Hari-hari ini
kita dihadapkan pada kontroversi soal program bela negara yang digagas oleh
Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Meskipun baru sekedar gagasan tapi sontak
saja isu ini menuai reaksi yang beragam dari masyarakat. Ada kalangan yang
mendukungnya dan tentu saja tidak sedikit juga yang menentangnya.
Dari beragam
respon yang mengemuka, entah karena sikap a priori yang
sudah terlanjur tidak menyukai program ini atau karena kurangnya penjelasan
dari pihak Kemenhan, muncul pemahaman yang keliru di tengah masyarakat. Program
bela negara yang digagas oleh Kemenhan ditafsirkan oleh sementara pihak
sebagai wajib militer.
Perlu
diluruskan disini bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukanlah
wajib militer (Wamil). Sebagaimana telah disampaikan secara luas oleh Kemenhan,
program bela negara yang dimaksud dalam hal ini hanyalah sebatas program
pendidikan dan pelatihan yang bersifat kognitif (pengetahuan) dan psikis (mentalitas). Jika pun ada kegiatan fisik maka sifatnya hanya sebatas
olah jasmani saja.
Jadi jelaslah
bahwa program bela negara yang digagas oleh Kemenhan bukan wajib militer
sebagaimana yang diberlakukan di negara-negara seperti Korea Selatan,
Singapura, dan Israel. Sehingga tidak perlu dibayangkan bahwa program ini akan
“memaksa” warga negara untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan militer secara
reguler dan menempatkannya di satuan-satuan militer. Pemahaman yang demikian
adalah keliru dan sudah seharusnya diluruskan.
Amanat Konstitusi
Penting untuk
diketahui bahwa doktrin bela negara merupakan doktrin yang telah diterima dan
dianut oleh semua negara di seluruh penjuru dunia. Saking fundamentalnya
doktrin bela negara ini bagi kelangsungan suatu bangsa, maka tidak mengherankan
jika doktrin ini dicantumkan dan diamanatkan oleh hampir semua konstitusi
negara-negara di dunia (tentu saja dengan redaksi dan penekanan yang
berbeda-beda).
Negara-negara
yang dapat disebut dan dijadikan contoh dalam hal ini antara lain Amerika
Serikat, Jerman, dan Singapura. Bahkan doktrin bela negara ini pun tetap dianut oleh negara yang secara formal melarang adanya angkatan bersenjata (militer), seperti Kosta Rika.
Di Amerika
Serikat, doktrin bela negara ini diletakan dilevel tertinggi dengan mencantumkannya
dalam Pembukaan Konstitusi yang berbunyi “Kami Rakyat Amerika Serikat, agar
dapat membentuk suatu Perserikatan yang lebih sempurna ... menetapkan
pertahanan secara bersama-sama ... dan mengamankan berkah kemerdekaan bagi diri
kita dan keturunan.”
Sementara di
Jerman, pengaturan dan pengorganisasian bela negara diatur secara rinci melalui
Pasal 12a Konstitusinya, baik melalui lembaga wajib militer maupun alternatif
layanan sipil lainnya selain wajib militer.
Fakta yang
mengesankan dari fenomena global ini ialah apa yang terjadi
di Kosta Rika. Pasal 18 Konstitusi Kosta Rika secara tegas menyatakan bahwa
seluruh warga negara Kosta Rika wajib mempertahankan tanah airnya (fatherland).
Padahal negara tersebut tegas-tegas melarang adanya organisasi militer yang
permanen. Tetapi kenyataan menunjukan doktrin bela negara tetap dianut oleh
Kosta Rika.
Di Indonesia,
bela negara telah diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 27 ayat 3
dan Pasal 30 ayat 1). Ketentuan bela negara yang tercantum dalam UUD itu pada pokoknya berbunyi “Setiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Berdasarkan ketentuan
tersebut jelas lah bahwa bela negara merupakan hak sekaligus kewajiban
konstitusional dari tiap-tiap Warga Negara Indonesia. Hal ini semakin membuktikan
bahwa doktrin bela negara telah diterima dan diadopsi dimana-mana, karena
pada doktrin inilah terletak jaminan kelangsungan hidup suatu bangsa. Tanpa adanya kewajiban dan kesediaan bela negara, sesungguhnya bangsa itu adalah bangsa yang rapuh.
