantara saja. Dalam Black’s Law Dictionary, perang
didefinisikan sebagai “Hostile conflict
by means of armed forces, carried on between nations, states, or rules, or
sometimes between parties in the same nation or state.”[21] Sementara
itu G. P. H Djatikoesomo mengartikan perang sebagai sengketa dengan menggunakan
kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata.[22]
Pengertian yang singkat namun menarik diberikan oleh Carl Von Clausewitz yang
mendefinisikan perang sebagai politik dengan jalan kekerasan.[23]
Kedua; perihal hukum yang mengatur mengenai perang atau hukum humaniter.
Menurut K. G. P. H. Haryomataram, mulanya hukum yang mengatur perihal perang
disebut sebagai hukum perang kemudian berubah menjadi hukum mengenai konflik
bersenjata dan yang terakhir sebagaimana kita kenal saat ini sebutannya menjadi
“hukum humaniter.”[24]
Djatikoesomo
mendifinisikan hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa
mengenai perang.[25]
Sementara Lauterpacht memandang hukum perang dalam arti “the rules of the law of nations respecting warfare.”
Terkait
dengan hukum humaniter, dewasa ini telah terdapat dua sumber hukum humaniter
yang sangat penting dan fundamental dalam kerangka hukum internasional, yaitu:
1) Konferensi Den Haag 1907 tentang Hukum Perang yang terdiri dari 13
konvensi; dan
2) Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat (4) buku dan kemudian
ditambah dengan dua (2) Protokol Tambahan 1977.
Ketiga; mengenai kejahatan perang. Pengertian klasik dan sederhana dari
kejahatan biasanya merujuk pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum perang
atau kebiasan perang. Akan tetapi menurut Deinstein pengertian ini harus
dipahami secara hati-hati sebab tidak semua tindakan yang melanggar hukum
perang atau kebiasaan perang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.[26]
Definisi
kejahatan perang menurut Steven Ratner adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum
perang atau hukum humaniter internasional yang mendatangkan tanggung jawab
kriminal individual.[27]
Pada
bagian selanjutnya akan dibahas rumusan kejahatan perang menurut berbagai
isntrumen hukum internasional yang berupa piagam atau statuta pembentukan
Pengadilan Internasional yang mengadili kejahatan serius atau pelanggaran berat
terhadap HAM, salah satunya kejahatan perang.
[1]
Pandangan yang mengatakan bahwa kejahatan serius terhadap HAM meliputi tiga
jenis kejahatan yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang antara lain dikemukakan oleh M. Cherif Bassiouni yang dikenal luas
sebagai salah satu pelopor pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Lihat
selengkapnya dalam M. Cherif Bassiouni, Introduction
to International Criminal Law, Transnational Publisher, New York, 1996, hlm.
110
[2]
Pada saat Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo dibentuk sesaat setelah
Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu, istilah “genosida”
belum ditemukan/digunakan secara resmi ketika itu, karena kejahatan genosida
baru pertama kali diangkat dan dirumuskan secara internasional pada tahun 1948
melalui Covention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide yang diterima oleh Majelis Umum PBB
melalui Resolusi 260A (III) pada 9 Desember 1948. Kejahatan yang
dikualifikasikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM yang menjadi yurisdiksi
Pengadilan Nurember dan Pengadilan Tokyo berdasarkan charter dari masing-masing Pengadilan itu adalah kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace),
kejahatan perang (war crimes), dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity).
[3]
Lihat William A. Schabas, Convention for
the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Makalah disampaikan
dan dipublikasikan pada United Nations Audiovisual Library of International Law,
United Nations, 2008.
[4]
Unsur-unsur kejahatan genosida sebetulnya sudah tercakup, meskipun tidak
berdiri sendiri sebagai suatu kejahatan dalam piagam Pengadilan Nuremberg dan
Pengadilan Tokyo. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan kejahatan terhadap
kemanusiaan, baik menurut Piagam Pengadilan Nuremberg (Pasal 6 huruf c), maupun Piagam Pengadilan Tokyo tepatnya (Pasal 5
huruf c).
[5] William
A Schabas, Genocide in International Law,
Cambridge University Press, 2000, hlm. 25.
[6] Lihat
William A. Schabas, Convention for the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1; lihat
juga Roy Gutman dan David Rief dalam Eddy O. S. Hariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Erlangga,
Jakarta, 2010, hlm. 7.
[7] Sebagai
informasi, Raphael Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang
kemudian bermigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1930.
[8] William
A. Schabas, Convention for the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[9] Willia A
Schabas, Genocide in International Law,
Op. Cit., hlm. 24-25.
[10] Bryan
A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej, Op.
Cit., hlm. 8.
[11] Oleh
karena belum adanya istilah atau terminologi untuk menyebut kejahatan-kejahatan
yang sekarang disebut “genosida” pada masa-masa berkecamuknya Perang Dunia II,
Winston Churchill menyebut kejahatan-kejahatan “genosida” yang dilakukan oleh
Nazi pada waktu dengan sebutan “the crime
withput a name.” Lihat William Schabas, Genocide
in International Law, Op. Cit., hlm. 14-17.
[12] Eddy O.
S Hariej, Op. Cit., hlm. 9.
[13] Muladi,
Op. Cit., hlm. 172.
[14] William
A. Schabas, Convention for the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide, Op.Cit., hlm. 1.
[15] Muladi,
Op. Cit., hlm. 176; lihat pula Eddy
O. S. Hariej Op. Cit., hlm. 14.
[16] Istilah
ini digunakan oleh Satya Arinanto untuk menyebut para terdakwa yang diadili di
Pengadilan Nuremberg. Lihat Satya Arinanto, Hak
Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ketiga, Pusat Studi
Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 2011, hlm. 243-247.
[17] M.
Shokry El-Dakkak,State’s Crimes against
Humanity:Genocide, Deportation, and Torture: From the Perspectives of
International and Islamic Laws, A. S Noordeen, 2000, hlm. 206-207.
[18] Lihat
Wikipedia, Perang Dunia I, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I,
Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[19] Lihat Wikipedia, Perang Dunia II, http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_II,
Diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
[20] Roy
Gutman dan David Rieff dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit., hlm. 24.
[21] Bryan
A. Garner dalam Eddy O. S. Hariej
[22] G. P.
H. Djatikoesomo, Hukum Internasional
Bagian Perang, N.V Pemandangan Djakarta, 1956, hlm. 15.
[23] Dani
Krisnawati et. all., Bunga Rampai Hukum
Pidana Khusus, Pena, Jakarta, 2006, hlm. 258.
[24] K. G.
P. H. Haryomataram, Pengantar Hukum
Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 6.
[25] G. P.
H. Djatikoesomo, Op. Cit., hlm. 2.
[26]
Deinsten dalam Arie Siswanto, Yurisdiksi
Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005,
hlm. 77.
[27] Steven
Ratner dalam Eddy O. S. Hariej, Op. Cit.,
hlm. 31.