Namun demikian
harus diakui bahwa konsep bela negara yang termaktub dalam UUD 1945 itu masih
amat sumir. Undang-Undang Dasar tidak menjelaskan lebih detail mengenai apa
yang dimaksud dengan bela negara dan bagaimana implementasinya. Atas dasar itulah maka pembuat undang-undang kemudian mencoba
merumuskan konsep bela negara ini melalui UU No.3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara.
Menurut Pasal 9
UU tersebut, penyelenggaraan bela negara dilakukan melalui kegiatan/program:
(a) pendidikan kewarganegaraan; (b) pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
(c) menjadi anggota TNI, baik secara sukarela ataupun wajib (wajib militer);
(d) pengabdian sesuai profesi yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Oleh karena
ketentuan mengenai bela negara ini telah ada garis hukumnya dalam UU No. 3/2002
(meskipun masih sangat terbatas), maka jika pemerintah ingin melembagakan atau
menghidupkan program bela negara, pemerintah harus berpedoman pada aturan yang
telah ada (UU No. 3 Tahun 2002). Harus jelas program bela negara yang mana yang
akan dihidupkan.
Pilihan Sikap dan Catatan Kritis
Kenyataan
adanya kewajiban bela negara ini tidak perlu terlalu dirisaukan, karena hal
demikian sudah merupakan kebutuhan kita sebagai sebuah bangsa. Jika bangsa ini
kuat dan kokoh maka manfaatnya pasti akan berpulang pada kita juga sebagai
sebuah bangsa. Seperti dikatakan oleh Ir. Soekarno “... strenghen ourselves,
because only a nation who strengthens itself can become a strong country (dalam
Chappy Hakim, 2011: 108).
Lagipula
tuntutan ini tidak saja berlaku di Indonesia, melainkan berlaku juga di semua
negara. Bahkan di beberapa negara lain, kewajiban bela negara ini telah
mencapai taraf yang demikian tinggi dan boleh dikatakan menuntut pengorbanan
hidup-matinya seorang warga negara, misalnya melalui program wajib militer dan penugasan di medan tempur.
Meskipun
demikian, bukan berarti setiap upaya atau bentuk-bentuk pembelaan negara yang
diorganisir oleh pemerintah bisa dilakukan dengan semau-maunya. Pengejawantahan
prinsip bela negara ini, dalam bentuk apa pun, hanya bisa dilakukan diatas
landasan dan prosedur yang sah.
Berkenaan
dengan program bela negara yang digagas oleh Kemhan, maka program yang akan
diwajibkan bagi seluruh WNI itu harus mempunyai landasan dan pedoman yuridis
yang jelas. Untuk tujuan ini maka tidak ada jalan lain kecuali menyiapkan dan
membentuk undang-undang yang akan mengatur hal ihwal bela negara terlebih
dahulu sebelum program itu dijalankan. Sebab undang-undang yang ada saat ini,
yaitu UU No. 3/2002, sangat tidak memadai untuk dijadikan landasan yuridis
penyelenggaraan program bela negara karena hanya mengatur soal bela negara
secara sepintas lalu saja.
Jika
undang-undang dan instrumen hukum yang akan mengatur
soal penyelenggaraan bela negara itu sudah dibuat dan siap dioperasikan, maka
menurut hemat penulis tidak ada lagi alasan untuk menolak hak dan kewajiban
konstitusional untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Kita harus mulai membangun kesadaran dan konsensus
nasional bahwa bela negara bukan saja merupakan kewajiban, melainkan juga suatu hak
dan kehormatan bagi tiap-tiap warga negara yang mencintai tanah airnya.
Sebagaimana
dikatakan oleh mendiang Presiden AS, John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya
yang amat sangat terkenal “Jangan tanya apa bisa diberikan negara untukmu,
tanyalah apa yang kau berikan untuk negaramu !”